
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 216:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Dari ayat ini sudah sangat jelas perihal cinta dan pedulinya Allah yang diberikan kepada kita. Ayat ini pula sebagai peringatan dari Allah bagi kita untuk senantiasa bersabar dan berpikir positif.
Ya, bersabar dan berpikir positif. Dua kata ini simple sekali dan sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika tertimpa musibah ataupun kemalangan yang mungkin kita tidak kehendaki. Saat itu justru keluh kesahlah yang keluar saat kemalangan itu menimpa kita. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu bukan malaikat. Manusia bisa marah, benci, tidak suka, suudzon dan masih banyak lagi sifat negatif (menimbulkan dosa) yang ada pada manusia. Itu hal yang wajar karena Nabi Adam (manusia pertama) pun juga memiliki kesalahan (dosa).
Sisi negatif manusia tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan kesalahan secara terus menerus. Karena dalam hukum alam, saat ada negatif berarti ada positif. Belajar dari hal negatif untuk mengambil sisi positifnya. Sulit memang tapi bisa diupayakan. Misalnya lewat belajar dari kisahnya Nabi Musa ‘alaihi salam, dalam surat Al-Baqarah, Al-Isra’, Al-Kahfi dan surat lain dalam Al-Quran yang mengisahkan tentang Nabi Musa.
Ustadz Nouman Ali Khan dalam ceramahnya menyampaikan bahwa Nabi Musa ‘alaihi salam adalah nabi yang paling banyak dikisahkan dalam Al-Quran. Beliau adalah nabi yang pintar karena wahyu Taurat lebih tebal daripada Al-Quran, nabi yang sabar pula dalam menghadapi ujian Allah dari bayi hingga dewasa saat menghadapi umatnya. Namun Allah masih menguji dan memerintahkan Nabi Musa untuk terus belajar (sebagai murid) kepada seseorang. Perintah Allah ini tercantum dalam surat Al-Kahfi.
Kisah perjalanan nabi Musa ‘alaihi salam belajar kepada hambanya Allah yang lebih tahu (nabi Khidzir/Khodzir). Tanpa tahu latar belakang “guru”-nya ini, nabi Musa meminta untuk menjadi muridnya. Nabi Musa sudah diberitahu dari awal bahwa ia tidak akan sanggup saat mengikutinya. Karena kesabaran dan logika yang jauh dari bayanganlah yang akan ditemui. Namun, karena menunaikan perintah Allah, nabi Musa sanggup dan tak menghiraukan peringatan tersebut.
Ustaz juga menyampaikan berbagai pembelajaran seperti yang dikisahkan dalam Surat Al-Kahfi. Pertama, nabi Musa dan “guru”-nya meminjam perahu kepada seorang nelayan, ketika berlayar perahu tersebut sengaja dilubangi oleh “guru” tersebut. Nabi Musa pun protes dengan alasan nelayan dengan baik hati meminjamkan perahunya tetapi malah dilubangi. Kebaikan dibalas dengan keburukan.
Kedua, dalam suatu perjalanan “guru” tersebut membunuh seorang anak kecil, lantas nabi Musa pun protes kenapa itu dilakukan padahal anak tersebut tak berdosa dan mereka tidak saling mengenal.
Ketiga, ketika mereka tiba di suatu kota yang penuh kemaksiatan, mereka melihat sebuah rumah yang hampir roboh dindingnya di tengah kota tersebut. “Guru” tersebut membangun tegak dinding tersebut tanpa meminta upah ataupun bantuan, protes nabi Musa yang terakhir ini adalah kenapa tidak meminta bantuan orang sekelilingnya.

Tiga protes ini yang membuat “guru” tersebut memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dengan nabi Musa ‘alaihi salam. Kemudian ketika hendak berpisah baru dijelaskan beberapa alasan pada tiap-tiap kejadian. Pertama, kapal yang sengaja dilubangi bertujuan supaya perompak kapal tidak mengambil kapal tersebut, sehingga sang nelayan tidak kehilangan kapal tersebut. Kedua, anak kecil tersebut sengaja dibunuh karena ingin menyelamatkan anak dan orang tuanya, apabila dibiarkan hidup kelak anak kecil itu tumbuh menjadi orang yang jahat dan berbuat kerusakan. Ketiga, dinding rumah yang dibangun dan dikokohkan di tengah kota yang penuh kemaksiatan adalah karena di sana terdapat harta anak yatim yang ditinggalkan ayahnya..
Dari tiga hal tersebut dapat diketahui bahwa manusia cenderung berpikir tentang apa yang terjadi di hadapannya saat itu juga, tanpa memikirkan alasan di balik kejadian tersebut. Kita cenderung ber-suudzon (berprasangka buruk) di awal daripada husnudzon (berprasangka baik). Padahal ada Allah di balik setiap kejadian. Allah Sang Pemilik skenario hidup. Allah Maha Mengetahui, dan manusia tidak tahu. Allah lebih tahu daripada yang manusia ketahui meski manusia mengatakan impossible and out of mind.
“…boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 216)
Ayat tersebut menjadi refleksi pada diri saya yang ada kalanya mengeluh dengan keadaan. Masih perlu banyak latihan dan memaksakan diri agar dapat terbiasa untuk berpikir positif pada takdir Allah. Meyakinkan diri bahwa semua alur yang saya lalui sudah diploting oleh Allah dan pasti ada hikmah di setiap kejadian. Karena Allah tidak mungkin memberikan suatu takdir kepada hamba-Nya tanpa ada suatu pembelajaran. Hikmah ataupun pelajaran pada setiap yang digariskan mungkin tidak secara langsung saya dapatkan. Ada kalanya lewat teguran orang lain, baru kemudian saya tersadarkan. Dari ayat tersebut pula saya belajar untuk senantiasa sabar dan syukur atas ketentuan Allah. Saya mencoba untuk selalu berupaya dan ikhtiar, juga terus berdoa.
Sudut pandang saya sebagai makhluk-Nya tidak akan bisa melebihi sudut pandang yang Allah miliki. “Kun fayakun”-nya Allah itu pasti. Ada pembelajaran lebih pada kita khususnya saya apabila mau open mind terhadap setiap peristiwa dalam kehidupan ini. Bismillah, semoga ini menjadi pembelajaran untuk senantiasa bersabar dan berpikir positif terhadap takdirnya Allah.
Sumber tulisan: https://youtu.be/nMwwVEMkO3g
(QS. Al-Kahfi 18: ayat 65-82)