[VoB2021] Alaa


Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-254

Topik: Pearls from Al Baqarah

Selasa, 2 Maret 2021 

Materi VoB Hari ke-254 Pagi | Alaa

Ditulis oleh: Heru Wibowo

#TuesdayAlBaqarahWeek37Part1

Part 1

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Insya Allah kita akan melanjutkan pembahasan surah Al-Baqarah ayat 12. Ayat ini membahas orang-orang munafik dan pemimpin Yahudi serta beberapa pengikutnya.

Ayat 12 dimulai dengan kata alaa (أَلَاۤ). Alaa innahum humul-mufsiduun. Nanti, di ayat 13, juga ada kata alaa lagi. Alaa innahum humussufahaa’

Kata alaa adalah sebuah kata yang digunakan untuk mendapatkan perhatian. 

Untuk kita, orang-orang yang beriman, tentu saja semua kata yang ada di Al-Qur’an, akan mendapatkan perhatian kita.

Kita tidak membedakan kata-kata Allah. 

Surah tertentu dan ayat tertentu, kita perhatikan, lalu surah yang lain dan ayat yang lain, tidak kita perhatikan? Tidak. Tidak seperti itu. 

Mungkin ada yang seperti itu. Tapi itu bukan kita.

Kata-kata Allah, semuanya, mendapatkan perhatian kita. Tidak ada satu pun yang tidak kita perhatikan. Apalagi kata, huruf, makhraj, dan harakat pun kita perhatikan,

Allah, sebagai Yang Maha Mengajarkan, yang mengajarkan Al-Qur’an, ’allamal-qur’aan, Allah berhak memutuskan bahwa kita bisa berada dalam keadaan bahaya jika kita tidak menyadari betapa seriusnya masalahnya.

Kita harus go out of our way, atau make special effort, punya perhatian yang ekstra, menunjukkan usaha yang luar biasa, untuk menyikapinya.

Alaa innahum humul-mufsiduun. Ketahuilah. Perhatikanlah baik-baik. Merekalah sesungguhnya yang membuat kerusakan.

Allah menyoroti hal ini karena orang-orang munafik itu berbaur dengan orang-orang muslim. Tidak ada garis pemisah antara kedua kelompok ini.

Kata-kata yang mereka ucapkan adalah kata-kata yang beracun, tapi orang-orang muslim mungkin tidak menyadari betapa beracunnya kata-kata mereka itu.

Maka Allah perlu untuk menggunakan kata alaa supaya kita semuanya berhati-hati, supaya kita jangan terjebak di pusaran kata-kata mereka yang beracun itu.

Mereka mungkin berlindung di balik kata-kata “kompromi” atau “mediasi” atau bahkan “perdamaian” untuk menyembunyikan niat mereka yang sesungguhnya.

Jalan ke arah kompromi, tentu ada. Jalan ke arah mediasi, tentu ada. Tapi ada hal-hal tertentu di mana kita tidak seharusnya berkompromi dengan mereka.

Ketika kita bicara tentang kebenaran, maka tidak ada yang bisa ditawar. Kebenaran adalah kebenaran. Harus kita tegakkan. Harus kita junjung tinggi.

Ketika urusannya adalah soal diin, ketika urusannya adalah soal ibadah, bukan muamalah, tidak ada ruang untuk negosiasi.

Maka, untuk urusan ini, Allah sangat tegas, menggunakan alaa, supaya kita benar-benar memperhatikan, supaya kita juga bisa bersikap tegas: kita tidak boleh berkompromi untuk hal-hal tertentu.

Penggunaan kata alaa menunjukkan gaya bicara atau gaya berbahasa yang tidak biasa. 

Selain alaa, di ayat ini juga digunakan kata inna

Apa yang perlu kita pahami dari kata ini?

Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa di part berikutnya.

***

Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 06. Al-Baqarah (Ayah 12-16) – A Deeper Look

(00:00 – 03:37)


Materi VoB Hari ke-254 Siang | Kekuatan Bahasa Arab Klasik: Mengusung Makna dan Sekaligus Emosi

Ditulis oleh: Heru Wibowo

#TuesdayAlBaqarahWeek37Part2

Part 2

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Kata inna digunakan untuk penekanan. Inna artinya adalah “tentu saja”. Poinnya, tidak ada keraguan lagi, tentang apa yang akan dikatakan. 

Untuk mengatakan sesuatu yang pasti, kata inna digunakan untuk mengawalinya.

Alaa innahum humul-mufsiduun. Ada hum di innahum, lalu diikuti kata hum lagi. Ada kata “mereka”, lalu ada kata “mereka” lagi. Jika diterjemahkan secara apa adanya, kita seharusnya menyebut kata “mereka” dua kali.

Pengulangan kata “mereka” ini, apa artinya?

“Orang-orang ini”, mereka ini (saat menjelaskan ini, jari telunjuk Ustaz diketuk-ketukkan di atas meja), mereka yakni mereka yang tidak seperti orang-orang yang lainnya, mereka inilah yang berbuat kerusakan.

Jadi ada penekanan bahwa mereka adalah sumber dari perbuatan yang merusak itu. Tidak lain dan tidak bukan. Sehingga kata ganti “mereka” harus disebutkan dua kali.

Kalimat di ayat ini bisa kita bagi dua: bagian pertama di awal kalimat, dan bagian kedua di akhir kalimat.

Standar yang biasa digunakan dalam bahasa Arab adalah tidak digunakannya ”al” di bagian kedua atau di bagian akhir kalimat. 

Tapi di ayat ini Allah menggunakan ”al” itu. Innahum hum “al”-mufsiduun

Apa maknanya?

Seakan-akan alaa tidak cukup.

Seakan-akan inna tidak cukup.

Seakan-akan hum disebutkan dua kali tidak cukup.

Maka ditambah lagi dengan ”al”.

Merekalah, ultimately, tidak lain dan tidak bukan, benar-benar mereka itulah, yang menjadi sumber dari segala kerusakan.

Jika diibaratkan dengan sebuah pesan berbentuk teks, kita tidak menulis sesederhana ini: mereka. Itu tidak cukup. Tapi perlu ada five exclamation marks. Perlu dibubuhi lima tanda seru.

Mereka!!!!!

Bahasa Arab tidak menggunakan lima tanda seru. Tapi lima tanda seru itu sudah embedded, sudah tertanam di tata bahasa yang digunakan di ayat ini.

Itulah mengapa Allah ’azza wa jalla memilih bahasa Arab untuk menjelaskan kalam-Nya, karena melalui kata-kata itu, bukan maksudnya saja yang tersampaikan, tapi juga ada penekanan dan emotion atau “ungkapan perasaan” yang tersalurkan.

Dalam bahasa Inggris, misalnya, ketika saya berbicara dengan Anda dan saya bilang, ”Hi, nice to see you.” 

“Hai, senang bertemu denganmu!”

Dan saya menuliskannya kepada Anda sebagai sebuah pesan teks.

Atau, “Nice to have seen you today!”

“Senang melihatmu hari ini!”

Kita tidak bisa tahu secara persis, emosi atau ungkapan perasaan orang lain, hanya dengan melihat sebuah pesan teks.

Apalagi jika pesan itu tidak disertai emoticons. Kita tidak tahu apakah “senang melihatmu hari ini” adalah sebuah ungkapan kegembiraan atau sebuah sarkasme 😃😃.

Atau, kalau mau dianalisis lebih dalam lagi, sebenarnya “senang melihatmu hari ini” bisa dibikin skala Likert. 

Skor 5 untuk ungkapan kegembiraan yang dahsyat.

Skor 4 untuk ungkapan kegembiraan yang normal.

Skor 3 untuk ungkapan yang datar.

Skor 2 untuk sebuah sindiran yang halus.

Skor 1 untuk sebuah sarkasme.

Kita tidak tahu “senang melihatmu hari ini” itu yang skornya berapa. Emosi atau ungkapan perasaan itu terpisah. Tidak bisa “terbaca” dari teks yang dituliskan.

Saat kita menerima pesan dari seseorang, entah itu melalui sms, WA, atau email, kadang-kadang kita bingung menebak perasaan orang itu. “Dia nulis gitu maksudnya apa ya?”

Ketika seseorang mengirim pesan bertuliskan “OK”, apa itu artinya? Apakah dia setuju dengan kita, atau dia sebenarnya sedang mengancam kita?

Itulah yang membedakan bahasa Arab dengan bahasa-bahasa lainnya. Terutama bahasa Arab klasik. Bukan hanya kaya makna, tapi juga kaya akan ungkapan perasaan. 

Kita bisa merasakan kemarahan hanya dengan kata-kata. Kita bisa merasakan dahsyatnya penekanan hanya dengan kata-kata. Kita bisa merasakan lima tanda seru hanya dengan kata-kata. Itulah bahasa Arab klasik. Luar biasa!

Sangat penting buat para penghafal Al-Qur’an, baik yang tua maupun yang muda, untuk belajar bahasa Arab. 

Adalah sebuah kenyataan yang harus kita syukuri bahwa kita punya banyak penghafal Al-Qur’an. Alhamdulillah.

Dalam dua tahun, dua setengah tahun, atau tiga tahun, anak-anak bisa selesai menghafalkan seluruh Al-Qur’an, 30 juz.

Tapi masalahnya adalah, mereka tahu kata-kata Al-Qur’an, mereka tahu makhraj dan tajwid saat membaca Al-Qur’an, tapi mereka tidak paham “emosi” atau ungkapan perasaan yang ada di ayat-ayat yang mereka baca.

Kita tidak bisa bicara tentang api, rantai, dan air yang mendidih, seperti kita bicara tentang bunga-bunga yang indah. Suasananya berbeda. Tidak seharusnya dibaca dengan penuh kegembiraan.

Kata-kata Al-Qur’an seharusnya memengaruhi cara kita membacanya. Memengaruhi emosi kita. 

Bukan salah anak-anak yang hafal Al-Qur’an itu jika mereka tidak paham bahasa Arab klasik. Yang diperlukan adalah pendidikan lanjutan untuk mereka, supaya memahami bahasa Al-Qur’an. Supaya memahami ayat-ayat yang mereka baca. 

Justru itulah alasan kenapa mereka menghafal Al-Qur’an. Supaya ayat-ayat itu bisa tertanam di hati mereka. Sehingga bermanfaat buat mereka, khususnya di salat-salat mereka.

Rangkaian alaa, lalu inna, kemudian dua kali hum, dan juga ”al”, sudah kita pelajari. Sekarang kita fokus ke kata mufsiduun..

Ustaz perlu menjelaskan perbedaan antara kata fasid dan mufsid.

Apa bedanya?

Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa di part berikutnya.

***

Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 06. Al-Baqarah (Ayah 12-16) – A Deeper Look

(03:37 – 07:45)


Materi VoB Hari ke-254 Sore | In a Private Setting

Ditulis oleh: Heru Wibowo

#TuesdayAlBaqarahWeek37Part3

Part 3

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Tentu saja fasid beda dengan mufsid.

Fasid artinya orang yang jahat. Orang yang tidak jujur. Orang yang “rusak”. 

Mufsid artinya lebih dari itu. Tidak hanya diri mereka sendiri yang fasid, tapi mereka juga memastikan orang-orang yang lain ikut-ikutan fasid.

Mufsid adalah fasid yang membuat orang lain fasid.

Di sini kita bicara tentang orang-orang yang bilang bahwa kita seharusnya melakukan rekonsiliasi. Memulihkan hubungan persahabatan ke keadaan semula. Menyelesaikan perbedaan-perbedaan.

Di sini kita bicara tentang orang-orang yang punya mindset atau pola pikir seperti ini, “Kenapa sih orang-orang muslim sulit sekali diajak kompromi?”

Mereka adalah orang-orang yang pembawaannya lembut tapi pemikirannya lemah tentang Islam. Mereka tidak mempunyai dasar yang kuat dalam beragama tapi mereka mencoba memengaruhi orang-orang muslim. Mereka sebenarnya menebar racun dan membuat kerusakan.

Dalam tubuh umat sendiri, ketika ada orang-orang yang tidak membawa Islam sebagaimana mestinya, ketika apa yang tertanam dalam diri mereka tentang Islam masih lemah, lalu kelemahan itu mereka sebarkan ke keluarga dan teman-teman mereka, maka mereka tidak saja “rusak” tapi mereka juga “menyebabkan kerusakan”.

Alaa innahum humul-mufsiduun

Dan mereka bahkan tidak menyadarinya. Walaakin laa yasy’uruun. They have no realization of what they are doing. Mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan.

Selanjutnya, wa idzaa qiila lahum aaminuu kamaa aamanannaas. Ayat ke-13. 

Ketika dikatakan kepada orang-orang ini, “Berimanlah seperti orang-orang yang sudah lebih dulu beriman,” atau, ada juga terjemahan kasarnya, “Berimanlah seolah-olah orang-orang yang lain sudah beriman.”

Apa maksud dari ayat ini?

Qiila artinya it is said. Dikatakan. Bentuknya pasif, bukan aktif. Kita menggunakan bentuk pasif ketika “siapa yang bicara” itu tidak penting.

Jika Ustaz bilang, ”It was said that the prayer will be delayed.” Atau, versi kita, “Katanya salatnya akan ditunda,” pertanyaannya adalah, siapa yang bilang? Kata siapa?

Siapa yang bicara, adalah sebuah misteri. Siapa yang bicara, tidak disebutkan. Dan ada alasannya kenapa the doer, siapa yang melakukan atau siapa yang bicara, dibiarkan tetap menjadi misteri alias tidak diketahui.

Alasannya adalah untuk memberitahukan bahwa mereka yang ada dalam kelompok ini, mereka beroperasi secara rahasia. 

Dengan kata lain, orang-orang munafik ini telah mendemonstrasikan perilaku mereka, berusaha keras untuk melakukan pencitraan di hadapan Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam.

Kalau kita tidak tahu, kita bisa menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat baik. Yang berarti, kita telah terkena jebakan Batman karena tidak ada stiker “munafik” yang menempel di jidat mereka. Mereka tampak sama saja seperti kita. Sama-sama orang muslim. Tampak luarnya seperti itu.

Sementara itu, ada orang-orang muslim, yang bukan orang-orang munafik, yang mengetahui kesejatian mereka, kepedulian mereka membuat mereka mengatakan, “Mas, mbak, yang mas dan mbak lakukan itu tidak baik loh.” 

“Kita kayaknya perlu bicara nih mas, mbak. Bisakah kita bicara secara pribadi?” Mereka berusaha melakukan pendekatan seperti itu, sengaja diatur pertemuannya secara pribadi.

Orang-orang muslim yang tidak munafik, mencoba bicara baik-baik. Tidak di depan umum, tapi in a private setting. Supaya tidak bikin keributan yang tidak perlu. Upaya untuk “bicara baik-baik” tersebut sudah terwakili di frasa idzaa qiila lahum

When it is said to them. Ketika dikatakan kepada mereka, secara baik-baik, tidak secara terbuka dan memancing keributan, atau dengan kata lain, in a private setting.

Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa minggu depan.

***

Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 06. Al-Baqarah (Ayah 12-16) – A Deeper Look

(07:45 – 10:07)


Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲

Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏

Jazakumullahu khairan😊

Salam,

The Miracle Team 

Voice of Bayyinah

One thought on “[VoB2021] Alaa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s