Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-299
Topik: Pearls from Al-Kahfi
Jum’at, 16 April 2021
Materi VoB Hari ke-299 Pagi | Sebuah Madrasah di New York
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#FridayAlKahfWeek43Part1
Part 1
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
Para imam itu ada di dunia kecil mereka. Apa yang terjadi di dunia yang nyata, di luar lingkaran kecil mereka, mereka tidak tahu.
Para ulama juga berada di dunia kecil mereka. Mereka tidak tahu bagaimana dunia di luar mereka bekerja.
Di mana tempat mereka? Di masjid. Di pesantren. Kita tidak boleh membenci mereka. Mereka tidak ada di DPR atau MPR. Mereka tidak ada di kementerian pendidikan. Mereka tidak ada di administrasi publik. Mereka tidak ada di diskusi-diskusi politik.
Oke, mungkin mereka ada di sana. Tapi pertanyaannya, apakah keberadaan mereka berhasil “mewarnai” tempat itu? Atau justru “diwarnai”?
Tapi sebagian besar dari mereka tentu saja ada di masjid. Dan di pondok-pondok pesantren. Ini menarik, karena pada saat Ash-habul Kahfi keluar dari gua, orang yang berkuasa atas urusan mereka bilang, lanattakhidanna ‘alayhim masjidan. “Kami pasti akan mendirikan masjid di atasnya.” Tapi kita tidak akan membahas hal yang “menarik” ini sekarang.
Begitulah.
Para ulama itu keluar dan mereka disconnected, tak terhubung, dengan masyarakat. Mereka mencoba berkhotbah ke masyarakat, hanya saja, masyarakatnya sudah berbeda. Tidak seperti dulu.
Orang-orang tidak tertarik lagi.
Faktanya, di banyak tempat di dunia, rata-rata muslim kelas menengah yang mendapatkan pendidikan yang baik, misalnya seorang akuntan, dokter atau insinyur, jika Anda bertanya pendapat mereka tentang traditional scholars, tentang ulama-ulama tradisional, Anda akan mendengar hal-hal yang sungguh mengerikan.
Anda akan mendengar hal-hal yang sangat buruk. Intinya, mereka tidak menghargai ulama-ulama tradisional itu.
Jadi, sayangnya, pada akhirnya, ulama-ulama tradisional itu hanya berkhotbah di lingkarannya saja. Yang suka sama mereka, tetap mendengarkan mereka. Yang tidak suka, tidak akan mendengarkan mereka.
Mereka bahkan akhirnya “menerima” fakta bahwa “jika Anda ingin belajar Islam, Anda harus berhenti mengikuti pendidikan umum dan Anda harus mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia dan bergabung bersama kami di sini”.
Anda ingin belajar Islam? Anda harus jauhi dunia. Itu jika Anda ingin mempelajari Islam tradisional. Itu menurut mereka.
Maka akhirnya kita menjumpai adanya lembaga-lembaga Islam yang terinspirasi dari gagasan seperti ini.
“Mengapa Anda harus belajar hal-hal yang bersifat duniawi ketika Anda punya kesempatan untuk belajar akhirat?”
Ustaz pernah mengunjungi sebuah madrasah di New York. Sebuah sekolah tradisional. Ada sekolahnya yang setingkat SMA.
Terjadilah percakapan antara Ustaz dengan beberapa guru di sana. “Apa rencananya untuk anak-anak yang sudah lulus SMA ini? Melanjutkan ke universitas?”
Apa jawaban dari pertanyaan ini?
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 18. Al-Kahf / 09. Al Kahf and Dajjal Part 2 (27:30 – 29:47)
Materi VoB Hari ke-299 Siang | Dikotomi Pendidikan Religius dan Pendidikan Modern
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#FridayAlKahfWeek43Part2
Part 2
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
“Tentu saja tidak. Mereka tidak akan melanjutkan ke universitas. Buat apa mereka harus belajar dari orang-orang kafir?”
Ustaz merasa perlu “merenungkan” jawaban itu. Ustaz berada di New York City. Dan Ustaz mendapatkan jawaban itu, “Kenapa harus belajar dari orang-orang kafir?”
“Mereka akan belajar Al-Qur’an. Mereka akan belajar Hadis, kata-kata dan perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.”
“Apa lagi yang mereka butuhkan?”
Pernyataan-pernyataan itu, atau pernyataan yang berbentuk pertanyaan itu, menarik. Ustaz tidak ingin mengkritisinya. Tapi Ustaz ingin tahu dari mana asalnya pemikiran seperti itu.
Cara berpikir seperti itu, gagasan seperti itu, datang dari sebuah tempat tertentu.
“Orang-orang yang mendapatkan pendidikan modern telah mengacaukan pendidikan tradisional kami, kenapa lulusan SMA kami harus melanjutkan ke universitas seperti itu?”
“Mengapa pula kami harus mendorong mereka untuk masuk ke universitas-universitas seperti itu?”
Jadi, ada gap, ada kesenjangan di sini.
Mereka yang ingin mendapatkan pendidikan religius, mereka bergerak ke arah yang satu. Dan mereka yang ingin mendapatkan pendidikan duniawi, mereka bergerak ke arah yang lain.
Dan keduanya, arahnya berbeda. Tidak bisa dipersatukan. Tidak bisa dijadikan satu atap. Dua kutub yang berbeda.
Things get really bad when you do that.
Tidak seharusnya kita mempertentangkan kedua jenis pendidikan yang seakan berbeda kutub itu.
Mengapa Ustaz berpendapat bahwa gagasan keterpisahan pendidikan religius dan pendidikan duniawi itu sangat-sangat buruk?
Karena mereka yang mengenyam pendidikan religius menjadi begitu tak terhubung dengan urusan dunia, dan mereka mulai mengucapkan hal-hal yang gila. Karena mereka benar-benar tidak mengerti bagaimana dunia bekerja. Atau, bagaimana dunia modern bekerja.
Begitu mereka mengatakan hal-hal yang gila, pernyataan mereka itu dimuat di koran lokal, juga di saluran teve lokal, dan orang-orang mencibir mereka, “Itu ngomong apa sih? Kalau nggak paham realitasnya sebaiknya nggak usah buka mulut.”
Masih bagus jika orang-orang yang belajar di institusi keagamaan yang menutup diri dari dunia modern itu tidak mendapatkan stempel “dungu”.
Karena mereka tidak paham dunia modern, mereka bisa saja punya pandangan yang keliru terhadap ilmu pengobatan, ilmu bedah, dan sejenisnya.
Mungkin mereka berpendapat bahwa manusia yang mendarat di bulan itu dibantu jin dan setan, dan itu adalah bentuk kekufuran. Adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap ayat Al-Qur’an.
“Karena Allah menyatakan jika kita ingin menyeberang melintas batas-batas langit, laa tanfuduuna illaa bi sulthaan (QS Ar-Rahman, 55:33).”
Ada beberapa ulama yang bilang, itu tidak pernah terjadi. Itu adalah kebohongan yang disebarkan oleh orang-orang kafir.
Bahkan mereka menyebutkan dan membahas “kebohongan media” itu di khotbah-khotbah mereka.
Bayangkan. Jika orang-orang yang terdidik mendengarkan khotbah seperti itu, apa yang akan mereka pikirkan?
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 18. Al-Kahf / 09. Al Kahf and Dajjal Part 2 (29:47 – 31:46)
Materi VoB Hari ke-299 Sore | Sebuah Percakapan di United Kingdom
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#FridayAlKahfWeek43Part3
Part 3
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
Orang-orang yang terdidik itu akan merasa heran.
“Ustaz yang khotbah ini sebenarnya berasal dari planet mana?”
“Isi khotbahnya tidak masuk akal.”
“It is ridiculous what he is saying.” Yang dikatakannya itu konyol.
Yang juga menarik untuk diamati, makin mereka kehilangan kredibilitas, makin mereka suka marah-marah.
Mereka bilang, “Kalian itu ya, kalian semua itu tidak punya respek sama Qur’an dan Sunnah!” Lalu khotbah mereka selalu menampar umat yang tidak suka dengan mereka.
Khotbah mereka, misalnya, dipenuhi dengan kata-kata yang bernada menyerang. Entah itu kepada yang belum pakai hijab. Entah itu kepada yang belum salat. Bahkan mereka sampai tega “memutuskan” bahwa yang mereka serang itu akan masuk neraka.
Ada juga dari mereka yang mengatakan, “His face is haram.” Wajah seseorang itu haram. Sampai orang itu memelihara jenggot.
Mereka juga suka berteriak-teriak saat berkhotbah. Makin mereka berteriak-teriak, makin umat menjauhi mereka. Makin mereka “menghapus” diri mereka sendiri kenangan umat.
Jika umat menyimpan memori dan kenangan manis tentang Islam, sudah pasti mereka tidak masuk di dalamnya.
Sampai di suatu titik di mana civilized society atau masyarakat yang beradab berkata, “Masalah kita adalah ulama-ulama ini.” Atau, “Masalah kita adalah ustaz-ustaz ini.”
“Apa pun yang kita lakukan salah. Apa pun yang kita lakukan adalah kekufuran. Apa pun yang kita lakukan adalah syirik.” Begitulah. Ada ulama atau ustaz yang justru membuat hidup orang muslim tidak nyaman.
Apakah ulama atau ustaz yang seperti itu sebenarnya punya hal-hal yang baik dan yang luar biasa yang bermanfaat untuk umat?
Ya, mereka punya.
Tapi masalahnya ulama atau ustaz itu berada di sebuah “kapal”. Dan kapal itu membuat umat harus memilih: masuk pendidikan religius atau pendidikan modern.
Seakan-akan yang masuk pendidikan religius telah memilih diin, dan yang melanjutkan ke pendidikan modern telah memilih dunia.
“Kalian ingin dunia atau akhirat? Kalau pilih dunia, ya silakan, masuk ke sekolah-sekolah orang kafir itu.”
Ustaz pernah mengunjungi United Kingdom untuk berbicara di sebuah seminar. Setelah seminar usai, ada seorang volunter yang datang menemui Ustaz.
Volunter tersebut bilang, “Aku tidak bisa mempelajari ilmu itu karena aku harus belajar dari orang-orang kafir itu.”
Ustaz mencoba mengonfirmasi, “Sebentar. Anda tidak bisa belajar Islam karena Anda belajar di perguruan tinggi umum?”
“Apakah itu berarti Anda belajarnya full time dan tidak melakukan atau tidak belajar yang lain? Itukah gambaran kehidupan Anda?”
Maka Ustaz pun mengajukan pertanyaan, “Siapa yang bilang Anda harus melakukan cara hidup yang seperti itu?”
Menurut Ustaz, jika Anda punya kemampuan dan kecakapan untuk belajar Islam, jika Anda mampu menghafal Al-Qur’an, jika Anda mampu menghafal beberapa ratus hadis, dan Anda juga unggul dalam bahasa Arab, maka Anda berhak untuk berproses menjadi ulama Islam.
Tapi jika Anda belajar Islam karena “aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan di dunia”, ceritanya jadi beda.
Jika ada seseorang yang punya masalah atau kesulitan belajar, dan dia diterima di sekolah Islam karena tidak diterima di sekolah-sekolah yang lain, maka citra Islam seperti apa kira-kira yang dia representasikan?
Sumber: Bayyinah TV > Home / Quran / Deeper Look / 18. Al-Kahf / 09. Al Kahf and Dajjal Part 2 (31:46 – 35:47)
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah
Reblogged this on Dzikir Alam Semesta and commented:
Dikotomi Ilmu
LikeLike