Allah Mengajarkan Hikmah – Nouman Ali Khan
الحمد لله
الحمد لله خالق الوجود من عدم ، و جاعل النور من الظلم
و مخرج الصبر من الألم
و ملقي التوبة على الندم
فنشكره على المصائب كما نشكره على النعم
ونصلي على رسوله الأكرم
ذي الشرف الأشم و النور الأتم
والكتاب المحكم
وكمال النبين والخاتم
سيد ولد آدم الذي بشر به عيسى بن مريم
و دعا لبعثته إبراهيم عليه السلام
حين كان يرفع قواعد بيت الله المحرم
فصلى الله عليه وسلم وعلى أتباعه خير الأمم
الذين بارك الله بهم كافة الناس
العرب منهم و العجم
والحمد لله الذي لم يتخذ ولدا
ولم يكن له شريك في الملك
ولم يكن له ولي من الذل وكبّره تكبيرا
والحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ
وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا
والحمد لله الذي نحمده ونستعينه ونستغفره
ونؤمن به ونتوكل عليه
ونعوذ بالله من شرور أنفسنا
ومن سيئات أعمالنا
من يهده الله فلا مضل له
ومن يضلل فلا هادي له
ونشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له
ونشهد أن محمدا عبده ورسوله
أرسله الله تعالى بالهدى ودين الحق
ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا
فصلى الله عليه وسلم تسليما كثيرا كثيرا
أما بعد
فإن أصدق الحديث كتاب الله
وخير الهدي هدي محمد وصلى الله عليه وسلم
و إن شر الأمور محدثاتها
وإن كل محدثة بدعة
وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة في النار
قال الله عز وجل في كتابه الكريم
بعد أن أقول أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
(QS. 31:12) وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ
(QS. 31:12) وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ
(QS. 31:12) وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
رب اشرح لي صدري و يسر لي أمري
و احلل عقدة من لساني يفقه قولي
اللهم ثبتنا عند الموت بلا إله إلا الله
اللهم اجعلنا من الذين آمنوا وعملوا الصالحات
وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر
آمين يا رب العالمين
Luqman Bukan Nabi
Niat saya beberapa minggu ke depan adalah memahami secara menyeluruh, intinya mengingatkan diri saya, dan Anda semua tentang bagian di dalam Al-Qur’an tentang Luqman (رَضِيَ اللهُ عَنْهُ) dan bagaimana Allah berbicara tentang nasihat yang Allah berikan padanya, hikmah yang Allah ajarkan kepadanya, dan nasihat yang ia sampaikan kepada putranya.
Perlu diketahui orang ini tidak pernah disebutkan di surat lain dalam Al-Qur’an kecuali dalam surat Luqman. Dan itu adalah kehormatan yang luar biasa bahwa Allah memilih orang ini. Nama surat ini yakni Luqman sebenarnya berdasarkan namanya. Para sahabat akan mengingat surah ini berdasarkan nama orang yang disebutkan di dalamnya.
Hampir semua ulama sepakat Luqman bukanlah seorang nabi. Beliau seseorang yang Allah (عَزَّ وَجَلَّ) berikan hikmah namun tidak dianggap sebagai nabi oleh sebagian besar ulama. Jadi inilah orang yang akan kita bicarakan.
(QS. 31:12) وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ
Disebutkan di dalam potongan ayat ini Allah memilih orang-orang tertentu dan menjadikannya nabi. Dan ada orang-orang yang Allah izinkan untuk memperoleh hikmah, Allah beri mereka keistimewaan yaitu mampu mengatakan hal-hal yang berdampak besar pada banyak orang, dan salah satu yang Allah pilih adalah Luqman.
Di atas semuanya, jika Allah berfirman Dia memberi Luqman hikmah, maka ia pasti memiliki banyak hikmah dalam semua urusannya. Dia pasti memiliki banyak hikmah, dalam nasihat yang diberikannya kepada kaumnya, cara dia membawa diri dalam setiap aspek hidupnya; pasti ada semacam hikmah.
Tapi yang dilakukan Allah adalah hanya menyoroti salah satu hikmah dalam kehidupan Luqman, dari semua hikmah yang diterapkan dalam hidupnya, Allah memilih untuk fokus pada salah satunya. Dan itu adalah cara Luqman berbicara dengan putranya, serta nasihat macam apa yang ia berikan kepada anaknya, ya kan? Hal ini cukup unik karena percakapan ini terjadi antara ayah dan anak tentang agama, dan orang yang memiliki hikmah ini sekarang mengajarkan putranya.
Ini juga penting, hingga Anda yang belum begitu akrab dengan hal ini, Luqman hidup sebelum masa Nabi (ﷺ). Ia bukan seseorang yang sezaman dengan Nabi (ﷺ), tapi sebelum zaman Nabi. Seperti inilah cara Allah memperkenalkan Luqman pada kita.
Dan ini juga penting, para sahabat yang membaca Al-Qur’an pertama kalinya, Allah tahu bahwa Al Qur’an akan menyebar pada setiap masyarakat di seluruh dunia, benar? Dan akan ada orang-orang yang mengucapkan syahadat dan mulai membaca Al-Qur’an atau mencoba memahami Al-Qur’an.
Ketika membaca Al-Qur’an, mereka akan sampai pada ayat ini. Banyak di antara para sahabat yang sampai pada surat ini mungkin tidak tahu siapa Luqman. Tidak semua orang harus tahu siapa Luqman. Ada yang mengatakan dia terkenal dan banyak orang yang tahu, tapi mungkin juga banyak yang tidak tahu. Terutama dengan menyebarnya Islam, diperkirakan banyak yang tidak tahu siapa orang ini.
Cara Allah Memperkenalkan Luqman
Biasanya saat memperkenalkan seseorang, maka Anda ingin menyampaikan sedikit biografinya bukan? Di mana ia tinggal? Berapa umurnya? Keluarga macam apa yang ia miliki? Apa pencapaian hidupnya? Masyarakat macam apa yang mereka tinggali, dan sebagainya. Anda pasti ingin… ingin tahu sedikit latar belakangnya.
Tapi Allah guru terbaik dari semua guru.
(QS. 55: 2) عَلَّمَ الْقُرْآنَ
Yang mengajarkan kita Al-Qur’an memutuskan satu-satunya latar belakang, satu-satunya profil yang Anda butuhkan tentang Luqman (رَضِيَ اللهُ عَنْهُ) digambarkan dalam satu ayat. Jadi, penjelasan dari Allah hanyalah satu ayat ini. Yaitu ayat ke-12 dari surat Luqman. Hanya ini yang Anda dapatkan tentang siapa Luqman itu atau apa yang Allah izinkan Anda ketahui tentangnya sebelum Dia menjelaskan tentang pembicaraan Luqman dengan putranya.
Jadi, dari sini Anda belajar, bagaimana kita memperkenalkan seseorang. Jika saya diundang ke suatu tempat untuk berbicara atau semacamnya, panitia akan memperkenalkan saya. Mereka akan menjelaskan hal-hal yang telah saya lakukan, atau penghargaan yang mungkin telah saya terima, atau apa pun, ya kan? Catatan pencapaian, dan hal-hal semacam itu. Mereka membuat daftarnya.
Jika saya mengundang seseorang, saya akan menyebutkan gelar-gelarnya, di mana mereka belajar, apa yang telah mereka lakukan, apa yang mereka tulis, apa yang mereka publikasikan, dll. Intinya pencapaian.
Di sini Allah memperkenalkan seseorang. Cara Allah memperkenalkannya begitu mendalam karena ini membuat kita belajar. Saat Anda dan saya mendengar seseorang diperkenalkan, kita hargai kredensial mereka, kita hargai capaian mereka, kita hargai apa yang telah mereka bangun, kita hargai apa yang telah mereka lakukan.
Apakah yang Allah nilai dari diri seseorang? Hal-hal yang baru saja saya sebutkan adalah cara kita menghargai satu sama lain, cara masyarakat menghargai, cara manusia menghargai satu sama lain dalam masyarakat. Ayat ini mengajari kita bagaimana seorang manusia dihargai oleh Allah. Mari lihat bagaimana Allah berbicara tentangnya.
Dia berkata, وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ
“Sungguh Kami telah memberi Luqman, Kami memberikan Luqman hikmah.”
Pertama, Allah memberi Luqman hadiah khusus berupa hikmah. Allah berfirman di ayat lain dalam Al-Qur’an.
يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ
وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ
(QS. 2: 269) وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Dia memberikan hikmah kepada yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang diberi hikmah telah dianugerahi karunia yang melimpah.”
Karunia yang luar biasa telah diberikan kepada mereka.
“Dan tidak ada yang berusaha mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal, yang berpikir mendalam.”
Luqman Memiliki Hikmah
Dalam ayat ini, Allah berkata, “Yang perlu kalian ketahui tentang Luqman adalah apa yang membuatnya istimewa. Yang membuatnya istimewa adalah bahwa Aku memberinya hikmah.”
Sekarang, ketika kita memikirkan hikmah, kita memikirkan seseorang yang akan mengucapkan sesuatu yang dalam yang pantas kita buat jadi meme. Ya kan?
Kita berpikir tentang kutipan epik. Kita berpikir tentang wawasan filosofis yang mendalam. Kita berpikir tentang orang yang berbicara dengan bahasa puitis. Kita kaitkan hikmah dengan filsafat, dengan bacaan yang sangat berat, atau mengaitkan dengan seseorang, orang yang sangat terpelajar, banyak membaca, dll. Mereka memiliki hikmah.
Atau kita menganggap hikmah sebagai sesuatu yang datang melalui banyaknya pengalaman dan usia tua. Jadi orang tua akan memiliki banyak hikmah karena telah mengalami suka duka kehidupan, dan telah melihat banyak hal dalam hidup. Jadi kita mendapat manfaat dari pengalaman dan wawasan mereka, dan tentu saja hikmah dari mereka.
Sebelum saya lanjutkan untuk menjelaskan makna hikmah menurut Allah, makna hikmah dalam bahasa Arab penting diketahui semua orang. Hikmah bukanlah hal yang abstrak dalam bahasa Arab klasik.
Hikmah yang dimaksudkan bukanlah, “Oh, seseorang yang menuliskan kutipan epik itu punya hikmah, atau seseorang yang sangat tua itu punya hikmah.”
Hikmah itu العِلْمُ النَّافِعُ وَالْعَمَلُ بِهِ
Maknanya klasiknya sangat sederhana.
“Hikmah adalah pengetahuan yang bermanfaat dan diamalkan.”
Jadi hikmah terdiri dua hal: pengetahuan yang bermanfaat, yang Anda amalkan.
Jadi jika Anda memiliki kedua hal itu, maka Anda dianggap punya hikmah. Ini cukup sederhana dan juga sangat efektif karena bermanfaat. Mari kita ambil contoh yang paling mudah agar Anda bisa memahaminya, oke?
Pada dasarnya seorang anak tahu api bisa membakar. Ya kan? Dan mereka gunakan pengetahuan itu untuk tidak menyentuh pemanggang barbekyu, ya kan? Jadi mereka memiliki pengetahuan yang bermanfaat dan menggunakannya. Mungkin juga seorang anak tahu api membakar, namun mereka tidak bertindak dengan hikmah dan justru mendekati atau menyentuhnya, ya kan?
Jadi Anda bisa memiliki ilmu yang bermanfaat dan tidak berbuat berdasarkan ilmu itu. Anda juga bisa berbuat tanpa memiliki ilmu yang bermanfaat. Anda dapat memiliki salah satu di antaranya. Jadi memiliki ilmu tidak sama dengan memiliki hikmah dan bertindak belum tentu sama dengan bertindak dengan hikmah.
Hikmah Menurut Bahasa Arab
Namun hikmah menurut bahasa Arab, dalam pengertian bahasa Arab klasik berdasarkan penggunaannya, berarti bahwa Anda memiliki pengetahuan yang benar-benar bermakna dan bermanfaat.
Jadi pertama-tama, pengetahuan itu memberi arahan terhadap apa saja yang harus Anda pelajari. Kita jelas hidup di era informasi. Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk menimba pengetahuan tentang hal-hal yang tidak bermakna?
Membaca ribuan komentar tak bermakna pada video apa pun yang Anda tonton, meme atau postingan apa pun, dan seterusnya. Padahal itu hanya opini dan sama sekali tidak bermanfaat bagi hidup Anda secara signifikan. Ya kan? Atau bagi hidup saya.
Jadi, di mana seharusnya kita memberi batasan bagi pengetahuan yang bermakna?
Pertama-tama: العِلْمُ النَّافِعُ
“Pengetahuan yang bermanfaat.”
Bagaimana pengetahuan ini bisa membuat saya lebih baik? Apakah membuat saya lebih baik di tempat kerja? Apakah memperluas wawasan saya? Atau membantu saya memahami masyarakat dengan lebih baik? Bagaimana hal-hal yang saya pelajari itu bermanfaat bagi saya? Bagaimana agar sesuatu yang saya anggap ilmu itu bermanfaat bagi saya?
Kemudian, bagian selanjutnya mengalir dengan logis. Bila pengetahuan itu bermanfaat, bagaimana saya akan menggunakannya? Bagaimana saya akan mengaplikasikannya? Tujuan baik apa yang bisa dicapai dengannya? Apa tujuan pembelajaran ini?
Jadi, العِلْمُ النَّافِعُ وَالْعَمَلُ بِهِ
Inilah definisinya.
Allah berfirman Dia memberinya hikmah. Dan apa arti hikmah? Bahwa ketika mempelajari sesuatu, dia mempelajarinya dengan tujuan, dan setelah ia mempelajarinya, dia mengamalkannya, bukan begitu? Kemudian dia mengambil semua hikmah itu, hikmah mana yang terkait dengan setiap aspek hidupnya.
Tapi Allah membatasinya pada satu prinsip ini, seolah-olah jika semua hikmah dipadatkan ke dalam satu benih. Laksana sebuah pohon raksasa, yang asalnya adalah sebuah benih. Dan semuanya, setiap buah dari pohon itu, setiap daun, setiap cabang, setiap bagian dari pohon itu adalah produk sampingan. Asalnya adalah satu benih. Dan apakah satu benih itu?
(QS. 31:12) أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ
“Bersyukurlah kepada Allah.”
“Kami beri Luqman hikmah…”
Kutipan, “Bersyukurlah kepada Allah.”
Di sinilah tata bahasa Arab menjadi penting, sangat penting untuk dipelajari. Allah tidak mengatakan… bagi Anda yang sudah familiar dengan bahasa Arab.
Allah Memberi Hikmah Agar Bersyukur Kepada-Nya
(QS. 31:12) وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ
“Allah memberinya hikmah untuk bersyukur kepada Allah.”
Itu akan menjadi terjemahan yang bagus.
“Agar bersyukur kepada Allah.”
Sama seperti, “Aku memberimu hikmah untuk melakukan ini, ini, ini.”
Benar?
Itu seharusnya memakai fi’il mudhari (فِعْلُ المُضَارِع) Itu seharusnya memakai dhamiir ghaib (الضَمِيرُ الغَائِبُ) (orang pertama). Tapi ini fi’il amr (فِعْلُ الْأَمْرِ). Bentuk perintah.
Apa artinya? Allah memberinya hikmah hingga dia nantinya berbicara dengan dirinya sendiri pada saat tertentu.
Bagaimana saya bisa menjadikan situasi ini sesuatu yang saya pikirkan dengan cara yang akan membuat saya bersyukur kepada Allah? Seperti yang paling dia… seolah-olah yang paling bermanfaat dari pengetahuannya yaitu bahwa dia memerintahkan dirinya, dia mengerti bahwa dia perlu memerintah dirinya, perlu mengajari dirinya sendiri, dan dia paham inilah yang diinginkan Allah untuknya bahwa dia perlu mengajar dirinya sendiri, “Bagaimana saya akan bersyukur dalam situasi ini?”
Ketika sesuatu baru terjadi, saya tidak hanya mengucapkan, “Alhamdulillah.”
Bukan berterima kasih kepada Allah dengan kata-kata, tapi sebenarnya, apa yang akan membuat saya bersyukur atas situasi tersebut, yang merupakan cara berpikir yang mendalam.
Karena pengaruhnya adalah… jelas dalam hidup Anda dan saya dihadapkan pada situasi positif dan negatif. Kita dihadapkan pada situasi yang membuat cemas, stres, menyedihkan, bahkan situasi tanpa harapan. Kita dihadapkan pada situasi yang menakutkan, situasi yang tidak pasti.
Ada banyak situasi yang memiliki dampak buruk terhadap sekitarnya. Hikmah yang telah diberikan pada pria ini adalah…
Benar, ada hal negatif.
Ya, ada ketakutan.
Betul, ada kecemasan.
Memang, ada depresi.
Benar, ada alasan untuk khawatir.
Semua hal itu ada.
Tapi di dalam semua ini, saya harus memikirkan apa yang harus saya syukuri saat ini.
Bukan buta terhadap situasi, bukan membutakan diri Anda terhadap situasi dan berkata, “Alhamdulillah, tidak apa-apa.”
“Kita kebanjiran dan saya tenggelam, Alhamdulillah.”
Tidak seperti itu. Anda tidak gila.
Tapi meski banyak hal negatif mengelilingi Anda, “Saya belum tenggelam, Alhamdulillah.”
“Wah, sepertinya di sana ada sedikit gundukan.”
“Mungkin ada papan kayu yang bisa saya jadikan pegangan. Alhamdulillah.”
“Oh, Anda perhatikan? Saya rasa hujannya mulai reda! Alhamdulillah.”
Anda selalu mencari peluang untuk memaksimalkan upaya dalam situasi sulit. Dan itu tidak bisa terjadi, jika Anda menyerah, jika Anda mengalah pada hal-hal negatif.
Dan hikmah tertinggi adalah memahami Allah tidak akan pernah membiarkan Anda tersia-sia.
(QS. 93:3) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
Seperti yang Dia katakan sendiri pada Nabi (ﷺ), kan?
Jadi, karena Allah tidak akan pernah membiarkan Anda tersia-sia, maka instruksi dari hikmah
yang dimiliki Luqman adalah: Saya akan menemukan cara untuk berpikir positif, tentu saja Anda tidak bisa bersyukur kepada Allah jika Anda tidak berpikir positif.
“Saya akan mencari peluang, dan untuk setiap peluang yang saya temukan itu, saya akan bersyukur.”
Inilah hikmah tertinggi yang dimiliki Luqman. Pada situasi apa pun, bagaimana caranya agar Anda menemukan harapan, bagaimana agar Anda bisa menemukan peluang?
Setiap krisis pasti menunjukkan adanya peluang. Setiap kegagalan menunjukkan jalan menuju kesuksesan. Inilah pola pikirnya dan semua itu akarnya adalah bersyukur kepada Allah.
Itu sebabnya Allah tidak hanya mengatakan untuk menjadi bersyukur, tetapi, Dia berkata, “Bersyukurlah!”
Seperti sebuah bentuk perintah seolah-olah dia… Luqman mengerti bahwa Allah mewajibkannya, mendorongnya, memerintahkannya, dan karena itu dia memerintahkan dirinya sendiri untuk bersyukur. Artinya, terkadang Anda memang harus menyuruh diri Anda untuk melakukannya karena bersyukur itu tidak akan terjadi begitu saja. Bisa Anda pahami?
Bagi Anda yang senang berolahraga, bermain, atau sejenisnya, kadang Anda merasa lelah. Dan Anda harus benar-benar menyemangati diri Anda sendiri, “Ayolah! Ayo!”
Kadang Anda harus bicara pada diri Anda sendiri.
Luqman memiliki hikmah ini, bahwa dia mampu mendorong dirinya untuk bersyukur bahkan di tengah krisis hebat,
(QS. 31:12) أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِ ۚ
Kemudian Allah berfirman,
وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦ
“Dan siapa pun yang terus bersyukur…”
Allah mengatakan Luqman sudah punya kemampuan ini ribuan tahun lalu.
Anda berpikir, “Ya, itu bagus untuk Luqman.”
“Bagaimana dengan saya?”
Jadi, dari sana Allah langsung berfirman, “Aku tidak memberitahu kalian ini, agar kalian belajar sesuatu tentang pria hebat yang hidup ribuan tahun yang lalu.”
Bahkan sebelum ayatnya selesai, Allah berfirman, “Dan siapa pun yang bersyukur…”
Artinya Allah bicara tentang Anda dan saya.
“Ngomong-ngomong, Aku bicara tentang dia, supaya Aku bisa bicara tentang kalian.”
Itulah yang segera dilakukan Allah. Ada perhatian (اِلْتِفَاتٌ) terhadap Anda dan saya.
“Kamilah yang memberi Luqman hikmah, bersyukurlah kepada Allah. Dan siapa pun yang bersyukur…”
Bentuk sekarang atau bentuk mudhari ini, artinya sesuatu yang terjadi berulang kali. Jadi Anda tidak akan bisa berkata, “Saya bersyukur tahun lalu, tapi tidak ada yang berubah.”
Itu adalah وَمَنْ شَكَرَ, sementara yang ini adalah وَمَن يَشۡكُرۡ
Artinya, siapa pun yang akan terus menerus mendorong diri mereka untuk bersyukur, siapa pun yang akan selalu bangkit dan bersyukur lagi dan lagi, yang selalu berusaha menemukan kesempatan, tidak pernah angkat tangan, tidak pernah pasrah dan menyerah pada suatu situasi, selamanya. Selalu mencari hal positif.
Siapa pun yang bisa melakukan itu, dan kemudian bersyukur kepada Allah untuk hal positif yang mereka temukan yang ada di sana.
Orang yang Bersyukur Melakukannya untuk Kebaikannya Sendiri
Jadi saat mereka melakukan itu, saat seseorang melakukan itu, apa yang Allah katakan?
(QS. 31:12) فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦ
Bahwa ia hanya melakukan itu… Orang yang bersyukur itu melakukannya untuk keuntungannya sendiri.
“Dia bersyukur untuk dirinya sendiri.”
Artinya penerima manfaat syukur adalah Anda sendiri. Bahaya tidak mengembangkan pola pikir positif, bahayanya hanya akan merugikan diri Anda sendiri, bahayanya hanya menimpa Anda. Bersyukur kepada Allah tidak memperluas kekuasaan Allah. Bersyukur kepada Allah tidak menjadikan Allah (عَزَّ وَجَلَّ) lebih dihormati daripada sebelumnya.
Bila Anda berterima kasih pada saya, saya akan merasa lebih baik. Murid kami bisa saja datang dan berkata, “Terima kasih, Ustaz, itu sangat berarti untuk saya.”
Dan saya akan menjawab, “Saya akan mendoakanmu.”
Saya hargai bahwa upaya saya dihargai.
Seorang anak bisa saja mendatangi ibunya dan berkata, “Terima kasih atas makan malamnya, Bu.”
Dan si ibu akan merasa dihargai, merasa lebih baik, merasa lebih dihormati.
Anda berterima kasih pada seseorang dan akan ia merasa dihargai. Allah tidak butuh untuk lebih dihargai, Dia jauh di atas kebutuhan untuk dihargai. Manusia, ciptaan, memiliki kebutuhan itu, kebutuhan untuk divalidasi, butuh dihargai. Allah tidak memiliki kebutuhan itu.
Jadi… Saat Allah berkata, “Kembangkanlah sikap positif ini, dan bersyukurlah pada-Ku atas peluang sekecil apa pun yang kalian temukan bahkan di tengah-tengah krisis.”
“Jika kalian melakukan itu, dan bersyukur pada-Ku, maka itu bukan untuk keuntungan-Ku. Kalian bersyukur pada-Ku untuk keuntunganmu sendiri.”
(QS. 31:12) وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦ
Yang juga menarik dari ayat ini, ada kata تَوصِيَةٌ.
Artinya, di frasa pertama, Allah berfirman, “Bersyukurlah kepada Allah.”
Tapi kali kedua, Allah tidak mengatakan, “Dan siapa pun yang bersyukur kepada Allah, hanya bersyukur bagi diri mereka sendiri,”
Dia berkata, “Siapa pun yang bersyukur,” dan melewatkan bagian “kepada Allah”.
Bisa dikatakan bagian “kepada Allah” telah diabaikan karena sudah dipahami Allah baru saja mengatakannya. Siapa pun yang bersyukur pada Allah melakukannya untuk dirinya sendiri. Jadi bagian “kepada Allah” tidak perlu disampaikan dua kali.
Cara lain untuk memahaminya yaitu bersyukur kepada Allah sebenarnya bukan sekedar bersyukur kepada Allah.
Allah menciptakan dunia ini, bukan? Jadi jika Anda berjalan di bawah terik matahari lalu menemukan keteduhan, Anda bersyukur kepada Allah tapi Anda juga bersyukur ada pohon di situ. Anda menghargai pohon itu.
Anda bahkan mungkin menghargai orang yang memiliki tanah itu yang meletakkan sebuah tulisan di sana,
“Jika panas dan Anda lelah, Anda boleh…”
“Ini milik pribadi, tapi Anda boleh berteduh di sini.”
Sekarang Anda bersyukur kepada Allah tetapi juga berterima kasih kepada orang ini.
Ban Anda kempes, seseorang menepi dan mulai membantu Anda. Anda bersyukur kepada Allah, tetapi Anda juga berterima kasih kepada orang ini. Allah membawa mereka kepada Anda. Allah ilhami hati mereka untuk menghentikan mobil dan membantu, untuk keluar dari mobilnya dan membantu Anda.
Jadi Anda bersyukur kepada Allah, tetapi Anda tidak bisa hanya mengatakan, “Ngomong-ngomong, ini bukan syirik lho. Saya bukan sedang menghargai Anda, saya hanya menghargai Allah. Tapi, tolong ya, sedikit lebih keras di ban kanan.”
Itu tidak masuk akal.
Apa sebenarnya artinya bersyukur kepada Allah? Anda menemukan alasan untuk menghargai orang-orang dan hal-hal yang Allah beri dalam hidup Anda, yang harus Anda hargai.
Ini sebabnya Nabi (ﷺ) bersabda,
[At-Tirmidzi] مَنْ لمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يشْكُرِ الله
“Siapa pun yang tidak berterima kasih kepada manusia, siapa pun yang tidak berterima kasih pada manusia, tidak bersyukur kepada Allah.”
Peluang yang Anda miliki, teman yang Anda miliki, keluarga yang Anda miliki, orang-orang yang Anda miliki dalam hidup Anda, orang-orang yang telah membantu Anda dalam hidup ini, Anda harus berterima kasih kepada mereka. Pada mereka semua.
Baik. Saya biasanya mengatakan ini dengan sinis, tapi dalam arti tertentu, saya juga serius. Pada upacara kelulusan ketika akan meluluskan para siswa, saya berkata, “Saya sangat bersyukur atas kalian semua. Beberapa dari kalian meningkatkan kualitas saya menjadikan saya menjadi guru yang lebih baik. Beberapa yang lain menjadi teman baik bagi saya. Kalian memiliki wawasan yang mendalam. Sebagian kalian juga meningkatkan kesabaran saya.”
Hehehe, tetap bersyukur.
“Kalian bantu saya menangani hal tertentu dengan lebih baik. Kalian perbaiki saya dalam beberapa hal.”
Bahkan kepada orang yang sulit dihadapi, Anda harus bersyukur bahwa mereka datang. Mereka menyakiti kita, membuat retakan dalam hidup kita, tapi retakan itu menguatkan, dan sekarang kita lebih kuat karenanya.
Jadi, tahukah Anda? Saya masih bersyukur atas situasi itu. Saya masih bersyukur atas situasi mengerikan. Karena Allah… Allah mengajari saya sesuatu melaluinya. Masih soal syukur. Ini masih soal optimisme. Siapa pun yang bisa bersyukur melakukannya untuk dirinya sendiri.
Kemudian, وَمَنْ كَفَرَ
Dan siapa pun yang tidak bersyukur…
“Kafara” (كَفَرَ) dalam bahasa Arab bisa berarti siapa pun yang tidak beriman. Benar? Dan biasanya kebalikan dari beriman adalah tidak beriman. Masuk akal.
Orang beriman – orang tidak beriman, mukmin – kafir. Benar? Tapi di ayat ini tidak beriman adalah kebalikan dari bersyukur.
Kadang Al-Qur’an, kadang Allah menjadikan hal-hal yang tidak berlawanan dan membuatnya berlawanan. Kita memahami hal yang berlawanan dengan cara tertentu, contohnya terang dan gelap. Kita berpikir seperti itu. Anda akan berpikir kebalikan dari bersyukur adalah tidak bersyukur.
Dan ngomong-ngomong, “Kufur” (كُفْر) juga memiliki arti tidak berterima kasih, yang nantinya akan kita bahas. Menariknya, Allah menggunakan kata ini, seolah berkata, bila Anda tidak bisa menumbuhkan bagian ini dalam hubungan Anda dengan Allah dan dengan hal-hal di sekitar Anda…
Bagian mana yang dimaksud? Bagian di mana Anda harus bisa menemukan sesuatu untuk selalu disyukuri, paksakan diri Anda, maka Anda tidak bisa benar-benar beriman pada Allah seperti yang seharusnya. Kemudian Anda akan menyangkal salah satu aspek realitas Allah yang fundamental.
Ini sangat mendasar dalam keyakinan kita kepada Allah sebelum hal lainnya. Dalam Al-Fatihah, Allah berkata, Dia mengajari kita mengucapkan Alhamdulillah, seolah-olah semua pelajaran lain adalah nomor dua.
Ini adalah pelajaran nomor satu yaitu, Alhamdulillah. Pahami ini dulu. Jika kalian tidak mengerti ini, segala pelajaran lain akan cacat, segala pelajaran lain tidak akan sempurna.
Jadi pola pikir kita adalah selalu mencari sesuatu untuk memuji dan bersyukur pada Allah untuk hal apa pun. Dengan sikap itu, Allah berfirman, “Dan siapa pun yang tidak bersyukur…”
Jadi, “Kafara” bisa bermakna dua hal: siapa pun yang menyangkal beriman, siapa pun yang menyangkal, dan itu juga bisa berarti siapa pun yang tidak bersyukur.
Dan “Kafara” dalam bentuk lampau seolah-olah, “Dan siapa pun, yang bahkan sekali saja tidak bersyukur, siapa pun yang sekali saja menyangkal sikap positif ini…”
Jadi (يَشْكُرُ) adalah bentuk mudhari dan (كَفَرَ) adalah bentuk madhi yang insya Allah suatu hari nanti, bila saya melanjutkan mempelajari bahasa Arab dengan beberapa siswa di antara Anda, akan saya jelaskan lebih lanjut.
Siapa Pun yang Tidak Bersyukur
Tapi sekarang, kita sampai pada bagian akhir. Jadi, siapa pun yang bersyukur, dia menguntungkan dirinya sendiri.
فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِ
“Dia melakukannya hanya untuk dirinya sendiri.”
Ya? Lalu Anda sampai pada bahasan siapa pun yang tidak bersyukur, siapa saja yang menyangkal. Saya mengharapkan Allah untuk berkata, “Dan siapa pun yang menyangkal akan menyakiti dirinya sendiri, siapa pun yang menyangkal akan dihukum, siapa pun yang menyangkal, akan merasakan akibatnya.”
Jelas saja, jika siapa pun yang berbuat baik akan mendapat keuntungan dari konsekuensinya, sebaliknya, siapa pun yang berbuat buruk, akan menuai masalah, menuai konsekuensi negatif. Itu logis. Tapi bukan itu yang dilakukan Allah.
Allah membuat kita semakin bersyukur dari cara-Nya dalam menggambarkan rasa syukur. Dia berkata, “Dan siapa pun yang tidak bersyukur, atau siapa pun yang dulunya tidak bersyukur…”
(QS. 31:12) فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٞ
“Tentu saja Allah tidak bergantung pada apa pun, Allah tidak butuh apa pun.”
Allah bahkan tidak membahas orang itu. Allah bahkan tidak membahas konsekuensi yang harus dihadapi orang itu, Allah justru berbicara tentang diri-Nya sendiri. Ini menunjukkan ada belas kasih di dalamnya.
Ada sesuatu yang menakutkan dan sesuatu yang indah di sana. Bagian yang menakutkan yaitu seolah-olah mereka gagal mengingat Allah dan Allah memilih untuk tidak lagi menyebut mereka. Itu satu sisi. Di sisi lainnya, mereka melakukan sesuatu yang mengerikan, mereka kufur.
Tapi Allah (عَزَّ وَجَلَّ) menganggap tragedi itu seolah-olah Allah memberitahu kita tentang apa yang dipikirkan orang ini, “Mengapa saya harus berterima kasih kepada Allah, lihatlah semua masalah yang dibiarkan Allah terjadi pada saya, Dia tidak memperbaiki masalah saya!”
Atau, “Allah hanya ingin saya bersyukur pada-Nya, atau salat menyembah-Nya sepanjang waktu?”
“Dia selalu butuh salat saya.”
“Lalu apa yang saya dapat dari semua itu?”
“Apa yang akan saya dapatkan?”
Allah menanggapi sikap itu, “Sungguh tragis kamu berpikir seperti ini, jelas sekali kamu menyakiti dirimu sendiri, tapi biarkan Aku menyadarkanmu.”
(QS. 31:12) فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ
“Sungguh, Allah sama sekali tidak butuh.”
Allah tidak butuh terima kasih Anda, tidak butuh salat Anda, tidak butuh sujud Anda, tidak butuh Anda makan yang halal, tidak butuh Anda menjauhi yang haram. Dia tidak butuh itu semua. Dia bahkan tidak butuh Anda.
Dia berkata,
(QS. 47:38) ۚ وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ يَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ
“Jika kalian berpaling, Dia akan menggantikan kalian semua dengan orang lain.”
(QS. 47:38) ثُمَّ لَا يَكُونُوٓاْ أَمۡثَٰلَكُم
“Mereka tidak akan seperti kalian.”
Kalian ingin berpaling? Silakan, itu pintunya.
(QS. 18:29) ۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ
Setiap pekan, Anda yang membaca Surat Al-Kahf bertemu ayat ini: “Katakan pada mereka bahwa kebenaran datang dari Tuhanmu, siapa pun yang mau, mereka boleh beriman, siapa pun yang mau, mereka boleh menyangkalnya.”
Silakan saja!
(QS. 80:20) ثُمَّ ٱلسَّبِيلَ يَسَّرَهُ
“Dia membuat jalannya mudah.”
Ambillah jalan mana pun yang Anda mau. Allah tidak akan dirugikan dengan cara apa pun, Allah tidak berkurang dengan cara apa pun, Allah tidak dipermalukan atau dihina dengan cara apa pun.
Seorang raja bisa tersinggung bila Anda memunggunginya, dan dia akan murka, “Kamu sudah menghinaku di depan staf keamanan.”
“Kamu menghinaku di depan pengipas.”
Begitulah, Anda paham?
“Berani-beraninya kamu memunggungi Raja!”
Sementara Allah? Silakan saja.
Tidak mengapa.
“Kamu ingin berpaling?”
“Kamu tidak bisa mengurangi kerajaan-Ku, atau kehormatan-Ku atau kemuliaan-Ku dengan cara apa pun.”
Anda bahkan tidak bisa memahami, apa itu. Lalu Dia menambahkan kata “Hamiid” (حَمِيْدٌ), bahkan bukan kata “Mahmud” (مَحْمُودٌ).
Makanya Anda harus belajar bahasa Arab.
“Hamid” adalah “isim shifah musyabbahah” (اِسْمُ صِفَة مُشَبَّهَة)
بِمَعْنَى اِسْمُ المَفْعُوْل (dengan makna isim maf’ul)
Jadi inilah yang disebut seseorang yang dipuji, seseorang yang dipuji dan disyukuri.
Tapi sebenarnya, saat Anda mengatakan seseorang yang dipuji, Anda memikirkan orang yang memujinya, betul?
Jadi jika saya katakan orang ini terkenal, artinya, ia dikenal banyak orang. Jadi, ada gambaran orang-orang tersebut di sana atau jika Anda mengatakan orang ini… misalnya, banyak dibaca, artinya, sering dibaca oleh banyak orang, benar?
Jadi bila Anda berkata, “Allah dipuji,” maka Anda memikirkan orang yang memuji, itu arti kata “Mahmuud.”
Bila Anda mengucapkan kata “Hamiid”, ini berarti Anda mengatakan,
“Allah dipuji, dan Dia layak dipuji, disyukuri dan patut disyukuri, bahkan tanpa adanya siapa pun.”
Bahkan jika tidak ada siapa pun, pujian bagi-Nya akan tetap ada. Bahkan jika langit dan bumi tidak ada, Dia tetap layak dipuji. Bahkan bila tidak ada makhluk tersisa untuk memuji-Nya, Dia tetaplah “Hamiid”.
Anda tidak bisa menjadi Mah… Anda hanya bisa menjadi “Mahmuud” jika ada seseorang, tapi Anda bisa menjadi “Hamiid” meski tak seorang pun ada.
Tidak harus ada manusia agar Allah menjadi “Hamid”.
Dia berkata, “Aku tidak butuh kalian untuk menjadi ‘Hamid’.”
Anda tahu, ada nama “Hamid” dan ada nama “Mahmud”, bukan? Dan tentu saja Nabi (ﷺ), nama beliau mirip: Muhammad. Nama tersebutnya asalnya sama, sama-sama “isim maf’ul” (ِاسم المفعول).
Tapi Allah (عَزَّ وَجَلَّ) adalah Al-Hamid (الحَمِيْدُ).
Dia berkata, “Aku tidak membutuhkan kalian, dan pujian untuk-Ku tidak bergantung pada makhluk.”
“Syukur untuk-Ku tidak bergantung pada siapa pun.”
“Aku disyukuri dan dipuji, terlepas dari kebutuhan akan makhluk.”
Inilah hikmah yang dipahami Luqman.
“Saya akan berterima kasih kepada Allah bukan karena saya… bukan karena Allah butuh atau ingin. Saya bersyukur kepada Allah karena saya membutuhkannya.”
Anda mengira berterima kasih kepada seseorang adalah demi orang lain.
Luqman memahami dengan bijak, “Saya akan bersyukur kepada Allah karena penerima manfaat pertama dari bersyukur kepada Allah adalah saya sendiri.”
“Bila saya menyangkal Allah, saya hanya akan menyakiti diri saya sendiri.”
Nah, itulah bijak, penuh hikmah.
Dan semua yang akan dia katakan mulai dari sini didasarkan pada hikmah itu.
Ini seperti nasihat tentang benih dan semua nasihat lainnya, karena bagian ini membahas dia yang akan berbicara kepada putranya. Betul? Dia akan memberi putranya nasihat. Setiap nasihat yang dia berikan kembali ke satu benih dasar ini. Benih itu punya tekstur, juga punya rasa.
Setiap kali bersyukur dan bersikap positif. Dan menemukan alasan, selalu berusaha mencari alasan untuk bersyukur kepada Allah (عَزَّ وَجَلَّ).
Doa Penutup
Semoga Allah menjadikan kita termasuk mereka yang senantiasa bersyukur kepada-Nya. Dan sebagai hasilnya, Allah memberi kita lebih banyak lagi. Dan Dia selalu memberi kita lebih banyak alasan untuk bersyukur. Dan Dia tidak pernah menjadikan kita, orang yang tenggelam dalam kenegatifan. Bahkan meskipun kita tenggelam dalam kenegatifan, kita bisa kembali kepada firman Allah.
Firman Allah bisa menyembuhkan dan memulihkan kita, agar kita bisa kembali bersyukur.
بَارك الله لي و لكم في القرآن الحكيم
ونَفَعنِي و إِيَّاكُم من الآيات وَالذّكر الحكيم
الحمد لله و كفى
والصلاة و السلام على عباده الذين اصطفى
خصوصا على أفضلهم وخاتم النبيين محمد الأمين
وعلى آله وصحبه أجمعين
قال الله عز وجل في كتابه الكريم
بعد أن أقول أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ
(QS. 33:56) يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
عِبَادَ الله ، رَحِمَ كُمُ الله ، اِتَّقُوا اللهَ
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ
وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ ، واللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
أَقِمِ الصَلَاةَ إنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى المُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوقُوتًا