Voice of Bayyinah (VoB) Hari Ke-177
Topik: Pearls from Al Baqarah
Selasa, 15 Desember 2020
Materi VoB Hari Ke-177 Pagi | Man in the Mirror
Oleh: Heru Wibowo
#TuesdayAlBaqarahWeek26Part1
Part 1
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah Maha Bijaksana. Bagian dari kebijaksanaan itu adalah bahwa Allah tidak pernah menyebutkan nama orang munafik di Al-Qur’an. Tidak ada sama sekali.
Beda dengan orang kafir. Allah menyebutkan namanya. Tabbat yadaa abii lahabin watabba.
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ تَبَّتۡ یَدَاۤ أَبِی لَهَبࣲ وَتَبَّ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! (Surah Al-Masad, 111:1)
Abu Lahab adalah orang kafir. Namanya jelas-jelas disebut Allah di Al-Qur’an. Kita juga menjumpai nama Fir’aun disebut di Al-Qur’an.
Contoh nama orang kafir disebut dengan jelas di Al-Qur’an. Sementara itu, contoh nama orang munafik, Allah tidak menyebutkannya.
Itulah bagian dari kebijaksanaan Allah.
Apa hikmahnya? Apa hikmah di balik tidak disebutkannya contoh nama orang munafik di Al-Qur’an?
Hikmahnya luar biasa. Sangat dahsyat. Yaitu bahwa kita bisa memiliki atau memegang sunnah Allah ini. Sunnah yang akan bertahan sampai hari penghakiman.
Apakah sunnah yang dimaksud di sini? Yaitu bahwa tidak ada satu pun orang yang beriman, tidak ada satu pun manusia, yang boleh menyebut orang lain munafik.
Ustaz mengaku bahwa beliau tidak punya hak untuk menyebut seseorang munafik. Masing-masing dari kita tidak punya hak untuk menyebut seseorang munafik.
“Munafik lu!” adalah kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan oleh siapa pun dari kita. Meski dalam konteks bercanda sekalipun. Karena melanggar sunnatullaah.
Mengapa kita tidak boleh menyebut atau memanggil seseorang dengan sebutan munafik? Ustaz mengungkapkan misteri di balik itu.
فِی قُلُوبِهِم مَّرَضࣱ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضࣰاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِیمُۢ بِمَا كَانُوا۟ یَكۡذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit. Lalu Allah menambah penyakitnya itu. Dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta (Surah Al-Baqarah, 2:10)
Jadi penyakit mereka ada di mana?
Di dalam hati.
Siapa yang bisa mengetahui apa yang ada di dalam hati?
Hanya Allah.
Tapi bukankah ada tanda-tandanya?
Iya, kita bisa melihat tanda-tandanya dari luar. Tapi kita tetap tidak bisa ‘menghakimi’. Kenapa?
Karena tanda-tanda itu adalah seperti gejala (symptom) dari suatu penyakit. Dan kita bisa salah dalam melakukan diagnosa terhadap gejala tadi.
Apa yang ada di dalam hati, hanya orang itu yang tahu. Dan tentu saja, hanya Allah juga yang tahu. Kita tidak tahu. Kita tidak mengetahui apa yang tersembunyi di hati orang lain.
Bukankah situasi ini bisa menciptakan sikap saling tidak percaya?
Arahnya bukan ke sana. Arahnya adalah untuk introspeksi diri. Supaya kita makin dekat sama Allah. Supaya kita makin takut sama Allah. Supaya kita lebih berusaha menjauhkan diri kita dari kemunafikan.
Ustaz menegaskan bahwa beliau tidak berhak menuding bahwa seseorang itu munafik. Meski tanda-tandanya begitu tampak jelas di depan mata.
Ustaz menegaskan bahwa beliau tidak punya hak untuk memanggil atau menyebut orang lain dengan sebutan munafik.
Faktanya, apa pun yang kita pelajari terkait kemunafikan ini, manfaatnya atau arahnya, sekali lagi, bukanlah untuk memudahkan kita dalam mencari seseorang di sekitar kita, siapa di antara mereka yang bisa kita tuding sebagai seorang munafik.
Manfaat dari mempelajari ayat-ayat tentang kemunafikan bukanlah supaya kita bisa main tunjuk seperti itu. Sama sekali bukan itu.
Satu-satunya manfaat dari mempelajari kemunafikan adalah supaya kita bisa memiliki penglihatan yang lebih baik saat berada di depan cermin.
Pelajaran tentang kemunafikan bukanlah untuk menilai orang lain. Tapi untuk menilai diri sendiri. Untuk melakukan audit terhadap diri sendiri.
Itulah satu-satunya tujuan mengapa kita mempelajari kemunafikan. Bahwa saya dan Anda melihat di depan cermin dan berkata dalam hati, “Apakah saya memiliki penyakit itu?”
Itulah alasannya mengapa Allah menguraikan kemunafikan secara rinci di Al-Qur’an. Juga di hadis yang membeberkan tanda-tanda kemunafikan.
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafik tulen, dan siapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika berseteru curang”. (HR Bukhari 33 versi Al-Alamiyah atau no 34 versi Fathul Bari)
Hadis yang senada juga diriwayatkan oleh perawi yang lain seperti Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad.
Mengapa empat hal itu diceritakan kepada kita?
Supaya kita bisa ngaca. Supaya bisa kita bisa melihat ke dalam kaca cermin. Supaya kita meneliti diri sendiri.
Selanjutnya kita akan membedah kata an-naas.
Apa yang dimaksud dengan an-naas.
Kita lanjutkan pembahasannya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da zhuhur.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 04. Al-Baqarah (Ayah 8) – A Deeper Look (32:47 – 33:53)
Materi VoB Hari Ke-177 Siang | Guilty Conscience & Paranoia
Oleh: Heru Wibowo
#TuesdayAlBaqarahWeek26Part2
Part 2
بسم الله الرحمن الرحيم
An-naas artinya manusia. Mencakup muslim maupun non muslim. Jadi, an-naas sifatnya open-ended alias terbuka. Tidak dibatasi hanya muslim saja.
Man yaquulu. Siapa yang berkata. Jadi ini juga sifatnya terbuka. Siapa saja yang berkata. Tidak dibatasi hanya muslim yang berkata.
Kata yang digunakan adalah yaquulu. Kata yaquulu adalah bentuk mudhari’ atau present tense. Yang berarti, orang ini tidak mengatakannya satu kali. Tapi berulang kali.
Jika orang itu pernah mengatakannya, maka kata-kata yang digunakan bukan waminannaasi man yaquulu tapi menjadi wa minannaasi man qaala.
Bentuk mudhari’ menyiratkan kesinambungan (continuity). Jadi orang itu mengatakannya, lalu mengatakannya, dan di kesempatan yang lain mengatakannya lagi.
Perilaku mengatakan pernyataan keimanan yang berulang seperti ini merupakan sebuah hal yang sangat penting untuk dipahami.
Iman kita, keyakinan kita kepada Allah, keyakinan kita kepada alam akhirat, tidak perlu kita nyatakan atau katakan secara berulang-ulang.
“Omong-omong aku percaya loh sama Allah.”
“Aku sungguh-sungguh percaya kepada hari akhir.”
“Iman saya kepada akhirat, asal kau tahu saja, sangat-sangat kuat.”
Aneh.
Tentu saja ustaz tidak akan mengucapkan kata-kata seperti itu kepada kita.
Tapi ada orang yang mengucapkan kata-kata serupa itu. Dan makin sering orang itu mengucapkannya, makin menimbulkan pertanyaan.
“Mengapa dia seperti itu?”
“Mengapa dia berulang kali mengucapkannya?”
“Apakah mungkin dia berpikir bahwa aku tidak mempercayainya?”
“Mengapa dia perlu untuk menceritakan kepadaku tentang apa yang tersembunyi di dalam hatinya?”
Karena iman adalah apa yang terjadi di dalam hati kita. Tidak perlu kita pamerkan atau katakan. Atau seakan-akan beriman itu lantas harus ada ‘wajib lapor’.
Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu tidak mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam setiap hari dan bilang, “Wahai Rasulullah, aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Atau, “Wahai Rasulullah, sampai detik ini aku masih beriman kepada Allah dan hari akhir. Hanya ingin memastikan saja bahwa engkau tahu tentang keimananku itu.”
“Omong-omong, aku yakin bahwa surga itu ada, dan aku ingin berada di sana. Aku juga yakin bahwa neraka itu ada. Aku sungguh-sungguh beriman.”
Sayidina Umar tidak pernah melakukannya. Sayidina Umar tidak pernah mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu.
Kapankah seseorang melakukan hal yang seperti itu?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ustaz memberikan ilustrasi dengan analogi situasi seorang anak yang melapor kepada ayahnya, “Ayah, aku sedang mengerjakan PR-ku,” dengan harapan supaya ayahnya tidak memeriksa pekerjaan rumahnya. 😃😃
Si anak punya perasaan bersalah (guilty conscience), dan ada paranoia bahwa dia dianggap tidak mengerjakan PR, atau tidak mengerjakannya dengan baik.
Ketika seseorang menjadi paranoid, dia buru-buru ingin menunjukkan sesuatu, bahkan sebelum ditanya atau diminta menunjukkannya.
Kita masuk ke kamar anak kita dan tiba-tiba anak kita bilang, “Aku tidak melakukan apa-apa.” Itu justru berarti bahwa dia telah melakukan sesuatu. 😃😃
Karena kita tidak menanyakan apa-apa. Kita tidak berpikiran macam-macam. Tapi tiba-tiba anak kita seakan-akan merasa perlu untuk membela diri.
Jadi ketika ada orang-orang yang merasa perlu membuktikan dirinya dengan mengatakan, “Aku beriman kepada Allah,” atau “Tentu saja aku sangat yakin akan adanya kampung akhirat.”
Dan mereka mengatakannya secara berulang-ulang, maka mereka itu sebenarnya yahsabuuna kulla shayhatin ‘alayhim. Mereka sedang meneriakkan perasaan insecure mereka.
Ini merupakan fenomena psikologis yang sangat kuat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Ilmu psikologi dapat membantu kita untuk memahami fenomena ini secara lebih baik.
Ustaz lalu memberikan sebuah ilustrasi yang menarik.
Ustaz sedang memberikan khotbah. Temanya adalah tentang kemunafikan. Ustaz berbicara tentang orang-orang yang curang dalam bisnis mereka.
Dalam khotbah itu, ustaz menampakkan kebencian terhadap perilaku mencurangi orang lain. Termasuk membacakan ayat waylul lil muthaffifiin. “Celakalah orang yang curang!”
Lalu ada seseorang laki-laki di antara yang hadir dan mendengar khotbah itu yang berpikir, “Kenapa kamu memandangi aku terus?”
Padahal pandangan ustaz ditujukan kepada semua yang hadir. Ustaz tidak mengarahkan atau mengkhususkan pandangan beliau ke arah orang itu. 😃😃
Tapi orang itu sangat yakin bahwa ustaz melayangkan pandangan ke arahnya. Orang itu merasa bahwa ustaz sedang ‘mengincar’ dia.
Kenapa bisa begitu?
Karena orang itu baru saja berbuat curang kepada seorang pelanggan. Dia punya perasaan bersalah (guilty conscience) di dalam dirinya.
Orang itu berpikir bahwa ustaz mengetahui bahwa dia telah berbuat curang. Makanya ustaz memberikan khotbah tentang kecurangan yang telah ia lakukan itu.
Dia punya paranoia. Berpikir yang aneh-aneh, berkhayal yang bukan-bukan bahwa ustaz seakan-akan sedang ‘menampar’ dia di depan umum.
Ketika ayat Al-Qur’an ini turun,
خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡۖ وَعَلَىٰۤ أَبۡصَـٰرِهِمۡ غِشَـٰوَةࣱۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِیمࣱ
Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Dan penglihatan mereka telah tertutup. Dan mereka akan mendapat azab yang berat (surah Al-Baqarah, 2:7).
Orang-orang munafik juga berpikir seperti itu. Mereka berpikir bahwa ayat ke-7 itu membicarakan mereka. Ayat itu bikin mereka tidak nyaman.
“Wah! Ga bener nih. Masa aku dikira orang kafir. Ga bisa, ga bisa! Aku harus berbuat sesuatu. Aku harus temui mereka supaya mereka semua tahu kalau aku tuh beriman.”
Maka mereka pun beranjak. Mereka merasa perlu untuk membela diri. Mereka merasa perlu untuk membuat pernyataan. “Aku beriman kepada Allah, dan kepada hari akhir.”
Aamannaa billaahi wa bil yawmil aakhiri. Ada yang menarik untuk dicermati di ayat ini. Dua kali digunakan kata bi. Yaitu pada billaahi dan pada bil yawmil aakhiri.
Apa yang bisa kita pelajari dari penggunaan dua kata bi ini?
Kita bahas insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da ‘ashar.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 04. Al-Baqarah (Ayah 8) – A Deeper Look (33:53 – 37:22)
Materi VoB Hari Ke-177 Sore | A Rhetorical Device
Oleh: Heru Wibowo
#TuesdayAlBaqarahWeek26Part3
Part 3
بسم الله الرحمن الرحيم
Para pembelajar bahasa Arab memahaminya. Dua bi atau dua ba yang diberi kasrah itu, sebenarnya tidak diperlukan. Artinya, tidak perlu dua, cukup satu saja.
Aamannaa billaahi wabil yawmil aakhiri (dua bi yang sebenarnya tidak perlu).
Aamannaa billaahi wal yawmil aakhiri (satu bi saja sebenarnya sudah cukup).
Tapi begitulah mereka. Perasaan bersalah melahirkan paranoia sehingga mereka menggunakan dua bi atau dua ‘kepada’.
“Tentu saja kami beriman kepada Allah dan kepada hari akhir.”
Itu tadi tentang dua ba dengan kasrah atau dua bi.
Bagaimana dengan bagian awal ayat yang dimulai dengan wa minannaasi? Apakah ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari situ? Mengapa diawali dengan minannaasi?
Ibnu Asyur rahimahullah memberikan penjelasan yang cukup meyakinkan mengapa kata-kata waminannaasi itu perlu ada di situ.
Para mufassirun memang kadang membahas juga aspek tata bahasa dalam diskusi tafsir mereka. Awalan minannaasi atau waminannaasi bukanlah awalan yang normal. Biasanya kalimat bahasa Arab tidak dimulai dengan awalan seperti itu.
Awalan minannaasi bisa juga terdengar aneh. Sudah jelas bahwa orang munafik adalah bagian dari manusia secara keseluruhannya. Kalau digambar dengan diagram Venn, manusia itu adalah himpunan semesta, dan orang munafik adalah himpunan bagian di dalamnya.
Namanya juga ‘orang’ munafik. Sudah jelas ‘orang’, bukan hewan. Bukan monyet atau spesies monyet tertentu. Bukan juga gajah atau marga gajah tertentu.
Sudah jelas ‘orang’. Jadi untuk apa repot-repot menyebutkan minannaasi atau waminannaasi atau ‘di antara manusia’ di ayat ini? Apakah ada yang spesial? Apa hikmahnya?
Atau, bisa juga dinyatakan dengan sederhana, misalnya, “Beberapa orang berkata,” dan seterusnya. Mengapa bahasanya harus dibikin, “Dan di antara manusia, ada yang berkata.”
Kata-kata awalan tersebut sebenarnya adalah sebuah perangkat retorika (rhetorical device). Berkenaan dengan keterampilan mengolah kata-kata dengan menggunakan bahasa secara efektif.
Dalam bahasa Arab, ada kata-kata tertentu yang jika diucapkan dengan tekanan tertentu akan menimbulkan makna tertentu. Seperti, “Haadzaa insaan!” yang mengandung makna panggilan terhadap manusia sebagai makhluk yang menjijikkan (disgusting creature).
Kata-kata seperti itu tidak diucapkan dengan penuh penghormatan. “This guy.” Atau dalam bahasa Indonesia, “Orang ini!” Atau “Anak ini!”
“Yang mana yang mencuri sandal di masjid?” (sambil menunjukkan beberapa foto atau gambar)
“Orang ini!” (sambil menunjuk ke pelakunya)
“Yang mana yang kemarin menjadi imam shalat Jum’at di masjid Istiqlal?”
Tidak mungkin jawabannya, “Orang ini!” (astaghfirullah)
Cara menjawabnya misalnya, “Beliau yang memakai baju muslim warna coklat itu.”
Jadi kata-kata waminannaasi di ayat ini menyiratkan ungkapan yang mengandung celaan. Menunjukkan sekelompok orang yang tidak pantas dihormati.
Lalu ‘orang ini’ berkata, “Aamannaa billaah.”
Jika kita cermati lagi kata-kata man yaquulu, maka ini merujuk pada satu orang saja. Jadi ada satu orang yang berkata, “Aamannaa billaah.”
Normalnya, jika hanya satu orang, maka dia akan bilang, “Saya beriman,” bukan “Kami beriman.” Jadi harusnya dia bilang, “Aamantu billaah.”
Atau lebih lengkapnya, waminannaasi man yaquulu aamantu billaah. Tapi ternyata bunyi ayatnya tidak seperti itu. Justru aamannaa billaah. Kami semua beriman kepada Allah.
Dia, yang hanya satu orang, berkata, “Kami beriman kepada Allah.” Dia menggunakan kata ‘kami’, dan bukan ‘saya’.
Mengapa dia menggunakan kata ‘kami’?
Karena dia ingin berbaur dengan yang lain. Dia ingin nge-blend dengan orang-orang yang beriman beneran.
Dia tidak bilang, “Jangan periksa keimananku.” Dia memilih untuk menyatakan, “Tentu saja kami semua beriman kepada Allah. Kita semuanya muslim, iya kan?”
Atau seakan-akan dia bilang, “Kita adalah satu geng besar yang baik. Yang hepi. Yang sama-sama beriman kepada Allah.”
Dengan mengatakan seperti itu, dia ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan berada di luar grup. Bahwa dirinya adalah bagian dari grup orang-orang yang beriman.
Aamannaa billaahi wabil yawmil aakhiri.
Ayat ini juga bisa merujuk ke kaum Yahudi. Ini juga adalah komentar lain dari Ibnu Asyur rahimahullaah.
Kaum Yahudi itu sudah punya iman kepada Allah di masa lampau. Lalu Al-Qur’an mengkritik mereka bahwa mereka tidak beriman kepada hari akhir.
Makanya kata yang digunakan di sini adalah bentuk lampau. “Sejak dulu kami selalu percaya sama Allah.” (We’ve always believed in God) “Dan juga kepada hari akhir.”
Kaum Yahudi itu ingin menunjukkan bahwa tidak ada masalah dengan iman mereka dari dulu, baik iman kepada Allah maupun iman kepada hari akhir.
Tapi Allah menegaskan, wamaa hum bimu’miniin. Mereka sama sekali bukan mukmin. (They are not believers at all)
Ada hal lain yang ditulis oleh Ibnu Asyur rahimahullaah yang menurut ustaz sangat penting. Hanya ada dua bagian iman yang mereka sebutkan. Yaitu iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir.
Hanya dua itu saja yang mereka sebutkan. Hanya dua aspek keimanan itu saja.
Mengapa hanya dua itu saja?
Kita lanjutkan insyaa Allaahu ta’aalaa minggu depan.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 04. Al-Baqarah (Ayah 8) – A Deeper Look (37:22 – 41:35)
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah