
Jakarta, 13 Ramadhan 1444H
Suatu hari yang sejuk saya mengunjungi acara ramah tamah di tempat bersejarah di Jawa Tengah, konon katanya rumah yang sangat tua ini milik seorang ulama ternama di masanya, lebih dari 150 tahun yang lalu. Rumahnya masih asli, dan ditinggali oleh garis keturunannya. Ulama ini terkenal sangat pemberani dan berilmu tinggi, bahkan raja yang berkuasa saat itu pun tidak bisa memaksa ia untuk menikahi anaknya yang jatuh cinta pada ulama tersebut, setelah secara tidak sengaja mendengar alunan kitab suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Sang Ulama.
Namun acara ramah tamah ini rupanya lebih kepada acara kebudayaan, jejak sang ulama dan kedalaman peninggalan ilmunya seolah tidak terasa. Di tengah berkumpulnya keluarga besar keturunan langsung beliau, malah hiruk pikuknya musik dan canda tawa lebih terasa.
Saya jadi teringat cerita tentang Pangeran Diponegoro, yang konon menguasai tafsir, dan fasih berbahasa Arab sebagai salah satu syarat menjadi raja-raja Jawa zaman dahulu, yang menjadikan Islam sebagai pondasi keilmuan dan akhlaknya. Bayangkan tingginya kriteria pemimpin saat itu, hanya 100 tahun yang lalu. Jejak tersebut juga hilang. Kita bisa melihat sendiri, bagaimana pemilihan pemimpin di negeri ini sekarang.
Sejak pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Sulawesi, para santri dan keturunan sang pangeran diburu para penjajah Belanda yang tidak menginginkan adanya bibit-bibit Islam. Karena mereka melihat bibit islam di hati orang-orang kelak akan merongrong kekuasaan Belanda di Indonesia. Sejak itu Islam banyak ditinggalkan. Padahal ada saat Islam menjadi pemersatu para pemimpin di Indonesia, dari Jawa, Parahiyangan, Sumatra dan seterusnya. Ulama-ulama bangkit sebagai pelopor dalam menggerakkan rakyat, melawan naluri kejam para penjajah.
Fast forward ke saat ini, jejak luhur para pengabdi Allah tersebut perlahan hilang, diganti dengan kemeriahan dunia yang menjadi magnet yang kian menarik hati.
Saya masih sering mengingat-ingat saat saya berada di pendopo Sang Ulama, mencoba menerawang saat beliau masih hidup dan seolah menyaksikan ia memimpin umat yang mencintainya. Saya rindu pada pemimpin yang takut pada Allah, dan teguh membawa risalah Nabinya shalallahu ‘alaihi wasalam.
Oleh-oleh pemikiran dari perjalanan ini, menjadikan saya berikhtiar dan bercita-cita agar memiliki dzurriyyat yang tetap berpegang teguh di jalan Allah. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya generasi mendatang untuk bertahan pada syariat agama, mungkin bagai mencoba berdiri tegak di tengah angin ribut. Saya bahkan sering merasa sedih memikirkan keadaan mereka di masa datang. Saya teringat doa Nabi Ibrahim, sang bapak para Nabi, yang selalu berorientasi pada keimanan dzurriyyat-nya. Allah menjawab doa-doa nabi Ibrahim melalui keturunan-keturunannya. Bahkan Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasalam, sebagai pembawa ayat-ayat Allah, ada dalam doanya Nabi Ibrahim, padahal jarak mereka terbentang ribuan tahun.

Ayat ini menjadi doa favorit, yang saya baca kapan saja, bahkan sering saya baca dalam sholat. Setiap membacanya saya merasa sedang menitipkan dzurriyyat saya pada Allah yang Maha Membolak-balikkan hati, agar mereka bisa mantap dan teguh hatinya di jalan Allah, tidak lupa dan lalai menjalankan tugas sebagai hambaNya. Doa tersebut saya panjatkan untuk satu, dua tiga, empat, lima generasi setelah saya berlalu, dan seterusnya. Saya membayangkan, jika suatu saat, di tengah kegalauan hati salah satu dzurriyyat-ku, dan ada godaan untuk berpaling dari jalan Allah, semoga doa saya sampai untuk mereka, dan akan Allah jawab dengan ketetapan hati untuk kembali mengabdi padaNya.
Dalam Surat At Tur, ayat 21, yang artinya “Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka, yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebaikan) mereka. Setiap orang terikat denga apa yang dikerjakannya.”
Dalam kunjungannya ke Indonesia Ustaz Nouman, pernah menjelaskan ayat di atas, bahwa akan ada family reunion in Jannah bahkan dengan dzurriyyat yang kita tidak pernah bertemu. Definisi dzurriyyat di sini menurut ustaz adalah seperti butiran pasir yang tersebar, keturunan dari generasi ke generasi, yang jumlahnya sangatlah banyak. Tentunya sebagian besar kekhawatiran kita di dunia saat ini adalah masa depan anak-anak kita dan keturunannya. Allah menjanjikan pertemuan tersebut kelak di surga dalam ayat ini. Namun dalam ayat ini jelas terlihat, Allah memberikan syarat penting yang harus dipenuhi kita, yaitu keimanan.
Semoga Allah mengumpulkan hati para orang-orang beriman beserta dzurriyyat-nya, dan mempertemukan kami kelak di surgaNya. Aamiin.
Sumber penjelasan: Bayyinah Quran Week di Indonesia
[…] المصدر: [MFA2023] Dzurriyyat – Desy Husen – Nouman Ali Khan Indonesia […]
LikeLike