Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-269
Topik: Pearl from Ali Imran
Rabu, 17 Maret 2021
Materi VoB Hari ke-269 Pagi | Ketika Keimanan Meningkat
Ketika Keimanan Meningkat
Oleh : Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek39Part1
Part 1
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Ketika seorang mukmin “menaiki tangga keimanan” karena makin dekat, makin mesra hubungannya dengan Allah, maka standar yang ia tetapkan untuk dirinya jadi makin tinggi.
Apa yang tadinya “biasa saja” dan “tidak memalukan”, kini berubah menjadi “tidak biasa”, dan menjadi “sangat memalukan”.
Lalu bagian tersulitnya adalah: Anda mengharapkan orang lain di sekitar Anda juga berubah menjadi seperti Anda, punya standar yang tinggi juga seperti Anda.
Contohnya ketika Anda berubah dari seseorang yang tidak pernah melaksanakan qiyaamul layl menjadi orang yang sangat menjaga qiyaamul layl.
Anda selalu bangun di sepertiga malam terakhir. Salat tahajud. Anda mungkin “tergoda” untuk berharap bahwa anak-anak Anda juga bangun malam dan salat tahajud. Seperti Anda.
Standar Anda naik, lalu Anda merasa bersalah jika di suatu malam Anda melewatkan salat tahajud.
You have raised the bar.
Anda telah menaikkan standar Anda
Standar Anda yang naik itu tidak seharusnya berarti bahwa Anda dapat memaksakan standar yang sama, juga berlaku untuk orang lain. Untuk anak-anak Anda. Standar mereka belum nyampe ke sana.
Untuk yang waajibaat, yang mandatory atau yang wajib-wajib, seperti salat wajib lima waktu, tentu saja Anda boleh memaksakan hal itu kepada anak-anak Anda.
Tetapi segala sesuatu yang di atas itu, yang telah Anda paksakan pada diri Anda karena Anda punya standar yang lebih tinggi, harus Anda pastikan bahwa itu adalah urusan Anda dengan Allah saja.
Kita bisa mengamati bahwa kata sayyi’at tidak pernah digunakan untuk Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Liyaghfiralakallaahu maa taqaddama min dzanbika wamaa ta-akhkhar (QS Al-Fath, 48:2). Agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Muhammad) atas dzanb kamu (Muhammad) yang telah lalu, dan yang akan datang.
Allah memaafkan dzanb apapun yang Rasulullah lakukan. Dikatakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bahwa beliau memiliki dzanb.
Dzanb itu tidak berarti sin atau dosa. Dzanb itu artinya Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam punya standar yang sangat tinggi, yang jika Rasulullah turun 1% saja, padahal dengan turun 1% itu pun standar Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam masih terlalu tinggi dibandingkan dengan yang bisa dicapai oleh seluruh penduduk jagat raya, tapi Rasulullah masih merasa “berdosa” gara-gara turun 1% itu tadi.
Allah menutupi “dosa” itu. Allah menutupi apa yang dianggap “memalukan” oleh Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam itu sendiri.
Itulah kenapa kata dzanb sangat penting untuk kita pahami.
Faghfirlanaa dzunuubanaa yang ada di ayat ke-16 dari surah Ali ‘Imran adalah sebuah indikasi atau isyarat atas sebuah keadaan spiritual (spiritual state) dari seorang mukmin.
Dengan kata lain, misalnya, jika seseorang telah mengambil jarak dari agama ini, dan berkata, “Setidaknya aku tidak berbuat sesuatu yang haram, oke? Nggak buruk-buruk amat, kan?”
Orang ini telah memosisikan dirinya di standar yang paling minimum. Sepanjang dia tidak membunuh orang lain, menurut dia, berarti dia tidak masalah, dia oke.
Tapi ketika hubungan Anda dengan Allah makin mesra, makin dekat, standar spiritual Anda makin tinggi, maka apa yang memalukan buat Anda di hadapan Allah, juga makin tinggi.
Dalam kondisi keimanan yang meningkat tadi, Anda tidak lagi jadi minimalist.
Anda tidak mau punya standar yang lebih rendah, apalagi yang minimum.
“Setidaknya saya tidak melakukan yang diharamkan, jadi saya seharusnya oke-oke saja. Apakah sikap seperti itu diharamkan?”
Maka Anda akan berpikir, “Tidak sih. Itu tidak haram. Cuma, buat saya, itu masih saja bisa menjadi sebuah dzanb. Itu masih bisa merusak hatiku.”
Untuk seorang mukmin yang sedang berada di puncak keimanan yang tinggi, tidak dibutuhkan perbuatan yang haram untuk merusak hati. Level keimanannya turun sedikit saja, walaupun masih tinggi, dia sudah menganggap ada sesuatu yang mengotori hatinya.
Semuanya bergantung pada kedewasaan hubungan kita dengan Allah ’azza wajalla.
Semoga Allah memantapkan hubungan kita dengan-Nya, dan menguatkan hati kita 🤲🏻.
Di akhir doa yang ada di Ali ‘Imran 16 ini, terdapat kata-kata waqinaa ‘adzaabannaar. ”Protect us from the punishment of the fire”. Atau, “Lindungi kami ya Allah, dari siksa api neraka.”
Mengapa penutup ayatnya seperti ini?
Bukankah orang mukmin sudah seharusnya secara otomatis terlindung dari siksa api neraka?
Bukankah yang seharusnya ke neraka adalah orang-orang yang ingkar (disbelievers)?
Ya.
Musuh-musuh Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam akan pergi ke neraka.
Alladziina kafaruu, orang-orang yang ingkar, mereka itulah yang seharusnya ke neraka.
Di ayat sebelumnya, ayat ke-10 dari surah Ali ‘Imran, ditegaskan wa ulaa-ika hum waquudunnaar. Dan mereka itu, orang-orang yang ingkar atau disbelievers itu, mereka adalah bahan bakar api neraka.
Ada ikhtishash atau pengkhususan di ayat itu bahwa merekalah yang ingkar dan akan masuk neraka, bukan yang lain.
Ayat ke-16 adalah tentang orang yang beriman. Rabbanaa innanaa aamannaa. Orang yang beriman tujuannya kan surga, bukan neraka. Mengapa di ayat ini ada permintaan kepada Allah supaya dijauhkan dari api neraka? Bukannya seharusnya otomatis sudah terlindungi dari api neraka karena kita punya iman?
Mengapa kita harus minta kepada Allah untuk melindungi kita dari azab neraka?
Allah sedang mengajarkan kepada kita tentang sebuah realitas yang dahsyat. Realitas itu adalah: bukan berarti karena kita telah beriman maka kita juga telah selamat dari api neraka.
Dua kalimat syahadat yang kita ucapkan secara verbal itu tidak cukup. Hati kita harus tetap dilindungi. Oleh Sang Maha Pembolak-balik Hati. Jika hati kita tidak terlindungi, maka kita pun tidak selamat dari api neraka.
Waqinaa ‘adzaabannaar.
Itulah kenapa Allah juga mengatakan, ”Yaa ayyuhalladziina aamanuu, quu anfusakum wa ahliikum naaraa.”
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS At-Tahrim, 66:6)
Anda harus melindungi diri Anda sendiri dari api neraka.
Anda telah menyatakan diri Anda beriman, kan? Oke, itu baik. Tapi bersikaplah untuk tidak pernah merasa aman.
Jangan sampai kita seperti orang-orang yang terdahulu, yakni orang-orang Yahudi yang menganggap bahwa mereka adalah “anak cucu keturunan Tuhan”, bahwa mereka adalah “umat yang terpilih”.
Dengan anggapan seperti itu, mereka yakin bahwa Tuhan tidak akan menghukum mereka. Dan jika pun menghukum, paling-paling dihukumnya cuma sepanjang weekend yang pendek dan cepat berlalu. Itu menurut mereka.
Lan tamassanannaaru illaa ayyaaman ma’duudaat. (QS Al-Baqarah, 2:80) “Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja.” Itu menurut mereka. Itu adalah masalah mereka.
Sementara itu orang-orang Kristen bilang bahwa Tuhan sangat mencintai mereka, Dia mengorbankan anak laki-lakinya sendiri, supaya mereka semua bisa masuk surga. Jadi mereka percaya bahwa mereka tidak akan melihat neraka.
Keduanya, Yahudi dan Nasrani, merasa bahwa mereka punya kekebalan mutlak (absolute immunity) dari siksa api neraka.
Di antara kita, kaum muslimin, ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam akan memberikan syafaat kalau kita mengucapkan laa ilaaha illallaah muhammadan rasuulullaah sehingga kita pun tidak akan melihat neraka. Kita akan baik-baik saja.
Benarkah pendapat seperti ini?
Benarkah kita akan benar-benar terbebas dari siksa api neraka sesederhana itu?
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da zhuhur.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 06. ‘Ali ‘Imran – Ayah 16-18 Ramadan 2018 (15:15 – 18:26)
Materi VoB Hari ke-269 Siang | Becoming People of Istighfar
Becoming People of Istighfar
Oleh : Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek39Part2
Part 2
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Tidak. Tidak sesederhana itu. Tidak bisa kita mengamini bahwa tiket untuk dibebaskan dari melihat neraka adalah cukup dengan mengucapkan laa ilaaha illallaah. Tidak semudah itu.
Ternyata di antara kaum muslimin sendiri ada yang mengembangkan sikap yang sama dengan sikap yang dimiliki oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Terlalu menggampangkan. Ingin terbebas dari neraka dengan membayar harga yang terlalu murah.
Seharusnya kita tidak memiliki sikap seperti itu. Seharusnya kita tidak menganggap enteng perkara ini. Seharusnya kita tidak bermain-main dengan Allah ’azza wajalla.
Ada kecenderungan, memang, bahwa ada orang yang bahkan menyalahgunakan hal ini. Ada hadis-hadis yang menyebutkan besarnya pahala dari sebuah kebaikan.
Misalnya, jika salat beberapa rakaat saja di Masjidil Haram maka pahalanya begitu banyaknya sampai kalkulator yang sederhana tak sanggup menampung angkanya.
Atau, jika kita berhasil meraih laylatul qadr maka pahalanya seribu bulan. Laylatul qadri khayrun min alfi syahr (QS Al-Qadr, 97:3). Seribu bulan berarti 83 tahun. Berarti ada kelebihan pahala 20 tahun dibanding usia Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam yang 63 tahun.
Atau, ada lagi orang yang mungkin menghitung pahala tasbih yang dilakukannya di suatu pagi. Dia mulai berandai-andai bahwa ucapan subhaanallaah yang ia “setor” pagi itu begitu besar pahalanya dibandingkan dosanya yang dianggapnya sangat-sangat kecil. “Aku bisa kipas-kipas sekarang,” dia berkata pada diri sendiri, penuh kelegaan.
Lebih “celaka” lagi, kalau dia sampai berpikir, “Bolehlah aku imbangi dengan sedikit tambahan dosa, orang pahala dzikir saya masih jauh ini.”
Tidak bisa. Kita tidak boleh melakukan akuntansi seperti itu. Cara menyikapi ayat atau hadis tentang besarnya pahala itu tidak seperti itu.
Angka-angka pahala yang besar, baik di Al-Qur’an maupun hadis itu disebutkan supaya kita termotivasi untuk melakukannya, bukan supaya kita menjadi akuntan dadakan yang mulai menghitung neraca pahala dan dosa.
Menghitung debit-kredit pahala dan dosa bukanlah tujuan dari disebutkannya angka-angka pahala amalan dalam Al-Qur’an dan hadis.
Kembali ke penggalan akhir dari doa di ayat ke-16. Waqinaa ‘adzaabannaar. Doa ini bergema hanya dua kali di Al-Qur’an. Yang pertama adalah di surah Al-Baqarah dan yang kedua adalah di ayat ini, di Ali ‘Imran.
Jadi, frasa wa qinaa ‘adzaabannaar muncul dua kali di Al-Qur’an.
Di Al-Baqarah 201, rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaabannaar.
Di ayat ini, Ali ‘Imran 16, rabbanaa innanaa aamannaa faghfirlanaa dzunuubanaa wa qinaa ‘adzaabannaar.
Secara bahasa, keduanya adalah seperti dua sisi koin dari mata uang yang sama. Intinya adalah, kita tidak ingin kisah perjalanan hidup kita berakhir di api neraka.
Artinya, ketika Allah melindungi seseorang dari api neraka, maka perjalanan orang itu berakhir di surga. Itu sudah jelas dan tidak perlu diuraikan. Adkhilnal jannatak. Dilindungi dari api neraka berarti masuk surga.
Tapi ada dua sisi dari pernyataan itu.
Di satu sisi, kita minta sama Allah untuk memberikan yang terbaik dalam kehidupan kita di dunia ini, dan untuk kehidupan selanjutnya (the next life). Dan supaya Allah melindungi kita dari siksa api neraka.
Di sisi yang lain, di ayat ini, kita mengatakan bahwa kita telah beriman, kita mohon pengampunan atas dosa-dosa kita, dan supaya Allah melindungi kita dari siksa api neraka.
Bagaimana bisa ada dua sisi dari hal yang sama tersebut?
Kita sedang mempelajari satu hal di sini, yakni bahwa yang terbaik dari hidup kita saat ini dan di kehidupan kita selanjutnya dijamin ketika kita benar-benar hijrah menjadi orang yang beriman, sehingga kita jauh dari dosa, dan bersegera untuk memohon pengampunan dari Allah.
Jika kita hidup dalam keimanan dan pengampunan, maka kita akan mendapatkan yang terbaik dalam kehidupan saat ini dan kehidupan selanjutnya.
Itulah dua sisi dari koin itu. Itulah kuncinya supaya kita selamat dari hukuman siksa api neraka bagi seorang mukmin.
Aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah. Lakukan sesuatu di dunia ini, yang akan membantu dunia dan akhirat kita. Iman yang kita punya, akan membantu dunia kita, dan akhirat kita juga. Istighfar kita, akan membantu dunia kita, dan akhirat kita juga.
Jika seseorang bersungguh-sungguh untuk tidak lepas dari istighfar, menjadi a person of istighfar, maka Allah membuka semua pintu kebaikan untuknya.
Yursilussamaa-a ‘alaykum midraaran. Wa yumdidkum bi amwaalin wa baniina wa yaj’al lakum jannaatin wa yaj’al lakum anhaaran (QS Nuh, 71:11-12).
Dunia menjadi lebih baik. Langit terbuka. Berbagai kebaikan turun ke bumi. Kebun-kebun Allah sediakan untuk kita. Anak-anak yang menggembirakan hati. Uang dan semua yang bersifat materi juga Allah sediakan untuk kita.
Itu semua bisa turun begitu saja tanpa kita kejar-kejar penuh kepayahan dan kelelahan, hanya dengan kita menjadi people of seeking forgiveness. Orang yang rajin memohon pengampunan. Orang yang rajin memanjatkan istighfar.
Tapi jangan berhenti berusaha ya. Yang kerja tetap bekerja. Yang berusaha tetap berusaha. Tapi di sela-sela, sebelum dan setelah kerja dan usaha itu, kita tidak lepas dari istighfar.
Astaghfirullaahal ‘azhiim
Astaghfirullaahal ‘azhiim
Astaghfirullaahal ‘azhiim
Innallaaha ghafuururrahiim
Jadi dunia menjadi hasanah. Akhirat pun menjadi hasanah. Itulah kenapa Allah berkata kepada para ahli Kitab di masa lalu, tentang berlimpahnya makanan hanya jika mereka punya kesungguhan mengamalkan Kitab tersebut.
Apa yang Allah firmankan?
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da ‘ashar.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 06. ‘Ali ‘Imran – Ayah 16-18 Ramadan 2018 (18:26 – 21:52)
Materi VoB Hari ke-269 Sore | Kualitas yang Heavenly Worthy
Kualitas yang Heavenly Worthy
Oleh : Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek39Part3
Part 3
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Allah berfirman: walaw annahum aqaamuttawraata wal injiila wa maa unzila ilayhim min rabbihim la-akaluu min fawqihim wa min tahti arjulihim (QS Al-Ma’idah, 5:66).
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan Taurat, Injil, dan yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.”
Mereka akan hidup dengan mudah dan penuh kenikmatan jika mereka mengikuti wahyu yang diturunkan kepada mereka.
Tujuan diturunkannya wahyu bukanlah untuk mencabut atau menghilangkan kita dari berkah duniawi (worldly blessing).
Justru dengan wahyu tersebut, setelah kita pahami, kita hayati, kita amalkan, kita mengubah berkah duniawi tadi menjadi sebuah batu loncatan (stepping stone) untuk kita mengejar berkah surgawi (akhirah blessing).
Itulah tujuan diturunkannya wahyu. Allah ingin supaya kita punya kehidupan yang baik di dunia ini, dan juga kehidupan yang baik di akhirat.
Menurut konsep Kristen, kehidupan di dunia ini adalah sebuah kutukan (a curse). Konsep muslim tidak seperti itu.
Waja’alnaa lakum fiihaa ma’aayisy (QS Al-A’raf, 7:10 dan QS Al-Hijr, 15:20). Allah telah menyediakan sumber-sumber kehidupan di bumi untuk keperluan kita. Sehingga dengannya kita bisa hidup dengan baik dan nyaman.
Apa yang telah Allah sediakan itu seharusnya membuat kita berterima kasih. Makin kita berterima kasih, makin kita membuka pintu-pintu kebaikan untuk akhirat kita.
Karena rasa terima kasih akan melunakkan hati kita dan membuka jalan kita ke akhirat.
Jadi dua hal ini, kehidupan kita saat ini di dunia, dan kehidupan kita nanti di akhirat, terhubung satu sama lain.
Dan frasa singkat (small phrase) tadi, wa qinaa ‘adzaabannaar, adalah frasa yang sangat halus dan indah untuk mengikat kedua hal itu bersama.
Lalu Allah menjelaskan lebih jauh. Kita masih di bashiirun bil ‘ibaad (QS Ali ‘Imran, 3:15). Ini adalah gambaran tentang para penduduk surga (the people of heaven). Orang-orang inilah yang mengucapkan doa rabbanaa innanaa aamannaa faghfirlanaa dzunuubanaa wa qinaa ‘adzaabannaar.
Doa itu berisi tiga hal: (1) mereka melakukan lompatan keimanan (leap of faith), (2) mereka memohon pengampunan Allah, dan (3) mereka meminta perlindungan dari siksa api neraka.
Allaahummaj’alnaa minhum. Semoga Allah menjadikan kita masuk ke dalam golongan orang-orang yang seperti mereka 🤲🏻🤲🏻.
Apa yang Allah jelaskan lebih jauh? Kualitas pribadi mereka. Yakni ash-shaabiriin, wash-shaadiqiin, wal-qaanitiin, wal-munfiqiin, wal-mustaghfiriina bil-as-haar (QS Ali ‘Imran, 3:17).
Orang-orang yang sabar dan gigih, orang-orang yang benar dan tulus, orang-orang yang taat (subservient), orang-orang yang menginfakkan hartanya, dan orang-orang yang memohon ampunan di waktu sebelum fajar.
Itulah kualitas mereka. Kualitas dari hamba Allah yang sesungguhnya. Kualitas yang “layak akan surga” dari Allah ta’aalaa (heaven worthy).
Sebuah ayat yang dahsyat.
Salah satu dimensi penting dari ayat ini adalah, ketika kita memanjatkan doa, maka doa itu seharusnya punya pengaruh ke kepribadian orang yang memanjatkan doa tadi.
Jika mereka sungguh-sungguh mendeklarasikan kepada Allah bahwa mereka benar-benar memiliki iman, innanaa aamannaa, dan mereka juga memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosa mereka dengan penuh kesungguhan, faghfirlanaa dzunuubanaa, kita dapati juga bahwa kualitas yang disebut terakhir di ayat ke-17 adalah wal mustaghfiriin.
Kita punya istighfar di ayat sebelumnya, yakni faghfirlanaa dzunuubanaa di ayat ke-16. Lalu di ayat ke-17 ini kita punya istighfar lagi: wal mustaghfiriin.
Lalu kualitas-kualitas pertama yang disebutkan di ayat ke-17: ash-shaabiriin, wash-shaadiqiin, wal-qaanitiin, wal-munfiqiin, itu semuanya adalah buah dari keimanan.
Innanaa aamannaa adalah pembuka jalan, faghfirlanaa dzunuubanaa adalah pembuka jalan selanjutnya, demikian juga dengan wal-mustaghfiriina bil-as-haar.
Apa sih artinya ketika kita bilang sama Allah bahwa kita punya iman? Atau bahwa kita telah membuat sebuah lompatan keimanan?
Artinya, kita telah mengembangkan kualitas-kualitas yang disebutkan di ayat ke-17. Kualitas kesabaran, kualitas kebenaran dan ketulusan, kualitas ketaatan, kualitas berbagi melalui infak kita, serta kualitas dalam mencari pengampunan dari Allah ’azza wa jalla.
Ini membawa kita kembali ke awal surah Al-Baqarah. Wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun yang disebutkan di awal Al-Baqarah. Sebagai gambaran pertama dari orang-orang yang beriman.
Inilah kualitas-kualitas iman. Dari sinilah kita bisa mengamati apakah orang-orang itu benar-benar memiliki iman di dalam diri mereka atau tidak. Dari sinilah kita mengetahui apakah orang-orang itu ’ibaad atau bukan.
Berikutnya, Ustaz mengajak kita untuk menapaki perjalanan lebih lanjut. Ustaz mengajak kita untuk mengamati kembali surah Ali ‘Imran dari awal hingga kita sampai di ayat ke-17 ini.
Ada dua panggilan, atau dua tuntutan yang telah Allah buat dari audiensi surah ini. Kita harus mengingat-ingat dua tuntutan ini. Bahkan kita harus mengingatnya di sepanjang surah Ali ‘Imran.
Apakah dua tuntutan itu?
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa minggu depan.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 06. ‘Ali ‘Imran – Ayah 16-18 Ramadan 2018 (21:52 – 25:19)
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah