بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-231
Topik: Leadership
Ahad, 07 Februari 2021
Materi VoB Hari ke-231 Pagi | Masjid Seharusnya Mempertemukan Hati
Oleh: Heru Wibowo
#SundayLeadershipWeek33Part1
Part 1
Punya prestasi itu bagus. Prestasi yang membanggakan. Lulus dengan gemilang. Proyeknya selesai nyaris sempurna dan tepat waktu. Menjadi penemu sebuah inovasi baru.
Menjadi bangga itu tidak buruk. Menjadi bangga itu alami. Menjadi bangga itu lumrah. Tapi menjadi bangga bisa tidak sehat jika kita terlalu defensif terhadap apa yang kita banggakan.
Menjadi bangga itu tidak sehat lagi jika kita membuat orang-orang tidak nyaman dan memunculkan perasaan yang tidak enak terhadap orang lain.
Kita pernah membahas konsep najwaa, tentang pembicaraan rahasia. Apakah “menjadi bangga” ini ada hubungannya dengan najwaa?
Najwaa yang baik adalah ketika kita melangsungkan percakapan yang bersifat pribadi. Tanpa publikasi. Percakapan tentang gagasan cemerlang yang akan kita promosikan. Yang berpotensi memancing ketertarikan dari umat dengan populasi tertentu. Dan melalui gagasan itu, ada keuntungan serta arus kas yang bisa mengalir masuk.
Jangan sampai kita bilang, “Pihak Administrasi seharusnya tidak bicara seperti itu.” Atau, “Jika profit dari program ini tidak nyampai lima juta, tidak perlu kita lanjutkan.” Jangan seperti itu.
Infiruu khifaafan wa tsiqaalan. Kita harus berangkat berjuang untuk agama ini, baik dalam keadaan ringan maupun berat. Allah menyebut khifaafan atau “ringan” lebih dulu. Sebelum menyebut tsiqaalan atau “berat”.
Benar-benar ’ajiib. Seakan-akan yang ringan itu bahkan lebih bernilai dalam pandangan Allah. Yang kontribusinya sedikit, mungkin modalnya juga sedikit. Maka jika dia memberi sedikit, bisa jadi itu sangat bernilai dalam pandangan Allah.
Seseorang yang menyumbang hanya lima ribu perak, mungkin uangnya cuma sepuluh ribu perak. Tapi dia sudah menyumbang lima puluh persen dari hartanya.
Lalu ada yang punya uang 10 miliar. Dia menyumbang satu juta rupiah. Tampak besar, dibanding lima ribu perak. Tapi satu juta itu hanya 0,01 persen dari uangnya.
Allah yang paling tahu, mana sumbangan yang sesungguhnya “kecil”, dan mana sumbangan yang sesungguhnya “besar”, walau tampaknya kecil.
Infiruu khifaafan wa tsiqaalan. Wajaahiduu bi-amwaalikum wa-anfusikum fii sabiilillaah. Dzaalikum khayrullakum in kuntum ta’lamuun.
Allah meminta kita untuk berangkat dengan rasa ringan maupun berat. Dan berjihad dengan harta dan jiwa di jalan-Nya. (QS At-Taubah, 9:41)
Di ayat selanjutnya, Allah berfirman, law kaana ‘aradhan qariiban wa safaran qaashidan lattaba’uuka walaakin ba’udat ‘alayhimusysyuqqah.
Sekiranya ada keuntungan yang mudah diperoleh, if the journey was measurable, if the goal is right here inside, dan perjalanannya tidak seberapa jauh, mereka akan mengikutimu. (QS At-Taubah, 9: 42)
But the distance is too much on them. Tapi tempat yang dituju itu terasa sangat jauh buat mereka.
Jadi panggilan untuk menjadi volunter itu seringnya merupakan sebuah panggilan yang “panjang”. Dan kita tidak bisa mengeluh.
Kita tidak bisa bilang, dalam konteks mengeluh, “Ini kapan ya, akan dilakukan?” Atau, “Kapan ini semua akan selesai?” Atau mencecar secara membabi-buta, “Kapan? Kapan? Kapan?”
Tidak bisa, dan tidak baik, mengeluh seperti itu. Lebih baik memikirkan kontribusi kita untuk segera menyelesaikannya. Ikut menyingsingkan lengan baju dan bilang, ”Let’s finish this.”
Salah satu hal yang paling besar yang bisa kita pikirkan adalah bagaimana membuat masjid dan layanannya untuk umat itu sustainable. Berkelanjutan.
Cara membuatnya sustainable adalah dengan membangun loyalitas (loyalty). Dan juga, dengan mengembangkan projek-projek yang kreatif.
Dan tentu saja, dengan membangun percakapan pribadi yang konstruktif, yang bebas dari kritik yang merusak dan penuh kebencian.
Apakah percakapan yang kritis tidak diperbolehkan? Boleh, tapi bisa dilakukan di ruang publik. Kalau percakapan pribadi, sifatnya harus membangun.
Bagaimana dengan kritik yang membangun (constructive criticism)? Tidak masalah, silakan saja, tapi sebaiknya dilakukan di pertemuan kolektif, saat semua orang berkumpul bersama.
Di ruang tamu, saat terjadi percakapan pribadi, adalah bukan saat yang tepat untuk melontarkan berbagai macam kritik.
Demikian juga, sama halnya, di halaman facebook kita. Itu bukan tempat untuk menampung berbagai macam kritik pribadi kepada kita.
Atau di email blast. Bukan cara yang sehat untuk mengoleksi kritik. Bukan hal yang tepat untuk dilakukan. Cercaan dan kritikan itu hanya akan buang-buang waktu saja.
Apalagi kritik yang disampaikan dengan emosi tidak terkendali. Dengan emosi yang tidak terbendung. Bukannya menuai perbaikan, itu hanya akan mengundang kebencian.
Kritik seperti adalah bagaikan racun. Jangan pernah kita melakukannya. Orang beriman adalah makhluk yang tahu sopan santun.
Dan jika hanya ada satu orang saja, yang kita punya masalah dengannya, datangi langsung orang itu. Apa yang ada di antara dua hati orang yang beriman, adalah lebih penting.
Dua hati orang yang sama-sama beriman harus terus saling terpaut. Mempertahankan keterpautan itu lebih penting dari membangun atau mengembangkan projek apa pun.
Tidak ada bangunan yang lebih penting di dunia ini daripada ukhuwwah dari orang-orang yang beriman.
Jadi kalau kita punya dendam kepada seseorang, atau seseorang bicara di sebuah pertemuan yang seakan-akan sedang menyinggung diri kita, maka inilah nasihat ustaz: sort it out. Kita harus menyelesaikan masalah kita dengan orang itu, secara baik-baik.
Work it out. Karena dari situlah setan memulai. Innasysyaythaana yanzaghu baynahum. Setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara kita (QS Al-Isra’, 17:53).
Masjid seharusnya adalah tempat di mana manusia-manusia berkumpul bersama. Di mana hati dan hati orang-orang beriman menjadi semakin dekat.
Itu seharusnya menjadi mission statement atau pernyataan misi dari sebuah masjid. Yakni bringing the hearts together. Masjid menjadi pengikat hati dari orang-orang yang beriman.
Jadi, jika ada orang-orang yang paling terlibat dalam kegiatan masjid, tapi hati mereka tidak saling terpaut, maka setan akan merayakan kemenangannya.
Maka kita telah kehilangan bagian yang penting itu. Maka untuk apa sebenarnya kita aktif di masjid, mendekat ke Allah, tapi hati kita jauh dengan sesama orang beriman?
Bangunan itu sendiri bukan tujuan kita. “Membuat masjid penuh dipadati umat” juga bukan tujuan kita. “Membawa hati ini supaya terikat kepada Allah”, dan “menjaga supaya hati sesama jama’ah tetap terikat”, itulah tujuan yang sesungguhnya.
Ustaz juga berpesan supaya kita tidak menjadi orang yang “menyalahgunakan nasihat”. Fokus kita seharusnya adalah perbaikan diri, bukan perbaikan orang lain.
Ada orang yang menjadikan nasihat ustaz bukan untuk perbaikan diri, tapi justru dijadikan “amunisi” untuk mengkritik orang lain.
“Menurut Ustaz Nouman, sesuai dengan yang beliau jelaskan kemarin di menit ke sekian dan detik ke sekian, kamu itu seharusnya begini dan begini. Tapi kamu malah berbuat yang lain yang nggak jelas. Jadi tolong ya, kamu perbaiki kesalahanmu itu.” 😃😃
Ustaz berpesan supaya kita tidak melakukan yang seperti itu. Mendengarkan atau menerima nasihat, menyimpannya, menembakkannya bak peluru ke orang lain. Jangan seperti itu.
Berikutnya, ustaz membuka kesempatan lagi untuk yang ingin bertanya. Kali ini ustaz ingin mendengar dari sisters. Dan ternyata tidak ada satu pun sister yang bersuara. Mungkin memang sudah tidak ada pertanyaan.
Lalu ada satu dari kelompok brothers yang bertanya. Dan ustaz tampak sangat senang. Sangat semangat mendengar pertanyaan tersebut.
Bahkan ustaz secara khusus mengucapkan terima kasih menyambut pertanyaan ini, ”Thank you for bringing that up,” komentar ustaz. Apa sih yang ditanyakan?
Kita bahas insyaa Allaah ba’da zhuhur.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Quran / Courses / Leadership / 08. Leadership Workshop (07:14 – 11:46)
Materi VoB Hari ke-231 Siang | Business Mentality vs. Donation Mentality
Oleh: Heru Wibowo
#SundayLeadershipWeek33Part2
Part 2
Pertanyaan yang diajukan ke ustaz adalah tentang business mentality versus donation mentality.
Ustaz mengamati bahwa, bisa dibilang, keseluruhan umat Islam, di seluruh dunia, hampir semuanya sepakat terhadap pendekatan donation mentality.
Yakni bahwa apa pun yang kita lakukan semata-mata untuk Allah, seharusnya tidak berbayar. Seharusnya free of charge.
Tapi kenyataannya, program-program Bayyinah tidak semuanya free. Malah justru ada fee. Mendengar ini, mungkin ada yang bergumam, ”Astaghfirullaahal-’azhiim.”
Bayyinah kok gitu sih? Bayyinah kok tega menagih umat yang ingin belajar Al-Qur’an? Bayyinah kok memungut uang dari orang-orang yang ingin belajar bahasa Arab?
Ustaz memiliki pemikiran yang jernih atas masalah ini. Ustaz juga perlu menjelaskan mengapa program-program Bayyinah tidak semuanya free. Ada yang berbayar.
Ustaz bersama tim Bayyinah telah membuat keputusan bahwa mereka tidak akan mengandalkan penggalangan dana (fund raising).
Jika Bayyinah tidak dapat membiayai dirinya sendiri, maka Bayyinah tidak layak untuk berdiri. Itu adalah prinsip yang dipegang teguh oleh ustaz.
Ustaz memulai Bayyinah sebagai organisasi non profit. Lalu ustaz memutuskan, “Tidak.” Karena organisasi non profit mengandalkan sumbangan. Ustaz tidak ingin Bayyinah menjadi seperti itu.
Jadi ustaz memutuskan bahwa Bayyinah harus menjadi organisasi profit karena ustaz tidak ingin mengandalkan sumbangan. Ustaz tidak menginginkannya.
Yang ustaz pikirkan adalah sebuah model bisnis di mana ustaz ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat, tapi ustaz tidak ingin memberatkan masyarakat.
Ustaz juga tidak ingin masyarakat merasa bahwa mereka “menyumbang”. Tapi mereka memang “membayar”. Hanya saja, dengan membayar jumlah yang tidak memberatkan itu, mereka harus merasa mendapat “untung banyak” dari nilai produk atau layanan yang ustaz tawarkan.
Jika kita membicarakan model bisnis ini di masjid, akan ada orang-orang yang tiba-tiba bergumam, ”Astaghfirullaahal-’azhiim.”
“Kamu serius? Kamu mau ingin menarik uang dari mereka yang ikut kajian di masjid? Atau di gedung pertemuan? Atau kamu ingin menjadikannya seperti turnamen olahraga profesional yang ada biaya masuknya? Mereka harus bayar tiket saat masuk gedung?”
”Astaghfirullaahal-’azhiim.”
Mungkin ada beberapa gelintir orang yang seperti ini. Dan pada saat yang sama, ada ribuan orang yang siap untuk hadir dan bayar tiket masuk. Yang tak pernah mempermasalahkan harga tiketnya yang terjangkau. Yang justru marah-marah jika mereka kehabisan tiket.
Beberapa gelintir orang yang suka mengkritik tadi, mereka tidak hanya mengkritik ustaz. Mereka juga mengkritik masjid. Mereka juga mengkritik program yang lain. Mereka juga mengkritik AlMaghrib Institute. Mereka mengkritik institusi yang lain selain Bayyinah.
Kita tidak bisa membiarkan segelintir orang ini untuk membajak seluruh proyek komunitas. Program yang baik tidak boleh batal hanya gara-gara segelintir kritikus ini tidak setuju.
Orang-orang yang tidak ingin ada perubahan apa-apa, orang-orang yang ingin mempertahankan status quo, adalah orang-orang yang berteriak paling nyaring.
Jika Anda adalah tipe orang yang ingin berbuat yang terbaik untuk masjid, rajin memberikan saran perbaikan, dan sering ditolak oleh orang-orang yang bertipe seperti mereka, Anda mungkin merasakan bahwa mereka adalah makhluk yang menyeramkan. 😃😃
Dan, entah Anda bisa merasakan keanehan itu atau tidak, Anda punya niat yang baik untuk memakmurkan masjid, tapi mereka justru tersinggung.
Orang-orang seperti mereka tidak akan berubah, kecuali jika kita terus istiqamah untuk terus berupaya memberikan yang terbaik untuk masjid, dengan niat yang lurus, sehingga makin banyak orang yang bertipe seperti kita, sampai akhirnya budaya lingkungan masjid berubah menjadi lebih baik.
Teruslah berbuat baik. Teruslah meluruskan niat. Perubahan ke arah yang lebih baik butuh waktu. Tapi perubahan itu pasti akan terjadi. Pasti terjadi.
Jangan ragu untuk menetapkan standar kualitas yang tinggi di segala aspek. Termasuk dalam hal pemasaran dan analisisnya.
Jika Anda ingin menyelenggarakan sebuah program yang berbayar di suatu masjid, Anda harus lebih dulu melakukan riset pemasaran yang memadai. Yang membuat Anda lebih yakin bahwa program ini akan jalan. Dan umat tidak akan merasa terbebani karena manfaatnya yang akan mereka rasakan jauh lebih besar.
Terkait riset pemasaran itu, banyak yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan. Kita juga butuh sample group, yakni orang-orang yang diambil dari populasi jama’ah masjid. Hanya beberapa orang saja, tidak banyak, tapi cukup mewakili populasi.
Dari sample group ini, kita ingin memastikan bahwa kita dapat melakukan generalisasi atas temuan-temuan dari riset yang kita lakukan.
Kita melakukan pengujian terhadap beberapa hal yang ingin kita ketahui. Kita ingin mengetahui persepsi sample group terhadap suatu hal tertentu.
Ustaz punya formula tersendiri untuk mendapatkan prediksi apakah sebuah program akan diminati umat, atau tidak. Bagaimana caranya? Apa formula ustaz?
Kita bahas insyaa Allaah ba’da ‘ashar.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Quran / Courses / Leadership / 08. Leadership Workshop (11:46 – 15:05)
Materi VoB Hari ke-231 Sore | Berawal dari Podcast
Oleh: Heru Wibowo
#SundayLeadershipWeek33Part3
Part 3
Formula ustaz sangat sederhana. Yakni “prinsip lima orang”. Atau “rumus lima orang”. Artinya, jika kita punya lima orang yang tak dikenal, dan mereka menyukai program Anda, maka satu juta orang akan menyukai program Anda.
Harus lima orang yang “merdeka” tapi ya. Lima orang yang bebas berpendapat. Lima orang yang “netral”. Bukan ajudan atau asisten Anda. 😃😃
Itulah formula ustaz. “Sejujurnya, hanya itu,” kata ustaz. Saat ustaz punya inisiatif untuk program yang baru, ustaz bertanya ke lima orang.
Lima orang yang dipilih secara acak. Ustaz tahu persis, jika lima orang ini menyukai sebuah program, maka akan ada lima ribu orang yang menyukainya juga.
Bayyinah juga punya test groups di dalam kampus Bayyinah sendiri. Dan mereka ini harus non volunter. Harus orang-orang yang “umum”. Untuk menjaga netralitas surveinya.
Dan jika mereka mengkritik programnya, kita harus menyukai kritik itu. Karena kritik mereka itu super valuable. Sangat-sangat berharga. Bahkan seharusnya mereka dibayar untuk memberikan kritik yang objektif seperti itu.
Karena satu kritik itu mewakili kritik dari satu juta orang. Harusnya kita beruntung karena hanya ada satu orang mengetahui kelemahan program kita. Sebelum terlanjur dipublikasikan dan satu juta orang mengetahui kelemahannya.
Harusnya kita makin bersyukur karena dari satu orang itu, kita mengetahui kelemahan program kita, dan bisa melakukan upaya-upaya untuk mengubah kelemahan itu menjadi kekuatan.
Saat ustaz memulai Bayyinah, ustaz butuh uang sebesar 180 ribu dolar Amerika atau sekitar 2,5 milyar rupiah, untuk membangun kampus Bayyinah, saat itu.
Setelah ustaz memiliki uang sebanyak itu, barulah perjalanan kampus Bayyinah dimulai. Dari mana ustaz mendapatkan uang sebanyak itu? Karena ustaz kan tidak suka fund raising.
Ustaz harus mengakui bahwa saat itu, ustaz memang melakukan penggalangan dana. Tapi saat itu ustaz sudah membatasi diri. Setidaknya, terhadap dua hal.
Pertama, bahwa penggalangan dana itu hanya sampai 180 ribu dolar saja. Kedua, cukup sekali itu saja dan tidak ada lagi penggalangan dana apa pun setelah itu.
Mengapa ustaz harus melakukannya? Karena ustaz tidak bisa melakukannya sendirian. Dan ustaz juga tidak punya uang sebanyak itu.
Ustaz hanya menawarkan, jika umat juga menginginkan supaya kampus Bayyinah berdiri, maka mereka bisa ikut berkontribusi semampu mereka.
Bagaimana cara ustaz melakukannya? Melalui podcast. Saat itu ustaz membuat podcast juz ‘amma yang ustaz selesaikan di Masjid Irving di Texas.
Saat memproduksi audio files dari podcast itu, ustaz menambahkan semacam pengumuman berdurasi lima detik.
If you’d like to know about our project, please visit this website. Jika pendengar podcast itu berminat untuk mengetahui projek ustaz, mereka diminta untuk mengunjungi website Bayyinah.
Itu saja. Singkat seperti itu. Tidak tambahan macam-macam yang lainnya. Tidak ada bumbu promosi yang berbusa-busa. Hanya lima detik.
Dengan izin Allah, podcast tadi menjadi viral. Orang-orang mulai menyumbangkan uangnya melalui Pay Pal. Ada yang memberi 2 dolar, ada yang 5 dolar, ada yang 10 dolar.
Dalam 6 bulan, terkumpullah 180 ribu dolar. Saat itu juga, penggalangan dana ditutup. Sesuai dengan rencana awal. Yang dibutuhkan hanya segitu.
Tapi masih ada saja orang-orang yang menghubungi Bayyinah. Masih ingin memberikan donasi. Karena baru saja mendengarkan podcast yang sudah diproduksi berbulan-bulan sebelumnya. Dan berpikir bahwa Bayyinah masih membutuhkan dana itu.
Sudah tidak lagi. Sudah tercapai 180 ribu. Jadi saat itu juga ustaz sudah tidak lagi menerima tambahan donasi.
Apakah masalahnya sudah selesai? Belum. Ada yang belum diantisipasi ustaz saat itu. Yakni, empat tahun berikutnya.
Maka ustaz melakukan riset bisnis untuk mendapatkan proyeksi berapa biaya kursus (tuition) yang harus ditetapkan untuk membayar semua gaji, membayar sewa tempat, dan biaya-biaya yang harus ditanggung untuk empat tahun berikutnya.
Ustaz harus memikirkan hal itu karena ustaz hanya punya dana penyangga (buffer) selama satu tahun saja.
Dengan situasi seperti itu, ustaz melakukan perencanaan anggaran yang menyeluruh (exhaustive budgeting), bertiga dengan dua rekan ustaz yang CPA (Certified Public Accountant), untuk program Dream.
Apa yang dilakukan ustaz beserta dua akuntan publik itu? Crunching numbers like crazy. Berpikir keras dengan memainkan angka-angka. Untuk mendapatkan berapa jumlah minimal peserta Dream supaya program ini bisa berjalan dengan sendirinya. Bisa untuk membayar gaji semua staf Bayyinah yang mengoperasikan Dream.
Itu untuk tahun pertama. Lalu dilakukan hitung-hitungan lagi untuk tahun berikutnya. Tentu angka inflasi juga diperhitungkan. Lalu dihitung juga untuk tahun berikutnya lagi. Berapa jumlah minimal yang dibutuhkan untuk tahun berikutnya, berikut tuition atau biaya kursusnya.
Program Dream adalah satu-satunya program di Amerika, yang ustaz ketahui, yang lengkap infrastrukturnya termasuk para pengajar, fasilitas kampus dan sebagainya, yang berada di “zona hitam”. Maksudnya, sehat keuangannya.
Programnya memang tidak menghasilkan uang yang banyak. Bahkan bisa dibilang hampir tidak menghasilkan uang. Tapi tidak pernah berada di “zona merah”. Tidak pernah keuangannya tidak sehat. Alhamdulillah.
Ada projek-projek Bayyinah yang lain, yang lebih sukses dari segi finansial. Tapi projek-projek itu tidak menyumbang projek Dream sepeser pun. Projek Dream adalah projek yang mandiri (standalone project)
Jika Anda punya pengalaman dengan sekolah-sekolah, Anda mungkin tahu persis apa yang terjadi di sekolah-sekolah itu. Semua jenis sekolah, tidak harus sekolah Islam. Semua jenis sekolah dan institusi.
Apa yang sekolah-sekolah itu butuhkan? Mereka perlu donasi.
Ustaz secara pribadi punya teori sendiri terkait sekolah atau kursus di luar Bayyinah. Yang mungkin membuat sekolah-sekolah itu masuk ke “zona merah”. Bagaimana teori ustaz?
Kita bahas insyaa Allaah minggu depan.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Quran / Courses / Leadership / 08. Leadership Workshop (15:05 – 19:11)
***
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah