بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Kehidupan tidaklah lepas dari sebuah ujian, seperti ungkapan dari seorang ustaz dalam sebuah kajian. “Ujian itu fitrah. Harus heran jika dalam kehidupan tidak diuji, berarti pertanda kita sedang tidak menjalankan kehidupan, tetapi hanya merasa hidup saja.”
Ketika bulan terakhir di tahun 2021, masa-masa tersulitku dan penuh kekhawatiran akan waktu yang kian melaju. Tidak ada daya dan upaya, yang mampu menghentikan waktu. Perasaan tertinggal akan teman-teman yang lebih dulu Allah mudahkan dalam setiap urusan sempat membuatku terpuruk dan mengantarkan pada pertanyaaan: “Mengapa aku tidak dimudahkan, hal apa yang tidak aku lakukan dari apa yang mereka lakukan?”. Jika mengingat kembali, sungguh sebuah pertanyaan terburuk dan begitu hina yang pernah ada. Merasa bahwa diri sudah sempurna, mampu mengurus segala, padahal sejatinya Allah yang punya, mengatur bagaimana pada akhirnya.
Desember yang kelabu bagiku. Sudah berada ditenggang waktu kritis untuk sampai pada tenggat waktu yang ditentukan. Aku tidak memiliki kepercayaan untuk bergabung bersama teman-teman yang lebih dulu mendaftarkan diri mengikuti sidang skripsi yang dijadwalkan di tanggal-tanggal terakhir bulan ini. Menunggu sebuah persetujuan dari pembimbing dalam waktu dekat adalah ujian kesabaran, ujian yang mengantarkanku pada pikiran: “Seakan semua tidak mungkin untuk kulakukan dan kudapatkan.” Meletakkan semua harapan pada manusia adalah jalan untuk mendapatkan rasa kecewa. Dan kini aku merasakannya dengan nyata.
Tidaklah mudah bagiku untuk bangkit dari keterpurukan perasaan, ketidakmampuan, keyakinan, meski apa yang ada sudah kukerahkan sekemampuan. Perasaan lemah, menyerah, pasrah pada keadaan menjadi perasaan yang akrab kala itu. Hingga pada titik terakhir, sore itu, saat air mata membasahi luka, aku sadar bahwasannya semua perasaan yang memelukku akibat dari mengharapkan segalanya kepada manusia, bukan kepada Allah Swt. Aku terpenjara pada duka yang lama.
Sampailah pada penemuan yang tak terduga. Kesadaran yang memang sudah seharusnya. Aku berdoa. Aku meminta pada yang punya, Allah Subḥānahu wataʿālā. Tuhan yang Maha Kuasa atas segala yang ada. Dengan segala kerendahan dan kepasrahan aku meminta pertolongan, bukan agar dimudahkan atau dipercepat segala urusan tetapi diberi mampu untuk menunggu, diberi percaya untuk berserah dan diberi yakin untuk berharap dan meminta hanya kepada-Nya. Serta jauhkanlah aku dari berharap selain kepada-Nya.
Berkat semua ujian yang datang padaku, Allah izinkan aku menikmati dahsyatnya dalam berdoa, lalu aku jatuh cinta pada salah satu ayat-Mu. Saat Zakaria berdoa kepada-Mu.
قَالَ رَبِّ إِنِّى وَهَنَ ٱلْعَظْمُ مِنِّى وَٱشْتَعَلَ ٱلرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا
Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.” (QS. Maryam 19:4)
Ustaz Nouman Ali Khan menjelaskan dan memaknai dari ayat tersebut, bagaimana indahnya bahasa yang digunakan Zakaria dalam berdoa kepada Tuhan. Dengan bahasa lembut mengandung (harapan yang dalam) serta dalam keadaan lemah, pasrah, berserah diri dan dengan keyakinan penuh atau memiliki prasangka baik bahwasannya Tuhan akan mendengar, mengabulkan doanya. “Saya tidak pernah berpikir bahwa ketika saya berdoa kepada-Mu dan Allah tidak mendengarkan dan merasa seperti saya tidak beruntung (rugi) atau tidak beruntung atau malang. Saya selalu optimis dalam beroda kepada-Mu. Dengan melakukan itu, saya tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu.” (Nouman Ali Khan)
Penjelasan yang disampaikan Ustaz Nouman membantuku dalam memahami ayat favoritku. Aku belajar banyak, bahwasannya dalam berdoa haruslah dilakukan secara maksimal, memiliki hati yang bersih, dalam keadaan berserah diri, berprasangka baik bahwa Allah akan mendengar doa-doa hamba-Nya yang meminta. Sejak saat itu aku percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
Berkali-kali aku mengulang, “…, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.” aku tetap berada dalam perasaan takjub luar biasa, perasaan membuncah akan janji-Nya. Tidak memiliki rasa kecewa ketika memohon pada-Nya. Selagi Allah mampukan aku untuk berdoa aku akan terus berdoa karena aku pun belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku. Tidak ada manusia yang benar-benar siap pada kekecewaan, kehilangan dan kepergian. Seperti kata para ulama. “Segala sesuatu di dunia ini akan pergi dan tidak kembali, kecuali doa. Dia pergi dan dia pasti akan kembali. Kembali pada yang meminta.”
Memohon dengan lembut (harapan yang mendalam) suatu kepasrahan yang aku rasakan dari do’a Zakaria kepada Allah Swt. perasaan tidak pernah kecewa dalam berdoa sungguh aku rasakan dan kuusahakan agar tertanam dalam jiwa dan raga. Kelak, setelah aku berusaha dengan segala kemampuan yang ada, aku hanya perlu berharap kepada-Nya. Tuhan yang Maha Kuasa, Allah Subḥānahu wataʿālā.
Jika pada pandangan manusia ketidakmungkinan itu ada, maka bagi Allah sungguh tidak ada yang tidak mungkin, Allah Maha Kuasa atas dunia dan seisinya. Setelah itu, aku tidak khawatir dan berprasangka dalam takdir hidupku, juga Allah mampukan aku untuk segala pintaku. Allah beri kemudahan pada urusan yang tak terucap, Allah berikan kemudahan di waktu yang tepat.
Maka selama masih bisa berdoa kepada Allah Swt. Aku merasa tenang. Apa yang menjadi takdirku, tidak akan pernah melewatiku. Apa yang sudah tertakar tidak akan pernah tertukar.
Dengan segala kekuarangan dan ketidaktahuan yang ada padaku. Semoga tulisan ini sedikitnya memberikan kebaikan, menjadi penyembuh dan wasilah agar kita segera tumbuh dari keterpurukan.
[…] المصدر: [MFA2022] Janji Allah pada Hamba-Nya yang Berdo’a- Anisa Nurfitria – Nouman Ali Khan Indonesia […]
LikeLike