Mungkin ada saat kita merasa terus kekurangan atau malah sering merasakan hal itu. Sepertinya banyak sekali keinginan kita yang tidak terpenuhi. Entah karena secara ekonomi kita memang terbatas. Atau keinginan kita yang memang tidak ada batasnya.
Rasulullah mengajarkan pada kita, bahwa ketika kita melihat dunia maka kita harus melihat orang-orang yang lebih “terbatas” dari kita, sedangkan kalau melihat akhirat maka kita harus melihat orang-orang yang amalannya terlihat lebih banyak dari kita.
Al-Qur’an juga menawarkan solusi yang terbilang praktis tentang hal ini.
Dalam QS. Thaha 131 Allah berfirman
وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka (orang-orang kaya atau hartawan) sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.
Kata تَمُدَّن ّberasal dari kata madada. Dalam Lughot Arab berarti mengintipnya dan atau mengangkat matanya ke arahnya.
Kata تَمُدَّنَّ ini memiliki makna kesungguhan hal ini dicirikan oleh adanya huruf nun tasdid pada huruf setelah konsonan (huruf dal yang kedua).
Ini adalah larangan untuk mengintip/melirik. Artinya jika mengintip saja tidak boleh apalagi memandang dan menatapnya lama dengan sungguh-sungguh takjub pada kekayaan maupun kemewahan yang dimiliki orang lain.
Bagi perempuan misalnya, di lemarinya sudah berjejer gamis dari brand A-Z. Begitu melihat temannya di media sosial memakai gamis brand xyz misalnya akhirnya timbul keinginan untuk membeli juga.
Contoh lain.
Ketika kita sudah memiliki mobil meskipun bukan keluaran terbaru lalu ketika berhenti di lampu merah melihat mobil yang lebih bagus akhirnya terbersit keinginan juga untuk memiliki mobil yang kita lihat. Sepertinya lebih nyaman dan lebih keren. Blablabla.
Begitu seterusnya.
Berawal dari memandang kemudian timbul keinginan untuk memiliki atau menikmati hal sama yang dilihatnya dan berujung pada hilangnya rasa syukur pada apa yang telah kita miliki.
Dalam kajian Gus Baha tentang ayat ini, beliau mengatakan bahwa awal tersiksanya seseorang adalah ketika ia mulai melihat kenikmatan orang lain.
Maka selain kita dianjurkan untuk memalingkan muka ketika tak sengaja melihat kemewahan dunia yang dimiliki orang lain. Kita juga harus melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang mudah bersyukur atas hal-hal yang sederhana dan halal menurut agama. Itu poin yang penting.
Sebagai contoh ketika orang lain memiliki kolam pribadi di rumahnya. Kita tidak perlu menginginkan hal yang sama. Kita hanya perlu ke pantai. Berenang sepuasnya. Kemudian duduk di pinggir pantai sambil mengagumi kekayaan Allah. Dan bergumam kurang lebih begini.
“Masyaallah kolam segini luasnya gak ada yang punya. Saya anggap ini punya saya. Enak juga punya kolam lautan gini. Gak perlu perawatan, gak perlu ganti air.”
Melihat orang lain memiliki burung peliharaan yang bagus dan harganya mahal. Kita bisa pergi ke hutan menikmati burung berbagai jenis yang masih alami dengan penuh kekaguman akan ciptaan Allah.
Ada banyak kenikmatan lain yang halal kita nikmati yang bisa kita dapatkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Masih menurut Gus Baha, ada sebuah hadis yang disebutkan dalam kitab Ka’ab al Akhbar bahwa setan itu paling tersiksa ketika seorang mukmin menikmati barang/sesuatu yang halal. Karena sesuatu yang halal itu tersebar dimana-mana.
Ketika kita sudah terbiasa menikmati hal-hal sederhana yang sifatnya halal yang ada di sekitar kita, serta membiasakan diri mengamalkan ayat 131 di atas “laa tamuddanna ‘ainaika….” Insyaallah biidznillah kita akan menjadi lebih mudah menjadi hamba yang pandai bersyukur atas apa yang sudah Allah anugerahkan pada kita.
Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin
Sumber : https://youtu.be/OuCjL1l96ng