Oleh: Rifa’atul Fadilah
Hari itu terasa seperti hari lainnya. Langit cerah dan perjalanan menuju kantor terasa biasa. Aku pun bekerja hingga sore menjelang.
Sampai saat aku duduk dalam kereta pulang menuju rumah Tanteku –selama bekerja aku numpang tinggal di rumah Tanteku–, aku mendapat sebuah pesan di grup keluarga. Pesan dari adik bungsuku:
“Pak, kata Mama Kembar, Ibu meninggal”.
Aku mencoba mencerna situasi yang terjadi.
Apa maksudnya Ibu pingsan ya? Apa maksudnya Ibu sakit ya?

Tidak ada hujan.
Tidak ada awan gelap.
Tidak ada perasaan tidak enak sepanjang hari itu.
Hanya hari biasa seperti hari-hari lainnya.
Sejak hari itu, permasalahan-permasalahan yang kuhadapi terasa berlevel-level lebih tinggi dari sebelumnya.
Persoalan-persoalan yang belum pernah kualami.
Pilihan-pilihan yang harus kubuat dengan hasil pertimbanganku sendiri. Hari-hari dimana aku merasa: “Aku benci menjadi dewasa.”
Hari itu, seolah sebuah dinding yang selama ini melindungiku dari paparan dunia secara tiba-tiba menghilang begitu saja. Rasanya seperti aku bertatap muka langsung dengan dunia.
Mungkin karena aku anak pertama?
Setahun pertama sepeninggal Ibu menjadi tahun tersulit bagiku. Karena aku tetap bekerja dan numpang tinggal di rumah tanteku, sementara di rumah kami hanya ada adik bungsuku dan ayahku. Adikku yang lainnya tinggal di kosan dekat kampusnya.
Setiap akhir pekan aku pulang ke rumah, belanja kebutuhan pangan. Menyiapkan stok lauk untuk seminggu ke depan. Namun itu hanya berlangsung selama beberapa minggu.
Ayahku lebih menganjurkan untuk beli makan saja, karena memasak untuk dua orang itu membuang listrik, gas dan tenaga.
Lagipula, adik bungsuku makan siang di sekolah, begitupun ayahku makan siang di kantornya.
Akhirnya aku pun berhenti mengganti isi kulkas tiap minggu setelah melihat persediaan yang kutinggalkan minggu sebelumnya hampir selalu utuh. Sejak saat itu pula, dapur mati.
Pada tahun itu, semuanya menjadi hal baru bagi kami. Terutama, Ramadan pertama tanpa Ibu.
Aku masih ingat, saat itu malam satu Ramadan jatuh pada malam Sabtu. Sepulang dari kantor aku tidak pulang ke rumah Tanteku, melainkan langsung menuju rumah. Kedua adikku sudah menunggu di rumah. Ayahku masih bekerja. Aku yang sudah dalam perjalanan, bertugas membeli makan malam.
Di luar dugaan, jalanan lumpuh. Macet total.
Angkot yang kutumpangi tak bergerak mungkin satu sampai dua jam.
Sepertinya semua orang tergesa-gesa untuk mengejar tarawih pertama, meski nyatanya jalanan tak bergerak hingga lewat waktu isya. Sambil menunggu, aku menghitung sisa uangku.
Akhir bulan. Saat itu gajiku belum seberapa.
Aku berpikir keras dengan sisa uang segini, apa yang bisa cukup aku beli untuk makan malam adikku dan cukup untuk lauk sahur. Kupikir, ah, turun angkot nanti banyak tukang makanan kaki lima, seharusnya ada sesuatu yang bisa kubeli.
Setiba di lokasi, ternyata jalan yang biasanya ramai penjual makanan, malam itu sepi. Lagi-lagi sepertinya mereka mengejar tarawih pertama.
Meski demikian, masih ada kedai yang buka. Sate padang. Tapi tidak, uangku tak cukup. Akhirnya kulanjutkan perjalanan ke rumah. Sampai rumah kutanya kedua adikku:
“Sudah makan?”
“Belum.”
Lalu aku pergi lagi mengendarai motor ke rute yang berbeda dari jalan pulangku tadi. Berharap menemukan penjual makanan yang murah meriah.
Namun, entah kenapa, malam itu jalanan sepi sekali. Kedai-kedai makanan tutup. Sambil berkendara aku menangis. Aku tak tahu mencari makan sesulit ini.
Ini hanya sepenggal kisah yang kulalui tahun itu. Setiap perjalanan pulang dari rumah, air mata tak sanggup kubendung. Tahun yang membuatku membatin, kenapa hidupku sesulit ini? Kenapa hidup teman-temanku terlihat normal dan bahagia sedang aku tidak?
Berapa tahun kemudian aku bangkit dari semua kesedihan itu.
Kumulai dari memperbaiki rutinitas harianku. Terinspirasi dari banyak hal lagi yang tak cukup kuceritakan.

Lalu dalam upayaku mendekatkan diri dengan Qur’an, kutemukan penjelasan Ust. Nouman Ali Khan,
فَمَآ أُوتِيتُم مِّن شَىْءٍ فَمَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَاۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal.” (As-Syura:36)
Ustadz menjelaskan, bahwa “sesuatu” yang Allah berikan, dalam ayat ini mencakup segala sesuatu dari mulai harta benda hingga pengalaman hidup. Kemudian kata متٰع bermakna alat yang bisa membuat sesuatu menjadi berguna dan dapat kita manfaatkan.
Maka,
فَمَآ أُوتِيتُم مِّن شَىْءٍ فَمَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَاۖ
bermakna seluruh pemberian Allah, termasuk seluruh pengalaman hidup yang kita lalui itu tidak lain adalah sebagai sarana yang berguna dan bermanfaat untuk akhirat kita. Untuk itulah semua pengalaman itu.
وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Dan terhadap semua pengalaman hidup itu, apa yang ada di sisi-Nya lebih baik dan lebih kekal.
Ketika membaca ini, aku mengingat kembali ke belakang. Dan terkejut saat menyadari ternyata sudah sepanjang itu perjalanan yang kulalui.
Subhaanallah. Bagaimana Allah telah membawaku pada diriku hari ini.
Saat mengetahui semua perjalanan itu dari Allah, rasanya aku meleleh oleh kasih sayang-Nya. Hari-hari sulit itu sekarang terlihat indah. Sekarang aku sadar, ternyata Allah tidak pernah lepas menuntunku, mengajariku, mengurusiku sepanjang perjalanan hidupku.
Aku semakin percaya. Ke jalan hidup mana pun Allah membawaku, selain Ia akan selalu menuntunku, di sana juga ada hal yang Ia ingin aku mempelajarinya. Dan agar pelajaran itu dapat bermanfaat untukku kelak.
Sumber: Buku Revive Your Heart