Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-386
Topik: Pearls from Juz ‘Amma
Senin, 12 Juli 2021
Materi VoB Hari ke-386 Pagi | For Those Who Ask Questions
Oleh: Heru Wibowo
#MondayJuzAmmaWeek56Part1
Part 1
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Apa yang terjadi di berbagai belahan dunia?
Ustaz pernah tinggal di beberapa belahan dunia. Ustaz bisa menyatakan dengan penuh keyakinan setidaknya tentang apa yang terjadi di belahan dunia di mana Ustaz berasal.
Di Asia Selatan, jika ada yang membaca Al-Qur’an, lalu memikirkan isinya, atau memikirkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, setan akan buru-buru mendatangi.
Mengapa?
Karena kita mulai bertanya-tanya tentang bagaimana caranya menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan kita.
Setan mulai membisiki kita bahwa kita bisa salah memahami Al-Qur’an. Dan kalau kita salah memahami Al-Qur’an, bukannya kita menjadi terbimbing, tapi kita justru akan tersesat.
Lalu setan menambahkan bumbu bisikannya, “Biarkan Ulama saja yang memahami Al-Qur’an. Kamu cukup membacanya saja.”
“Berani-beraninya kamu mencoba memahami Al-Qur’an. Berani-beraninya kamu memikirkan isi Al-Qur’an. Apa kualifikasimu?”
Kapan An-Nazi’at turun? Saat Rasulullah masih di Makkah. Artinya, audiens yang dihadapi Rasulullah adalah orang-orang yang belum memeluk Islam. Non muslim.
Lalu bagaimana ceritanya orang-orang yang non muslim saat itu akhirnya menyatakan dirinya masuk Islam?
Karena mereka mendengarkan ayat-ayat-Nya. Tentu saja bukan seperti kita, yang mendengarkan tapi tidak otomatis memahami.
Mereka paham apa yang mereka dengarkan. Mereka memikirkan dan merenungkan ayat-ayat yang menyentuh jiwa itu.
Mereka tidak bisa lagi menahan diri. Mereka begitu terpana. Mereka begitu terkesima. Lalu … masuklah mereka ke dalam pelukan Islam.
Umar bin Khattab pun begitu. Saat itu kemarahannya mendadak reda. Jiwanya bergetar tersentuh ayat-ayat Al-Qur’an..
Apakah Sayyidina Umar saat itu sudah menguasai ilmu tajwid?
Belajar ilmu tajwid itu bagus dan sangat dianjurkan. Tapi ilmu tajwid bukanlah syarat untuk memikirkan dan merenungkan Al-Qur’an.
Maksudnya, jangan sampai kita terkecoh jika ada orang yang membuat pernyataan, “Tidak sah memikirkan dan merenungkan Al-Qur’an kalau belum menguasai ilmu tajwid.”
Al-Qur’an sendiri tidak pernah membuat pernyataan tentang persyaratan seperti itu. Al-Qur’an justru menyatakan aayaatul lissaa-iliin.
Apa artinya?
Al-Qur’an adalah ayat untuk orang-orang yang mengajukan pertanyaan. For those who ask questions.
Kapan kita mengajukan pertanyaan? Saat kita tidak paham. Atau, saat kita merasa tidak begitu jelas.
Kapan kita mengajukan pertanyaan? Saat kita ingin tahu. Saat kita bertanya-tanya, “Apa manfaat ayat ini untuk hidupku?”
Kapan kita mengajukan pertanyaan? Saat kita penasaran dengan pesan Allah yang terkandung di dalam ayat-ayat-Nya.
Kita seharusnya mendatangi Al-Qur’an dengan sejumlah pertanyaan.
Asumsi kita biasanya adalah bahwa orang yang sudah pernah belajar Al-Qur’an dan mendapatkan ijazah Al-Qur’an, dia pasti punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita.
Benarkah asumsi ini?
Insyaa Allaah kita lanjutkan di part berikutnya.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 79. An-Nazi’at / 01. An-Nazi’at (Ayah 1-11) – A Concise Commentary (14:58 – 17:00)
Materi VoB Hari ke-386 Siang | Sikap Seorang Pembelajar Al-Qur’an
Oleh: Heru Wibowo
#MondayJuzAmmaWeek56Part2
Part 2
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Asumsi itu tidak tepat. Semua manusia, jika pun ia menyelam ke semua samudra Al-Qur’an, yang berhasil dibawa hanyalah beberapa tetes saja.
Kita semua berhak untuk punya kerendahhatian terhadap ayat-ayat Allah. Nothing supersedes the words of Allah.
Tidak ada yang melebihi kata-kata Allah. Tidak ada yang dapat menggantikan kata-kata Allah.
Setelah ayat-ayat-Nya, di tingkatan berikutnya adalah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Kalau kita, bagaimana? Bagaimana dengan kata-kata kita? Yang bisa kita ucapkan adalah sami’naa wa atha’naa. “Kami mendengar dan kami taat”.
Apakah ada kata-kata yang lain setelah itu? Ya, ada. “Ya Allah, apa yang Engkau katakan? Beri aku pemahaman supaya aku dapat menangkap pesan-pesan-Mu”.
Itulah obsesi kita. Itulah yang kita minta. Dan mari kita ucapkan permintaan kepada Allah itu dengan setulus hati.
Itulah kenapa saat ini kita punya sejarah tafsir yang sangat beragam. Itulah kenapa kita punya begitu banyak interpretasi Al-Qur’an.
Karena banyak yang telah secara tulus mencoba memahami dan menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.
Tentu saja ada kritik yang ditujukan kepada mereka. Tentu saja ada adu argumentasi di antara mereka.
Dan yang seperti itu akan terus berlangsung. Karena itulah sifat alami dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan berkembang dan mengalami proses kritik (critique), menyaring (refine), meninjau ulang (revisit), dan menambah (enhance).
“Ini sudah pernah diteliti. Kita tidak perlu melakukan tinjauan ulang terhadapnya. Sudah paten ini.”
Tidak seperti itu. Sikap ilmiah justru membuat kita kembali menelitinya. Memikirkan dan merenungkan ulang.
Saat kita meneliti ulang, mungkin kita mendapatkan hasil yang sama dengan apa yang sudah pernah diteliti di masa lalu.
Apakah berarti usaha kita sia-sia? Tidak. Kita menjadi makin yakin dan pengetahuan itu menjadi makin mantap.
Saat kita meneliti ulang, juga ada kemungkinan penemuan yang baru. Yang lebih rinci. Yang lebih dalam, dari penelitian sebelumnya.
Wahyu yang Allah turunkan disebut “ayat”. Semua ciptaan Allah juga disebut “ayat”. Keduanya berhak diteliti.
Yang penting adalah semangat dan sikap kita untuk rajin memikirkan, merenungkan, dan mengajukan pertanyaan.
Pembelajar Al-Qur’an yang memiliki integritas tidak akan membuat pernyataan seperti ini, “Saya sudah membaca ayatnya dan rasanya ayat itu maksudnya adalah seperti ini.”
Pembelajar Al-Qur’an tidak menggunakan perasaannya untuk memahami ayat-ayat-Nya.
Pembelajar Al-Qur’an bekerja keras … melakukan penelitian secara tulus dan bersungguh-sungguh.
Yang paling penting adalah memiliki sikap yang tepat, “Ini adalah kata-kata dari Rabb-ku. Aku akan mendatanginya dengan penuh kerendahhatian. Aku akan pikirkan dan renungkan melalui penelitian yang mendalam …”
Insyaa Allaah kita lanjutkan di part berikutnya.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 79. An-Nazi’at / 01. An-Nazi’at (Ayah 1-11) – A Concise Commentary (17:00 – 19:05)
Materi VoB Hari ke-386 Sore | It Fits Like a Glove
Oleh: Heru Wibowo
#MondayJuzAmmaWeek56Part3
Part 3
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
I don’t want to bend the words of Allah to what I wanted to mean. I want to bend myself to what I find most convincing.
“Aku tidak ingin membelokkan kata-kata Allah mengikuti makna yang aku inginkan. Aku ingin membelokkan diriku sendiri mengikuti kata-kata Allah yang (setelah melalui penelitian yang tulus dan sungguh-sungguh), aku dapati paling meyakinkan.”
Ini seharusnya menjadi sifat alami dari hubungan kita dengan Kitab Allah. Semoga Allah memberi kita ketulusan dalam petualangan kita memahami Kitab-Nya.
Menurut Bintusy Syathi’, makna yang paling meyakinkan dari An-Nazi’at adalah kuda-kuda yang ditunggangi perampok.
Di Arab, saat itu, satu desa atau satu kota kecil, diserang dan dirampok oleh kota yang lain tepat di tengah malam.
Merampok itu tidak dilakukan dengan menggunakan keledai. Merampok itu dilakukan dengan menggunakan kuda.
Merampok itu dilakukan secepat kilat sehingga para perampok bisa segera melarikan diri di tengah malam itu juga.
Bintusy Syathi’ lebih yakin dengan makna ini daripada makna yang lain seperti orang-orang yang sedang berperang di jalan Allah.
Bintusy Syathi’ tidak sependapat dengan Zamakhsyari dan yang lainnya, yang berpendapat bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang beriman yang berjuang di jalan Allah, menggunakan kuda-kuda mereka untuk menghadapi musuh.
Apa alasan Bintusy Syathi’?
Mereka terlalu dipengaruhi oleh gagasan bahwa jika Allah bersumpah demi sesuatu, maka itu pasti sesuatu yang suci, yang mulia, yang terhormat.
Itulah mengapa para penunggang kuda haruslah orang yang suci. Bukan orang kafir. Bukan para perampok. Menurut mereka.
Itulah mengapa menurut mereka, kata Bintusy Syathi, ayat ini adalah tentang para pejuang muslim dan derap langkah kuda memerangi musuh.
Mereka terinspirasi dengan sumpah Allah dan kesuciannya sehingga menginterpretasikan ayat ini sebagai mujahidin yang sedang gigih berjuang.
Lalu Bintusy Syathi’ berargumen, “An-Nazi’at kan turun di Makkah. Di Makkah tidak ada muslim yang menggunakan kuda yang berangkat berperang.”
Pada saat ayat ini diperdengarkan, tidak ada satu muslim pun yang tahu bahwa mereka akan berangkat berperang dengan berkuda.
Ayat-ayat yang turun di Makkah itu temanya adalah tentang bersabar dalam perjuangan dakwah Islam.
Al-Qur’an tidak menyebutkan, “Tunggu tujuh atau delapan tahun lagi, kalian akan mengendarai kuda dan berperang.”
Ayat-ayat yang turun di Makkah tidak membahas tentang adanya dua tanah: Makkah dan Madinah.
Ayat-ayat yang turun di Makkah tidak bercerita tentang akan adanya Perang Badar, Perang Uhud, atau Perang Ahzab.
Lalu ada yang berpendapat, Allah kan Maha Mengetahui. Meskipun masih di Makkah, Allah tahu bahwa perang-perang itu nantinya akan terjadi.
Bintusy Syathi’ menanggapi, pendapat itu tidak masuk akal, karena ayat-ayat yang turun di Makkah tidak membuat ekstrapolasi tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Ayat-ayat makkiyyah fokusnya adalah mendakwahi orang-orang Makkah kepada kebenaran, sesuai dengan apa yang telah dan sedang mereka alami.
Merenungkan keberadaan langit, bumi, matahari, dan bulan. Apa yang ada di sekeliling mereka.
Bintusy Syathi’ menegaskan bahwa yang Allah sebutkan adalah sesuatu yang sudah mereka lihat. Sesuatu yang sudah mereka alami. Bukan sesuatu yang belum pernah mereka lihat. Bukan sesuatu yang belum pernah mereka dengar.
Seorang guru yang baik akan memberikan contoh yang tepat dan mengena sehingga muridnya makin mudah memahami pelajarannya.
Itulah yang Allah lakukan. Allah memberi contoh yang nendang sehingga audiens yang mendengarkan langsung ngeh dengan contoh itu.
“Tidak masuk akal Al-Qur’an bicara tentang sesuatu yang tidak terlihat atau tidak jelas, yang membuat bingung, yang membuat pendengarnya bertanya-tanya.”
Contoh yang mirip dengan ayat ini ada di surah Al-‘Adiyat. Bercerita tentang sesuatu yang jelas. Bukan tentang sesuatu di masa depan yang tidak jelas.
Lalu kenapa Ustaz lebih condong dengan pendapat Bintusy Syathi’ ini? Karena ayat-ayat setelahnya klop dengan interpretasi ini seperti tangan kita masuk ke sarung tangan. It fits like a glove.
Insyaa Allaah kita lanjutkan minggu depan.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 79. An-Nazi’at / 01. An-Nazi’at (Ayah 1-11) – A Concise Commentary (19:05 – 23:38)
Penutup
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahaya-Nya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiara-Nya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah
[…] المصدر: [VoB2021] For Those Who Ask Questions – Nouman Ali Khan Indonesia […]
LikeLike