Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-212
Topik: Pearls from Al Baqarah
Selasa, 19 Januari 2021
Materi VoB Hari ke-212 Pagi | Menipu Allah: Ulah Orang Tak Berakal
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#TuesdayAlBaqarahWeek31Part1
Part 1
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Saat itu tidak ada ayat Al-Qur’an yang turun yang memerintahkan untuk berperang. Maka ‘wajar’ jika ada yang berpikir bahwa perintah Rasulullah untuk berperang berasal dari hasrat Rasulullah sendiri shallallaahu ‘alayhi wasallam.
“Buat apa kita berperang??!!”
“Alasannya nggak jelas!!”
Maka Allah berfirman, fa idzaa unzilat suuratun muhkamaatun wa dzukira fiihal qitaal(QS 47:20). Dan ketika surahnya turun, dan di surah itu isinya jelas dan tegas (decisive), dan berperang disebut-sebut di surah itu, maka mereka saling berpandangan sambil berkata, “Apakah betul Qur’an bilang begitu?”
“Ini beneran kita disuruh berperang?”
“Sebentar, jangan buru-buru, jangan-jangan kita salah memahami ayat ini.”
Mereka tetap enggan berangkat maju berperang. Tentu saja mereka juga mengedepankan dalih perdamaian. Seakan-akan mereka lebih cinta damai dibanding Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Mari kita pahami beberapa ayat berikut ini insyaa Allaahu ta’aalaa.
Yukhaadi’uunallaaha walladziina aamanuu. Mereka berusaha untuk menipu Allah dan orang-orang yang beriman.
Mereka berusaha untuk menipu dua pihak. Pertama, Allah. Kedua, orang-orang yang beriman. Ada yang missing. Ada ‘pihak’ yang tidak disebut di sini. Siapa? Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Harusnya kalau diurutkan: menipu Allah, lalu menipu Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam, lalu menipu orang-orang yang beriman.
Tapi di ayat ini yang terjadi adalah seperti ada bypass. Setelah Allah, langsung orang-orang yang beriman. Rasulullah dilewati.
Satu hal lagi yang menarik di ayat ini adalah: siapa sih yang bisa menipu Allah? Betapa beraninya! Atau, betapa sia-sianya usaha seperti itu!
Bahkan jika misalnya iman seseorang itu masih sangat tipis, dia pasti tahu: ya’lamu maa fissamaawaati wamaa fil-ardh. Allah mengetahui semua yang ada di langit dan di bumi.
Ya’lamu maa tubduun. Wamaa kuntum taktumuun. Allah tahu apa yang kita tunjukkan. Allah tahu apa yang kita sembunyikan. Allah mengetahui segalanya. Bagaimana mungkin ada yang bisa menipu Allah?
Ini sebenarnya adalah sebuah ekspresi, sebuah pernyataan, yang sangat-sangat indah di Al-Qur’an. Ketika Allah berfirman, afalaa ta’qiluun, ‘tidakkah kamu berpikir’, maknanya sangat dalam. Jika kita membaca Al-Qur’an tanpa berpikir, maka kita tidak akan memahaminya. Allah ‘memaksa’ kita untuk berpikir.
Sekarang, mari kita pikirkan lagi: bagaimana bisa seseorang menipu Allah?
Kita bisa paham kalau ada seseorang yang mencoba menipu orang-orang yang beriman. Masih masuk akal. Masih bisa dibayangkan. Masih bisa dipahami.
Tapi, menipu Allah? Kita perlu merenungkan lagi dalam-dalam tentang kemahakuasaan Allah. Tentang pengetahuan Allah yang tak berawal, tak berakhir, dan tak terbatas.
Sekarang, pertanyaannya, di ayat ini, kenapa Rasulullah missing. Kenapa Rasulullah tidak disebutkan? Kenapa Rasulullah dilewati?
Yukhaadi’uunallaaha warasuulahuu walladziina aamanuu. Kenapa tidak seperti ini saja bunyi ayatnya? Jadi lengkap dan urut? Bukankah seharusnya ada tiga pihak seperti ini?
Untuk memahami masalahnya, kita harus memahami satu hal ini. Saat kita menyembah Allah, saat kita melakukan aktivitas ibadah, kita sudah paham dengan sangat jelas bahwa kita hanya menyembah Allah.
We only and only worship Allah. Kita hanya dan hanya menyembah Allah. We put our reliance and trust in Allah. Kita mengandalkan dan percaya sama Allah.
Saat kita salat, kita salat hanya, sekali lagi hanya menghadap Allah. Saat kita berdoa, saat kita meminta, kita meminta hanya dan hanya kepada Allah.
Ini adalah bagian dari tauhid kepada Allah. Ada sesuatu yang kita yakini bahwa kita harus hanya bergantung kepada Allah, Ash-Shamad.
Ada Oneness, ada Uniqueness, dan konsep no one else. Allah itu Satu, punya Keunikan tak tertandingi, tak ada satu pun yang bisa menyamai-Nya.
Tapi saat kita bicara soal kepatuhan, secara teori, kita patuh sama Allah. Tapi secara praktik, kita tidak ‘patuh’ kepada Allah, tapi patuh kepada Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Padahal sebenarnya, mematuhi Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam sama saja dengan mematuhi Allah ’azza wajalla.
Urusan sembahyang, urusan peribadatan, hanya Allah yang dituju.
Urusan tawakkal atau reliance, pun hanya kepada Allah kita pasrah.
Urusan doa, hanya kepada Allah kita panjatkan, kita meminta, kita mengemis.
Urusan sujud, hanya kepada Allah kita tersungkur.
Tapi urusan ithaa’ah, urusan ketaatan atau kepatuhan, ceritanya sedikit berbeda.
Tidak hanya kepatuhan kepada Allah.
Tapi kepatuhan kepada Allah dan kepada utusan-Nya, Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam, dan kita tidak bisa memisahkan kepatuhan kepada keduanya.
Dari mana kita tahu bisa yakin bahwa patuh kepada Rasulullah berarti patuh kepada Allah?
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa di part berikutnya.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 05. Al-Baqarah (Ayah 9-12) – A Deeper Look (15:29 – 18:27)
Materi VoB Hari ke-212 Siang | Antara Allah dan Rasulullah: Ada yang Tak Terpisahkan
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#TuesdayAlBaqarahWeek30Part2
Part 2
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Patuh kepada Rasulullah berarti patuh kepada Allah. Man yuthi’irrasuula faqad athaa’allaah (QS 4:80). Siapa pun yang mematuhi Rasulullah, maka dia telah mematuhi Allah. Begitulah Allah menegaskan hal ini.
Jadi kita tidak bisa memisahkan antara keduanya: kepatuhan kepada Allah dan kepatuhan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Penegasan Allah tentang tidak terpisahnya dua kepatuhan itu tidak hanya ada di An-Nisa’ 80. Tapi ada di beberapa ayat yang lain di Al-Qur’an.
Innalladziinaa yubaayi’uunaka innamaa yubaayi’uunallaah (QS 48:10). Mereka yang berjanji setia kepada Rasulullah, sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa.
Subhaanallaah. Urusan kepatuhan, tidak ada bedanya kepatuhan kepada Allah dengan kepatuhan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Meskipun, tentu saja, ada beberapa hal yang harus dipisahkan, antara Allah dan Rasul-Nya. Misalnya dalam urusan peribadatan.
Masalahnya dengan pemeluk agama Kristen adalah: mereka tidak bisa memisahkan antara Tuhan dan Utusan-Nya, dalam urusan peribadatan.
Mereka telah menggabungkan Allah dan Nabi Isa ’alayhis salaam dalam urusan peribadatan. Ini masalah mereka. Kita, umat Islam, tidak punya masalah ini.
Kita tahu bahwa kita, umat Islam, hanya menyembah Allah. Dan urusan kepatuhan, kita tidak memisahkan antara kepatuhan Allah dan Rasul-Nya. Sesuai perintah Al-Qur’an.
Mencintai Allah adalah sesuatu yang unik. Kita harus mencintai Allah tidak seperti mencintai apa pun atau siapa pun yang lain. Tapi apa yang Allah nyatakan?
Qul in kuntum tuhibbuunallaah, fattabi’uuni (QS 3:31). Jika kamu cinta Allah, maka cintai Rasulullah? Bukan begitu.
If you love Allah then follow me. Inilah yang ditegaskan Allah. Jika kamu cinta Allah, maka ikuti Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Jadi, bahkan kecintaan kepada Allah dihubungkan dengan kepatuhan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Allah puts even animosity against His Messenger as animosity against Allah. Memusuhi Rasulullah artinya sama saja dengan memusuhi Allah.
Man kaana ‘aduwwan lillaahi wamalaa-ikatihii warasuulihii wajibriila wamiikaal, fa innallaaha ‘aduwwun lil kaafiriin (QS 2:98). Yang memusuhi Allah, malaikat dan rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka Allah memusuhi mereka.
Qad na’lamu innahuu layahzunukalladzii yaquuluun, fa innahum laa yukadzdzibuunak, walaakinnazhzhaalimiina bi-aayaatillaahi yajhaduun (QS 6:33).
Allah mengetahui, yang mereka katakan itu menyedihkan hati Rasulullah. Allah menegaskan, sebenarnya mereka bukan mendustakan Nabi, tapi orang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.
”When they call you a liar, they’re not questioning your reputation. They’re challenging Allah.” Allah menghibur Rasulullah karena dibilang pembohong. Yang mereka pertanyakan bukan Rasulullah. Tapi sejatinya mereka menantang Allah.
Mengapa ustaz perlu untuk mengulang-ulang konsep ini. Bahwa ada urusan antara Allah dan Rasulullah yang tidak bisa dipisahkan?
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa di part berikutnya.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 05. Al-Baqarah (Ayah 9-12) – A Deeper Look (18:27 – 20:44)
Materi VoB Hari ke-212 Sore | Tertipu Telak oleh Diri Sendiri
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#TuesdayAlBaqarahWeek31Part3
Part 3
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Ada urusan antara Allah dan Rasulullah yang tidak bisa dipisahkan. Ustaz perlu mengulang-ulang pemaparan terhadap konsep ini karena ada satu hal yang perlu kita pahami.
Yakni ketika mereka mencoba menipu Allah, kita semua tahu bahwa mereka tidak akan pernah berusaha menipu Allah.
Siapa yang ingin mereka tipu, sebenarnya?
Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Bahkan ada satu surah yang keseluruhan isinya adalah usaha untuk menipu Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Idzaa jaa-aka al-munaafiquuna qaaluu nasyhadu innaka larasuulullaah. Wallaahu ya’lamu innaka larasuuluh. Wallaahu yasyhadu innal-munaafiqiina lakaadzibuun (QS 63:1)
Orang-orang munafik datang kepada Rasulullah dan berkata, “Kami mengakui, engkau adalah utusan Allah.” Tapi akhirnya Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.
Keseluruhan surah Al-Munafiqun didedikasikan untuk menunjukkan bagaimana orang-orang munafik itu berusaha untuk menipu, bukan Allah, tapi Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Tapi ada yang tidak disadari oleh orang-orang munafik itu. Yakni bahwa kejahatan mereka sebenarnya bukan kejahatan kepada Nabi, tapi kejahatan terhadap Allah subhaanahuu wa ta’aalaa.
Maka kita bisa benar-benar memahami ayat yukhaadi’uunallaah (QS 2:9) secara lebih baik. Rasulullah tidak missing di ayat ini. Tapi, memang tidak perlu lagi menyebutkan atau menambahkan Rasulullah di ayat ini.
“Kami tidak ingin menipu Allah! Buat apa menipu Allah! Kami tidak akan mampu melakukannya! Yang ingin kami tipu adalah Rasulullah!”
Mereka salah persepsi. Memusuhi Rasul-Nya berarti memusuhi Allah. Menipu Rasul-Nya berarti menipu Allah. Maka Allah menjawab dengan tegas, yukhaadi’uunallaah.
Lalu ada kategori yang terpisah: menipu orang-orang yang beriman. Yukhaadi’uunallaaha walladziina aamanuu.
Kita tidak bisa menempatkan diri kita dan Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam dalam satu kategori yang sama. Maka wajar jika ada walladziina aamanuu, sebagai kategori yang terpisah.
Tipuan macam apa yang ingin mereka lakukan? Yakni sebuah ‘pencitraan’ bahwa mereka adalah kelompok yang loyal. Bahwa mereka adalah juga ‘orang-orang yang beriman’.
Ustaz tidak perlu menguraikan tipuan mereka secara panjang lebar. Karena Allah sendiri sudah mengelaborasi hal itu di ayat Al-Baqarah ini: wamaa yakhda’uuna illaa anfusahum. Mereka tidak menipu kecuali diri mereka sendiri.
Secara linguistik, jika kita cermati lagi, kita bisa berharap bahwa ayatnya berbunyi: maa yakhda’uuna ahadan illaa anfusahum.
Mengapa kata ahadan tidak ada di ayat ini? They won’t deceive anyone at all except themselves. Mereka tidak akan menipu siapa pun kecuali diri mereka sendiri.
Letak keindahan dari tidak adanya kata ahadan di ayat ini adalah bahwa Allah tidak membiarkan bahkan ada satu orang pun selain mereka. Jadi, benar-benar yang tertipu adalah mereka sendiri. Tanpa ada penambahan satu orang pun.
Mereka menipu diri mereka sendiri. Mereka tertipu habis-habisan. Dan hanya dan hanya mereka saja yang kena tipu. Saat mereka berusaha mengesankan Allah dan Rasul-Nya.
Pertanyaan berikutnya adalah: mengapa mereka mencoba untuk mengesankan Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam?
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa minggu depan.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 05. Al-Baqarah (Ayah 9-12) – A Deeper Look (20:44 – 23:07)
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah