SSS Munafik


🌿🌿 SSS NAK Indonesia 🌿🌿

Bismillahirrahmanirrahim.

In syaa Allah hari ini kita ada agenda rutin sharing pekanan.

Teknisnya:

1️⃣ Tonton video ini ⬇️

**Kurang dari 19 menit. Ada subtitlenya.

2️⃣ Catat poin-poin menarik, insight, share ke sosial media/blog/podcast.

3️⃣ Kirim tanggapan/pertanyaan terkait video di grup wa/telegram NAKIndonesia.

🗓 SSS-nya in syaa Allah dilaksanakan tiap Sabtu paralel di grup whatsapp dan telegram NAK Indonesia.

Yuk ramaikan ^^

👤 Mas Ario

Kalau kita berhenti berdakwah, kita bisa digantikan Allah dengan orang lain yang mau berdakwah.

Saya kepikiran bila NAK Indonesia berhenti berdakwah, maka NAK Indonesia akan digantikan komunitas lain yang mau berdakwah.

👤 Mas Ario

Quran menyebut tentang golongan yang beriman dan golongan yang kafir. Namun ada yang berada di tengah tengah dan merupakan golongan yang sangat rumit, yaitu golongan munafik.

Sebagaimana arti kata kafir pada ayat sebelumnya yang sering di artikan terlalu sederhana sebagai ‘semua non muslim’, kata munafik juga sering digunakan secara kurang tepat. Allah menggunakan kata munafik untuk merujuk pada suatu kriteria yang spesifik, namun kita sering terlalu mudah melabeli orang orang tertentu sebagai munafik.

Allah tidak menunjukkan kemarahan dalam Quran kepada kaum manapun yang lebih besar daripada kemarahan Nya terhadap kaum munafik. Hukuman bagi kaum munafik adalah yang terberat. Munafik tempatnya di lapisan terbawah neraka. Maka ketika kita melabeli seseorang sebagai munafik, itu adalah suatu penghakiman yang serius.

Jangan samakan orang munafik dengan orang orang yang memiliki pemikiran yang lemah, masih terombang ambing dalam agamanya, masih melakukan dosa, namun tetap berusaha menjadi lebih baik. Ini adalah dua kategori yang sangat berbeda, jadi jangan sembarangan melabeli (dalam sirah memang ada label untuk contoh orang munafik, namun pesannya adalah: tidak sembarangan melabeli).

Nah sekarang mari kita merefleksikan perkara nifaq pada masa kini, dengan yang ada di masa lalu. Bisakah kita membandingkan iman kita semua di masa kini dengan iman para sahabat di masa lalu? Tentu tidak bisa. Begitu pula perjuangan dan pengorbanannya. Mereka di masa lalu adalah generasi yang terbaik, yang menjalani sebuah masa masa dengan perjuangan terberat.

Di sisi lain saat Allah membicarakan orang orang yang beriman, yang paling beriman, perlu dipahami bahwa ada derajat dan level levelnya. Setiap masa memiliki sabiquun, namun memang sabiquun yang terbaik adalah di masa generasi terbaik tersebut. Begitu pula orang orang kafirnya. Dulu ada Abu Jahal, Abu Lahab, Firaun. Kita tidak akan menjumpai orang seperti Firaun lagi. Mungkin yang mengarah arah seperti Firaun ada, tapi tidak benar benar seingkar Firaun. Maka di masa kini bisa saja ada orang orang yang ingkar dengan karakter mendekati orang orang yang ingkar di masa lalu, namun tidak ada yang separah orang orang di masa lalu tersebut hingga nama namanya diabadikan dalam Quran.

Hal serupa juga ada pada kaum munafik di masa lalu. Mereka adalah orang orang yang mengetahui adanya wahyu, mereka mendengar sendiri Quran, tidak seperti kita yang hanya mengetahuinya lewat mushaf, namun mereka tidak memanfaatkan hal itu (karena beriman sepenuhnya bisa merugikan mereka).

Dalam Al Quran, munafik tidak digambarkan dengan gamblang. Dalam Quran banyak disebut nama nama orang yang beriman, dan orang orang yang kafir. Namun tidak ada penyebutan nama contoh orang munafik. Pada masa Rasulullah, ada orang yang jelas jelas munafik, seperti Abdullah bin Ubay. Dia adalah warga Madinah. Madinah dulu terbagi menjadi dua suku yaitu Aus dan Khazraj. Khazraj adalah suku yang lebih besar, memiliki delapan wilayah administratif, sedangkan Aus empat wilayah. Abdullah bin Ubay adalah pemimpin dari wilayah terbesar di suku Khazraj. Pada suatu saat ke dua belas wilayah ini memutuskan bersatu menjadi sebuah kerajaan, dan diputuskan pimpinannya adalah pemimpin wilayah terbesar, yaitu Abdullah Bin Ubay. Lalu, Rasulullah datang dan diterima oleh Madinah dan akhirnya menjadi orang yang memimpin Madinah.

Kepemimpinan Abdullah bin Ubay lenyap begitu saja. Abdullah punya dua pilihan, menjadi penentang dan mencari massa nya sendiri, atau bergabung dengan kepemimpinan yang diterima. Karena dia paham bahwa menentangnya akan menjadi bumerang karena mayoritas warga mendukung Rasulullah, maka dia masuk Islam, karena dengan cara itu dia tetap bisa berharap untuk bergabung dengan lingkaran kepemimpinan. Nah, karena saat itu tidak ada event apapun yang menjadi peluang baginya untuk menunjukkan loyalitasnya, maka yang dia lakukan adalah selalu muncul paling awal di baris pertama pada shalat berjamaah. Ketika Rasulullah hendak menyampaikan pengumuman, Abdullah bin Ubay yang selalu bersemangat berdiri dan membuat jamaah memperhatikan.

Saat Perang Badr dipersiapkan, Abdullah bin Ubay tidak turun karena baginya urusannya hanya masalah politik. Dia merasa sebagai elit. Namun Islam datang dan tidak ada kelas kelas seperti itu, walaupun sayangnya realitanya kelas kelas itu terjadi di dunia Islam sendiri. Penghancuran kelas kelas sosial seperti ini sulit diterima orang seperti Abdullah bin Ubay.

Selanjutnya ada kategori/ level lain dari munafik, yaitu orang yang masuk Islam, namun tidak menyadari bahwa ia ‘mendaftarkan diri’ pada sebuah hal yang serius. Mungkin awalnya orang orang ini tertarik karena merasakan ketenangan saat mendengar Al Quran, suka dengan ritual berjamaah, dll. Namun ketika ada ajakan perang Badr, mereka tidak merasa ‘mendaftarkan diri’ untuk mengikuti pergerakan dan kemiliteran. Maka orang orang yang meragu ini dikumpulkan oleh Abdullah bin Ubay.

Selanjutnya akan dibahas dua golongan Yahudi di Madinah. Yang pertama yaitu pemuka agama, yang segera mengenali Rasulullah sebagi Nabi terakhir. Begitu mereka mengenali Nabi, mereka merasa terancam. Selama ini Rabi adalah pemuka agama yang menjadi pimpinan, memberikan ceramah, memimpin ritual, dan memberi fatwa. Jika mereka menerima Rasulullah sebagai Nabi terakhir, maka mereka akan kehilangan perannya, dari guru, menjadi murid. Saat itu untuk mereka, agama telah menjadi sebuah bisnis. Agama disesuaikan untuk memenuhi kepentingan umatnya. Maka, khutbah mereka pun berubah menjadi peringatan untuk berhati hati terhadap muslim.

Golongan kedua adalah umat Yahudi dari kalangan awam. Ketika umat Yahudi mengenali tanda tanda kenabian Rasulullah dan melaporkannya pada para Rabi, para Rabi ini mememperingati agar tidak usah mengikuti, karena dengan mengikuti Rasulullah, maka mereka akan bertanggung jawab penuh dan ikut perang jika diminta. Refleksi pada masa kini adalah, ada orang tertentu yang tidak ingin mempelajari Islam lebih jauh, karena dengan mempelajarinya lebih dalam, mereka harus bertanggung jawab untuk menjalankannya.Golongan ini tidak ingin berkonfrontasi dengan muslim, maka mereka berusaha mencari persamaan: persamaan menyembah tuhan yang sama. Mereka ingin menunjukkan bahwa Yahudi dan Muslim imannya sama. Satu hal yang tetap membuat golongan ini berbeda, adalah mereka tidak mengimani Rasulullah.

Dalam Quran, Allah tidak pernah menunjuk contoh orang munafik. Kebijaksanaan dari hal ini adalah, kita tidak boleh melabeli atau menilai orang lain munafik. Munafik memiliki penyakit di dalam hatinya. Dan tidak ada seorangpun yang bisa melihat isi hati. Maka, maksud dari seluruh penggambaran munafik ini adalah untuk refleksi diri sendiri: apakah kita termasuk ke dalam golongan munafik. Dalam ayat ini disebut, orang munafik selalu saja ‘laporan’ dan menekankan jika mereka beriman:

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. 2:8)

Wa minannaasi man yaquulu aamannaa billaahi wa bil yaumil aakhiri wa maa hum bi mu’miniin

Dalam teks arab nya disebut: Aamanna billaahi wa bil yaumil akhir. Yang memahami bahasa Arab pasti tahu bahwa kata bil tidak perlu disebut dua kali. Namun orang orang ini seolah ingin memberikan penekanan dan meyakinkan orang beriman bahwa mereka juga beriman. Padahal sahabat-sahabat Rasulullah yang benar-benar beriman, tidak perlu selalu ‘laporan’ seperti ini.

“Wa minannas” (di antara manusia) ini bukan ekspresi yang wajar untuk memulai suatu kalimat. Mengapa tidak disebut saja ‘ada beberapa manusia’. Ini adalah rhetorical device. Seperti hal nya panggilan ‘yaa Insaan’ kepada seseorang yang jelas jelas manusia, secara arti memang artinya hai manusia, namun sebenarnya maksudnya adalah ‘hei kamu yang menjijikkan’. Jika dalam bahasa Indonesia bisa mengambil contoh ‘Lihat tuh orang itu’. Begitu pula “Wa minannaas”, ini adalah ekspresi merendahkan.

Selanjutnya, ayat tersebut mengindikasikan bahwa yang menyebut kalimat tersebut adalah satu orang (singular), namun dia menyebut kesaksian berimannya secara jamak. Hal tersebut bermaksud bahwa orang munafik bertindak seolah olah dia adalah bagian dari kelompok, dan ingin membaur.

Kesaksian iman mereka hanya menyebut kepada Allah dan hari akhir, tapi tidak kepada Rasulullah. Mengimani Rasulullah terlalu berat untuk diucapkan oleh lisan mereka, karena mereka sebenarnya benci kepada Rasulullah. Mereka memiliki harapan bahwa Nabi penerus berasal dari kalangan mereka. Ternyata, penerus itu berasal dari kaum Arab yang dianggap lebih rendah, ‘Anak Ismail yang terkutuk’.

Kebencian ini kemudian turun temurun dibawa menjadi ajaran agamanya. Apa yang terjadi diantara Israel – Palestina adalah berasal dari sejarah turun temurun dan ada hubungannya dengan asal kedua agama (keturunan Israil, dan keturunan Ismail)

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. 2:8)

Wa minannaasi man yaquulu aamannaa billaahi wabil yaumil aakhiri wa maa hum bi mu’miniin

Iman ada dua, iman di lisan dan iman di hati. Apa yang ada di lisan bisa dinilai. Apa yang ada di hati tidak bisa dinilai. Terkadang apa yang ada di lisan, terkoneksi dengan yang ada di hati. Terkadang tidak.

Kata mukmin dalam Quran, kurang lebih menunjukkan apa yang ada di hati. Saat Allah menggambarkan apa yang terucap di lisan, Allah menggunakan kata muslim. Menjadi Islam, adalah suatu hal yang kita semua bisa nilai. Iman (orangnya disebut mukmin), adalah hal yang saya dan Anda tidak bisa nilai. Jelas batasannya, antara menjadi muslim atau kafir. Iman tidak seperti itu. Iman seperti air yang mengisi gelas. Terkadang terisi penuh, terkadang berkurang, terkadang kotor. Jadi batasan iman tidak bisa dikatakan ‘beriman’ atau ‘tidak beriman’.

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa ilaaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).

Sumber: https://rumaysho.com/3311-keyakinan-iman-menurut-ahlus-sunnah.html

Ini adalah konsep yang powerful dalam agama. Lawan kata dari muslim adalah kafir. Lawan kata dari mukmin, adalah kafir juga. Jadi ketika Allah menyebut kafir dalam Al-Quran, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah orang yang mendeklarasikan dirinya kafir. Kemungkinan lain adalah orang yang level imannya sedang kosong.

Pelajaran dari Quran: Karena iman adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai, maka ketika kita melihat seseorang masuk masuk untuk shalat, maka kita berasumsi bahwa dia seorang mukmin. Mukmin adalah level yang lebih tinggi dari muslim (Levelnya: islam – iman – ihsan). Kita tidak boleh berasumsi seseorang adalah munafik.

Adapun untuk pelajaran bagi diri sendiri, kita harus senantiasa mengisi status iman kita. Semakin rendah, maka semakin mendekat kepada menjadi munafik.

Sumber: https://rikariza.wordpress.com/2016/06/23/catatan-dari-ramadan-exclusive-hari-ke-4-oleh-nouman-ali-khan/amp/

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s