بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
20. Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (Al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 20)

Mencintai pekerjaan yang kita lakukan menurut saya rezeki luar biasa dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. Bukan lantaran gaji yang tinggi atau mengincar posisi tertentu, bekerja sepenuh hati mengamalkan ilmu yang diperoleh selama kuliah menjadi anugerah yang tidak semua orang bisa “mencicipinya”.
Dan saya termasuk salah satu yang sangat beruntung menikmati fase tersebut usai lulus kuliah Sastra Inggris. Antara 2007 dan 2010, saya menjalani tahun-tahun penuh petualangan yang berdasarkan minat dan cinta yang luar biasa terhadap Bahasa Inggris dan jurnalisme. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengabulkan permohonan saya bahkan memudahkan meraih impian menjadi seorang jurnalis.
Pada tahun-tahun awal, saya sangat bersemangat bekerja, bahkan terbiasa bekerja tanpa mengenal libur. Saya menyebut “tanpa libur” sebab bahkan ketika hari libur pun, otak saya masih memantau berita dan memikirkan ide tulisan saat masuk kerja lagi.
Menjadi wartawan berarti menjalani hari-hari penuh ketidakpastian. Ketidakpastian di sini berarti tidak tahu berita apa yang akan ditulis ke esokan harinya. Memang terkadang sudah mengincar tema tertentu namun acapkali ada masalah dalam menuliskannya, seperti susah menghubungi narasumber. Sekali lagi, karena begitu cintanya saya, kondisi tersebut tidak menjadi hal yang membebani. Bahkan, karena terbiasa, setiap hari rasanya menyenangkan sebab terus belajar dan memutar otak.
Pola tersebut terbayar tuntas ketika tulisan saya masuk headline atau menuai pujian dari rekan sesama jurnalis atau editor. Tanpa saya sadari, siklus itu menjadi satu-satunya yang saya pikirkan. Berita, headline, pujian dari atasan. Rasanya hidup hanya agar tulisan saya masuk headline dan sukses menjadi seorang jurnalis.
“Kesenangan yang palsu”
Saya pernah mendengar suatu waktu bahwa kita akan diuji dengan apa yang kita cintai. Itu lantaran batas cinta kita terhadap sesuatu yang fana sudah melampaui batas. Pada tahun terakhir, saya merasakan emosi yang cukup labil, seperti gampang tersulut emosi dan suasana hati yang naik turun begitu cepat. Sholat dan puasa terasa hambar. Belum lagi, mulai timbul kesombongan bahwa pekerjaan saat itu memang karena kemampuan saya, bukan atas rahmat dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.
Link video:
Dalam video tersebut, ustadz Nouman Ali Khan menafsirkan ayat ke-20 dalam surat Al-Hadid. Ayat ini secara efektif merangkum apa yang manusia cari dalam hidup.
Ustad menggarisbawahi fokus kesenangan pada setiap fase umur. Saat bayi, anak-anak hanya fokus memperoleh makan, minum dan istirahat yang cukup. Dari kebutuhan, anak-anak beralih ke keinginan, yakni ingin bermain, berpindah dari satu jenis mainan ke tipe yang lainnya. Beranjak remaja, yang dipikirkan adalah perihal penampilan luar, seperti wajah atau interior kamar. Istilah ini disebut beautification atau mempercantik diri. Saat memasuki kuliah, yang menjadi fokus adalah cara untuk lulus, magang hingga bekerja. Pada fase ini, muncul keinginan baru yakni untuk saling menyombongkan diri, yang juga disebut dalam ayat ini. Biasanya yang dibanggakan adalah nama almamater atau perusahaan tempatnya bekerja. Setelah berumah tangga dan membesarkan anak, manusia akan fokus pada stabilitas keuangan dan kesejahteraan anak. Keinginan tersebut merupakan bawaan manusia.
Itulah tafsir beliau tentang bagian pertama ayat ini. Pada bagian kedua, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى membandingkan hal yang dikejar oleh manusia dengan perumpamaan seorang petani. Ustadz Nouman menggarisbawahi kata غَيْثٍ yang berarti “hujan yang sempurna”, yakni yang airnya tidak berlebihan sehingga dapat menyebabkan banjir dan air yang tidak terlalu sedikit sehingga tanaman tidak bisa tumbuh.
Petani dalam ayat ini disebut sebagai kufar. Bukan kafir dalam arti tidak beriman kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melainkan kufar yang secara harfiah dalam ayat ini berarti yang mengubur benih di dalam tanah. Menanam benih merupakan hal pertama sekaligus tersulit dalam rangkaian pekerjaan seorang petani sebab ia tidak tahu apakah benih tersebut akan menghasilkan tanaman yang subur atau tidak.
Petani sudah sangat bahagia begitu menyaksikan benih berubah sedikit demi sedikit menjadi tanaman hijau yang mungil. Fase terakhir seharusnya adalah memanen tetapi ayat ini menyebut: “warnanya kuning kemudian menjadi hancur.” Beginilah kita memahami hakikat hidup di dunia ini. Kebahagiaan yang sangat menarik bagi hati hanya bertahan beberapa saat saja, seperti seorang anak yang sungguh antusias ingin membuka kotak permainan dalam perjalanan dari supermarket menuju rumah. Hanya dalam beberapa jam, permainan tersebut tidak lagi menarik.
Segala kebahagiaan di dunia ini tidak sebanding dengan kenikmatan saat berada di surga. Dan segala kesulitan di dunia ini tidak akan ada artinya dibandingkan azab di neraka. Ustadz Nouman mengakhiri tafsirnya dengan mengatakan kebahagiaan sesungguhnya datang dari iman yang sejati kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dan memenuhi ekspektasi dari-Nya.
Saya memaknai ayat di atas dengan cara yang berat sebab akhirnya saya memilih mundur dari pekerjaan yang sangat saya cintai. Setiap kali saya ingin bekerja melampaui batas, saya selalu berusaha mengingat tujuannya. Apakah uang (lagi dan lagi)? Pujian dari manusia? Memuaskan ego saja? Saya tidak mau lagi terjebak dalam “permainan duniawi” yang saya ciptakan sendiri, mengejar kesenangan semu yang tidak akan ada habisnya seperti dulu sementara saya masih miskin tentang agama ini. Semoga Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memudahkan niat baik saya, amiin.
Penulis : Eny Wulandari
[…] المصدر: [MFA2023] Tobatnya Seorang Workaholic – Eny Wulandari – Nouman Ali Khan Indonesia […]
LikeLike