بسم الله الرحمن الرحيم
Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-129
Topik: Pearls from Ali Imran
Rabu, 28 Oktober 2020
Materi VoB Hari ke-129 Pagi | Yang Super Jelas dan yang Super Ambigu
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek19Part1
Part 1
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
The best tafsir of Judgment Day is what?
Judgment Day.
Tafsir terbaik dari Hari Penghakiman adalah saat kita mengalaminya sendiri.
Yaitu, saat kita berada di hari itu.
Hari Penghakiman yang sesungguhnya.
Yang pasti akan datang itu.
Sama halnya dengan tafsir dari surah Al-Qalam ayat 4.
Wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim (وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ).
Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam dilukiskan sebagai pribadi dengan great character.
Sosok panutan yang memiliki budi pekerti yang luhur. (QS 68:4)
Apa tafsir terbaik dari ayat ini, untuk para sahabat?
Jawabannya, ya para sahabat itu sebaiknya langsung saja nyamperin Rasululllah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Sering kumpul bareng beliau. Bergaul sama beliau.
Itulah tafsir terbaik dari ayat ini.
Realitas di balik ayat itu ada pada kebersamaan para sahabat saat Rasulullah ada di tengah-tengah mereka.
Saat Rasulullah ada bersama mereka.
Sekarang mari kita gali lebih dalam kata mutasyaabih.
Kita masih berada di ayat ke-7 surah Ali ‘Imran dan ingin mendalami makna kata mutasyaabihaat (مُتَشٰبِهٰتٌ).
Kata mutasyaabih pada dasarnya berasal dari dua hal.
1️⃣ Syubh atau syubhat yang dalam bahasa Arab artinya a doubt. Sebuah keraguan.
2️⃣ Tasyaabuh, isytibaah dan syibh, yang artinya kemiripan. Ada dua hal yang mirip satu sama lain, itulah tasyaabuh.
Idenya adalah: ada dua hal yang begitu mirip satu sama lain, sehingga kita susah sekali membedakan antara keduanya, sedemikian rupa sehingga menimbulkan sebuah keraguan.
Bisakah Anda dalam sekejap membedakan, yang mana Marcel, dan yang mana Mischa Chandrawinata?
Atau, dari kedua putra Firda Razak: yang mana Nakula, dan yang mana Sadewa?
Saat membahas hal ini, ustaz memang sedang memberi contoh dua anak kembar.
Dan ternyata di hadapan beliau ada murid yang kembar. Tapi tidak identik. Dan tidak mirip.
Keduanya jelas bedanya.
Keduanya mudah dibedakan.
Ustaz pun bercanda, “Kalian kembar? Ga bisa. Ga mungkin. Ga masuk akal. Kalian berdua muhkam. Jelas bedanya. Sedangkan yang kita bahas ini, mutasyaabih.” 😃😃
Jadi idenya di sini adalah, kata mutasyaabih merujuk pada hal-hal yang sangat mirip.
Nah, sekarang. Adakah ayat-ayat di Al-Qur’an yang sangat mirip satu sama lain?
Ya. Ada ayat-ayat di surah tertentu di Al-Qur’an, yang mengingatkan kita tentang ayat yang lain di surah yang lain.
Atau bahkan surah yang ini, mirip dengan surah yang itu. Atau, kisah yang ini, mirip kisah yang itu. Sama-sama ada di Al-Qur’an.
Pelajaran yang ini, mirip dengan pelajaran yang itu. Hikmah yang ini, mirip hikmah yang itu. Kata-kata peringatan yang ini, mirip kata-kata peringatan yang itu.
Ini adalah salah satu kualitas Al-Qur’an.
Jadi mutasyaabih adalah salah satu kualitas Al-Qur’an.
Dan ini adalah salah satu makna dari mutasyaabih. Salah satu dimensi dari makna mutasyaabih. Yaitu, kemiripan (similarity).
Tentu saja Al-Qur’an mengandung kemiripan-kemiripan di dalamnya.
Sebagai bagian dari kualitas yang membedakannya dengan kitab-kitab yang lain.
Saat Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitaaban mutasyaabihan (كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا) (Az-Zumar, 39:23), itu artinya apa?
Artinya adalah bahwa Al-Qur’an punya banyak kemiripan, punya ayat-ayat yang serupa.
Saat Anda menjalin keakraban dengan satu surah Al-Qur’an, lalu melangkah lebih jauh ke surah berikutnya, akan Anda jumpai tasyaabuh dari surah sebelumnya.
Sekarang kita sudah berada di Week 19 Ali ‘Imran, tapi saat kita masih berada di awal-awal pembahasan Ali ‘Imran dulu, kita juga membahas tasyaabuh antara surah Ali ‘Imran dengan surah sebelumnya, yakni surah Al-Baqarah.
Ada Alif Lam Mim di Al-Baqarah, dan ada Alif Lam Mim di Ali ‘Imran.
Ada juga kemiripan lainnya, yang sudah kita pelajari di materi awal dulu..
Dan sebagainya, dan seterusnya.
Tapi ada makna yang lain dari tasyaabuh.
Yang sudah kita bahas barusan adalah tasyaabuh dalam arti kemiripan.
Apa makna lain dari tasyaabuh?
Ambiguitas.
Suatu keadaan di mana kita merasakan ketidakpastian, yang membuat kita berada dalam keraguan (doubtfulness).
“Aku ga yakin maknanya seperti itu.”
“Aku hanya bisa bilang, mungkin interpretasinya adalah seperti ini.”
Allah melukiskan dua ujung yang ekstrem.
1️⃣ Ayat yang sangat-sangat jelas (absolutely abundantly clear).
2️⃣ Ayat yang tidak bisa kita ketahui secara persis artinya apa (no way for you to know what it could possibly mean). Ayat yang ambigu. Yang sepenuhnya ambigu.
Frasa yang berikut ini ada di lima surah di Al-Qur’an: sab’a samaawaat (سَبْعَ سَمٰوٰتٍ).
🟢 Al-Baqarah, 2:29
🟢 Fushshilat, 41:12
🟢 Ath-Thalaq, 65:12
🟢 Al-Mulk, 67:3 dan
🟢 Nuh, 71:15
Apa yang dimaksud dengan tujuh langit (seven skies) itu?
Tidak ada yang tahu secara persis.
Lalu yang berikut ini, juga. Ada di empat surah di Al-Qur’an: yadillaahi (يَدِ اللّٰهِ), yadullaahi (يَدُ اللّٰهِ).
🟢 Ali ‘Imran, 3:73
🟢 Al-Ma’idah, 5:64
🟢 Al-Fath, 48:10 dan
🟢 Al-Hadid, 57:29.
Apa yang dimaksud dengan tangan Allah (Allah’s hand) itu?
Tidak ada yang tahu secara persis.
Kita tidak tahu artinya.
Kita tidak punya pengetahuan yang pasti tentang arti ayat-ayat itu.
Sekarang kita sudah tahu bahwa ada dua ujung yang ekstrem tadi.
Yang satu *super jelas.*
Yang satu lagi *super ambigu.*
Muncul pertanyaan berikut: Apakah Al-Qur’an isinya hanya dua kutub muhkamaat (مُّحْكَمٰتٌ) dan mutasyaabihaat (مُتَشٰبِهٰتٌ) saja?
Dua kutub yang super jelas dan yang super ambigu saja?
Kita bahas jawabannya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da zhuhur.
Sumber: Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 03. ‘Ali ‘Imran – Ayah 7-9 Ramadan 2018 (27:23 – 30:17)
Materi VoB Hari ke-129 Siang | Bukan Muhkamaat, Bukan Mutasyaabihaat
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek19Part2
Part 2
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Apakah Al-Qur’an isinya hanya dua kutub muhkamaat (مُّحْكَمٰتٌ) dan mutasyaabihaat (مُتَشٰبِهٰتٌ) saja?
Ternyata tidak.
Dari mana kita tahu?
Dari pendapat sebagian besar ulama.
Ayat ini tidak berarti bahwa keseluruhan Al-Qur’an isinya hanya dua: kalau tidak muhkamaat ya mutasyabihaat.
Tidak seperti itu.
Ada juga ayat-ayat yang bukan muhkamaat, tapi juga bukan mutasyaabihaat.
Dan di ayat ini pun jelas-jelas ada kata minhu (مِنْهُ).
Artinya, di dalam Al-Qur’an, memang ada dua kategori itu: muhkamaat dan mutasyabihaat.
Selain dua kategori itu, ada juga yang lain.
Jadi, isi Al-Qur’an bukan hanya dua kategori itu.
Faktanya, ada isi Al-Qur’an yang pada zaman sahabat termasuk mutasyaabihaat, tapi sekarang menjadi muhkamaat.
Allah beberapa kali menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang rahim seorang ibu.
Dalam skala mikroskopis, kita tidak tahu apa yang yang terjadi di dalam rahim seorang ibu.
Kita tidak tahu apa itu ’alaqah (عَلَقَةٍ), kita tidak tahu apa itu mudh-ghah (مُّضْغَةٍ), yang Allah sebutkan di surah Al-Hajj, 22:5.
Kita tidak bisa melihatnya.
Tapi sekarang sudah ada teknologi 3D sonogram.
Sekarang, kita bisa melihat apa yang ada di dalam rahim.
So, terjadi pergeseran dari ’aalimul ghayb ke ’aalimusysyahaadah.
Dulunya mutasyaabihaat, sekarang menjadi muhkamaat.
Tidak hanya di bidang kedokteran.
Pergeseran tadi juga bisa terjadi di bidang kesejarahan.
Dulu mungkin tidak banyak yang tahu tentang sejarah Mesir kuno.
Para sahabat tidak memiliki akses untuk mengetahuinya.
Atau, ketika Allah menyebutkan tentang di mana Nabi Ibrahim tinggal, yang sekarang, kita ketahui bernama Ur.
Studi arkeologi berhasil menggali informasi itu.
Jadi ada pergeseran dari mutasyaabih, mungkin bukan seratus persen tapi sekian persen mutasyaabih, menjadi muhkam. Atau, lebih dekat kepada muhkam.
Yang bergeser atau berubah ini pemahaman atau interpretasi kita terhadap Al-Qur’an, ya.
Bukan Al-Qur’an itu sendiri.
Al-Qur’an sudah fixed. Tidak berubah lagi.
Jadi, ada ayat-ayat muhkamaat, ada ayat-ayat mutasyabihaat, dan ada juga ayat-ayat yang bukan keduanya.
Contohnya adalah yang barusan dibahas.
Tadinya mutasyaabihaat sekarang jadi muhkamaat. Atau, sekarang bergerak makin jelas atau makin ke arah muhkamaat.
Siapakah yang akan menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Bapak Jokowi?
Tidak ada yang tahu.
Apakah itu berarti seratus persen mutasyaabih?
Tidak juga. Semoga Allah memberi kita umur panjang sehingga beberapa tahun lagi, setelah pilpres selesai dan jumlah suara sudah dihitung secara sempurna, hal itu sudah berubah menjadi muhkam.
Sekarang, kita kembali ke ayat tadi.
Di ayat ini, antara muhkamaat dan mutasyaabihaat ada kata ummul kitaab.
Kata umm dalam bahasa Arab berarti the essence of something.
Inti dari sesuatu.
Atau the origin of something. Asal muasal dari sesuatu. The purpose of something. Tujuan dari sesuatu.
Kata amma, ya-ummu adalah sebuah kata kerja. Artinya, to have intent. Memiliki niat.
Jadi, bagaimana kita memahami kata umm dalam konteks ayat ini?
This is the intention of the Book.
Inilah maksud dari Kitab Al-Qur’an.
Intention beda dengan knowledge.
Kehendak atau maksud, beda dengan pengetahuan.
Ayat-ayat muhkamaat itu super jelas maksudnya. Agendanya. Proses berpikirnya. Al-Qur’an ingin supaya kita berpikir dengan cara tertentu, berdasarkan ayat-ayat muhkamaat.
Bahkan cara kita berpikir tentang ayat mutasyaabihaat, meski mungkin ga ada ilmunya, ga ada ilm, tapi ’aql akan hadir di sana.
Meski ’ilm tidak ada di ayat mutasyaabihaat, tapi ’aql ada di sana.
Ayat berikutnya adalah fa ammalladziina fii quluubihim zayghun (فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan.
Ada zayghun atau crookedness di hatinya.
Ada kebengkokan. Atau kecenderungan untuk sesat.
Banyak ulama yang melihat kata-kata ini dengan kacamata historis. Di mana umat Islam terlibat dakwah kepada orang-orang Yahudi dan penganut Kristen. Dan mereka mulai berinteraksi dengan ayat-ayat Qur’an.
Apa yang mereka lakukan? Mereka mempelajari ayat-ayat yang bisa disalahartikan. Dan mereka melakukan pendekatan yang kurang tepat terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Yudhillu bihii katsiiran wa yahdii bihii katsiiran (يُضِلُّ بِهٖ كَثِيْرًا وَّيَهْدِيْ بِهٖ كَثِيْرًا). Qur’an yang sama, bisa membuat orang tersesat, bisa juga membuat orang mendapat petunjuk.
Ada sebuah kisah nyata. Seseorang yang keluar dari Islam. Dia terkena provokasi di media sosial. Yang dia selalu bicarakan adalah ini:
How could God tell Abraham to kill his own child?
Bagaimana bisa Tuhan menyuruh Ibrahim (‘alayhis salaam) untuk membunuh anaknya sendiri?
What kind of religion makes you kill children?
Agama macam apa yang membuatmu membunuh anak-anak?
And on top of that, you own kid.
Dan di atas semua itu, yang Anda bunuh adalah anak Anda sendiri.
Itulah yang selalu dia bicarakan.
Berputar-putar di masalah itu.
Dan dia sudah keluar dari Islam beberapa tahun yang lalu.
Setelah dia keluar dari Islam, apakah dia sudah puas?
Apakah dia sudah lega?
Apakah perasaannya sudah diliputi ketenangan?
Apakah hidupnya sudah penuh kedamaian?
Kita kupas apa yang terjadi dengan dirinya insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da ‘ashar.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 03. ‘Ali ‘Imran – Ayah 7-9 Ramadan 2018 (30:17 – 34:27)
Materi VoB Hari ke-129 Sore | Terperosok ke dalam Kubangan Hasrat untuk Menafsirkan Ayat-ayat Mutasyaabihaat
Ditulis oleh: Heru Wibowo
#WednesdayAliImranWeek19Part3
Part 3
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
_He’s still not over it_.
Dia masih belum bisa melupakannya.
Dia masih belum bisa tenang.
Dia masih belum bisa damai.
Padahal logikanya harusnya dia sudah _happy_ kan, ya?
Dia sudah keluar dari Islam.
Harusnya dia sudah tidak dibayang-bayangi perasaan galau terhadap ajaran yang aneh itu.
Ajaran tentang Tuhan yang meminta seorang Nabi untuk membunuh anaknya sendiri itu.
Harusnya dia sudah bebas dari itu semua.
Harusnya dia sudah baik-baik saja setelah keluar dari Islam.
Tapi ternyata tidak.
He’s still on it.
Dia masih terus memikirkannya.
He can’t let go.
Dia tidak bisa melepaskan kegundahannya itu.
Saat ada crookedness, kebengkokan, kecenderungan untuk melangkah dalam kesesatan, di hati mereka, terhadap ayat-ayat Allah, apa yang terjadi?
Fayattabi’uuna maa tasyaabaha minhu (فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ). Then they pursue, they relentlessly follow.
Kemudian mereka mengejar, mereka mengikuti tanpa henti.
They obsessively follow.
Mereka mengejarnya dengan penuh obsesi.
Mengejar apa?
Whatever was ambiguous within it.
Apa pun yang ambigu yang ada di dalamnya.
Apa pun yang ga jelas, mereka terobsesi dengan hal itu.
Yang mereka kejar dan ingin tahu adalah apa-apa yang ga beres dengan ajaran agama ini.
Mereka begitu tertarik dengan keanehan itu.
Para pengkhotbah non muslim yang mencoba untuk meremehkan Al-Qur’an, mereka mengambil beberapa ayat lalu bilang,
“Hey Al-Qur’an kamu bilang begini. Al-Qur’an kamu bilang begitu.”
Mereka ingin menggoyahkan iman kita.
“Al-Qur’an kamu bilang Tuhan punya tangan. Apakah Tuhanmu punya lengan yang tersambung dengan tangan itu? Berarti Tuhanmu punya bahu juga? Cara bekerjanya bagaimana ya? Apakah ada darah yang mengalir? Apakah ada otot-otot yang menggerakkannya juga?”
Muslim yang imannya belum kuat, yang jarang membaca Al-Qur’an, yang tidak pernah tadabbur juga, mendadak heran,
“Benarkah Al-Qur’an bilang begitu? Aku kok ga tahu ya?”
Tapi si muslim ini masih mencoba ingin membela agamanya, “Oke, tenang Bro. Akan kutemukan jawabannya untukmu.”
Pertama, si muslim mendapat pertanyaan-pertanyaan sinting. Lalu dia mencoba mencari jawabannya. Dia lantas mencari seseorang untuk bisa membantu menjawabnya.
By the way, seberapa banyak internet dibanjiri oleh pertanyaan-pertanyaan konyol seperti ini?
Berapa banyak pula waktu dan energi yang telah dihabiskan untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi?
Berapa banyak percakapan kita tentang Islam, tentang Al-Qur’an, yang dibanjiri dengan pembahasan seperti itu?
Membahas kata-kata orang yang miring tentang sebuah ayat, lalu kita jadi panik serta ingin menaklukkan pertanyaan itu?
“Let me find out about this!”
“Biar saya cari tahu tentang ini!”
And actually, all of that, is an indication that our discourse on the Quran is dictated by those who have crookedness in their heart.
Dan sebenarnya, semuanya itu, adalah sebuah indikasi bahwa wacana kita terhadap Al-Qur’an didikte oleh mereka yang punya kecondongan akan kesesatan di hati mereka.
Karena mereka mengejar apa yang ambigu, sehingga hasilnya adalah interpretasi yang ambigu, dan kita terobsesi untuk meluruskannya.
Maka, fayattabi’uuna maa tasyaabaha minhu (فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ). Mereka mengikuti yang mutasyaabihaat.
Mereka tidak pernah belajar, atau tidak pernah paham tentang ilmu muhkamaat dan mutasyaabihaat.
Dan mereka terjebak masuk ke kubangan itu.
Yaitu, sok tahu ingin menguak misteri ayat-ayat mutasyaabihaat.
Ingin mengubah yang mutasyaabihaat menjadi muhkamaat.
Ingin kelihatan berilmu padahal mereka sedang melangkah menuju kesesatan.
Allah sudah secara terang-benderang menyebutkan adanya kecondongan ke arah kesesatan (crookedness).
Mereka condong ke arah kesesatan.
Kecondongan itu adanya di mana?
Fii quluubihim zayghun (فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ).
Jadi zayghun (زَيْغٌ) atau kecondongan ke arah kesesatan (crookedness) itu adanya fii quluubihim (فِيْ قُلُوْبِهِمْ).
Bukan di pikiran (mind), tapi di hati mereka (in their heart).
Fii quluubihim (فِيْ قُلُوْبِهِمْ).
They’re not confused philosophically. The crookedness is in their heart.
Secara filosofis, mereka tidak bingung. Kecondongan ke arah kesesatan itu ada di hati mereka.
Lalu Allah memberikan informasi lebih jauh tentang kecondongan ke arah kesesatan itu.
Ibtighaa-al fitnah (ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ).
The pursuit of controversy.
Yang mereka cari, yang mereka kejar, yang mereka buru, adalah kontroversi.
Perdebatan, persengketaan, pertentangan, pertikaian, atau perselisihan.
Mereka menempatkan diri mereka sebagai provokator yang mengganggu dan menggoyahkan iman, membuat tuduhan tak berdasar, mengadili orang lain, memancing perdebatan, membangkitkan perselisihan.
”I bet when I say this, they’re gonna be like … whoaaa.”
“Aku yakin, sangat yakin, kalau aku bilang begini, mereka akan terguncang, mulut mereka akan ternganga, atau mata mereka akan terbelalak.”
Mereka sendiri yang menjadi fitnah itu.
Itulah penyakit mereka.
Mereka suka sekali membuat keraguan.
Dengan cara mengajukan pertanyaan.
Atau mencoba menafsirkan sendiri ayat-ayat mutasyaabihaat.
Padahal hanya Allah yang tahu secara persis makna ayat-ayat itu.
Mereka membuat-buat pertanyaan tentang ayat-ayat itu.
Mereka membuat fitnah. Mereka membangkitkan keraguan.
Orang-orang dibuat ragu oleh fitnah mereka.
Yang juga menarik untuk dicermati adalah ini: kata-kata yang Allah gunakan.
Kata-kata yang Allah gunakan di ayat ini bersifat terbuka, bukan tertutup atau terbatas.
Dari mana kita tahu itu?
Dari kata-kata yang Allah pilih.
Allah tidak bilang ibtighaa-al fitnatinnaas.
Mengapa?
Mengapa ayat ini tidak menyebutkan ibtighaa-al fitnatinnaas?_
Mengapa ayat ini hanya menyebutkan ibtighaa-al fitnah (ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ) saja?
Kita bahas lebih jauh insyaa Allaahu ta’aalaa minggu depan.
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV / Home / Quran / Deeper Look / 3. Ali-Imran / 03. ‘Ali ‘Imran – Ayah 7-9 Ramadan 2018 (34:27 – 37:20)
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah