“Kesulitan yang Allah timpakan kepada saya hanyalah sentuhan kecil.
Di balik ini saya yakin bahwa Allah mencegah saya dari kesulitan yang lebih besar”
Itulah yang dikatakan Nabi Ayyub, padahal kalau menurut kita, sakitnya Nabi Ayyub itu parah banget, sudahlah lumpuh bertahun-tahun, hartanya habis, anak-anaknya meninggal, lalu dikucilkan masyarakat, hingga ditinggalkan istrinya.
Mengapa kesulitan-kesulitan yang sifatnya duniawi ini dikatakan hanya secuil? Sakit secara fisik, jatuh miskin dan tiada seorangpun yang menolong, bukankah itu suatu kesulitan? Benarkah ada kesulitan yang lebih besar dari ini semua?
Perlu kesadaran yang mendalam, bahwa bencana terbesar adalah saat semua yang menimpa kita itu membuat kita jauh dari Allah.
Penyakit rohani adalah bencana yang terbesar.
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS Al-Anbiya: 83)

Durr artinya sesuatu yang tidak lagi berfungsi. Pemilihan kata durr untuk kesulitan, maknanya ketidakmampuan ini mulai mengacaukanku.
Sebelum kesulitan ini menghancurkan hatinya, Nabi Ayyub berdoa kepada Allah, yang pada intinya dia tidak meminta apa pun, dia hanya mengatakan wa anta arhamur rahimin.
Engkaulah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kata Rahm ini seperti rahim ibu, dimana janin tidak perlu mengkhawatirkan apapun, karena rahim menyediakan semuanya, melindunginya
Saat seorang hamba meyakini bahwa kasih sayang Allah lebih dari apa pun, hanya Allah yang peduli dan menyayanginya lebih dari siapa pun, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya. Kesulitan di hatinya maupun kesulitan fisik yang dirasakan.
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
“Maka, Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipatgandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” (QS Al-Anbiya: 84)

Pada ayat ini Allah ngasih tau, bahwa kisah nabi Ayyub dan doanya Nabi Ayyub itu harus ditiru. Ada penekanan disitu, ”dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.”
Sikap Nabi Ayyub yang sabar menata hatinya agar selalu dekat dengan Allah, agar tidak berburuk sangka kepada Allah, dan yakin bahwa Allah itu Maha penyayang. Maka segala sesuatu yang menimpanya, dia anggap sebagai bentuk dari kasih sayang Allah yang begitu besar.
Dari sini kita belajar tentang bagaimana harus bersikap di saat sakit. Sambil terus berikhtiar, hati kita pun tak lepas dari mengingat Allah.
Setiap kali rasa sakit itu datang, juga musibah yang bertubi-tubi hadir, kita harus ingat bahwa itu hanyalah secuil kesulitan. Apalagi jika dibandingkan dengan kasih sayang Allah yang Maha Penyayang.
Kasih sayang Allah itu jauh jauh lebih banyak dari secuil kesulitan yang kita alami.
Dalam sebuah riwayat, penyakit yang diderita Nabi Ayyub adalah selama delapan belas tahun. Tapi Nabi Ayyub tidak langsung meminta kesembuhan, karena dia merasa malu. Lamanya menderita sakit tidak sebanding dengan lamanya tahun-tahun sebelumnya ketika Allah menganugerahinya kenikmatan berupa harta benda, kedudukan dan anak-anak.
Saat diuji dengan penyakitnya itu Nabi Ayyub juga seringkali didatangi iblis yang menguji keimanannya. Namun Nabi Ayyub langsung menyadarinya dan tidak menggubrisnya.
Maka sungguh benar Allah sangat menekankan ayat ini (QS Al-Anbiya ayat 84) bahwa kisah Ayyub adalah sebaik-baik rekomendasi bagaimana harus bersikap di saat sakit, dan memaknai arti kesabaran.