بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-179
Topik: Divine Speech
Kamis, 17 Desember 2020
Materi VoB Hari ke-179 Pagi | Percakapan dengan Yahudi
Oleh: Icha Farihah
#ThursdayDivineSpeechWeek26Part1
Part 1
Ustaz Nouman mengatakan bahwa beliau termasuk orang yang tidak mau membicarakan tentang Yahudi, tapi beliau lebih memilih untuk berbicara langsung dengan orang-orang Yahudi.
Allah juga melakukan hal tersebut di dalam Al-Qur’an. Allah sering mengatakan “Yaa Bani Israil” untuk menggambarkan percakapan-Nya dengan orang-orang Yahudi.
Selain itu, ustaz juga mengatakan bahwa bercakap-cakap dengan orang-orang Yahudi tidak berarti harus berisi debat dan adu argumentasi.
Dan bukan berarti pula, bercakap-cakap dengan orang-orang Yahudi sama dengan mencintai mereka.
Ustaz berbicara dengan mereka sebagaimana layaknya orang-orang pada umumnya, ustaz dapat tidak menyetujui mereka dan begitu juga sebaliknya, mereka dapat tidak menyetujui ustaz. Itu adalah hal yang wajar dan baik-baik saja.
Tidak ada yang salah berbicara dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kita.
Ustaz juga mengatakan bahwa beliau pada suatu kesempatan pergi ke gereja dan berbicara dengan pendeta yang ada di sana.
Ustaz mengajaknya berbicara dan berdiskusi, jika ada yang berbeda dan tidak mereka sepakati, itu tidak menjadi sebuah masalah, mereka tetap bisa makan pizza bersama.
Pada suatu kesempatan lainnya, ustaz dan seorang rabi juga bercakap-cakap di sebuah restoran, seorang yahudi ortodoks datang dan menghampiri mereka. Orang yahudi ini nampak tidak suka dengan kehadiran ustaz dan berpura-pura tidak melihatnya. Ia berbicara dengan sang rabi dengan bahasa Hebrew dan setelah itu baru menyapa ustaz.
Sang rabi memohon maaf atas perlakuan temannya itu, ustaz pun tidak marah karena ustaz mengerti bahwa butuh waktu untuk menerima kehadiran orang yang berbeda dengan kita.
Tapi, ustaz juga menghormati dan banyak belajar dari orang Yahudi itu. Ustaz belajar dan semakin yakin tentang apa yang tidak dipercayainya dari Yahudi setelah bertemu orang tersebut.
Jadi, secara personal, alasan ustaz ingin bercakap-cakap dengan mereka adalah untuk belajar dan berdiskusi langsung dari mereka.
Selain itu, Allah juga telah menyinggung banyak percakapan dengan mereka di dalam Al-Qur’an.
Di Al-Qur’an, Allah berbicara kepada kita dan Allah juga berbicara kepada mereka.
Seperti yang kita ketahui bahwa apa yang mereka pikirkan tentang Al-Qur’an akan sangat jauh berbeda dengan apa yang kita pikirkan tentang Al-Qur’an.
Ketika mereka mendengar Al-Qur’an, mereka memprosesnya dengan sangat berbeda. Dari sinilah, ustaz ingin melihat bagaimana proses pikir dan latar belakang yang mereka miliki sehingga pikiran mereka tentang Al-Qur’an sangat jauh berbeda. Ustaz ingin melihat reaksi dan perspektif tersebut dari mereka secara langsung.
Itu akan memberikan wawasan baru bagi ustaz dan membuatnya mengapresiasi hal tersebut.
Ustaz tidak menyetujui banyak hal dari mereka, dari awal sampai akhir. Tapi, sangat tidak masalah untuk melakukan percakapan dengan mereka yang berbeda keyakinan dengan kita.
InsyaAllah bersambung
Sumber: Bayyinah TV > Course > Divine Speech > 05. Consistency in the Quran (24:40 – 27:20)
Materi VoB Hari ke-179 Siang | Bolehkah Membenci Yahudi?
Oleh: Icha Farihah
#ThursdayDivineSpeechWeek26Part2
Part 2
Sebagai contoh, saat itu ustaz berbicara tentang nabi Ibrahim ‘alayhis salam dengan orang-orang Yahudi.
Ibrahim ‘alayhis salam di mata orang-orang Yahudi sangat berbeda dengan Ibrahim ‘alayhis salam yang dikenal umat muslim.
Mereka mengambil nama Ibrahim dan mengubahnya menjadi seorang yang sangat berbeda dari perspektif Islam. Sehingga saat mereka bercerita tentang Ibrahim ‘alayhis salam, ustaz seperti mendengar kisah orang asing yang tidak pernah dikenalnya.
Menurut ustaz, itu cerita yang gila, tapi mengagumkan.
Karena untuk kita, umat muslim, Ibrahim ‘alayhis salam adalah sosok teladan terkait ketundukannya kepada Allah ta’ala.
إِذۡ قَالَ لَهُۥ رَبُّهُۥٓ أَسۡلِمۡۖ قَالَ أَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserahdirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.” (QS Al-Baqarah, 2:131)
Sedangkan bagi mereka, umat Yahudi, Ibrahim ‘alayhis salam adalah contoh utama untuk memiliki hak berdebat dengan Tuhan.
***
Al-Qur’an tidak memerintahkan atau mendorong kita untuk membenci umat Yahudi.
Kita tidak menjadi seorang muslim yang lebih baik hanya karena kita membenci Yahudi atau umat lainnya.
Kita seharusnya tidak membenci siapapun sebagaimana sang Rasul shalallaahu ‘alayhi wa salam tidak membenci.
Sunnah yang beliau shalallaahu ‘alayhi wa salam miliki dan ajarkan kepada kita adalah tentang perhatian terhadap seluruh umat manusia tanpa ada rasa benci sama sekali.
Jika ada yang memiliki hak untuk mencintai, membenci, menghukum, maupun menghakimi, maka Allah lah yang paling berhak untuk itu, bukan kita.
Allah sendiri menghormati anak-cucu Adam ‘alayhis salam.
۞وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَٰهُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ وَرَزَقۡنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلۡنَٰهُمۡ عَلَىٰ كَثِيرٖ مِّمَّنۡ خَلَقۡنَا تَفۡضِيلٗا
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS Al-Isra’, 17:70)
Semua anak-cucu Adam ‘alayhis salam adalah mulia. Tidak peduli jika mereka adalah seorang Hindu, Kristen, Yahudi, maupun Ateis.
Selama orang itu adalah keturunan dari Adam ‘alayhis salam, yang sudah pasti seluruh umat manusia, kita harus menghargai mereka sekalipun mereka tidak menghargai kita.
Allah saja menghormati umat manusia, maka kita sebagai seorang hamba sahaya-Nya juga harus menghormati mereka.
Kita harus menjaga perilaku kita kepada mereka dengan baik.
Namun sangat disayangkan, saat ini, ada orang-orang yang mengatasnamakan Islam, mereka membaca Al-Qur’an dan menemukan ayat yang menggambarkan kemarahan Allah kepada umat Yahudi, lalu orang-orang ini akhirnya memutuskan untuk ikut marah kepada mereka.
Padahal tidak demikian. Yang berhak untuk marah atas umat Yahudi adalah Allah, bukan kita yang hanya sebagai hamba-Nya.
Hak Allah dan hak kita adalah dua hal yang berbeda. Kita harus bisa membedakan kedua hal itu dengan saksama supaya kita bisa saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia.
InsyaAllah bersambung
Sumber: Bayyinah TV > Course > Divine Speech > 05. Consistency in the Quran (27:20 – 29:17)
Materi VoB Hari ke-179 Sore | Transisi di dalam Al-Qur’an
Oleh: Icha Farihah
#ThursdayDivineSpeechWeek26Part3
Part 3
Allah berkata di dalam Surat Al-Hujurat,
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ
“Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zhalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Hujurat, 49:9)
Jika ada dua kelompok orang beriman yang bertengkar satu sama lain. Maka orang beriman lainnya (yang tidak termasuk kedua kelompok tersebut) harus mendamaikan mereka.
Tetapi, ketika salah satu kelompok kembali mengajak bertengkar, maka pihak yang mendamaikan dapat memusuhi kelompok tersebut.
Jadi, analoginya adalah ada kelompok A, B, dan C.
Ketika kelompok A dan B bertengkar, maka C harus mendamaikan mereka. Kemudian, jika A kembali mengajak B untuk bertengkar, maka C sudah tidak bertindak sebagai mediator perdamaian, C bersama B dapat memusuhi A.
Di awal C tidak terlibat dalam pertengkaran tersebut, C hanya ingin mendamaikan dan membantu untuk membuat persetujuan damai antar keduanya.
Tapi, ketika kelompok A melanggar persetujuan damai itu dan mulai bertengkar kembali dengan B, maka kelompok C dan B dapat bersekutu untuk melawan A.
Kelompok C tidak bertanggung jawab terhadap kelompok yang melanggar persetujuan. Yang mengawasi hal-hal seperti itu adalah komunitas yang lebih luas, bukan kelompok C.
Mereka dapat memusuhi A sampai kelompok A kembali kepada perintah Allah ta’ala. Artinya, sampai A mau berdamai lagi.
Jika A berhenti dan mau kembali melakukan negosiasi, maka C juga dapat mendamaikan mereka kembali. Tapi, kali ini perjanjian damai harus berlandaskan keadilan serta berlaku secara adil.
***
Di dalam ayat ini, terdapat penggunaam bahasa yang sangat menarik.
Ada dua kali pengulangan tentang proses “mendamaikan” antar kedua kelompok.
Pertama, di awal pertengkaran antar kedua kelompok. Dan kedua, di akhir setelah salah satu kelompok ingin berdamai kembali.
Uniknya lagi, terdapat penggunaan kata “adil” yang hanya pada bagian kedua saja.
Pada bagian kedua, Allah tidak hanya mengatakan, “damaikanlah keduanya”, tapi Dia mengatakan, “damaikanlah antara keduanya dengan adil.”
Ketika seseorang memediasi kedua kubu yang sedang bertikai, tentunya orang itu ingin selalu berlaku adil. Tapi, di sini, Allah hanya menyebutkan kata “adil” di bagian kedua.
Kenapa bisa begitu?
Hal ini sangat unik dan menarik untuk dipelajari bersama.
InsyaAllah bersambung pekan depan
Sumber: Bayyinah TV > Course > Divine Speech > 06. Transitions in the Quran (00:00 – 04:37)
***
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah