[VoB2021] Percakapan di dalam Gua


بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-270

Topik: Divine Speech

Kamis, 18 Maret 2021

Materi VoB Hari ke-270 Pagi | Percakapan di dalam Gua

Oleh: Heru Wibowo

#ThursdayDivineSpeechWeek39Part1

Part 1

Ahli sejarah itu tidak memerinci isi percakapan dari dua anggota pasukan. Kenapa? Karena menurut ahli sejarah itu, isi percakapan tersebut bukanlah detail yang penting.

Ahli sejarah itu merasa perlu memberikan gambaran besarnya. Gambaran keseluruhannya. Apapun rincian yang diterangkan, adalah detail yang penting-penting saja.

Sekarang, mari kita kembali ke Al-Qur’an.

Anak-anak muda ash-habul kahfi ini sedang tidur. Lalu mereka bangun. Lalu ada yang bertanya, “Kita tidur berapa lama ya?”

Yang ditanya menjawab, “Menurutku yawman aw ba’dha yawm. Mungkin satu hari. Ah, tidak, matahari masih bersinar di luar sana. Mungkin satu atau beberapa jam.”

Lalu yang lain menimpali, “Ini ngapain sih mikirin berapa lama. Buat apa mikirin itu? Laper niiih, lapeeer. Udah nggak tahan aku.”

Fab’atsuu ahadakum biwariqikum haadzihii ilal-madiinah (QS Al-Kahfi, 18:19). “Allah lebih tahu, oke? Udahlah nggak usah dipusingin itu urusan berapa lama kita tertidur.”

“Percakapan macam apa ini ngomongin satu hari, setengah hari, satu jam, beberapa jam, nggak penting banget. Makan! Kita perlu makan!”

“Ayo kita kumpulkan uangnya. Kamu punya berapa? Kalau kamu, punya berapa? Ayo saweran kita buat beli makan bareng.”

“Nah, udah. Sekarang ini uangnya kamu yang bawa. Kamu yang beli makanan. Karena kamu paling tahu soal kulineran, restoran, dan tempat yang paling bagus untuk makan.”

“Kamu yang keluar. Kamu yang cari makanan, Bro. Urusan ini, kamu pakarnya.”

Yang diminta beli makanan, agak ragu, “Wah, berarti aku keluar gua dan harus kembali ke desa, ya? Padahal mereka kan sedang mencari kita di desa itu? Bagaimana ini? Kalau kita ketahuan, mereka akan menahan kita semua.”

Yang menyuruh tadi, berusaha menenangkan, “Tidak apa-apa. Yang penting kamu hati-hati aja, oke? Jangan bertingkah yang aneh-aneh. Biasa aja.”

Walyatalaththaf. “Dan berlakulah biasa-biasa saja. Berlakulah lemah lembut. Just take it easy. Santai saja.”

Walaa yusy’iranna bikum ahadaa. “Dan jangan sekali-kali menceritakan keadaanmu, keadaan kita, kepada siapa pun.”

“Jangan kelihatan menonjol. Jangan pesan makanan yang aneh-aneh. Jangan order kebanyakan. Jangan melakukan sesuatu yang mencurigakan.”

Percakapan mereka di dalam gua itu adalah percakapan yang biasa. Percakapan santai khas anak muda.

Apakah kita menjumpai percakapan seperti ini di buku-buku sejarah? Tidak.

Jika pun ada, buku sejarah itu akan memuat percakapan antara seorang raja dan para menterinya. Atau antara seorang duta besar dan kepala negara. Pokoknya percakapan antara orang-orang penting.

Bukan hanya orangnya, tapi tempat percakapan berlangsung pun adalah tempat yang orang-orang besar biasa berkumpul. Para ahli sejarah juga diundang untuk mencatat dan menjadi saksi sejarah.

Tapi percakapan yang sedang kita bahas ini adalah percakapan yang sungguh beda. Percakapannya terjadi di dalam gua.

Menunjukkan betapa hebatnya Allah Yang Maha Melihat. Dan betapa hebatnya Allah Yang Maha Mendengar.

Dari sinilah kita bisa menghargai perspektif ayat ini. Sebuah perspektif yang luar biasa!

Yang serupa dengan ini juga disebutkan di tempat lain di Al-Qur’an. Tidak kalah luar biasanya!

Ayat apa yang kira-kira akan kita bahas selanjutnya?

Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da zhuhur.

💎💎💎💎💎

Sumber: Home / Quran / Courses / Divine Speech / 07. Sequencing in the Quran (15:48 – 18:00)


Materi VoB Hari ke-270 Siang | Innanaa Sami’naa Bukan Absharnaa

Oleh: Heru Wibowo

#ThursdayDivineSpeechWeek39Part2

Part 2

Ayat berikutnya adalah As-Sajdah, 32:12. 

Walaw taraa idzil mujrimuuna naakisuu ru-uusihim ‘inda rabbihim. “Dan alangkah ngerinya jika sekiranya kamu dapat melihat orang-orang yang berdosa itu saat mereka menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya.”

Suasananya adalah suasana Hari Penghakiman. Orang-orang benar-benar merasa malu atau dipermalukan. Bahkan mereka tidak bisa mengangkat kepala mereka di hadapan Allah.

Mereka berkata, rabbanaa absharnaa wasami’naa. “Ya Allah kami telah cukup melihat. Oke, kami percaya sekarang. Kami sudah melihatnya, kami sudah melihatnya.”

Wa burrizatil jahiimu liman yaraa (QS An-Nazi’at, 79:36) “Dan neraka diperlihatkan dengan jelas kepada setiap orang yang melihat.”

Ngomong-ngomong, sebenarnya mereka tidak ingin melihatnya. Ketika mereka disuruh melihatnya, mereka bilang, “Oke, oke, kami sudah melihatnya, kami sudah melihatnya.”

Lalu?

I’m ready to listen now.”. Mereka bersedia untuk mendengarkan. 

Jadi, pertama, mereka bilang bahwa mereka melihat, lalu berikutnya, mereka bilang bahwa mereka siap untuk mendengarkan.

Tapi keseluruhan poin dari pesan Islam untuk semua nabi adalah, para nabi itu meminta kaumnya untuk mendengarkan. 

Apakah kaumnya mendengarkan? Tidak. Kaumnya tidak ingin mendengarkan. Kaumnya justru ingin melihat.

Itulah masalahnya. Yang selalu terjadi. Yang selalu terulang lagi.

Ketika seorang nabi berkata, “Tolong dengarkan aku.” Orang mukmin yang taat akan merespons, sami’naa wa atha’naa. “Kami mendengar dan kami taat.”

Innanaa sami’naa munaadiyan yunaadii lil iimaan (QS Ali ‘Imran, 3:193). Bukan innanaa absharnaa munaadiyan. Tapi innanaa sami’naa munaadiyan

“Kami mendengar panggilan orang yang menyeru kepada iman.”

Sang Nabi bersabda, “Tolong dengarkan apa yang aku katakan.” Tapi mereka yang ingkar menjawab, “Tidak. Kami tidak ingin mendengarkan.” 

“Kalau kamu ingin membuat kami terkesan, jangan buat kami terkesan dengan kata-kata. Kenapa tidak kamu tunjukkan kepada kami seorang malaikat? Ayo tunjukkan. Kami ingin melihatnya.” 

“Katanya ada malaikat yang bicara sama kamu? Kok aku nggak pernah melihat malaikat?”

“Bisakah kamu menunjukkan malaikatnya kepada kami. Seperti apa dia? Kenapa tidak kamu ajak saja malaikat itu kemari?”

“Katanya kamu juga punya Kitab ya? Coba lihat halaman-halamannya. Kalau bisa, perlihatkan saat halaman-halaman Kitab itu melayang-layang turun perlahan dari langit.”

“Susah buat aku percaya sama kamu.”

“Oh, atau kamu ingin bicara tentang Allah. Di mana dia? Biarkan kami melihatnya.”

“Oh ya, katanya mau ada hukuman yang berat ya, yang katamu pasti akan datang. Ada api yang menyala-nyala. Ada gempa bumi dan banjir.”

“Sudah cukup aku mendengarnya. Tapi mana? Aku ingin melihatnya.”

Wa yasta’jiluunaka bil-’adzaab (QS Al-Hajj, 22:47 dan QS Al-’Ankabut, 29:53). “Dan mereka meminta kepadamu supaya segera diturunkan azab.”

Dengan kata lain, masalah dari orang-orang yang ingkar itu apa sebenarnya?

Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da ‘ashar.

💎💎💎💎💎

Sumber: Home / Quran / Courses / Divine Speech / 07. Sequencing in the Quran (18:00 – 20:15)


Materi VoB Hari ke-270 Sore | Doa untuk Meredam Amarah Orang Tua

Oleh: Heru Wibowo

#ThursdayDivineSpeechWeek39Part3

Part 3

Masalah dari orang-orang yang ingkar terhadap kebenaran itu adalah: I’m not interested in hearing, I’m interested in seeing.

Itulah masalah mereka. Mereka tidak tertarik untuk mendengarkan. Mereka hanya tertarik untuk melihat.

Di Hari Penghakiman, persis seperti yang mereka minta, Allah membuat mereka melihatnya. Dan apa respons mereka? “Oke, oke, aku sudah melihatnya sekarang. Sekarang aku mau mendengarkan.”

Artinya, dunia adalah tentang “mendengarkan”. Sedangkan akhirat adalah tentang “melihat”.

Di dunia, kita mendengarkan lalu kita beriman. Sami’naa wa atha’naa. Dan di akhirat, kita semuanya melihat. Dan semuanya percaya. Tidak ada lagi yang tidak percaya, di akhirat. Semuanya menjadi “orang yang beriman” karena telah melihatnya.

Selanjutnya Ustaz memilih contoh ayat yang lain. Ustaz pilihkan contoh yang keren insya Allah. Yang juga bisa dijelaskan dalam waktu yang relatif singkat.

Tapi sebelum melanjutkan, Ustaz minta supaya kita memahami perbedaan dari dua kalimat ini.

I eat because of hunger. Saya makan karena lapar.

I eat out of fear. Saya makan karena takut.

Apa bedanya? Adakah perbedaan dari dua eaters ini? 

Dua orang ada di restoran. Mereka sudah bersiap untuk mengunyah burger. Lalu Anda bertanya ke salah satu dari mereka, “Kamu sudah siap mengunyahnya ya? Kenapa kamu lakukan itu?”

Yang satu menjawab, “Karena aku lapar.”

Yang satunya lagi menjawab, “Karena aku takut kelaparan.”

Apakah mereka makan karena alasan yang sama? Tidak.

Apa perbedaannya?

Yang makan karena lapar, dia sudah lapar. Dia sudah “mengalami” keadaan lapar. Perutnya sudah keroncongan.

Yang makan karena “takut merasa lapar”, apakah perutnya sudah keroncongan? Belum. Perutnya mungkin masih penuh.

Rasa takut tidak berasosiasi dengan apa yang terjadi dengan diri Anda “saat ini”. 

Rasa takut berasosiasi dengan apa yang akan terjadi dengan diri Anda “di masa nanti”. 

Bukan “saat ini”, tapi “nanti”.

Anda tidak takut atas apa yang “sudah” terjadi atau apa yang “sedang” terjadi. Anda takut atas apa yang “akan” terjadi.

Anda mungkin takut dan sekaligus tidak suka dengan bunyi telolet dari sopir truk yang kadang usil membunyikannya di dalam terowongan. Padahal Anda saat ini masih di rumah. Tapi mungkin satu jam lagi Anda akan melewati terowongan itu.

Anda mungkin takut melihat dan mendengar berita tentang badai, tornado, atau gempa bumi, yang menyerang wilayah tertentu. 

Yang kita takutkan adalah bukan apa yang sudah terjadi. Tapi apa yang belum terjadi. Apa yang mungkin akan terjadi.

Ketika Anda mengatakan, “Aku melakukan sesuatu karena sesuatu.” Alasannya sudah ada. 

Sekarang, mari kita masuk ke ayat yang akan kita bahas. Walaa taqtuluu awlaadakum. Jangan kau bunuh anak-anakmu. Ayat ini ada di surah Al-Isra’, 17:32. Juga ada di surah Al-An’am, 6:151.

Ayat ini membuat anak-anak sangat lega 😊😊.

Saat Ustaz memberikan lecture ini, sebagian yang hadir adalah anak-anak.

Maka Ustaz meneruskan kelakar beliau, “Anak-anak yang hadir di sini, hafalkan ayat ini ya. Karena ayat ini bisa kalian gunakan saat hasil tes kalian jeblok.”

“Kalian pulang ke rumah dengan buku rapor yang ‘berdarah-darah’ karena banyak merahnya. Saat bertemu orang tua kalian, segeralah kalian bertekuk lutut dan membaca ayat ini. Walaa taqtuluu awlaadakum. Semoga bisa menurunkan kemarahan orang tua kalian 😊😊.”

“Al-An’am 151 ayatnya lumayan panjang. Lebih dari 5 baris. Nggak perlu dibaca semua. Cukup bagian yang itu saja. Walaa taqtuluu awlaadakum. Cukup itu saja 😊😊.”

Tapi karena Ustaz akan membahas ayat ini, mari kita baca lanjutannya. Min imlaaq

Walaa taqtuluu awlaadakum min imlaaq. Artinya, because of bankruptcy. Karena kebangkrutan. Atau kemiskinan. Atau kemelaratan.

“Jangan kau bunuh anak-anakmu karena kebangkrutan, kemiskinan, atau kemelaratan.”

Nahnu narzuqukum wa iyyaahum. “Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.”

Nah, di sini ada “kepadamu” dan kepada “mereka”. 

Siapa kira-kira yang dimaksud dengan “mu” dan “mereka” di ayat ini?

Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa minggu depan.

💎💎💎💎💎

Sumber: Home / Quran / Courses / Divine Speech / 07. Sequencing in the Quran (20:15 – 23:44)


Penutup

Semoga Allah terangkan, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲

Mohon do’akan kami agar bisa istiqomah untuk berbagi mutiara-mutiaraNya. 🙏

Jazakumullahu khairan 😊

Salam,

The Miracle Team 

Voice of Bayyinah

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s