اَلْحَمْدُ لِلّٰه خَالِقِ الْوُجُودِ مِنَ الْعَدَمِ،
وَ جَاعِلِ النُّورِ مِنَ الظُّلَمِ
وَمُخْرِجِ الصَّبْرِ مِنَ الْأَلَمِ
وَ مُلْقِيْ التَّوْبَةِ عَلَى النَّدَمِ
فَنَشْكُرُهُ عَلَى الْمَصَائِبِ كَمَا نَشْكُرُهُ عَلَى النِّعَمِ
وَنُصَلِّي عَلَى رَسُولِهِ الْأَكْرَمِ
ذِيْ الشَّرَفِ الْأَشَمِّ وَ النُّورِ الْأتَمِّ
وَالكِتَابِ الْمُحْكَمِ
وَكَمَالِ النَّبِيِّنَ وَالْخَاتَمِ
سَيِّدِ وَلَدِ آدَمِ
الَّذِيْ بَشَّرَ بِهِ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمِ
وَدَعَا لِبِعْثَتِهِ إِبْرَاهِيْمُ عَلَيهِ السَّلَامُ
حِينَ كَانَ يَرْفَعُ قَوَاعِدَ بَيْتِ اللهِ الْمُحَرَّمِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى أَتْبَاعِهِ خَيْرِ الْأُمَمِ
الَّذِيْنَ بَارَكَ اللهُ بِهِمْ كَافَّةَ النَّاسِ
العَرَبَ مِنْهُمْ وَ الْعَجَمِ
والْحَمْدُ لِلّٰه الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيْكٌ فِي الْمُلْكِ
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِن الذُّلِّ وَكَـبِّـرْهُ تَكْبِـيْـرًا
وَالحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا
وَالْـحَمْدَ لِلّٰهِ الَّذِي نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَ نَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا،
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ،
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ
وَنَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
وَ نَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه
أَرْسَلَهُ اللهُ تَعَالَى بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ
وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا
فَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْـلِيْمًا كَثِيْرًا كَثِيْرًا
: أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
وَخَيرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
وَ إِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ
بَعْدَ أَنْ أَقُوْلَ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ
كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ
فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ
لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا ۗ
وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (QS. 2:264)
اللّٰهُمَّ لَا تَجْعَلْنَا مِنْهُمْ
رَبّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُ قَوْلِي
اَللّٰهُمَّ ثَبِّتْنَا عِنْدَ الْمَوتِ بِلَا إِلٰهَ إِلَّا الله
اَللّٰهُمَّ ٱجْعَلْنَا مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
آمين يَا رَبَّ العَالَمِينَ
Al-Baqarah adalah surat terpanjang dalam Al-Qur’an, dan mendekati bagian akhir surat, Allah mengulangi salah satu konsep paling mendasar dalam Islam. Allah berkuasa memberi kehidupan setelah kematian.
Pergantian Topik Setelah Topik Kehidupan Setelah Kematian
Pembahasan ini dimulai dengan kisah Ibrahim (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ), ketika beliau melewati dan menyaksikan kota yang hancur lalu berkata, “Bagaimana mungkin Allah menghidupkan kota yang telah mati ini?”
Kemudian kisah Ibrahim (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) yang bertanya kepada Allah, “Bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati?”
Allah bertanya padanya, “Belum percayakah engkau?”
Ibrahim berkata, “Aku hanya ingin memantapkan hatiku.”
Selanjutnya ada sebuah kisah tentang burung. Saya tidak akan membahasnya. Dan tentu saja juga ada Ayat Kursi. Sangat masuk akal, karena Ayatul Kursi dimulai dengan,
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ (QS. 2:255)
“Zat yang menjadi sumber segala kehidupan dan Zat yang memelihara segala kehidupan.”
Sesungguhnya dalam konteks kisah-kisah tersebut, pernyataan akhirnya, tak lain adalah Ayatul Kursi. Selanjutnya setelah itu, ada kisah tentang kebangkitan Dan setelah kisah tentang kebangkitan, Allah berfirman dapat menghidupkan orang yang mati. Allah mengganti topik pembicaraannya, dan ini sangat menarik.
اِلْتِفَاتٌ مَوْضُوْعِيٌّ, topiknya telah berubah.
Jadi, Ayatul Kursi, setelah itu kisah kebangkitan, kemudian topik tentang derma. Memberi karena Allah. Nah, ada kesinambungan yang sangat luar biasa dalam apa yang Allah katakan. Di satu sisi, Allah berbicara bagaimana hewan yang mati dihidupkan kembali di depan mata Uzair (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ).
Sebelum itu, Allah (عَزَّ وَجَلَّ) berkata pada Ibrahim (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ), lebih tepatnya, Ibrahim (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang yang mati, kemudian burung pun hidup kembali.
فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا
(QS. 2:260) ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا
“Panggillah mereka, niscaya mereka akan mendatangimu dengan segera.”
Baik, ada kisah itu. Akan tetapi, setelah itu Allah berfirman,
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah bagaikan menanam sebuah biji di tanah.”
Menariknya, contoh ini sendiri, saya akan meringkasnya. Perumpamaannya seperti orang yang mengambil sebuah biji, benih, kemudian menanamnya. Lalu Allah berfirman,
(QS. 2:261) أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
“Biji itu menjadi tanaman yang memiliki tujuh tangkai.”
Layaknya tujuh tunas keluar dari satu tangkai. Masing-masing memiliki biji, Anda dapat membayangkan jagung, atau lainnya, gandum, yang memiliki seratus biji. Sehingga satu biji itu ditanam dan menghasilkan semua ini.
Saya rasa kaitannya sudah jelas bagi siapa pun yang memperhatikan. Allah menghidupkan bumi yang mati, menghidupkan sebuah biji yang mati ini, dan menghasilkan kehidupan darinya. Benar?
Jadi ini masih melanjutkan dari topik yang sama Allah menciptakan kehidupan dari kematian, tetapi tidak berhenti di situ. Ada hal lain yang terjadi di sini. Bukan hanya tentang sesuatu yang dibangkitkan atau sebuah biji yang diberikan kehidupan. Namun biji itu berubah menjadi jauh lebih banyak dari yang sebelumnya. Biji tersebut dilipatgandakan 700 kali. Kemudian jika pengalian itu belum cukup,
(QS. 2:261) وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ
“Allah melipatgandakan bagi siapa pun yang Dia kehendaki.”
Perkalian Manusia
Nah, perkalian di dalam benak manusia, Anda membayangkan 1 berubah menjadi 700 dalam perumpamaan ini, lalu Anda membayangkan masing-masing dari 700 ini ditanam kembali dan menghasilkan masing-masing 700 lagi. Dan masing-masing dari perkalian itu menghasilkan 700 lagi. Sehingga, 700 dikuadratkan, dikuadratkan, dikuadratkan, dikuadratkan sampai tak terhingga.
Demikianlah gagasannya, namun itu… perumpamaan itu hanyalah bayangan manusia, itu perkalian manusia. Tetapi di akhir ayat ini Allah berfirman, “Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.”
وَاللَّهُ يُضَاعِفُ
Sesungguhnya Allah, “Allah melipatgandakan dengan cara yang hanya Dia yang bisa, bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya.”
Inilah cara Allah menggambarkan keutamaan orang yang dermawan. Namun ayat itu menghadirkan kesulitan karena saat surat ini diturunkan, sebagian besar ayatnya turun di periode awal Madinah, serta selebihnya… sebagian di antaranya, turun pada masa akhir periode Madinah. Dan hampir seluruh hidup Nabi (ﷺ) di Madinah, dihabiskan dalam kondisi hampir bangkrut.
Ada kalanya Nabi (ﷺ) bahkan tidak punya cukup uang untuk makan berhari-hari. Ada kala putrinya sendiri meminta makanan padanya, karena ia juga tak memiliki apa pun di rumah tangganya sendiri, tetapi Nabi menasihatinya untuk berzikir kepada Allah.
“Ucapkanlah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan seterusnya.”
Ini adalah realita yang terjadi di Madinah pada waktu itu. Seandainya kita masyarakat yang mampu di Madinah, kita tidak mungkin melawan pasukan dengan senjata seadanya, dan ada yang tidak bersenjata.
Dengan itu mereka turun ke medan perang. Ini adalah situasi keterpurukan secara ekonomi. Sebagian besar Al-Qur’an yang telah diturunkan, ayat-ayatnya datang dalam konteks masyarakat yang tidak kaya. Hal ini sangat perlu kita pahami.
Jadi ketika Allah akan berfirman tentang derma, Dia tidak mengawali pembahasannya dengan berfirman kepada orang kaya. Ya, memang ada yang kaya. Beberapa sahabat bahkan memiliki kebun sendiri. Beberapa di antara mereka sangat kaya, tetapi sebagian besar sahabat Nabi (ﷺ) hidup pas-pasan, miskin.
Terlebih lagi, kaum Ansar yang membantu kaum Muhajirin. Mereka masyarakat asli Madinah yang merupakan kelompok petani. Kaum Ansar bukanlah orang kaya dan mereka kini harus menyokong kaum Muhajirin, yang datang dari Makkah. Jadi kini kaum Muhajirin bagian dari keluarga mereka, jumlah tanggungan pun bertambah drastis.
Belum lagi perang Badar dan Uhud, jika kehilangan satu nyawa… dan kehilangan dalam peperangan berarti kehilangan para kepala keluarga. Para laki-laki. Para pria pejuang dan cakap. Para pria tersebut adalah para pencari nafkah yang utama untuk keluarga.
Maka ketika mereka gugur dalam peperangan, ketika kita mengalami kekalahan di Uhud, itu bukan sekadar kekalahan militer. Itu merupakan kerugian ekonomi yang masif dan parah bagi seluruh anggota keluarganya. Karena pencari nafkah untuk keluarga tersebut kebanyakan gugur. Apa yang harus kita lakukan sekarang?
Ayat tentang Berderma
Nah di lingkungan seperti ini, Allah menurunkan ayat tentang berderma. Maka pertanyaan pertama yang muncul, “Mengapa Allah membahas derma kepada orang-orang yang hampir tidak mampu memberi?!”
Jawabannya ada di bagian lain dalam Qur’an, seperti,
وَأَنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ (QS. 57:7)
“Infakkanlah harta yang Allah amanahkan kepadamu.”
Jika Allah menganugerahkan sesuatu pada Anda, berdermalah dengan itu, Berbagilah dengan itu. Ada orang-orang yang diberikan pengetahuan. Mereka harus bermurah hati membagikannya. Ada orang yang memiliki bakat. Ia harus berderma dengan bakatnya itu. Ada orang yang memiliki uang. Ia harus berderma dengan uang itu. Ada anak-anak di sekolah memiliki alat tulis berlebih. Ia harus berderma pensil dengan temannya.
“Ah tidak mau. Aku harus punya lima warna.” Ya kan?
Kedermawanan tidak dibatasi dengan menuliskan cek, memberikan kartu kredit, atau mengeluarkan uang dari saku Anda. Hal ini mungkin saja terjadi pada banyak orang, tetapi kedermawanan ada berbagai bentuk, dan pengeluaran ada berbagai bentuk. Memberi kepada orang lain memiliki banyak bentuk.
Allah menggabungkan semua bentuk kedermawanan yang menunjang dan mendukung satu sama lain, itulah yang dibahas Allah pada ayat-ayat ini. Maka ini dimulai dengan uang, dan ayat ini, khususnya,
(QS. 2:262) الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Uang mereka, apa yang mereka miliki, apa yang mereka punya, mereka berikan.”
Tetapi uang di zaman sekarang, kita mengira uang itu bentuknya tunai. Ya kan? Tetapi saat itu, uang, “أَمْوَالُ” itu seperti domba,
“Boleh saya pinjam domba Anda?”
Atau, “Boleh saya pinjam perkakas ini?”
“Boleh saya minta itu?”
“Ya, ambil saja, kami punya cukup.”
“Bawa saja, Anda boleh mengambil piring ini.”
Inilah “أَمْوَالُ” mereka. Jika Anda menanyakan “مَالٌ” seseorang, Ia tidak menunjukkan brankas, rekening bank, atau aset likuid. Bukan seperti itu cara menghitung uang zaman itu. Uang adalah apa saja yang ada di sekitar Anda yang dapat dimanfaatkan orang lain dan Anda dapat membagikannya, jadi Anda berikan.
Pada bagian ketika pembahasannya dimulai, di ayat ini, ayat 261 Al-Baqarah mendekati akhir surat. Adalah kumpulan ayat-ayat terpanjang di Al-Qur’an, yang memberikan pedoman tentang mengeluarkan uang. Misalkan, Anda bertanya,
“Apa penjelasan Qur’an tentang infak, kedermawanan, dan mengeluarkan uang?”
Tempat yang dapat Anda lihat ayat 261 ini, dan seterusnya. Topik ini dibahas berkali-kali. Bisa dikatakan ini topik besar. Jika dibandingkan dengan hal lain yang dibahas dalam Qur’an, dari aspek hukum. Mungkin warisan dibahas beberapa ayat, atau beberapa halaman. Hukum perceraian dibahas beberapa halaman. Mengeluarkan uang dibahas beberapa halaman.
Seakan sesuatu yang perlu Anda hafal dalam kepala, perlu Anda pahami. Jika hal ini tidak diulangi terus-menerus, dan dijelaskan terus-menerus. Ini tidak akan diresapi. Inilah salah satu topik yang memiliki hikmah, ini! Dan ini mendapat cukup perhatian di Al-Qur’an.
Rapuhnya Kedermawanan
Tetapi yang ingin saya tekankan pada khutbah kali ini, bukan hanya memperkenalkan topik ini, dan posisinya dalam Al-Qur’an. Tetapi yang perlu Anda dan saya renungkan adalah beberapa hal yang Allah berikan pada kita di topik ini. Dia dengan jelas mengatakan memberi hal yang baik, tapi saya… Saya memberi khutbah ini judul yang aneh “Rapuhnya Kedermawanan” atau rentan. Ya kan? Kenapa saya berkata seperti itu? Allah (عَزَّ وَجَلَّ) berfirman, dengarkan baik-baik,
Dia berfirman,
QS. 2:262) الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah,”
(QS. 2:262) ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى
“Kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan dua hal.”
Dua hal yang tidak boleh dilakukan. Jadi tidak cukup dengan hanya memberi. Biasanya ketika menuaikan salat, niat Anda tulus, Anda berwudu, semua prasyaratnya Anda penuhi. Setelah selesai salat, amalan Anda diterima. Tetapi dalam berderma, tidak hanya ada prasyarat;
“Saya memberi dengan niat yang tulus, dengan alasan yang benar, dengan uang yang halal, saya memenuhi prasyaratnya kemudian memberi.” Ya kan?
Ini adalah aturan dalam agama kita, yaitu, Anda tidak hanya harus memenuhi prasyarat. Ada juga pascasyarat. Ada pascasyarat. Apa artinya? Artinya, setelah Anda memberi, ada hal yang mungkin saya lakukan dapat membatalkan amalan itu. Amalan saya itu tidak akan dihitung. Itu tidak berarti apa-apa. Ini mengerikan.
Seolah-olah Allah mengatakan di ayat ini, ada dua hal yang mungkin Anda lakukan, yang benar-benar dapat membatalkannya, Tidak peduli Anda memberikan separuh harta untuk derma. Semua harta Anda untuk derma. Tidak peduli cek nilai Anda besar atau kecil. Tidak peduli Anda saat itu melakukannya dengan niat tulus. Tidak peduli. Tidak peduli saat itu niat Anda tulus atau tidak.
Contoh Menyebut-Nyebut atau Menyakiti Pemberian
Semuanya tidak penting. Jika Anda melakukan dua hal ini setelahnya, walaupun niat dan amalannya baik, amal Anda tidak akan berarti. Nah, apakah kedua hal itu?
Dia berfirman, مَنًّا وَلَا أَذًى (QS. 2:262)
Mari kita uraikan kedua kata ini. “مَنَّ” dalam bahasa Arab artinya membantu, tetapi juga artinya mengingatkan seseorang tentang suatu kebaikan, mengingatkan seseorang tentang suatu kebaikan. Dalam bahasa Urdu mereka menyebutnya, “Ehsaan jatanaa.”
Itu seperti mengingatkan seseorang apa yang Anda lakukan untuk mereka atau… dan Anda dapat melakukannya secara… secara eksplisit, “صَرَاحَةً”.
“Anda tahu berapa banyak uang yang saya berikan pada Anda selama ini?”
“Anda tahu berapa banyak bantuan finansial yang saya berikan pada Anda?”
“Anda tahu berapa kali saya meminjamkan mobil kapan pun Anda mau?”
Ini eksplisit, ya kan? Anda dapat mengingatkan orang lain secara eksplisit tentang betapa banyak bantuan Anda untuk mereka. Anda dapat melakukan itu. Cara lain yang dapat Anda lakukan adalah implisit.
كِنَايَةً
Anda tidak mengatakannya secara langsung. Tidak secara langsung tetapi dengan bahasa tubuh, atau dengan komentar, atau dengan perkataan sarkastik, atau dengan… Anda tahu, dengan cara yang licik mengingatkan seseorang saat memberi, “Sebenarnya saya ingin menggunakan mobil akhir pekan ini. tapi Alhamdulillah ini untuk kebaikan.”
Anda membuat orang lain merasa seperti terbebani, karena sudah Anda beri sesuatu, dan karena Anda harus berkorban demi memberi pada mereka.
Contoh lainnya, “Bulan lalu, sebenarnya… Saya perlu berinvestasi… tapi, ya, Alhamdulillah tidak apa-apa.”
Anda melakukan hal ini… dan ada orang yang sangat mahir melakukannya. Saya bahkan tidak bisa menemukan contoh yang pas. Ada orang yang begitu mahir menyindir tanpa mengambil… tanpa membiarkan Anda… tanpa ketahuan bahwa mereka sedang menyindir.
Mereka sedang mengingatkan Anda tentang hal yang telah mereka lakukan untuk Anda. Mereka mengingatkan Anda tentang jasa-jasa mereka dan mereka melakukannya dengan cara yang sangat halus dan tidak langsung. Itu juga termasuk “مَنٌّ”.
“مَنٌّ”.
Nah, bagaimana Anda mengetahui bahwa… yang Anda lakukan itu “مَنٌّ”? Penjelasannya mungkin ada di kata selanjutnya,
(QS. 2:262) مَنًّا وَلَا أَذًى
“أَذًى” dalam bahasa Arab berarti menyebabkan rasa sakit. Sakit hati. Anda tidak boleh melakukan ini, Anda tidak mengungkit-ungkit kebaikan Anda. Ketika mengingatkan seseorang apa yang telah Anda lakukan, Anda akan menyakitinya. Itu mempermalukan mereka.
Tidak ada orang yang suka berada di posisi harus meminta. Ya kan? Atau berada di posisi membutuhkan. Maka, ketika orang lain membutuhkan sesuatu dari Anda itu bukanlah sesuatu yang mereka banggakan. Maka tidaklah baik jika Anda mengingatkan bahwa mereka sedang membutuhkan sesuatu, apa pun itu.
Bantuan apa pun dari Anda. Entah itu uang, benda, atau mungkin hal yang lain. Intinya ketika Anda memberi kemudian mengingatkan orang itu tentang bantuan Anda, Allah katakan, “Anda boleh saja melakukannya. Tabungan Anda berkurang di bank, Anda kehilangan uang. Tapi jangan berharap satu biji itu berubah menjadi 700 biji dan 700 biji tadi bertambah lagi. Tidak, itu tidak akan terjadi.”
Karena walaupun Anda melakukannya fii sabilillah, jika mengiringinya dengan kejahatan ini yaitu mengingatkan seseorang, dan terutama disertai dengan menyakiti hati mereka,
(QS. 2:262) وَلَا أَذًى
“أَذًى”… Allah membedakan dua hal ini, karena “مَنٌّ” sendiri sudah mencakup “أَذًى” di dalamnya. Ketika Anda mengingatkan seseorang bahwa Anda sudah menolongnya, itu menyakitkannya. Lalu kenapa ayat tentang menyakiti ini dibedakan? Karena arti menyakiti pada “مَنٌّ” cukup jelas, sebab ada bentuk sakit hati yang lain.
Ada bentuk menyakiti yang lain, karena ketika Anda memberi pada seseorang, maka mungkin Anda mulai merasa harus memiliki pengaruh. Pendapat Anda harusnya lebih berpengaruh karena mereka berutang budi pada Anda.
Maka ketika Anda meminta mereka melakukan sesuatu. Mereka harus melakukannya, mengingat segala yang telah Anda lakukan untuk mereka. Bahkan Anda bisa meminta mereka melakukan atau berbicara dengan cara yang menyakitkan karena jasa Anda pada mereka.
Saya tidak akan memberikan contoh eksplisitnya. Saya akan memberikan contoh yang saya alami sendiri. Ini tidak untuk mengkritik siapa pun. Dulu ketika saya mulai… menjadi pembicara di depan umum. Saya diundang oleh berbagai institusi untuk berbicara di suatu tempat, di luar negeri, di luar kota, dan sebagainya.
Mereka bilang, “Kami akan membayarkan tiket pesawat Anda, membayarkan sewa hotel Anda,
kami akan membayarkan ini, itu.”
Pada prinsipnya, saya berkata, “Jika saya mempercayai organisasi dan niat Anda, maka saya lebih suka menanggung semua biaya, pergi ke sana dan berbicara.”
Karena dulu saya cukup naif, suatu kali, saya berkata, “Ya, tentu, kalian boleh menanggung biaya pesawat dan menanggung akomodasi saya.”
Lalu yang terjadi… Saya sudah setuju untuk berbicara di forum mereka selama sekitar satu jam. Tetapi begitu saya sampai di sana, “Ya. Anda harus melakukan ini, ini, ini, dan ini.”
Lalu saya berkata, “Tapi saya punya kewajiban lain. Saya setuju untuk melakukan ini dan sebanyak ini.”
Ya, kemudian ada yang berkomentar, “Tapi Syekh, kami telah membayarkan tiket Anda, dan lain-lain.”
Saya berkata, “Baik, saya kembalikan uang kalian, silakan.”
Intinya ketika Anda memberi pada seseorang, sekalipun Anda membuat perjanjian. Namun ternyata lebih dari itu, Anda jadi menaruh ekspektasi yang sebelumnya tidak ada. Anda jadi bertindak seolah menguasai orang itu karena telah membantunya. Itu juga salah satu bentuk “أَذًى”.
Ketika Anda melakukan sesuatu untuk orang lain, itu bukan agar Anda dapat mengontrol mereka. Anda memberi dengan niat yang tulus. Anda memberi untuk menyenangkan Allah. Jika Anda menambahkan sesuatu pada niat itu, maka Allah tidak lagi tertarik dengan pemberian Anda. Itu tidak akan dihitung oleh Allah.
Mungkin itu dihitung sebagai uang dan pemberian di dunia ini. Dihitung pemberian, dan kemudian dapat Anda manfaatkan, untuk mengingatkan mereka, untuk memaksakan pengaruh Anda pada mereka. Anda dapat lakukan itu. Tapi itu bukan untuk Allah lagi.
Contoh Kasus di Negara-Negara Muslim
Dan bagi saya sebagai bentuk prinsip. Saya tidak akan pernah… kemudian… ada masalah khutbah, ya kan? Masjid dan sebagian orang di negara Muslim, atau orang-orang yang datang dari negara Muslim.
Di sebagian negara Muslim, para Imam, dan orang-orang yang memimpin salat. Mereka sebenarnya dipandang sangat rendah. Bahkan dianggap sebagai orang yang senantiasa membutuhkan derma. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Anda harus mengirimi makanan dari tetangga sekitarnya agar keluarga mereka dapat makan.
Dan orang yang berasal dari… ini sebenarnya kejadian di daerah seperti Pakistan, yang saya tinggali selama setahun. Saya melihatnya. Mereka memperlakukan orang yang memimpin salat dengan cara tertentu. Ini hampir seperti industri.
Sehingga orang yang berasal dari negara seperti itu, ketika penceramahnya dari Amerika, jika Khatib, pembicara datang, dan mereka mengundangnya. Mereka seperti mencoba memberi saya uang setelah saya berkhutbah di Masjid.
Mereka menyerahkannya seperti ini, seperti ketika memberikan sedekah, kita jabat tangannya lalu Anda selipkan, begitulah. Seorang pria menjabat dan menyelipkan uang di tangan saya. Saya berkata, “Apa yang Anda lakukan?”
“Ini untuk khutbah.”
Saya berkata, “Itu ibadah, kenapa saya harus dibayar?”
“Tidak, ini karena… ini untuk keluarga Anda.”
Saya bilang, “Hmm, keluarga saya baik-baik saja.”
“Ini sedekah, Anda dapat berikan di tempat lain.”
Tapi Anda tahu apa yang juga menyertainya? Pertama-tama saya tidak akan menerimanya. Kedua, jika seseorang menerimanya, lalu apa yang terjadi? Mereka dapat berbicara pada orang itu seenaknya, seakan orang itu sampah, dan saya sudah melihatnya.
Jadi ketika Anda memberi orang lain, dan kemudian dengan memberi, Anda dapat memanfaatkan, mempengaruhi, dan menyakiti mereka. Itu adalah cara membatalkan sedekah apa pun yang kita berikan. Derma apa pun yang kita keluarkan. Sayangnya ini terjadi juga di dalam organisasi Islam. Orang-orang memberikan donasi besar untuk Masjid.
“Kami memberikan donasi sebesar…”
Lalu mereka kesal karena tidak menjadi anggota dewan Masjid. Mereka tidak terpilih atau pendapatnya tidak diterima. Apakah Anda menyumbang agar pendapat Anda diterima? Atau Anda menyumbang karena Allah? Yang mana? Ya kan?
Apakah itu untuk mengingatkan bantuan Anda untuk mereka? Oleh karena itu pendapat Anda lebih diutamakan? Atau karena Anda memberi? Anda harus memutuskan yang mana.
Hal pertama yang diajarkan Allah, ini sangat penting. Amalan lain tidak sesederhana ini. Maksudnya tidak serumit ini. Yakni ketika Anda melakukan kebaikan, bahkan bila saat itu Anda tidak berniat, Anda tidak perlu khawatir membatalkan pahalanya di kemudian hari.
Tetapi sedekah, pertolongan Anda pada orang lain, serta kebaikan Anda pada orang lain. Anda dan saya masih berisiko membatalkannya. Sehingga menjadi tidak bernilai sama sekali. Itu tidak bernilai dan tidak berharga di kehidupan ini, Itu juga tidak bernilai sama sekali di kehidupan berikutnya.
Maka, ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُوا
(QS. 2:262) مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ
“Merekalah yang memperoleh pahala.”
Hanya mereka yang memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.
(QS. 2:262) وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Tidak ada rasa takut pada mereka. Mereka tidak bersedih hati.”
Dengan kata lain, Allah menunjukkan bahwa ada orang yang memberi, menolong, berderma, tetapi mereka gagal memenuhi syarat lanjutan. Dan karena itu, akan datang hari mereka berada dalam kesedihan, alih-alih kebahagiaan.
Allah (عَزَّ وَجَلَّ) mengajarkan, kita tidak akan kehilangan apa pun jika memberi. Anda tak boleh menyesali pemberian Anda untuk orang lain. Anda jangan menyesali apa pun yang Anda berikan untuk orang lain karena ketika memberi, Anda sebenarnya tidak memberi pada seseorang. Anda memberinya pada Allah, jika niat Anda tulus. Anda memberinya pada Allah.
Dan jika Anda memberi pada Allah, Anda tahu, يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ (QS. 2:272)
“Kebaikan itu pasti akan kembali pada Anda sendiri dan Anda tidak akan dirugikan.”
Anda tidak mungkin dirugikan ketika memberi pada Allah. Sehingga kita harus menghilangkan pikiran bahwa kita sedang memberi pada manusia, atau memberi pada institusi, atau memberi pada seseorang yang… di kemudian hari bisa saja berselisih dengan kita.
Anda tidak memberi untuk mereka, Anda dan saya memberi untuk Allah. Ini pemberian di jalan Allah. Ini untuk menyenangkan Allah. Cukup itu saja. Sampai situ saja bagi kita. Karena jika tidak berakhir di situ, ketika niatnya tidak jelas, saat itulah kita bisa mengingatkan orang lain.
Seperti jika… jika Anda melakukan kebaikan apa pun. Anda tidak mungkin mengingatkan, “Apakah Anda tahu seberapa sering saya salat subuh?”
Itu tidak masuk akal. Anda tidak mungkin mengingatkan orang lain tentang ibadah yang telah Anda lakukan. Anda tidak melakukannya karena Anda tahu ibadah tidak seperti itu. Anda tidak melakukannya untuk orang lain. Sama halnya dengan ini.
Perkataan Yang Baik dan Pemberian Maaf Lebih Baik dari Sedekah yang Diiringi dengan Sesuatu yang Menyakitkan
ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (QS. 2:262)
Saya akan mengakhiri dengan komentar singkat dari ayat berikutnya.
قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ
“Perkataan yang baik… Perkataan yang baik…”
وَمَغْفِرَةٌ
“Atau pemberian maaf.”
خَيْرٌ مِّنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى ۗ
“Itu lebih baik daripada sedekah yang diberikan, tapi diiringi tindakan yang menyakiti.”
Apa maksud perkataan Allah? Allah berkata terkadang seseorang membutuhkan sesuatu, lalu Anda, “Saya tidak tahu apakah bisa memberinya sekarang. Haruskah? Atau tidak? Ini tidak mudah bagi saya.”
Tapi Anda berkata, “Begini saja, terserahlah. Ini hal yang benar. Saya akan memberikannya.”
Jadi Anda memutuskan setelah gejolak internal antara memberi atau tidak. Tetapi setelah Anda memberi, gejolak dalam diri Anda itu belum berakhir.
“Tepatkah keputusan saya memberi? Aah… ini membingungkan… tepatkah?
“Anda tahu kesulitan yang saya alami demi memberi Anda? Dan beginikah cara Anda berbicara pada saya? Beginikah cara Anda berperilaku?”
Sekarang Anda memutuskan… karena mereka… karena manusia adalah manusia. Sekalipun Anda memberi seseorang kebaikan, tidak berarti mereka akan baik pada Anda. Bisa jadi orang yang sering Anda bantu menentang Anda. Ini terjadi, ya kan?
أُعَلِّمُهُ الرِّمَايَةَ كُلَّ يَوْمٍ فَلَمَّا اشْتَدَّ سَاعِدُهُ رَمَانِي
“Saya mengajarkannya memanah tiap hari. Ketika kemampuan memanahnya sempurna. Saya yang pertama jadi sasarannya.”
Ini benar terjadi. Anda bisa saja menolong seseorang, memberi pada mereka dengan alasan yang benar, menjadi dermawan, tetapi mereka malah berbalik dan jahat kepada Anda. Itu bisa terjadi. Namun ketika itu terjadi, silakan putuskan apakah Anda akan mengingatkan mereka kebaikan Anda, bagaimana usaha Anda untuk itu, dan tentang keburukan mereka pada Anda.
Tidak, Allah berkata, “Lebih baik jika Anda berkata baik, memohon maaf, dan tidak memberi semenjak awal.”
“Daripada Anda memberi, dan kemudian akan berbuat jahat karenanya.”
“Jika nanti Anda akan berbuat keji di kemudian hari, dan memiliki kecenderungan itu, maka lebih baik selamatkan diri Anda dan tidak berderma sama sekali.”
Jika itu masalah Anda. Jika Anda tidak mampu mengontrol emosi dan perangai, dan tidak mampu mengendalikan kecenderungan Anda untuk mengingatkan dan mempermalukan orang lain tentang kebaikan Anda pada mereka, dan bagaimana mereka yang melakukan XYZ pada Anda.
Jika Anda akan seperti itu, maka biarkan saja, tidak usah memberi. Namun jika Anda telah memberi, maka biarkan mereka melakukan apa pun. Mereka boleh bertindak sesuka hati karena Anda tidak memberi pada mereka. Anda memberi Allah. Itu prinsip ini sangat penting untuk ditanamkan. Itulah mengapa Allah menyampaikan, “تَثْبِيتًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ” di sini.
Dia berkata sikap ini dimiliki oleh orang yang memiliki keteguhan kuat di dalam diri mereka.
Mereka memiliki kematangan. Orang lain tidak bisa mempengaruhi mereka. Keadaan tidak bisa mempengaruhi mereka. Mereka dewasa tentang perbuatan yang mereka lakukan dan untuk siapa mereka melakukannya. Ketika mereka memiliki kematangan itu, pada akhirnya tidak akan
kehilangan sedekah yang mereka lakukan.
Semoga Allah (عَزَّ وَجَلَّ) menerima setiap sedekah yang pernah kita berikan. Dan semoga Dia tidak menjadikan amalan kita dikalikan dengan nol, karena kesalahan kita sendiri, dan tidak memenuhi semua persyaratan setelahnya.
بَارَكَ اللهُ لِي وَ لَكُمْ فِي القُرْآنِ الحَكِيمِ
ونَفَعَنِي وَ إِيَّاكُمْ بِالْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيمِ
اَلْحَمْدُ لله وَكَفَى
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى
خُصُوصًا عَلَى أَفْضَلِهِمْ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
مُحَمَّدٍ الْأَمِيْنِ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ
بَعْدَ أَنْ أَقُوْلَ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ
فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ
فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
عِبَادَ الله، رَحِمَ كُمُ الله، اِتَّقُوا اللهَ
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ
وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
واللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ، أَقِمِ الصَلَاةَ
إنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى المُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوقُوتًا