Pernahkah kita merasa gundah? Suatu rasa yang kurang mengenakkan hati. Kita tentu pernah merasa takut, tidak tenang, khawatir akan sesuatu. Saya juga pernah merasakan hal ini. Mungkin para pelajar bisa langsung memahaminya, rasa khawatir saya saat mau menghadapi Ujian Nasional kelas 6 silam.
Kala itu, saya belajar sangat keras. Setiap hari buka buku, coret di sana-sini, menghabiskan setiap lembaran dengan tulisan dan rumus-rumus jitu. Saya selalu mengerjakan buku bank soal, banyak menghafal dan semacamnya, bahkan mengorbankan waktu libur dengan pergi bimbel di pagi hari.
Guru saya selalu berusaha untuk meyakinkan diri saya agar saya tenang dalam menghadapi ujian yang kala itu sudah di depan mata. Orang tua pun selalu menyemangati, memberikan nasihat dan motivasi bahwa saya siap melewati ujian besar di hidup saya kala itu.
Namun, ketika mendekati masa ujian, saya dilanda rasa gundah. Entah karena siapa dan karena apa, perasaan saya yang merasa yakin bisa menghadapi ujian langsung drop.
“Ada apa ini? Kok jadi deg-degan begini ya?”
“Aduh, tenang dong. Udah tinggal dikit lagi kok ini, sabar, tenang, kan bisa..”
Saya terus mencoba untuk menenangkan diri saya, membuat happy, relax, tenang. Namun, tetap saja, saya terus merasa gundah. Saya takut akan ujian Matematika dan soal-soalnya karena itu adalah mata pelajaran yang saya kurang pahami.
Awalnya, saya mengelak perasaan gundah ini, saya terus mengelak. Saya merasa bisa untuk men-counter rasa gundah ini sendirian. Saya merasa yakin kegundahan ini akan hilang sendiri pada akhirnya. Qaddarullah, ini mungkin menjadi pelajaran dari Allah bagi saya. Gundah itu tetap ada.
Saya semakin bingung, mengerjakan soal jadi tidak fokus, menjadi sulit memahami pelajaran, menjadi lebih tidak tenang. Suatu malam, saya tiba-tiba saya terbangun. Saya teringat dengan nasihat yang ibu saya selalu lantunkan, “Minta sama Allah, perbanyak doa.”
Seperti sudah direncanakan, saya berwudu dan salat tahajud. Di situ saya menangis, saya banyak menangis. Menangis bukan karena kesedihan, tetapi karena akhirnya saya mendapatkan jawaban yang saya cari, yaitu ketenangan. Seketika perasaan waswas, gundah, dan takut itu hilang.
Saya berdoa dan kembali menangis, bersyukur bahwa akhirnya saya dapat menghilangkan kegundahan tersebut dari hati. Saya kembali tenang, merasa siap, dan Alhamdulillah dapat mengerjakan ujian tersebut dengan baik.
Pengalaman itu membuat saya teringat kembali saat sedang mencari makna ayat pada Surat Al Baqarah ayat 21 dan 22 di bawah ini:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿٢١﴾ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٢﴾
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, (21) Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (22)

Masya Allah, Allah mengingatkan saya, agar saya bisa kembali mengambil faedah dari pengalaman tersebut. Dulu, saya hanya mengira bahwa pengalaman tadi hanya mengingatkan saya untuk selalu berdoa dalam keadaan apa pun kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Selalu meminta keinginan kita dengan berdoa pada Allah.
Dengan ayat ini, saya mendapatkan faedah bahwa saya harus kembali mengingat posisi saya sebagai hamba Allah Subhanahu wata’ala dan tugas saya sebagai hamba Allah. Terkadang kita berada dalam keadaan yang sulit.
Keadaan yang menyusahkan kita, sampai kita tidak tahu harus berbuat apa, sudah kebingungan. Di saat-saat seperti inilah kita langsung mengingat Allah dan berdoa pada-Nya. Menurunkan ego kita, untuk berdoa dan mendapatkan jawaban dari Allah.
Kalau kata Ustaz Nouman Ali Khan, pengalaman saya ini adalah permasalahan emosional. Saya terlalu yakin dengan diri saya, kalau permasalahan saya akan hilang dengan kemampuan saya sendiri.
“Kata ‘ibaadah datang dari present tense ya’budu. Bentuk lampaunya ada dua, ‘abada dan ‘abuda, jadi bisa ‘abada-ya’budu dan ‘abuda-ya’budu. ‘Abada berarti “Untuk mengimani” dan ‘Abuda berarti “Menjadi budak”. Jadi, Allah ingin kita beriman pada-Nya dan juga menjadi hamba-Nya. Karena banyak orang yang mengimani Allah, tapi tidak mau menjadi hamba-Nya.” kata Ustaz Nouman.

Ingatlah bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita, yang menurunkan rezeki bagi kita, yang memberikan bumi dan langit bagi kita. Allah yang memiliki segalanya.
Jangan sampai kita membuat tandingan bagi Allah. Kita yakin pada kekuatan lain selain kekuatan Allah. Tandingan ini tidak selalu sebuah obyek atau manusia. Bahkan perasaan kita pun dapat jadi tandingan. Seperti ego saya tadi.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala mudahkan kita untuk selalu berdoa pada-Nya, dan semoga Allah mudahkan kita untuk selalu merefleksi diri kita. Aamiin Allahumma Aamiin..
Jazaakumullahu khayran, semoga bermanfaat.
Referensi: https://bayyinahtv.com/topics/1/categories/8/series/70/videos/1097 (Concise Commentary: Al-Baqarah: ayah 18-24).