Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-339
Topik: Pearls from Ali Imran
Rabu, 26 Mei 2021
Materi VoB Hari ke-339 Pagi | Seimbang Duniawi Ukhrawi
Oleh: Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek49Part1
Part 1
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Manusia punya sifat alami dalam dirinya. Seorang pendeta boleh menikah tapi seorang pastor harus hidup selibat alias tidak menikah dan hidup membujang.
Manusia punya kebutuhan ukhrawi dan kebutuhan duniawi. Gereja Katolik masih menyangkal kebutuhan duniawi dari para pastornya.
Allah Maha Tahu. Allah, yang menciptakan manusia, tahu persis soal ini. Allah telah menganugerahkan kepada manusia kemampuan untuk menjaga keseimbangan dari dua kebutuhan itu. Kebutuhan ukhrawi dan kebutuhan duniawi.
Islam itu indah. Ajarannya tidak membuang kebutuhan dasar manusia. Dua kebutuhan itu dijaga dalam keseimbangan.
Adakah ajaran agama lain selain Islam yang menyatakan bercumbunya seorang laki-laki dan hubungan intimnya dengan istrinya, itu adalah sebuah aktivitas ibadah?
Seorang laki-laki, yang sekaligus seorang kepala keluarga, bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, itu juga sebuah aktivitas ibadah.
Padahal dia makan dan minum dari uang itu. Padahal istrinya juga makan dan minum dari uang itu. Padahal anak-anaknya juga makan dan minum dari uang itu. Tapi itu semua adalah aktivitas ibadah ketika semua prosesnya dijalankan secara halal.
Anda tersenyum dengan seseorang. Anda menunjukkan perilaku yang dapat diterima secara sosial. Anda menghormati dan menghargai semua orang. Anda menjalin pertemanan. Itu semua adalah hal yang “biasa saja” dan “lumrah”. Tapi itu semua menjadi shadaqah dalam Islam dan, tentu saja, berpahala.
Seorang laki-laki menikahi wanita yang dia sukai. Perbuatan menikahi itu pun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qurthubi, telah menyempurnakan separuh dari agama ini. Itu juga termasuk ibadah.
Mungkin aneh ketika kita melihat kenyataan yang ada saat ini. Maksudnya, masyarakat secara umum. Menikah ya menikah aja. Seakan-akan menikah bukanlah sebuah pengalaman spiritual.
Tapi dalam Islam tidak seperti itu. Menikah bukan hal yang biasa. Bukan pengalaman yang biasa. Itu adalah sebuah bentuk ibadah.
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da zhuhur.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 07. Ali ‘Imran Ayah 19 (12) Ramadan 2018 (24:00 – 26:01)
Materi VoB Hari ke-339 Siang | Harmoni dan Keadilan
Oleh: Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek49Part2
Part 2
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Aktivitas paling spiritual yang dilakukan seorang muslim dalam hidupnya adalah ibadah haji. Untuk sekian hari lamanya di tanah suci, dia melupakan kehidupan dunianya.
لَیۡسَ عَلَیۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُوا۟ فَضۡلࣰا مِّن رَّبِّكُمۡۚ
فَإِذَاۤ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَـٰتࣲ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ
وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمۡ
وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّاۤلِّینَ
Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu. Maka apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu. (QS Al-Baqarah, 2:198)
Ada barang dagangan yang kita bawa. Kita jual di tanah suci. Barangnya laku. Kita mendapatkan uang dari transaksi di tanah suci. Itu tidak masalah juga.
Islam memang agama yang seimbang.
Ajaran agamanya penuh keseimbangan.
Mungkin ada yang heran dengan ibadah haji tadi. Yang seharusnya menjadi perjalanan spiritual. Seratus persen spiritual. Tidak dicampuri oleh hal-hal yang bersifat material.
Tapi Allah tidak bilang begitu. Allah tidak melarang mereka yang menunaikan ibadah haji untuk juga mengadakan aktivitas bisnis.
Di zaman dulu suasananya lebih semarak dibandingkan sekarang. Maksudnya suasana para pengunjung Baitullah yang berdagang.
Saat tawaf, di antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, di antara doa yang dibaca adalah rabbanaa aatinaa fiddunya hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaabannaar.
Mengapa doanya tidak langsung saja ke wa fil aakhirati hasanah?
Doa ini sesuai dengan fakta bahwa Allah mengizinkan mereka yang menunaikan ibadah haji untuk menjalankan aktivitas bisnis.
Itulah keadilan agama ini. Itulah indahnya Islam. Spiritualitas Islam tidak mengabaikan kenyataan akan kebutuhan duniawi.
Islam juga tidak mengajarkan materialisme yang melupakan spiritualisme. Islam memadukan keduanya secara harmonis.
Keadilan dan harmoni itu, hanya Allah yang bisa menciptakannya. Dan inilah yang dibicarakan di ayat berikutnya.
Allah selalu menekankan keadilan. Kita meyakini itu. Qaa-iman bil qisth. Allah Mahaadil. Yang mengenal Allah sangat paham hal ini.
Salah satu dari 99 nama-Nya adalah Al-’Adl. Allah Mahaadil. Maka ketika Allah menciptakan kita dan juga dunia ini, sifat adil itu melekat pada ciptaan-Nya.
Maka tidak mengherankan jika seluruh umat manusia selalu condong kepada keadilan sebagai sebuah sifat yang melekat pada diri mereka.
Jika kita pernah membaca artikel tentang etika internasional, maka kita akan menemukan sebuah hal yang menarik yang terkait dengan realitas antropologi.
Yaitu bahwa seluruh manusia itu, apa pun latar belakangnya, di benua mana pun mereka tinggal, semuanya menginginkan kehidupan yang diliputi rasa keadilan.
Bahkan Fir’aun juga begitu. Maksudnya Fir’aun dari generasi ke generasi. Ayah Fir’aun, kakek Fir’aun, mereka semua berpikir bahwa mereka sedang berupaya untuk menciptakan keadilan. Tentu, keadilan versi mereka sendiri.
Jika ada ketidakadilan yang terjadi di suatu negeri, dan ketidakadilan itu sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, maka negeri itu akan didorong secara sangat kuat oleh rakyatnya, untuk kembali menuju kepada keadilan.
Tidak jarang “dorongan rakyat yang sangat kuat” itu bisa membentuk sebuah negara yang baru. Dan dalam proses terbentuknya negara baru itu, apa kata-kata yang selalu diteriakkan oleh rakyat secara berulang-ulang?
”Justice! Justice! Justice!”
“Keadilan! Keadilan! Keadilan!”
Mengapa seperti itu? Karena desakan rakyat itu, suara hati rakyat itu, beresonansi dengan kata itu: keadilan.
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da ‘ashar.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 07. Ali ‘Imran Ayah 19 (12) Ramadan 2018 (26:01 – 28:07)
Materi VoB Hari ke-339 Sore | Profesor Jerald Dirks dan Shining Muslims
Oleh: Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek49Part3
Part 3
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Islam adalah agama yang punya spirit keadilan. Dan Islam adalah agama yang diterima oleh Allah. Innnaddiina ‘indallaahil islaam.
Ada kisah di balik ayat yang sedang kita bahas ini. Sekitar 60 atau 70 orang dari kaum Kristen Najran datang menemui Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam. Sebenarnya ada dua orang yang menemui Rasulullah, mewakili delegasi itu.
Delegasi ini datang dengan dua agenda. Pertama, mendengar apa yang ingin dikatakan Rasulullah. Kedua, mengatakan apa yang mereka ingin utarakan dengan harapan Rasulullah bisa tertarik untuk bergabung mengikuti agama mereka.
Apa yang dikatakan Rasulullah kepada mereka?
Aslima. Terimalah, peluklah, masuklah ke dalam agama Islam.
Apa jawab mereka?
Qad aslamna qablak. Kami sudah menerima Islam, kata mereka.
Yang mereka maksud sebenarnya bukan itu. Yang mereka maksud adalah: mereka telah menerima Allah sebagai tuhan mereka. Tunduk dan patuh kepada Allah, serta melayani Allah, versi mereka. Qad aslamna qabla dzalik.
Rasulullah dengan tegas mengatakan, kadzabtuma. “Kalian berdua bohong. Yang kalian katakan itu tidak benar.”
Selanjutnya Rasulullah mengatakan, “Kalian telah menerima bahwa Allah memiliki anak, itulah yang membuat kalian sebenarnya belum tunduk kepada Tuhan.”
Mereka percaya bahwa “anak Tuhan” itu telah berkorban untuk mereka. Dan mereka tidak perlu berkorban seperti itu. Mereka cukup mempercayai pengorbanan anak Tuhan tadi. Itu telah cukup untuk mereka.
Keyakinan mereka yang seperti itulah yang membuat mereka tertahan untuk benar-benar tunduk kepada Allah.
Yang menjadi masalah adalah keyakinan mereka atas pengorbanan Yesus itu. Keyakinan itu menjadi root cause atau akar masalah dari ketidaktundukan mereka kepada Allah.
“Yesus adalah juru selamat.” Itu adalah gagasan mereka. Menurut beberapa riwayat, ketika mereka menyatakan “pembelaan” terhadap Yesus itu, ayat ini turun. Innaddiina ‘indallaahil Islaam.
Tidak ada keraguan lagi bahwa agama yang benar-benar agama, yang diterima di sisi Allah, yang mencerminkan ketundukan yang sebenarnya, adalah Islam.
Sekali lagi, gagasan kebenaran Islam ini dibangun di atas fondasi rasa keadilan. Karena sekarang dunia bisa merasakan ketidakadilan yang dibangun atas nama Yesus di seluruh dunia.
Salah satu contohnya adalah Joseph Atwill. Yang pernah menulis buku Caesar’s Messiah. Atwill berpendapat bahwa karakter alkitabiah Yesus Kristus adalah representasi tipologis dari Kaisar Romawi Titus.
Banyak kekurangajaran dan kelancangan yang terjadi yang bermuara ke sebuah pertanyaan tentang rasa keadilan.
Di awal-awal penyebaran Islam, sebelum agama Islam tersebar, sebelum komunitas Islam tersebar, yang lebih dahulu tersebar adalah rasa keadilan dari kaum muslimin itu sendiri.
Para pedagang muslim itu begitu jujur, begitu polos. Begitu nyata rasa keadilan dari cara mereka berdagang.
Di awal-awal penyebaran Islam, masyarakat luas percaya pada dua hal: para pedagang muslim, dan barang dagangan mereka.
Para pedagang muslim itu pintar membawa diri. Para pedagang muslim itu membawa misi rasa keadilan yang didasarkan pada kerendahhatian mereka di hadapan Allah.
Saat itu, masyarakat umum belum pernah ada yang pernah melihat pedagang-pedagang sejujur itu.
Bicara soal “pedagang-pedagang yang jujur”, Ustaz teringat dengan kisah Profesor Jerald Dirks.
Dr. Jerald Dirks berasal dari negara bagian Kansas di Amerika Serikat. Beliau adalah anak tertua dari dua anak. Dilahirkan dan dibesarkan di sana, negara bagian Kansas itu.
Beliau adalah sarjana lulusan Harvard. Lalu beliau melanjutkan ke program pascasarjana, lulus sebagai Master of Divinity dari Harvard juga.
Beliau juga Master of Arts di bidang psikologi klinis anak (child clinical psychology) dari University of Denver.
Akhirnya beliau juga menyelesaikan S3 beliau dan menjadi Doktor di bidang psikologi khususnya psikologi klinis dari University of Denver.
Ibunda beliau adalah seorang perawat dan ayah beliau adalah seorang buruh yang melakukan pekerjaan perakitan.
Adik laki-lakinya satu-satunya adalah seorang sarjana di dua disiplin ilmu, menjadi pekerjaan kantoran hingga dia meninggal dunia.
Beliau hidup di keluarga yang penuh kehangatan dan punya banyak memori yang spesial khususnya dengan kakek beliau yang tinggal di sebuah wilayah peternakan.
Kakek beliau sangat-sangat hangat, penuh kasih, dan suka bermain baseball dengan beliau. Profesor Jerald Dirks sangat dekat dengan kakek beliau.
Jerald kecil dibesarkan di “dunia yang berbeda” dengan dunia yang kita saksikan sekarang. Saat Jerald kecil, keluarganya dan tetangga-tetangganya tidak pernah mengunci pintu rumah mereka.
Sekalipun keluarga-keluarga itu pergi liburan selama satu atau dua minggu, mereka tetap saja tidak mengunci rumah mereka.
Benar-benar sebuah komunitas yang berbeda dengan yang kita saksikan atau kita alami sekarang ini.
Beliau adalah seorang pendeta Kristen yang khotbahnya di Colorado dihadiri oleh ribuan jemaat. Selalu ribuan yang hadir di setiap akhir pekan.
Beliau biasa berbelanja di sebuah toko kelontong. Seorang muslim Arab melayani beliau di toko itu. Beliau merasa bersyukur karena beliau bertemu “orang yang tepat”.
Mengapa beliau bilang begitu?
Di Amerika Serikat, secara periodik dilakukan inspeksi terhadap timbangan di toko-toko atau tempat penjualan yang menggunakan timbangan.
Setiap timbangan pasti punya margin kesalahan (margin of error). Sehingga saat menimbang kentang atau tomat, misalnya, timbangannya tidak secara tepat menunjukkan gram atau kilogram berat yang seharusnya.
Derajat kesalahan timbangan itu mungkin saja 0,5 persen. Tidak ada timbangan yang seratus persen akurat.
Di negara-negara seperti Pakistan atau Indonesia, kadang-kadang kita menyaksikan pedagang yang tidak jujur. Ada yang menaruh berat di sisi timbangan barang yang akan dibeli.
Saat timbangan masih mengayun dan belum benar-benar berhenti dan mencapai titik keseimbangan, pedagang itu sudah mengangkat kentang atau tomat yang dibeli.
Padahal it’s still swinging, timbangannya masih berayun tapi pedagang itu begitu pede membungkus barang yang dibeli. Seakan-akan timbangannya sudah akurat.
Itu adalah yang terjadi di negara-negara atau di masyarakat yang masih cukup “terbelakang” dalam hal teknologi maupun dari segi moral.
Apakah ada toleransi dalam kebijakan pemerintah terkait margin kesalahan tadi? Jika ada, berapa persen yang masih diperbolehkan?
Pemerintah Amerika Serikat menetapkan margin kesalahan sebesar 5 persen, dengan keuntungan di sisi penjual (favoring the seller).
Dengan kata lain, penjual diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari barang dagangannya, yang beratnya maksimal kurang 5 persen saat ditimbang.
Seorang petugas inspeksi telah memeriksa timbangan dari pedagang muslim Arab tadi dan menyatakan bahwa timbangannya oke. Artinya, timbangannya berada di bawah margin of error yang lima persen tadi.
Pedagang muslim Arab tadi bilang bahwa sebenarnya dia lebih suka jika yang maksimal 5 persen tadi menguntungkan pembeli, bukannya penjual.
Pernyataannya membuat Profesor Jerald berkomentar, “Mengapa kamu bilang begitu? Bukankah pemerintah telah mengizinkan kamu untuk mengambil untung dari kesalahan timbangan yang maksimal lima persen itu?”
“Iya, betul, pemerintah mengizinkan tapi Allah tidak,” kata si pedagang itu.
Subhaanallaah.
Pernyataan si pedang muslim Arab itu di luar dugaan Profesor Jerald. He was in shock. Profesor Jerald merasa heran.
“Mengapa dia punya kesadaran seperti itu? Mengapa perasaan keadilannya di hadapan Allah begitu nyata, begitu kuat?”
Peristiwa itu membuat Profesor Jerald makin tertarik dengan Islam.
Pedagang muslim Arab itu punya rasa keadilan (sense of justice) yang luar biasa. Adil sebagai seorang penjual. Adil terhadap pembeli atau pelanggan tokonya.
Tentu saja, pedagang muslim Arab itu bukanlah momen pertama Profesor Jerald terkesan dengan Islam.
Pak Jerald dan istrinya saat itu beternak kuda Arab. Kuda-kuda Arab itu datang beserta dokumen testimoni keaslian kuda-kuda Arab itu, tentu saja dalam bahasa Arab.
Maka mereka berdua perlu seseorang yang bisa menerjemahkan bahasa Arab itu ke bahasa Inggris.
Ada seorang muslim Arab yang tinggal di Denver, Colorado, dan bersedia untuk menerjemahkan dokumen testimoni tadi.
Pemuda muslim Arab tadi berkunjung ke peternakan dan melihat kuda-kudanya. Pemuda yang hangat dan menyenangkan. Hasil kerjanya juga mengagumkan.
Suatu saat pemuda Arab tadi melirik arlojinya dan bilang, “Wah, Pak Jerald, nampaknya saya perlu salat sekarang. Bolehkah saya pinjam kamar kecil untuk wudhu’?”
Pak Jerald mengangguk, mengiyakan.
Setelah keluar dari kamar kecil, pemuda itu melihat ke arah koran yang terlipat. “Bolehkah saya membuka lipatan koran itu, menghamparkannya di lantai untuk saya gunakan alas salat?”
Pak Jerald dan istrinya kembali mengizinkan, “Tentu saja, silakan digunakan.”
Sebelum-sebelumnya pemuda muslim Arab itu tidak pernah bilang, “Saya adalah seorang muslim dan Anda bukan muslim”.
Dia juga tidak pernah memberi khotbah atau ngoceh soal Islam. Tapi yang membuat Pak Jerald terkesan adalah contoh perilaku (behavioral example) yang mengesankan dan menggoreskan kenangan yang baik di hati Pak Jerald.
Jamal, pemuda muslim Arab itu, akhirnya mengundang Pak Jerald dan istrinya ke rumahnya. Selanjutnya Jamal memperkenalkan Pak Jerald ke sekitar enam keluarga muslim yang tinggal di Denver.
Enam bulan berikutnya, keluarga Pak Jerald lebih sering bergaul dengan keluarga-keluarga muslim itu, dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang non muslim.
Pak Jerald sangat terkesan dengan keluarga-keluarga muslim ini, dan dengan cara hidup mereka.
Pak Jerald berujar, “Alhamdulillah, pertama kali saya mengenal umat Islam adalah dengan contoh yang cemerlang tentang bagaimana menjalani Islam.”
Shining examples of how to live Islam.
Makin Pak Jerald bergaul dan menyaksikan cara hidup keluarga-keluarga muslim ini, makin Pak Jerald heran, “Apa yang bisa membuat hidup mereka seperti itu?”
Dari situlah Pak Jerald kembali membuka semua buku tentang Islam yang sebenarnya pernah dipelajarinya.
Pak Jerald membacanya kembali. Tapi, kali ini, Pak Jerald bukan membacanya supaya lulus mata kuliah. Kali ini, Pak Jerald membaca buku-buku itu, ada sekitar delapan buku yang dibaca, sambil merenungkan, bagaimana keluarga-keluarga muslim yang baru dikenalnya itu, bisa hidup dengan cara hidup yang mengesankan itu.
Setelah itu Pak Jerald mulai membaca terjemah Al-Qur’an. Terjemahan Yusuf Ali dan juga terjemahan Marmaduke Pickthall. Dan juga lainnya. Pak Jerald mengaku bahwa beliau adalah tipe orang yang tidak bisa mengandalkan satu terjemahan saja.
Makin membaca terjemahan-terjemahan itu, Pak Jerald makin terdorong untuk bertanya, “Apa bedanya agama Islam ini dengan agamaku?”
Setelah lulus dari Harvard Divinity School dan setelah ditahbiskan menjadi pendeta di the United Methodist Church, Pak Jerald tahu apa yang dikatakan naskah paling awal dari Alkitab.
Pak Jerald juga tahu tentang sejarah awal gereja. Oleh karenanya, Pak Jerald tidak percaya pada trinitas. Pak Jerald tidak percaya bahwa Yesus adalah anak Tuhan.
Pak Jerald sudah melihat kebenaran Islam, tapi saat itu Pak Jerald tidak ingin “menyerah”. Tidak ingin kehilangan identitasnya sebagai seorang penganut Kristen.
Atypical Christian. Orang Kristen yang tidak normal. Itulah anggapan Pak Jerald terhadap dirinya sendiri, saat itu.
Jika Pak Jerald ditanya, “Apakah Anda percaya bahwa hanya ada satu Tuhan?” Jawab beliau adalah, “Ya, saya percaya.”
Jika Pak Jerald ditanya, “Apakah Anda percaya bahwa Muhammad adalah utusan-Nya?” Jawab beliau adalah, “Ya, saya percaya.”
Tapi jika Pak Jerald ditanya, “Apakah Anda adalah seorang muslim?” Jawab beliau adalah, “Saya bukan seorang muslim. Saya adalah seorang Kristen yang tidak normal.”
Setelah itu, Ramadan datang dan Pak Jerald berkata kepada diri sendiri, “Teman-temanku yang dari keluarga-keluarga muslim itu berpuasa. Aku juga akan berpuasa.”
Tidak lama kemudian Pak Jerald salat lima waktu, tapi dalam bahasa Inggris. Apa yang Pak Jerald rasakan setelah melakukan salat? Spiritually rewarding. Bermanfaat secara spiritual.
Tapi, lagi-lagi, Pak Jerald masih mempertahankan status itu. Status bahwa beliau adalah seorang atypical Christian. Seorang Kristen yang tidak normal.
Sudah mengucapkan syahadat, sudah salat lima waktu, sudah berpuasa, membaca Al-Qur’an terjemahan setiap hari, tapi belum pernah mengaku menjadi seorang muslim ketika ada orang yang datang bertanya.
Sejauh mana Pak Jerald mampu bertahan untuk tidak mengaku sebagai seorang muslim?
Kemudian Pak Jerald dan istrinya berlibur ke Timur Tengah. Menginap di rumah salah satu teman Arab yang di Colorado.
Yang ada di rumah itu adalah paman dan bibi dari teman Arab yang di Colorado tadi. Paman dan bibi ini tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali.
Pak Jerald sendiri tidak bisa berbahasa Arab. Ada sih, beberapa kata atau kalimat bahasa Arab yang beliau pahami, tapi sangat terbatas.
Suatu hari sang paman dari teman Arabnya itu membawa Pak Jerald mengunjungi perkemahan tempat pengungsi Palestina di Amman, Yordania.
Keluar dari mobil, berjalan melewati gang yang sempit. Di situlah Pak Jerald dan sang paman berpapasan dengan seorang bapak tua.
Meski bahasa Arabnya terbatas, Pak Jerald cukup paham dengan pertanyaan bapak tua kepadanya, “Apakah Anda seorang muslim?”
Pak Jerald biasa merencanakan sesuatu tapi saat itu Pak Jerald belum merencanakan sebuah jawaban ketika ada orang yang menanyakan lagi hal itu, tapi dalam bahasa Arab.
Yang pasti, Pak Jerald tahu dari apa yang beliau baca di Al-Qur’an bahwa Allah adalah The True Planner. Sang Maha Perencana.
Situasinya jadi rumit. Kalau pertanyaannya dalam bahasa Inggris, Pak Jerald bisa mengambil jalur memutar, menjawab dengan kalimat berbusa-busa. Yang muaranya adalah bahwa beliau itu bukan seorang muslim. Tapi seorang Kristen yang tidak normal.
Hanya ada dua pilihan. Apakah Pak Jerald menjawab na’am atau laa.
“Alhamdulillah, saat itu saya menjawab na’am. Saat itulah saya memeluk agama ini dan untuk pertama kalinya mengaku sebagai seorang muslim,” ujar Pak Jerald.
Poin yang sangat penting dari kisah Profesor Jerald adalah pertemuan awal beliau dengan shining muslims. Orang-orang Islam, muslim Arab di toko kelontong, pemuda muslim penerjemah dokumen testimoni kuda-kuda Arab, keluarga-keluarga muslim di Denver yang shining.
Bersinar cemerlang. Perilakunya, akhlaknya, rasa keadilannya. Yang akhirnya Allah tetapkan sebagai jalan masuk Islamnya seorang profesor dan pendeta Kristen dari Colorado.
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa minggu depan.
💎💎💎💎💎
Sumber:
1. Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 07. Ali ‘Imran Ayah 19 (12) Ramadan 2018 (28:07 – 34:39)
2. How Did I Recognized Islam? | Dr.Jerald Dirks Life Story 01
Penutup
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahaya-Nya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiara-Nya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah