Malam itu, saya terduduk terpaku saat dibentak dengan perkataan yang tidak bisa saya terima, bukan hanya menjatuhkan mental. Tapi bagi saya sudah mulai ini menyinggung tentang kehormatan keluarga. Entah kenapa pada malam itu logika saya pun lumpuh, yang dominan adalah perasaan. Secara otomatis, perkataan kotor dengan suara makian yang tinggi sangat menyerang jiwa saya saat itu. Sampai ia merasa tuntas dengan segala amarahnya, ia pun berlalu membawa barangnya dengan amarah yang tak kunjung reda. Saya, yang melihatnya hanya terpaku, dengan segala sikap dan perkataannya yang masih sulit saya terima. Tapi untungnya, diri ini pun tak mampu membalas dengan makian, meski merasa tersakiti entah kenapa air mata pun tak kunjung bereaksi. Selepas ia hilang dari pandangan, sesekali saya merasa bodoh, dan seolah menerima begitu saja perlakuan kasarnya.
Semenjak kejadian itu saya sangat jarang sekali bersinggungan urusan apapun dengannya, bukan memutus tali silaturahmi sesama saudara. Tapi ini yang terbaik menurut saya, dibanding bertemu, rasanya ingin balas memaki. Di beberapa kesempatan terkadang datang kembali saya bertemu dia, tapi untungnya saya lebih mawas diri. Seringkali meminta bantuan ke orang tua saya atau kakak saya, dengan pedenya saya kasih saran “kalau ada orang lain yang bisa, kenapa harus kita”. Entah kenapa rasanya saya begitu tegas membatasi hal-hal buruk yang akan terjadi, seolah tahu pola perilakunya, saya lebih memilih melindungi dari hal-hal yang memunculkan pertikaian kembali. Sesekali lintasan di memoriku mengingatkan kejadian di beberapa waktu lalu, tapi kutepis cepat-cepat dan meyakinkan diri bahwa cukup itu yang terakhir dan saya saja yang pernah mengalami.

Seiring berjalannya waktu, dengan proses memperbaiki diri, saya pun merasa biasa saja. Kalau dibilang memaafkan, dari dulu sudah saya lakukan, setiap kali hari raya berjumpa pun masing-masing dari kita seperti merasa tidak terjadi apa apa. Hanya saja, lintasan memori itu masih sangat membekas di kepalaku. Seringkali saya meyakinkan perasaan saya, “Saya sudah memaafkannya kok, tapi rasanya peristiwa itu kok masih terasa nyata ya”.
Sampai pada suatu ketika, saya dipertemukan dengan sebuah postingan dari Ustaz Nouman Ali Khan yang berisikan caption, “memaafkan itu sesuatu yang berbeda dengan melupakan”. Dengan rasa ingin tahu yang tinggi, jariku pun melesat mencari penjelasan detailnya.
Beliau menjelaskan tentang beberapa ayat yang berkaitan tentang pembahasan “Ghillin” pada QS. Al Hijr ayat 47 :
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ
“Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka; mereka merasa bersaudara; duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan”.

Beliau menjelaskan begitu gamblang dari kata “Ghilin” dalam kaidah bahasa Arab sampai penjelasan tafsir QS. Al Hijr :47.
Saya seperti menemukan teka-teki yang selama ini bersarang di kepalaku, mengapa sampai saat ini saya susah melupakan kesalahan orang lain tapi sudah sekian kalinya saya pastikan bahwa saya sudah memaafkannya dari dulu. Dan untuk beberapa kesempatan, kadang memoriku bertemu pada kisah kesedihan Nabi Muhammad SAW, tatkala pamannya Hamzah syahid di medan perang Uhud dengan cara di luar dari nilai kemanusiaan. Pamannya meninggal dengan hati yang dimakan oleh Hindun. Singkat cerita Hindun masuk islam dan meminta maaf atas segala perbuatannya, namun Rasul Shalallahu alaihi wassalam tak mampu berhadapan dengannya, karena apa yang telah dilakukannya menyisakan luka yang begitu dalam.
Dari sini saya berusaha memahami bahwa, perasaan tidak nyaman akibat rasa sakit hati ialah manusiawi. Bahkan seorang nabi pun pernah mengalaminya. Pada bagian penjelasan Ustaz Nouman Ali Khan, Allah Azza wajalla memberikan ruang bagi kita untuk memiliki perasaan semacam ini, bahkan Allah memberitahu kita bahwa memelihara perasaan semacam ini begitu menyiksa. Saya seperti diajak menyelami samudra dan hikmah dari ayat yang dipaparkan oleh Ustaz Nouman Ali Khan. Bahwasanya kita tak pernah bisa memaksakan orang lain bersikap sesuai apa yang kita harapkan meskipun berkali-kali kita sudah berusaha memperbaiki diri. Meskipun sudah memaafkan, baiknya memang jangan menyiksa diri karena tak mampu melupakannya. Selama ini saya merasa paling berhak menangani pikiran dan perasaan saya sendiri, ternyata salah.
Sebagai seorang manusia yang begitu lemah dan tak kuasa, kita hanya akan mampu mengusahakan pada satu sisi saja. Urusan hati terlebih “Ghill” ini memang Allah lah yang Maha Kuasa atas segalanya. Dengan segala bentuk kerendahan hati kita sebagai hamba-Nya yang penuh khilaf, pada akhirnya saya pun terselesaikan pada QS Al Hasyr : 10
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“…. Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya. Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang”
Doa yang diajarkan oleh Islam untuk memohon menghilangkan segala bentuk prasangka yang pernah ada dalam diri kita. Disakiti atau tersakiti, dizalimi atau terzalimi tidak akan membuat kita jauh lebih baik menjalani kehidupan kalau masih ada rasa yang belum terdamaikan.
Semoga kita semua dengan segala cerita yang pernah kita lewati, selalu dilapangkan hati kita dan disucikan dari rasa “Ghill” sampai pada akhirnya di akhirat nanti kita dipertemukan dengan hati yang bersih untuk memasuki surga Allah Taala. Aamiin.
Sumber : Transkip Indonesia: Memaafkan Namun Belum Melupakan
[…] […]
LikeLike