بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
Voice of Bayyinah (VoB) Hari ke-88
Topik: Divine Speech
Kamis, 17 September 2020
Materi VoB Hari ke-88 Pagi | Popularitas Versus Moralitas
Oleh: Heru Wibowo
#ThursdayDivineSpeechWeek13Part1
Meski lagunya enak, Anda bisa menjadi sangat terganggu.
Mengapa? Karena Anda sudah bosan mendengarkannya.
Orang memutar lagu itu setiap hari. Di restoran, di hotel, di pasaraya, di televisi dan radio.
Anda mungkin tidak memutarnya, tapi merekalah yang memutarnya.
Anda mungkin suka, pada awalnya, tapi setelah sekian minggu Anda mendengarkannya, perasaan Anda bisa berubah.
Tadinya perasaan suka. Lalu berbalik menjadi perasaan terganggu.
“Aku tidak ingin mendengarnya lagi! Ngeselin banget! Mengapa orang-orang itu masih memutarnya!?”
Perubahan perasaan seperti itu, mengapa bisa terjadi?
Karena di dunia entertainment, audiens selalu menginginkan sesuatu yang baru. Audiens menjadi jemu. Audiens mudah bosan. “Itu lagi, itu lagi!”
Artis, aktor, penyanyi, entertainers, anak band, roda hidup mereka berputar dengan seiring berputarnya penghargaan demi penghargaan.
Jadi, saat orang-orang menyukai lagu mereka, rasanya mereka menjadi dewa. Menjadi pusat perhatian dan penghargaan.
Tapi ketika orang-orang membenci lagunya, mereka merasa perlu memikirkan lagu yang baru. Mereka merasa tidak berharga.
Mereka tidak lagi memikirkan uang atau anugerah musik. Mereka fokus, atau lebih tepatnya prihatin, ke jumlah likes yang sedikit.
Dan di saat yang sama, muncul banyak haters. Lagu mereka dikritik di berbagai media.
Mereka berpikir keras. Bagaimana menghasilkan produk yang dapat diterima. Bagaimana lagu mereka kembali banyak disuka. Harus ada lagu baru yang tercipta.
Begitu juga dengan film.
“Yang pertama dulu memang bagus. Tapi yang kedua ini, gimana ya, susah buat memujinya.”
Makin diserang kritikus secara bertubi-tubi, artisnya bisa makin putus asa.
“Aku sudah mencoba mendapatkan perhatian mereka, tapi aku gagal. Aku perlu mencoba sesuatu yang berbeda. Aku harus menjelajahi lembah yang baru.”
Lalu mereka berpikir bahwa mereka harus melakukan hal yang benar-benar gila. Dengan cara itu, mungkin orang-orang akan memperhatikan dan mengelu-elukan mereka lagi.
“Mungkin aku perlu bikin kekacauan sehingga aku ditangkap polisi.”
“Mungkin aku perlu minum ‘obat’ sampai overdosis.”
“Mungkin kepalaku perlu dicukur gundul.”
“Mungkin aku perlu melakukan perbuatan yang memalukan dan tak senonoh.”
“Mungkin aku perlu bikin skandal.”
“Mungkin aku perlu melakukan sesuatu yang menjijikkan.”
“Biarin! Namaku tidak mereka sebut saat upacara penganugerahan artis terbaik, gapapa! Yang penting namaku masih disebut-sebut di tabloid. Yang penting mereka masih membicarakanku di facebook. Setidaknya orang masih memperhatikanku.”
Siklus seperti itu bisa terjadi di dunia artis. Suatu saat berada di puncak kejayaan. Lalu tidak lagi di papan atas. Mulai ketergantungan obat. Lalu ditahan polisi. Berbuat hal-hal yang gila. Akhirnya muncul kesan yang menjijikkan tentang diri mereka.
Mereka ‘menemukan kembali’ diri mereka, dalam konteks, bahwa setiap kali mereka menemukan diri mereka yang baru, mereka justru makin kotor. Dan semakin kotor. Sebuah penemuan diri yang semu. Mereka terus membuat diri mereka makin rendah. Dan semakin rendah.
Ketika kita berpikir bahwa mereka sudah akan selesai, sudah cukup sampai di situ, tidak menuruni lembah lagi, dugaan kita meleset.
Mereka menjelajahi lembah yang baru, yang membuat diri mereka makin rendah. Dan mereka tak berhenti mencoba lembah yang baru lagi. Dan mereka pun semakin rendah lagi.
Dahulu, saat orang-orang berkerumun untuk mendengarkan syair mereka, yang terdengar adalah syair yang menjijikkan.
Mereka membacakan puisi-puisi kotor. Mereka tak punya lagi kesopanan. Karena mereka berpikir, itu membuat ‘karya seni’ mereka lebih laku. Standar moral pun turun.
Dan hasilnya?
Standar moral seluruh masyarakat pun turun.
Sehingga saat Anda mengamati nyanyian, lagu, musik, film, drama, sandiwara, dari 50 tahun yang lalu. Dan Anda juga mengamati ‘karya seni’ 40 tahun yang lalu. Lalu Anda mengamati hasil karya kesenian 30 tahun yang lalu. Terus, 20 tahun, 10 tahun yang lalu, hingga sekarang. Anda akan menemukan kerusakan yang makin parah.
Dalam hal bahasa. Dalam hal kesopanan. Dalam hal kepantasan. Dalam hal perasaan tidak tahu malu. Penurunan itu ada di mana-mana. Dan bersifat lintas budaya.
Industri hiburan ingin selalu melakukan ‘penyegaran-penyegaran’.
Standar moralnya bukannya naik, tapi justru turun. Makin lama makin rendah. Sampai akhirnya, saking rendahnya, tidak bisa makin rendah lagi.
Mereka telah bertualang di sembarang lembah. Sekenanya. Ngasal.
Mereka enggak peduli. Mereka enggak peduli mereka ngomong apa. Mereka tidak punya tujuan hidup. Itu mengerikan sekali.
Mereka hidup untuk apa?
***
Sumber: Bayyinah TV > Quran > Courses > Divine Speech > 03. The Quran is Beyond Explanation > (14:33 – 18:30)
(bersambung insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da zhuhur)
Diskusi dan Tanggapan VoB Hari Ke-87 Pagi | Bukti yang Nyata
Siti:
Being fame and popular butuh ilmu spiritual tersendiri yaa. Kalau tidak bisa tersesat. Or even artis populer dunia they end up with suicide.
Good influencer.. or bad influencer .. That’s not easy morality and character building…
Materi VoB Hari ke-88 Siang | Dunia ‘Bagaimana Jika’
Oleh: Heru Wibowo
#ThursdayDivineSpeechWeek13Part2
Mereka hidup untuk penggemar. Dan yang lebih gila lagi, penggemar mereka hidup untuk mereka.
Hmmm.
Ada yang rela mati untuk Justin Bieber. Ada yang menghabiskan satu miliar lebih untuk operasi plastik. Agar wajahnya mirip Justin Bieber.
Mereka menangis saat mendengarkan lagunya. Mereka berteriak-teriak histeris saat ia muncul dari balik panggung.
Ustaz pernah ke Inggris. Ada konser Justin Bieber di sebuah stadion yang tiketnya terjual habis. Ustaz bertanya-tanya. Tak habis pikir. Orang-orang yang membeli tiket itu, ‘luar biasa’.
Menurut ustaz, ‘anak’ yang mereka tonton itu, bahkan tidak paham apa arti hidup ini.
Dan lihatlah betapa banyak anak-anak muda yang ingin menjadi seperti dia. Ini namanya sakit jiwa berjamaah.
اَلَمْ تَرَ اَنَّهُمْ فِيْ كُلِّ وَادٍ يَّهِيْمُوْنَ
Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah. (QS Asy-Syu’ara’, 26:225)
Industri hiburan yang seperti itu, dilukiskan di ayat ini.
Para penyair Arab zaman dahulu, mereka bukan hanya penghibur (entertainer), tapi juga ahli filsafat (philosopher).
Filosofi mereka tentang kehidupan dan kematian, serta apa yang terjadi setelah kematian, pemikiran mereka tentang apa yang seharusnya diprioritaskan dalam hidup, semuanya berasal dari syair-syair mereka.
Dan buat kita, di dunia modern, filosofi yang kita anut kadang-kadang berasal dari seorang profesor di bidang filsafat. Dari kelas-kelas filsafat mereka.
Saat Anda masuk ke kelas-kelas seperti itu, Anda akan mengamati bahwa sang profesor filsafat berpakaian cukup aneh. Kacamatanya aneh. Rambutnya lumayan acak-acakan. Kata-katanya juga aneh.
Pak Ndul Wagu mungkin akan berkomentar, “Bahasanya very high.” Secara sosial, sang profesor juga canggung.
Profesor ini ingin menanamkan satu hal kepada kita. Khususnya di kelas-kelas dan perkuliahan filsafat barat.
Hanya ada satu gagasan yang ingin ditanamkan. There is no such thing as the absolute truth. Tidak ada yang namanya kebenaran mutlak. Itu saja.
Jika Anda bilang, ini benar. Maka filsafat ini mempertanyakan, bagaimana dengan hal ini, bagaimana dengan hal itu.
Kita digiring untuk hidup di dunia ’what if’. Bagaimana jika begini. Bagaimana jika begitu.
Filsafat seperti ini akan mempertanyakan kitab suci.
Ustaz pernah bertemu dengan seseorang yang bilang, “Bagaimana jika Al-Qur’an Anda itu, sebenarnya dikirim oleh alien alias makhluk asing?”
Orang ini terlihat sangat cerdas, dan sambil bertanya seperti itu, menertawakan Anda.
Ustaz menjawab, “Enggak tuh.”
Maksudnya, ustaz menolak untuk berpikir ‘what if’.
Ustaz menolak bahwa Al-Qur’an dikirim oleh alien.
Orang itu menimpali, “Tapi bagaimana jika pendapat saya tadi benar?”
Hmmm.
Jika kita meneruskan percakapan ini dengannya, dia akan mengeluarkan jurus ‘bagaimana jika’. “Bagaimana jika nabi yang Anda percayai itu, tidak pernah ada?”
“Bagaimana jika ratusan tahun yang lalu, ada seseorang yang merancang hoax yang canggih, dan menjualnya kepada dunia?”
Apa reaksi ustaz terhadap pikiran-pikiran ‘what if’ seperti itu?
💎💎💎💎💎
Sumber: Bayyinah TV > Quran > Courses > Divine Speech > 03. The Quran is Beyond Explanation > (18:30 – 21:25)
(bersambung insyaa Allaahu ta’aalaa ba’da ‘ashar)
Materi VoBHari ke-88 Sore | Kuda Terbang
Oleh: Heru Wibowo
#ThursdayDivineSpeechWeek13Part3
Ustaz berkata dalam hati, “Betapa bodohnya kamu, meski terlihat cerdas.”
Tapi dia, tentu saja, belum puas. Dia membalas lagi dengan ‘bagaimana jika’ berikutnya. Begitu seterusnya. Bergulir dari lembah yang satu ke lembah yang lainnya. Tak ada ujungnya.
Al-Qur’an mengajarkan saya dan Anda untuk hidup di dunia ‘apa adanya’. Bukan in the world of ‘what if’. Tapi, in the world of ‘what is’.
Allah berulang kali di Al-Qur’an meminta kita untuk memperhatikan apa yang ada di sekeliling kita. Untuk melihat diri kita sendiri. Untuk melihat realitas di seputar kita. Untuk melihat bangsa-bangsa yang rusak moralnya dan dihancurkan. Untuk melihat realitas seperti ‘apa adanya’.
Untuk melihat burung dan pepohonan. Untuk melihat ke dalam diri kita sendiri. Apa adanya.
Kita tidak berjalan asal-asalan dengan menuruni sebuah lembah. Kita tidak seperti itu. Kita punya pikiran yang jernih. We have clarity of thought.
Umat Islam dan kita semua seharusnya belajar berpikir jernih. Berpikir tentang bagaimana kita seharusnya berpikir sebagai seorang muslim.
Kita harus punya correct philosophical Quranic foundation. Dasar filosofis dari Al-Qur’an yang benar. Tentang bagaimana Allah mengajarkan Anda dan saya, untuk berpikir secara tepat.
Apa yang terjadi, bahkan untuk kita, kaum muslim, jika pikiran kita ini berkecamuk tak tentu ke mana?
Kita yang ada di grup ini sudah belajar tentang dunia ’what if’. Dan semoga kita memilih untuk hidup di dunia ’what is’ bersama Al-Qur’an.
Tapi, tidak bisa dipungkiri, masih banyak kaum muslim di berbagai belahan dunia yang hidup di dunia ’what if’.
Beruntunglah kita yang hidup di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
Tapi jika Anda hidup di negara di mana muslim adalah minoritas, dan dikelilingi oleh orang-orang yang menentang Islam, kemungkinannya Anda akan mendapat pertanyaan nyinyir seperti ini, “Kamu percaya sama kuda yang bisa terbang? Yang membawa nabimu ke langit? Kamu yakin kuda seperti itu ada?”
Mahasiswa yang melontarkan pertanyaan barusan itu, dia belajar fisika dan biologi di universitas. Dia cerdas, atau tampak cerdas. Dia mencibir, “Kamu percaya sama kuda terbang, ya?”
Lalu kita tidak siap harus bereaksi seperti apa. Kita jadi gugup di hadapannya.
Mengapa kita jadi gugup? Karena pemikiran kita tentang Islam belum seratus persen jernih.
Kalau pertanyaan itu ditujukan ke ustaz, “Kamu percaya sama kuda terbang?” Ustaz akan menjawab, penuh percaya diri, “Ya, aku percaya. Kuda itu memang menakjubkan. Dan aku sungguh mempercayainya.”
Lalu yang bertanya spontan tertawa terkekeh-kekeh sambil bergumam, “Kuda terbang kok dipercaya.”
“Kamu tahu kenapa?” sergah ustaz. “Jika kamu ingin tahu kenapa, ayo kita bicara. Aku jelaskan kenapa aku percaya sama kuda terbang.”
Apa yang terjadi selanjutnya?
***
Sumber: Bayyinah TV > Quran > Courses > Divine Speech > 03. The Quran is Beyond Explanation > (21:25 – 24:25)
(bersambung insyaa Allaahu ta’aalaa minggu depan)
***
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah