[MFA2021] Seni Memaafkan Menjalin Cinta Dalam Ukhuwah – Farah Althofunnisa


Dalam hidup, banyak perasaan yang kita temukan. Syukur, bahagia, khawatir, sedih, marah, kecewa, dan perasaan lain yang barangkali tak tersampaikan dengan baik. Jangankan menyampaikan atau mengekspresikannya, tak jarang sebagian kita masih kesulitan untuk mengenali perasaan tersebut. Hidup adalah rangkaian perjalanan yang mempertemukan kita dengan beragam karakter, latar belakang, luasnya ilmu, tajamnya pemikiran, dan indahnya perbedaan. Nyatanya, ekspektasi dan realita tak jarang berbenturan. 

Saat emosi negatif menyapa, saya teringat ayat-Nya, pesan cinta untuk Rasulullah SAW yang saat itu sedih sekaligus kecewa. Kekalahan pasukan Muslim di Perang Uhud akibat ketidakpatuhan para pasukan pemanah. Di tengah keadaan genting, terjadilah perbedaan pendapat. Sebagian ingin menetap di pos jaga masing-masing, sementara sebagian lain ingin turun karena ‘merasa’ menang. Padahal jauh sebelum perang, berkali-kali Rasulullah SAW telah mengingatkan untuk tetap diam di tempat sekalipun ada dari mereka yang syahid. Namun, pasukan pemanah memilih turun dari pos-pos jaga mereka. 

Khalid bin Walid yang saat itu belum memeluk Islam, memerintahkan pasukannya untuk berbalik arah saat melihat pasukan pemanah turun dari bukit Uhud. Dikepungnya pasukan Muslim dari belakang, bahkan Rasulullah SAW terjatuh, giginya tanggal sampai tak sadarkan diri. Ketika sadar, wajah beliau disimbahi lumuran darah. Sudah kalah perang, kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, ditambah lagi paman nabi, Hamzah, dimutilasi dan dimakan jantungnya oleh Hindun. Terbayang tidak, bagaimana sedih dan kecewanya Rasulullah SAW?

Usai perang Uhud, turunlah ayat 159 dari Surah Ali Imran. Hal ini yang membuat saya merasa ayat tersebut memiliki makna mendalam, yang mana jika kita belajar aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dampaknya sangat menakjubkan. Dalam keadaan sedih dan kecewa, Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk tetap bersikap l-e-m-b-u-t kepada pasukan pemanah. Padahal, kita tahu Rasulullah SAW, manusia yang akhlaknya paling sempurna tanpa diturunkan ayat ini tentu juga akan bersikap baik kepada mereka, tapi tetap Allah ingatkan. Bagaimana dengan kita yang akhlaknya masih jauh dari baginda SAW? ☹  

QS. Ali Imran, 3:159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ  فَٱعْفُ عَنْهُمْ  وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ

        وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran, 3 : 159)

Dalam ayat ini, kita menyaksikan sendiri bagaimana Allah mendidik Rasulullah SAW dalam bersikap kepada pasukan pemanah (yang telah membuat beliau merasa begitu kecewa), diantaranya dari penggalan ayat di atas :

  1. Tetap bersikap l-e-m-a-h  l-e-m-b-u-t

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”

Dalam keadaan itu pasukan Muslim merasa bersalah, siap menerima teguran dan hukuman, kondisi psikologisnya sangat ketakutan. Pemimpin mana yang tak akan marah-marah kalau anak buahnya melakukan kesalahan? Kalau kita di posisi Rasulullah SAW, mungkin kata-kata yang keluar dari lisan kita “Gimane sih ente? Kan udeh aye ingetin berkali-kali!” Tapi Rasulullah yang lebih pantas melakukan itu, memilih tidak bersikap demikian. Disebutkan oleh Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya, “Rasulullah bersikap lemah lembut, tidak mencela, tidak kasar tersebab rahmat Allah.” Point of view di sini adalah “tersebab rahmat Allah”, artinya setiap orang memiliki potensi untuk bersikap lembut terhadap sesama.

Lembut tak hanya sebatas pada laku dan kata-kata yang baik, melainkan ekspresi wajah dan intonasi suara. Bagaimana kita tetap tersenyum saat sedang dongkol-dongkolnya. Kita bisa bersikap l-e-m-b-u-t kepada orang-orang yang telah mengecewakan kita bukan karena hati kita lembut, melainkan karena rahmat-Nya, karena izin-Nya. Sebagaimana dakwah adalah nasihat, maka menjadi indah bila disampaikan dengan kelembutan. Bukankah tak ada satupun manusia yang menyukai keras lagi kasar? Bagaimana bisa sebuah nasihat tersampaikan dengan baik jika menyampaikannya saja penuh emosi yang membara-bara? 

  1. Memaafkan

فَٱعْفُ عَنْهُمْ

“Karena itu, maafkanlah mereka…”

Dalam kaidah Nahwu (grammar bahasa Arab), ف digunakan untuk melakukan suatu pekerjaan/kegiatan secara langsung, tidak membutuhkan proses dan waktu. Jadi, saat kita kecewa benar-benar segera maafkan orangnya.  Berbeda dengan ثُمَّ yang memiliki pembatas atau membutuhkan proses dan waktu. Contoh: saat kecewa, marah dulu, ngedumel, sedih dan kemudian sadar baru bisa memafkan orang yang bersangkutan. Nyatanya, memaafkan bukan hanya sekadar di lisan, melainkan dari hati ke hati. 

Kenapa Allah memerintahkan demikian? Padahal, dari kisah Perang Uhud kita bisa lihat ketidakpatuhan pasukan pemanah, yang memilih turun bukit. Coba perhatikan, berapa banyak kaum muslimin yang bersedia ikut perang saat itu? Berapa banyak yang memilih menetap di rumahnya dan tak berangkat ke medan perang? Berapa banyak pula yang gugur di perjalanan ketika melihat pasukan musuh dari kejauhan? Setidaknya mereka sudah turut kontribusi bersama Rasulullah SAW dibandingkan muslimin yang memilih menetap di rumahnya. 

  1. Berdoa agar Allah mengampuni mereka 

وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ

“Mohonkanlah ampun bagi mereka…”

Teman, tak habis-habis Allah mengingatkan Rasulullah SAW, juga mengingatkan kita umatnya. Bahwa, bersikap lembut dan memafkan saja belum cukup. Seperti yang diungkapkan Ustaz Nouman dalam ceramahnya, “When you are alone, ask Allah’s forgiveness to them. Pray for them.” Kalau dipikir secara logika, untuk apa mendoakan orang yang telah mengecewakan kita. Di sisi lain, kita tak bisa mengelak kenyataannya manusia (baca: kita) tak luput dari khilaf dan kesalahan, pun pasukan pemanah. 

Dengan memohonkan ampun untuk mereka yang mengecewakan kita, tak hanya dosa-dosa mereka saja yang Allah ampunkan. Karena, doa yang baik selalu kembali kepada yang mendoakan.

  1. Bermusyawarahlah dengan mereka

وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْر

“… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”

Banyak hal yang kita dapatkan dalam diskusi, berpendapat, dan mendengarkan. Tak jarang masalah yang kita kira buntu terselesaikan begitu saja setelah bermusyawarah. Karena, mereka yang berlapang hati tak akan pernah menolak ajakan musyawarah, apapun keputusan akhirnya. Sebagaimana musyawarahnya Rasulullah SAW dengan pasukan pemanah dan kaum muslim lainnya, secara tidak langsung Allah SWT juga memerintahkan kita mencontoh sikap Baginda Rasul SAW. 

Padahal, selevel Rasulullah SAW tanpa bermusyawarah tetap akan menemukan solusi terbaik. Namun, Allah memerintahkan, “bermusyawarahlah..” mintalah pendapat mereka. Bagi seorang anak, musyawarah terbaik adalah dengan orang tuanya dan anggota keluarga lain. Bagi seorang istri, musyawarah terbaik adalah dengan suaminya,  juga sebaliknya. Bagi seorang pemimpin perusahaan, musyawarah terbaik adalah dengan karyawannya. Bagi seorang kepala negara, musyawarah terbaik adalah dengan jajaran staf dan rakyatnya. Tunggu, bukankah setiap kita adalah pemimpin?

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.”

  1. Bertawakkal pada Allah SWT

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.”

Pada diri siapa lagi kita temukan komandan militer terbesar di dunia yang akhlaknya paling baik pada keluarga, sahabat, dan orang-orang sekitarnya. Adakah selain Rasulullah SAW?

This is lesson for all of us because we are leaders too, aren’t we? When the sister, brother, husband, wife, child, employee, teacher, friend disappoints you – what’s our reaction? How do we respond? Allah SWT still make us live that love of Rasulullah SAW by showing love, care, and mercy towards one another through the Quran. 

Wahai diri, bisakah engkau mengamalkan sunnah yang satu ini?

Sumber:

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s