بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-259
Topik: Heavenly Order
Ahad, 7 Maret 2021
Materi VoB Hari ke-259 Pagi | Profesor Raymond Farrin
Oleh: Heru Wibowo
#SundayHeavenlyOrderWeek37Part1
Part 1
Ustaz teringat salah seorang temannya. Namanya Raymond Farrin. Penulis buku berjudul Structure and Qur’anic Interpretation.
Ustaz sudah membaca buku itu. Ustaz sangat tertarik dengan buku itu.
Ini bukan iklan, tapi penulis juga sangat tertarik dengan buku ini dan memperolehnya, maksudnya membelinya, dengan sekali klik, karena tersedia di Kindle.
Raymond Farrin adalah seorang profesor bahasa Arab di American University of Kuwait. Beliau masih mengajar di sana.
Ustaz pernah berkesempatan untuk pergi ke Kuwait. Kesempatan yang tidak disia-siakan Ustaz untuk menyisihkan waktu mengunjungi Prof. Raymond, bertemu dengannya untuk pertama kalinya.
Sebelum pertemuan itu, Ustaz sudah pernah berkomunikasi dengannya melalui email. Ustaz juga mengundang Prof. Raymond untuk mengunjungi kampus Bayyinah, untuk bicara tentang struktur Al-Qur’an dan interpretasinya.
Ustaz pun mendengarkan cerita dari Prof. Raymond. Cerita yang luar biasa. Beliau memperoleh Ph.D. dari Georgetown dengan disertasi tentang puisi Arab klasik (classical Arabic poetry).
Qashidah (قصدة) atau puisi Arab klasik berisi berbaris-baris puisi yang panjang. Kadang-kadang sampai seratus baris.
Apa yang dilakukan Prof. Raymond? Beliau melakukan analisis tentang bagaimana puisi-puisi itu tersusun. Bagaimana puisi Arab klasik itu tersusun.
Menarik karena puisi-puisi itu semuanya berasal dari tradisi lisan (oral tradition). Karena puisi-puisi ini berasal dari tradisi lisan, maka orang-orang Arab zaman dahulu mengucapkan puisi-puisi berbaris-baris panjangnya itu secara langsung, secara spontan.
Meski spontan, dan panjang, tapi kualitasnya bak karya sastra yang penuh keselarasan, ada kesepadanan, ada kekontrasan, maupun kesamaan bunyi bahasa.
Anak-anak kecil di Amerika biasanya belajar sajak dengan mengucapkan rangkaian kata-kata seperti cat, bat, hat, mat, dan rat.
Prof. Raymond menemukan bahwa puisi-puisi Arab klasik itu, selain punya keindahan sajak, juga punya susunan yang menarik.
Lalu Prof. Raymond berpikir, “Saya sudah mempelajari puisi Arab klasik. Mengapa saya tidak mempelajari puisi religius sekalian?”
Dan puisi religius itu, menurut Prof. Raymond, adalah Al-Qur’an.
Jadi beliau tidak melihat Al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci (sacred book). Tapi sebagai sebuah “buku” yang berisi puisi.
Mengapa beliau bisa sampai berkesimpulan seperti itu? Karena Al-Qur’an punya rima. Punya pengulangan bunyi yang berselang. Persis seperti puisi-puisi yang beliau pelajari.
Maka beliau pun tertarik untuk mempelajari bagaimana Al-Qur’an itu tersusun.
Saat beliau mempelajarinya, beliau terkesan dengan tingkat kecanggihan susunan Al-Qur’an, tak terbayang bagaimana “sang penyusun” Al-Qur’an bisa melakukannya. Benar-benar belum pernah beliau lihat di puisi-puisi yang beliau pelajari sebelumnya.
Nah.
Ini adalah seorang profesor, di Georgetown, tidak pernah berhubungan atau berinteraksi dengan komunitas muslim, hanya belajar bahasa Arab dan puisi-puisi Arab secara mendalam, dan dari hasil belajar itu saja, dia menjadi seorang muslim.
Beliau mengucapkan dua kalimat syahadat, “hanya” dari penelitian-penelitian yang beliau lakukan itu.
Saat Ustaz bertemu beliau, duduk bareng beliau, makin Ustaz sadar bahwa bahasa Arab beliau itu canggih luar biasa.
Benar-benar keren bahwa beliau mengajar bahasa Arab di hadapan mahasiswa yang semuanya orang Arab. Orang-orang Arab Kuwait.
Apa yang diajarkan adalah lebih keren lagi. Mata kuliah yang super keren. Advanced Poetry. Puisi Tingkat Lanjut. Bukan puisi biasa, tapi puisi bahasa Arab! Diajarkan oleh mister bule, orang Amerika, berambut pirang!
Sayup-sayup ada yang berbisik, “Ada masalah apa ya, dengan orang-orang Arab sendiri? Masa sih kita belajar bahasa Arab dengan seorang bule Amerika?”
Prof. Raymond merespons, “Tidak ada masalah. Anda juga bisa melakukan yang sebaliknya. Belajar bahasa Inggris dari orang Arab. Keren kan?”
Kembali ke pelajaran Heavenly Order, inilah argumen keempat: argumen studi kasus (case study). Kita coba rangkum kembali keempat argumen yang telah kita pelajari minggu lalu:
1. argumen sejarah (historical argument),
2. argumen yang berkenaan dengan kata demi kata atau isi naskah Al-Qur’an (textual argument),
3. argumen spiritual (spiritual argument), dan
4. argumen studi kasus (case studies).
Kali ini kita tidak akan membahas studi kasus. Ada saatnya nanti kita membahasnya. Studi kasus yang satu, studi kasus yang lain, lalu studi kasus yang lainnya lagi.
Yang akan dipelajari lebih dulu adalah “organisasi” dari studi kasus itu. Bagaimana susunan dari berbagai studi kasus yang nantinya akan kita pelajari itu.
Jadi tentu saja kita akan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dalam pembahasan ini nanti. Contoh-contoh yang berbeda yang menunjukkan adanya koherensi (coherence) di dalam Al-Qur’an. Bahwa ayat-ayatnya tersusun sedemikian rupa sehingga berkaitan satu sama lain. Kita akan membahas berbagai contoh susunan ayat-ayat Al-Qur’an dan konektivitasnya.
Penjelasan tentang susunan-susunan itu akan dibagi menjadi beberapa bagian (sections). Dan Ustaz akan menjelaskan bagian-bagian itu pada saatnya nanti.
Sebelum Ustaz melanjutkan pembahasan, Ustaz bertanya kepada murid-murid beliau, sekaligus untuk memeriksa apakah murid-murid beliau memperhatikan.
Pertanyaannya adalah tentang four kinds of arguments that are going to be made for the organization of the Qur’an. Empat jenis argumen yang akan dibuat untuk mempelajari susunan Al-Qur’an.
Yang membaca tulisan ini tentu dengan mudah menjawabnya karena baru saja dirangkum oleh penulis. Keempatnya adalah historical, textual, spiritual, dan case studies.
Murid-murid Ustaz berhasil menjawab pertanyaan Ustaz. Menyebutkan keempat argumen tersebut. Menunjukkan bahwa murid-murid beliau menyimak atau mencatat.
Insya Allah ba’da zhuhur kita akan mulai dengan argumen yang pertama, yakni argumen sejarah (historical argument).
💎💎💎💎💎
Sumber: Home / Quran / Courses / Divine Speech / Heavenly Order – Lesson 01_ Historical Arguments (10:13 – 13:37)
Materi VoB Hari ke-259 Siang | Argumen Sejarah
Oleh: Heru Wibowo
#SundayHeavenlyOrderWeek37Part2
Part 2
Kita sekarang masuk di argumen yang pertama, yakni argumen sejarah, yang akan mencoba menjelaskan tentang urutan mahakarya Ilahi (divine order) dari susunan Al-Qur’an.
Imam Izzuddin bin Abdissalam rahimahullaah berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam konteks yang bervariasi dan dalam peristiwa-peristiwa tertentu.
Dan karena ayat-ayat itu turun dalam konteks yang berbeda-beda, maka seharusnya tidak ada asumsi bahwa ayat yang turun di tahun ketiga, misalnya, terhubung dengan ayat yang turun setelahnya, yakni yang turun di tahun kelima.
Untuk membuat keterhubungan dari dua ayat ini, hipotesisnya seharusnya lemah. Mengapa? Karena dua ayat ini bicara tentang dua peristiwa atau kejadian yang berbeda.
Jadi seharusnya keterhubungan seperti itu tidak masuk akal. Maka seharusnya kita terima saja fakta bahwa kedua ayat itu memang tidak terhubung.
Mencoba menghubungkan kedua ayat itu adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya, atau kalau ada, pasti didasarkan pada hipotesis yang rapuh (flimsy hypothesis).
Begitulah pendapat beliau.
Guru beliau, Ahmad Al-Manfaluti, berkata bahwa mereka yang tidak mencoba mencari keterhubungan konteks atau munasabat (bagaimana ayat terhubung satu sama lain), adalah salah.
Realitas masalahnya adalah bahwa turunnya ayat memang berdasarkan peristiwa-peristiwa tertentu, tetapi urutannya, urutan sebagaimana yang kita lihat pada mush-haf Al-Qur’an saat ini, adalah sesuai dengan kebijaksanaan Ilahi.
Apa hikmahnya?
Karena mush-haf Al-Qur’an itu sesuai dengan kitaabun maknuun yang tersembunyi, artinya Al-Qur’an yang kita baca sekarang adalah sama dengan Al-Qur’an yang ada di “tempat yang terjaga”. Fii lawhin mahfuuzh (QS Al-Buruj, 85:22). Urutannya seharusnya sama, antara Al-Qur’an yang “di atas sana” dengan Al-Qur’an yang ada di muka bumi.
Beliau selanjutnya memberikan contoh untuk membantu murid-murid beliau memahami konsep ini.
Ada dua jenis susunan atau urutan Al-Qur’an. Ada urutan sejarah (historical order), dan ada urutan yang kita punya sesuai mush-haf saat ini.
Ketika seseorang datang menemui seorang ’alim, “Bisakah Anda membantu saya terkait masalah warisan?”
Lalu ada seseorang yang lain yang datang menemui orang ’alim yang sama dan bertanya, “Bisakah Anda membantu saya terkait masalah perceraian?”
Lalu ada seseorang yang lain lagi yang datang, masih menemui orang ’alim yang sama dan bertanya, “Bisakah Anda membantu saya terkait masalah daging yang halal?”
Orang-orang datang dengan berbagai masalah yang berbeda. Maka orang yang ’alim tadi akan mengutip bagian Al-Qur’an yang sama, atau yang berbeda?
Sudah pasti berbeda. Untuk masalah warisan, ayatnya ini, untuk masalah perceraian, ayatnya itu, sedang untuk masalah daging yang halal, ayatnya beda lagi.
Tapi saat orang yang ’alim” tadi membaca Al-Qur’an, apakah bacaan beliau melompat-lompat dari ayat tentang warisan, langsung disambung ayat tentang perceraian, dan segera disambung ayat tentang daging yang halal?
Tidak. Tidak seperti itu. Orang yang ’alim tadi, ketika membaca Al-Qur’an, beliau akan memulai dengan Al-Fatihah. Lalu Al-Baqarah. Lalu Ali ‘Imran. Demikian seterusnya.
Begitulah sang guru, Ahmad Al-Manfaluti menjelaskan. Supaya murid-murid beliau memahami dan menghargai perbedaan antara keduanya. Antara urutan sejarah yang contextual dan urutan mush-haf yang merupakan kebijaksanaan Ilahi.
Lalu ada argumen yang paling sulit. Argumen ini dipegang oleh Imam Malik, Qadhi Abu Bakr, dan Ibnu Faris.
Mereka berpendapat bahwa ada catatan yang menyebutkan bahwa para sahabat yang berbeda, telah menulis mush-haf Al-Qur’an mereka sendiri.
Yang dimaksud di sini adalah catatan pribadi dari masing-masing sahabat itu (their own written copies of the Qur’an). Catatan yang berbeda memiliki urutan yang berbeda (different ones were in different order). Atau dengan kata lain, each script has its own order.
Jadi, kita punya para sahabat Nabi radhiyallaahu ‘anhum ajma’iin yang memiliki Qur’an mereka sendiri, mereka menulis dalam catatan mereka sendiri.
Tentu saja ada banyak sahabat yang tidak punya catatan Al-Qur’an tertulis juga. Tapi ada sebagian dari sahabat yang punya kemampuan untuk menulis.
Karena kita tahu bahwa masyarakat Arab saat itu dikenal dengan al-ummiyyiin. Huwalladzii ba’atsa fil-ummiyyiin (QS Al-Jumu’ah, 62:2). Allah mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf.
Kita tidak bisa berharap bahwa dari kaum yang buta huruf, banyak yang memiliki kemampuan menulis. Kebanyakan tidak. Tapi tetap ada beberapa, tidak banyak, a few, yang punya kemampuan menulis. Yang sedikit inilah yang punya catatan Qur’an versi mereka masing-masing.
Bagaimanakah Al-Qur’an versi catatan para sahabat itu?
Bagaimana urutan surat-suratnya?
Insya Allah akan kita kupas ba’da ‘ashar.
💎💎💎💎💎
Sumber: Home / Quran / Courses / Divine Speech / Heavenly Order – Lesson 01_ Historical Arguments (13:37 – 17:17)
Materi VoB Hari ke-259 Sore | Benarkah Urutan Surah dalam Al-Qur’an yang Ada Saat Ini Berasal dari Konsensus Para Sahabat?
Oleh: Heru Wibowo
#SundayHeavenlyOrderWeek37Part3
Part 3
Mari kita melakukan eksplorasi terhadap catatan mush-haf_ lllkAl-Qur’an dari masing-masing sahabat yang punya kemampuan menulis itu.
Kita mulai dari catatan Ubay ibn Ka’b.
Mush-haf dari Ubay ibn Ka’b adalah sebagai berikut: Al-Fatihah, Al-Baqarah, An-Nisa’, Ali ‘Imran, dan Al-An’am.
Bagaimana dengan mush-haf Al-Qur’an yang kita punya sekarang? Apakah sama, atau berbeda?
Di mush-haf Al-Qur’an kita sekarang, yang pertama adalah Al-Fatihah, kedua Al-Baqarah, ketiga Ali ‘Imran, keempat An-Nisa’, kelima Al-Ma’idah, keenam Al-An’am.
Jadi urutan surah dari mush-haf Ubay ibn Ka’b adalah 1, 2, 4, 3, dan 6. Urutannya berbeda. Itulah urutan mush-haf Ubah ibn Ka’b.
Sekarang kita lihat catatan Ibnu Mas’ud.
Qur’an Ibnu Mas’ud dimulai dari Al-Baqarah. Untuknya, Al-Baqarah adalah surah urutan pertama. Tidak ada Al-Fatihah.
Setelah Al-Baqarah, ada An-Nisa’. Jadi dimulai dari nomor 2, lalu nomor 4. Lalu Ali ‘Imran. Jadi urutannya adalah 2, 4, dan 3.
Jumlah surah yang ada dalam mush-haf yang kita punya sekarang adalah 114. Karena di mush-haf Ibnu Mas’ud tidak ada Al-Fatihah, maka jumlah surahnya sudah berkurang satu, jadi 113.
Jumlah surah di mush-haf Ibnu Mas’ud makin berkurang lagi karena ternyata dua surah terakhir, Al-Falaq dan An-Nas, juga tidak ada di mush-haf Ibnu Mas’ud.
Jadi mush-haf Ibnu Mas’ud tidak berisi 114 surah. Karena ada tiga surah yang tidak masuk di dalamnya: Al-Fatihah, Al-Falaq, dan An-Nas.
Sekarang kita beralih ke mush-haf Ali radhiyallaahu ‘anhu.
Surah pertama di mush-haf Ali adalah iqra’ bismirabbikalladzii khalaq, atau surah ke-96 di mush-haf yang kita punya sekarang.
Surah yang kedua adalah surah Al-Muddatstsir, atau surah ke-74 di mush-haf yang kita punya sekarang.
Surah yang ketiga adalah surah Qaf, atau surah ke-50 di mush-haf yang kita punya sekarang.
Surah-surah selanjutnya adalah Al-Muzzammil, Al-Masad atau Al-Lahab, lalu At-Takwir. Yang berarti, urutannya adalah 96, 74, 50, 73, 111, dan 81.
Apakah kita punya salinan Al-Qur’an mush-haf Ali radhiyallaahu ta’aalaa ‘anhu ini? Tidak, kita tidak punya.
Yang kita punya adalah catatan tentang surah-surah apa yang ada dalam urutan mush-haf itu, tapi kita tidak punya salinannya.
Pertanyaannya sekarang adalah: dari mana kita mendapatkan urutan surah-surah dalam mush-haf Al-Qur’an seperti yang kita punya saat ini?
Ada yang berpendapat bahwa jawabannya adalah karena para sahabat itu get together, berkumpul dan mencapai kata sepakat tentang urutan surah-surahnya.
Apa implikasi dari pendapat ini? Berarti, tidak ada hubungannya dengan Allah. Atau dengan kata lain, tidak ada “campur tangan” Allah dalam penyusunan urutan surah-surah dalam mush-haf itu. Berarti urutan surah-surah itu diputuskan berdasarkan konsensus atau ijma’ para sahabat saja.
Karena ijma’, berarti urutan surah-surah itu bukan berasal dari wahyu (revelation). Bukan dari kebijaksanaan Allah.
Apakah argumen ini bisa diterima? Adakah counter argument yang tidak sependapat dengan argumen tadi?
Manakah yang benar tentang urutan surah dalam mush-haf Al-Qur’an yang kita punya sekarang: apakah itu berasal dari konsensus para sahabat atau urutan itu sebenarnya berasal dari Allah?
Insya Allah akan kita lanjutkan minggu depan.
💎💎💎💎💎
Sumber: Home / Quran / Courses / Divine Speech / Heavenly Order – Lesson 01_Historical Arguments (17:17 – 20:21)
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah