Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-488
Topik: Pearls from Al-Kahfi
Jum’at, 22 Oktober 2021
Materi VoB Hari ke-488 Pagi | Shifah dan Haal
Oleh: Heru Wibowo
#FridayAlKahfiWeek70Part1
Part 1
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Seorang pemimpin politik juga dianggap qayyim bagi bangsanya. Ini menegaskan bahwa qayyim juga berarti pemimpin.
Ada sebuah hadis yang menarik yang menceritakan bahwa menjelang berakhirnya dunia, jumlah wanita akan bertambah dan jumlah laki-laki akan semakin sedikit.
Bahkan hadis itu menyebutkan perbandingan jumlahnya: 50 wanita untuk 1 laki-laki.
وَيَقِلَّ الرِّجَالُ وَيَكْثُرَ النِّسَاءُ حَتَّى يَكُوْنَ لَلْخَمْسِيْنَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ
(Di antara tanda kiamat adalah) (jumlah) laki-laki menyusut dan (jumlah) wanita melimpah ruah, hingga jika ada lima puluh wanita, itu berbanding dengan seorang laki-laki. (HR Bukhari 6310)
Jika kita cermati hadis ini, kata yang digunakan adalah qayyim. Untuk 50 wanita, ada 1 qayyim.
Apa itu artinya? Untuk 50 wanita, ada satu orang yang bertanggung jawab, berkomitmen, bersih dan lurus.
Hadis ini tidak harus dipahami sebagai perbandingan populasi 50:1 yang merupakan rasio sebarang wanita dan sebarang laki-laki.
Al-qayyimul wahid di hadis ini memberi indikasi bahwa untuk 50 wanita hanya ada satu laki-laki yang pantas menjadi pemimpin.
Selanjutnya, masih membahas kata dan makna qayyim, manusia-manusia yang qayyim adalah manusia-manusia yang seimbang (balanced).
Kata qayyim ini menarik karena ketika dieja, dia adalah kata sifat (اسم صفة). Sedangkan dari sisi posisi gramatikalnya, dia adalah adverb atau haal (حَال).
Ketika sesuatu adalah sebuah haal, maka qayyiman tidak bersifat permanen. Tapi saat dieja, qayyim, dia adalah kata sifat yang permanen.
Al-Qur’an itu sendiri adalah imam, pemimpin, dan petunjuk yang lurus. Baik di masa lalu, masa kini, maupun di masa yang akan datang.
Tapi apakah Al-Qur’an akan kita jadikan sebagai pembimbing kita, itu adalah sebuah haal.
Dan apakah Al-Qur’an yang pernah kita jadikan sebagai pembimbing, akan tetap kita jadikan sebagai pembimbing di esok hari, itu adalah sebuah haal.
Insyaallah kita lanjutkan di part berikutnya.
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 18. Al-Kahf / 14. Al-Kahf (Ayah 2a) – A Deeper Look (13:20 – 17:15)
Materi VoB Hari ke-488 Siang | Al-Qur’an sebagai Muhaimin
Oleh: Heru Wibowo
#FridayAlKahfiWeek70Part2
Part 2
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Di bagian sebelumnya, kita membahas makna qayyiman dan qayyim. Sekarang, kita akan membahas komentar para sahabat tentang kata itu.
Imam Sya’rawi mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang lurus dan memberikan proteksi kepada naskah-naskah suci yang lain.
Apa itu artinya?
Di satu sisi, Al-Qur’an memberikan konfirmasi atas kebenaran yang ada di kitab-kitab suci sebelumnya.
Di sisi yang lain, Al-Qur’an menjadi filter atas hal-hal yang tidak benar atau menyimpang, serta melakukan koreksi atas hal-hal yang tidak benar atau menyimpang tadi.
Tidak ada salahnya mempelajari Taurat dan Injil jika kita memiliki sikap yang tepat, dan bekal yang cukup.
Bekal yang cukup artinya adalah bahwa kita sudah memahami Al-Qur’an sampai di level tertentu.
Sikap yang tepat bukan berarti bahwa kita mempelajari kitab-kitab sebelumnya itu, untuk mendapatkan kemiripan Al-Qur’an dengan naskah-naskah suci yang lain tadi.
Sikap yang tepat artinya kita mempelajari bagaimana Al-Qur’an menjadi proteksi atas kebenaran yang telah mengalami distorsi di dalam naskah kitab-kitab sebelumnya.
Ketika ada kemiripan atau kesamaan gagasan dengan kitab-kitab yang lain, kita menerima dan menyetujui bagian itu.
Dan ketika ada gagasan dari kitab yang lain yang tidak sama atau bahkan bertolak belakang dengan Al-Qur’an, kita akan menjadi “sangat vokal” menyoroti bagian itu.
Salah satu peran yang paling penting dari Al-Qur’an adalah bahwa Al-Qur’an itu muhaimin.
Artinya, Al-Qur’an melindungi integritas dari nabi-nabi sebelumnya. Bukan hanya naskah-naskah sucinya, tapi juga nabi-nabinya.
Insyaallah kita lanjutkan di part berikutnya.
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 18. Al-Kahf / 14. Al-Kahf (Ayah 2a) – A Deeper Look (17:15 – 20:02)
Materi VoB Hari ke-488 Sore | Distorsi di Kitab yang Lain
Oleh: Heru Wibowo
#FridayAlKahfiWeek70Part3
Part 3
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Al-Qur’an sangat teliti dalam menceritakan kisah nabi-nabi, sementara kitab yang lain justru berisi distorsi di sana-sini.
Salah satu contoh yang paling “menakjubkan” adalah kisah Thalut, Jalut, dan Dawud ‘alayhis salaam. Di Al-Qur’an, kisahnya berawal di ayat 249 surah Al-Baqarah.
Di kitab yang lain, dikisahkan bahwa Thalut memiliki anak. Saat menyeberangi sebuah sungai, Thalut meminta supaya tidak meminum air sungai itu.
Sampai di sini, ceritanya masih sejalan.
Tapi di kitab yang lain itu, dikisahkan bahwa Thalut meminta anaknya dan pasukannya untuk berpuasa. Bagian ini mulai kurang akurat.
Lalu anaknya berpikir bahwa permintaan Thalut adalah permintaan yang gila dan tidak logis, “Tanpa minum, bagaimana bisa mengalahkan musuh?”
Singkat cerita, di kitab yang lain itu, kemenangan berhasil diraih sambil menyalahkan Thalut, “Untung saja kita minum. Untung saja kita tidak mengikuti permintaan Thalut yang gila dan tidak logis itu.”
Al-Qur’an datang dan mengoreksi bagian-bagian cerita itu. Thalut tidak pernah meminta mereka untuk berpuasa.
Thalut hanya meminta mereka untuk tidak minum di sungai itu. Faman syariba minhu falaysa minnii (“Siapa yang minum air sungai ini, dia bukanlah pengikutku.”)
“Tidak minum di sungai itu” adalah sebuah ujian. Dan sebagian besar pengikut Thalut gagal menjalani ujian itu.
Jadi apa distorsi di kitab yang lain terkait kisah ini?
Pertama, kitab yang lain itu mengangkat kegagalan mereka dalam menjalani ujian itu justru sebagai keberhasilan. “Untungnya kita minum, makanya kita menang.”
Kedua, kitab yang lain itu mengubah nasihat Thalut untuk tidak minum air di sungai itu sebagai nasihat yang buruk.
Distorsi seperti ini, yang ada di kitab yang lain itu, kurang baik. Distorsi seperti ini membuat Thalut dan para nabi menjadi kurang dihargai nasihatnya.
“Para nabi memang orang suci. Tapi nasihat mereka kadang gila dan tidak masuk akal. Kita tidak harus mengikuti nasihat itu. Kita bisa berpikir apa yang terbaik untuk diri kita sendiri.”
Gagasan ini berbahaya. Setiap kali ada pernyataan dari para nabi, muncul sikap yang mempertanyakan.
Al-Qur’an mengajarkan hal yang “jelas dan terukur” terkait hubungan kita dengan para nabi.
Sami’naa wa atha’naa. “Kami mendengar dan kami taat.”
Fattaqullaaha wa athii’uun. Kita bertakwa kepada Allah dan kita juga taat kepada para nabi.
Insyaallah kita lanjutkan pekan depan.
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 18. Al-Kahf / 14. Al-Kahf (Ayah 2a) – A Deeper Look (20:02 – 22:34)
Penutup
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahaya-Nya.
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiara-Nya.
Jazakumullahu khairan
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah