[BMW2020] Being a Mindful Muslim


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Being a Mindful Muslim
Oleh: Vivin Ardiani
#BerbagiMukjizatWeekly

Berapa kali fokus kita terpecah ketika melakukan sesuatu karena pikiran kita bercabang kemana-mana? Atau berapa kali lupa jumlah rakaat sholat karena terpikir hal lain? Begitu banyak hal yang membuat kita terdistraksi dan sulit konsentrasi. Ada konsep yang melatarbelakangi hal ini dan didukung oleh ilmu kontemporer dan cara islami yaitu konsep mindfulness (kesadaran penuh). Mindfulness didefinisikan sebagai keadaan mental yang dapat dicapai dengan memfokuskan kesadaran seseorang secara penuh pada kondisi saat ini. Artinya kita tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir secara mental. Jika kita berada pada kondisi unmindful, reaksi kita terhadap pikiran atau emosi adalah reaksi spontan dan membiarkannya menuntun kita kemana ia mau. Sebaliknya, mengembangkan mindfulness akan membantu kita untuk berpikir mengikuti/tidak reaksi spontan tersebut. Misalnya jika kita dihadapkan pada kondisi marah, kita bisa mengontrol kemarahan tersebut. Jika kita terpicu untuk bermalas-malasan, kita bisa melawan rasa malas tersebut. Penelitian telah menunjukkan bahwa melatih mindfulness dapat mengurangi stress, kegelisahan, dan depresi. Selain itu, mindfulness dapat meningkatkan memori, empati, fokus, dan perhatian.

Mindfulness dalam konteks Islam serupa dengan konsep muraqabah. Muraqabah adalah keyakinan seorang hamba bahwa ia selalu dalam pengawasan Allah setiap waktu dalam hal yang diketahui manusia ataupun yang dirahasiakan. Muraqabah juga langkah untuk mencapai tingkatan Islam tertinggi yaitu ihsan. Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihat kita.

Menurut Sheikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, ada empat aspek muraqabah:

  1. Mengetahui dan mengenal Allah
  2. Mengetahui bahwa setan adalah musuh yang nyata
  3. Mengetahui kapasitas diri/waspada terhadap diri terhadap kecenderungan perbuatan buruk
  4. Mengetahui perbuatan apa yang bisa dilakukan untuk Allah

Hikmah keheningan dan pengasingan diri

Rasulullah ﷺ sebagaimana kita tahu, sering berdiam sambil mengasingkan diri. Berefleksi dalam diam akan membantu kita untuk memiliki waktu hadir sepenuhnya pada saat ini tanpa mengkhawatirkan masa lalu atau masa depan. Jenis kehadiran ini juga yang harus kita miliki dalam ritual sholat. Tentu ada waktu yang tepat untuk memikirkan masa lalu atau masa depan seperti halnya untuk belajar dari kesalahan, membuat perencanaan, dll. Tetapi inti dari belajar untuk hadir dalam keheningan adalah untuk membatasi pemikiran kita tentang masa lalu atau masa depan dan fokus pada kondisi saat ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah mendahului al-mufarridun (orang-orang yang menyendiri dalam ibadah).” Para sahabat bertanya, “Siapakah al-mufarridun itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah.” [HR. Muslim, no. 2626]

Al-Munawi menjelaskan hadits ini, mengatakan, “Mereka yang menyendiri adalah mereka yang mencari kesendirian dan mereka menarik diri dari orang-orang untuk menyendiri dan bebas beribadah, seolah-olah seseorang memisahkan dirinya untuk mengabdi kepada Allah.” Pengasingan, yang dipraktikkan dengan benar, pada akhirnya adalah obat untuk perasaan buruk di dalam hati, seperti yang dikatakan oleh Ibn al-Qayyim, “Di dalam hati ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan melainkan dengan terhubung dengan Allah, di dalamnya ada perasaan sepi yang tidak bisa dihilangkan melainkan dengan keintiman dengan-Nya dalam kesendirian (khalwah).”

Meditasi, upaya mencapai mindfulness

Meditasi secara linguistik mengacu pada setiap dan semua aktivitas mental yang disengaja dan diarahkan. Beberapa Muslim mungkin ragu-ragu atau skeptis tentang kata “meditasi,” karena ada begitu banyak jenis meditasi, beberapa di antaranya secara khusus terkait dengan keyakinan dan praktik agama yang bertentangan dengan Islam. Bagaimanapun, para pendahulu kita yang shalih mempraktikkan beberapa bentuk meditasi, dalam arti kata yang murni linguistik. Melalui meditasi ini mereka mencapai keadaan spiritual yang lebih baik dan meningkatkan kualitas ibadah, doa, dan dzikir mereka. Kunci untuk menghidupkan kembali praktik mereka adalah dengan memeriksa dengan cermat bagaimana mereka mengkonseptualisasikan meditasi dan meniru praktik mereka dalam kerangka akidah, ibadah, etika, dan etiket Islam. Kita bahkan dapat memasukkan wawasan modern dari psikologi dan praktisi mindfulness selama kita tetap berpijak pada Islam, seperti yang dikatakan Nabi ﷺ, “Hikmah adalah harta yang hilang dari orang beriman, jadi di mana pun dia menemukannya maka dia berhak atasnya.” (HR Tirmidzi)

Meditasi sekuler bertujuan untuk melatih kekuatan mental dan fokus pada aspek ketiga dari empat aspek muraqabah menurut Sheikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Adapun meditasi islami bertujuan meningkatkan mental dan spiritual serta fokus pada framework holistik muraqabah.

Ibnu Qayyim memberikan penjelasan terbaik dari banyak arti “meditasi” dalam Islam yaitu  tafakkur (berpikir), tadhakkur, (mengingat), nathr (menalar), ta’amul (merenung), i’tibar (memetik pelajaran), tadabbur (menghayati), serta istibshar (melihat dengan teliti dan jeli). Makna kata-kata ini sama dari satu sisi, namun berbeda dari sisi yang lain. Sedang Al Ghazali merekomendasikan empat praktik spiritual untuk mencapai mindfulness  yaitu melalui doa, berdzikir, membaca al-Qur’an, dan berkontemplasi.

Untuk menjadi lebih mindful apa yang terjadi dalam diri kita, kita harus mengetahui bagaimana pikiran menjadi sebuah tindakan. Menurut al-Suyuti, ada empat tahapan bagaimana pikiran kita berkembang menjadi tindakan. Tahap pertama adalah Al-Hajis, pikiran yang muncul tiba-tiba datang dan pergi sebelum seseorang dapat mempertimbangkannya. bahkan mungkin kita sama sekali tidak menyadari kehadiran pikiran ini. Tahap kedua adalah Al-Khatir, yaitu pikiran yang mulai kita beri perhatian dan mulai kita pertimbangkan. Pada tahap ini kita memiliki pilihan untuk melanjutkan rangkaian pemikiran ini atau mengabaikannya. Tahap ketiga adalah Hadith al-nafs, dialog batin kita saat mulai serius mempertimbangkan untuk bertindak berdasarkan pemikiran tersebut. Tahap terakhir adalah Al-ham & Al-azm, keputusan dan tekad untuk bertindak. Tentu saja jika pemikiran itu baik, kita wajib merealisasikannya menjadi tindakan. Tetapi bagaimana jika berasal dari pikiran buruk dan dorongan itu sangat kuat, bagaimana kita bisa mengabaikannya? Bahwa sebenarnya ada jarak antara pikiran hingga menjadi tindakan. Jarak itu, memberi kita waktu untuk mengontrol reaksi kita. 

Melatih mindfulness dalam Islam.

Untuk memulai latihan, kita harus memilih waktu yang tepat dan tempat yang sunyi. Ada muslim yang memilih waktu sebelum sholat subuh atau waktu lainnya. Sebagai permulaan, latihan ini setidaknya harus konsisten lima menit setiap hari untuk membentuknya sebagai kebiasaan jangka panjang.

Selanjutnya, pilih posisi yang nyaman. Mungkin bisa duduk, berbaring miring, atau terlentang di tempat tidur. Tujuannya adalah mendapatkan posisi yang nyaman tetapi tidak terlalu santai sehingga kita justru akan tertidur.

Berikutnya, fokus kesadaran pada pernafasan natural. Rilekskan otot-otot yang tegang lengan, tubuh, kaki, rahang. Rasakan perasaan hati dan pikiran. Lalu cobalah untuk menenangkan pikiran dengan fokus pada pernafasan. Merasakan energi dari Allah melalui tubuh. Rasakan syukur yang mendalam kepada Allah atas nafas, hidup, dan keberadaan kita saat ini. Hadirkan perasaan muraqabah. Bahwa Allah selalu melihat kita. Wa huwa ma’akum ayna maa kuntum, dan Ia bersama kita dimanapun kita berada (QS Hadid:4). Diamkan sejenak hadith al nafs atau dialog batin/monolog kita. Fokus pada keberadaan Allah saat ini. Jika terdistraksi, berdzikirlah. Rasulullah ﷺ  bahkan beristighfar 100x setiap harinya. Dzikir adalah jangkar yang efektif untuk mencapai keadaan muraqabah.

Jika latihan mindfulness ini dilakukan secara konsisten, kita bisa mendapatkan manfaat lebih mudah khusyu’ di dalam sholat, mendapat kekuatan mental dan spiritual, mengurangi stress, fokus dan perhatian yang lebih baik, serta bisa mengontrol pikiran dan emosi. Kita akan lebih sadar ketika pikiran negatif itu hadir sehingga kita memiliki waktu yang cukup untuk mengabaikannya. Mekanisme serupa berlaku juga untuk perasaan dan emosi. Saat kita terbiasa memperhatikan perubahan internal, kita menjadi lebih sadar akan jarak antara perasaan dan reaksi terhadapnya. Misalnya, Nabi ﷺ berkata, “Jangan marah bagimu surga.” Tetapi kita semua pasti merasa marah dan memiliki pikiran marah di beberapa titik. Saat kita menjadi lebih mindful akan perasaan, kita menjadi lebih sadar untuk menghindari pemicu negatif, serta menempatkan zona penyangga antara tindakan dan perasaan kita yang memberi waktu untuk bereaksi dengan cara yang benar. Misalnya alih-alih marah, kita memilih untuk berlindung kepada Allah. Bukannya secara refleks meneriaki orang lain atau melakukan sesuatu yang terburu-buru yang akan kelak akan kita sesali.

Kita tidak pernah bisa mengontrol apa yang kita alami, tetapi kita bisa mengontrol reaksi kita atas kejadian tersebut.

 


Referensi:

https://yaqeeninstitute.org/justin-parrott/how-to-be-a-mindful-muslim-an-exercise-in-islamic-meditation

One thought on “[BMW2020] Being a Mindful Muslim

  1. Dalam islam ada praktik “meditasi” yg sudah dipraktekkan oleh tokoh2 besar islam terutama kalangan NU, itulah yg dipraktekkan oleh hujjatul islam Imam Al Gazali, Syekh Abdul Qadir jaelani, dan Syekh Naqsyabandi, itulahyg dinamakan praktek zikir dengan metodologi Tarikat,

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s