بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Voice of Bayyinah’s (VoB) Hari ke-54
Topik: Pearls from Al-Kahfi
Jumat, 14 Agustus 2020
Materi VoB Hari ke-54 Pagi | Surah dan Kota
Ditulis oleh: Heru Wibowo
Sumber: Bayyinah TV > Quran > Courses > Al-Kahf > 02. Methodology of Studying the Quran – Al-Kahf – A Deeper Look (06:00 – 10:00)
Minggu lalu kita sudah belajar tentang ‘surah’. Yang diasosiasikan dengan sebuah kota.
Ada elemen-elemen yang berbeda dalam sebuah kota.
Ada pasar, perumahan, gedung-gedung pemerintah, jalan, rumah sakit, kantor polisi, sekolah, dan taman.
Ada banyak hal dalam sebuah kota. Ada banyak hal yang terjadi di dalamnya.
Sebuah kota, kegiatannya tidak cuma satu.
Banyak kegiatannya.
Banyak elemennya.
Tapi semua elemen itu bekerja bersama satu sama lain. Secara simultan, mereka membentuk personality atau ‘watak’ dari kota tersebut.
Jadi setiap kota memiliki ‘watak’ yang berbeda-beda.
Ustaz pernah tinggal di New York City. Saat ustaz berkunjung ke Sydney, tentu saja beliau menyempatkan diri untuk mampir ke P Sherman 42 Wallaby Way.
Tapi Sydney adalah kota yang berbeda dibandingkan New York City.
Meski ‘watak’ kedua kota itu berbeda, tapi kita bisa mengamati, ada yang sama.
Mal-mal tempat belanjanya mirip. Mobil-mobilnya, yang hilir mudik di jalan raya, juga mirip. Kebiasaan nyetirnya juga mirip.
Tapi gedung pemerintahan dan rumah-rumah penduduknya, sangat berbeda. Restoran-restorannya, ternyata sangat berbeda.
Dua kota itu, jika diamati, tampak memiliki beberapa kesamaan yang jelas (vivid similarities).
Tapi ada beberapa perbedaan yang jelas juga (vivid differences).
Sekarang, silakan tebak, apa yang kira-kira terjadi antara surah-surah dalam Al-Qur’an?
Anda akan mengamati, terdapat banyak persamaan yang jelas, antara surah yang satu dengan surah yang lainnya.
Lalu Anda juga mengamati bahwa ada perbedaan-perbedaan ‘watak’ antara surah-surah tersebut.
Seperti kota, surah punya banyak elemen yang berbeda. Tapi elemen-elemen itu saling tersambung (interlock) satu sama lain.
Tidak bisa, kita punya kota yang isinya cuma polisi dan tempat perbelanjaan, tapi tidak ada sekolahan.
Tidak bisa juga, sekolah bertebaran tapi tidak ada rumah sakit.
Semuanya saling bergantung (interdependent). Semuanya saling ‘mengunci’.
Itulah dinamika sebuah kota.
Dan begitu pulalah dinamika sebuah surah.
Ada banyak elemen di dalam sebuah surah. Tapi elemen-elemen itu saling bergantung. Saling ‘mengunci’ juga. Saling melengkapi. Saling menyempurnakan. Itulah karakteristik dari sebuah surah.
Sekarang, kita melangkah lebih jauh.
Apakah sebuah kota diatur sedemikian rupa sehingga rumah sakitnya ada di utara. Kantor polisi ada di barat. Kompleks perumahan ada di selatan. Pusat perbelanjaan ada di tengah.
Apakah seperti itu pengaturannya?
Enggak seperti itu.
Seandainya pun yang seperti itu ada, kejadiannya hanya di kota yang kecil saja. Atau di satu kota saja.
Tapi ketika kita berkunjung ke kota yang lain, pengaturannya jauh berbeda.
Di utara ada rumah sakit, ada kantor polisi, perumahan, dan pusat perbelanjaan juga.
Di kota yang lain lagi, pengaturannya beda lagi dari kedua kota sebelumnya.
Apa itu artinya?
Kita tidak punya formula bahwa sebuah kota pengaturannya harus begini atau begitu.
Demikian juga dengan surah.
Pengaturan elemen-elemen dari sebuah surah tidak bisa dibakukan dalam sebuah formula. Itu tidak masuk akal.
Jika Anda mengetahui bagaimana pengaturan sebuah surah, dengan kemampuan terbaik Anda, hal itu tidak berarti bahwa surah berikutnya yang Anda pelajari, pengaturannya akan sama dengan pengaturan surah yang sebelumnya.
Penjelajahan atas pengaturan sebuah surah sebenarnya merupakan sebuah studi yang bersifat individu.
Artinya, jika saya melakukan penjelajahan tertentu terhadap surah Al-Kahfi, terus ketemu polanya, tidak berarti bahwa penjelajahan terhadap surah berikutnya, surah Maryam, bisa menggunakan pola yang sama.
Mempelajari surah Maryam berarti kita harus mulai dari awal (start from the scratch).
Kita harus memahami arsitekturnya, tata ruangnya, dan petanya, semuanya harus dipelajari secara tersendiri.
Mengapa harus seperti itu?
Mengapa harus mempelajari struktur dan tata letaknya secara tersendiri?
Jika Anda memahami peta dari sebuah kota dengan baik, apakah Anda dapat memperoleh manfaat dari kota itu secara lebih dibandingkan dengan seseorang yang hanya mengenal bangunan-bangunan tertentu saja?
Jawabannya adalah: ya. Benar.
Memahami peta sebuah kota manfaatnya lebih besar daripada hanya mengenal satu, dua, atau beberapa gedung saja.
Memahami gambaran utuhnya membuat kita memiliki perspektif yang lebih baik. Memberi kita wawasan yang lebih luas.
Seseorang yang tinggal di sebuah kota dalam waktu yang cukup lama, biasanya mereka tahu semua restoran di sana. Terutama yang masakannya maknyus.
Jika ada seorang turis yang baru kemarin datang ke kota itu, dan menemukan sebuah restoran yang menyediakan kebab yang lezat, apakah bisa dipastikan bahwa kebab itu adalah kebab yang paling lezat di kota itu?
Bersambung in syaa Allaah ba’da Zhuhur
Materi VoB Hari ke-54 Siang | Keindahan yang Sayang untuk Dilewatkan
Ditulis oleh: Heru Wibowo
Sumber: Bayyinah TV > Quran > Courses > Al-Kahf > 02. Methodology of Studying the Quran – Al-Kahf – A Deeper Look (10:00 – 13:00)
Turis itu memang puas. Setelah merasakan kebab yang lezat.
Tapi dia tidak tahu bahwa ada restoran di Flushing, dan satu lagi di Jackson, yang menyediakan kebab yang lebih lezat.
Mengapa turis itu tidak tahu?
Karena belum memahami peta lokasi kebab-kebab terlezat di New York. Karena dia belum ‘berpengalaman’ dengan New York.
Surah juga begitu. Anda mungkin menemukan sebuah topik yang dibicarakan di bagian tertentu dari sebuah surah.
Tapi jika Anda memahami gambaran besarnya, memahami ‘peta’ dari surah tersebut, Anda akan mengetahui bahwa topik itu juga dibahas di bagian lain dari surah tersebut.
“Wow! Ternyata kedua ayat itu saling terhubung. Keduanya seperti bagian dari sebuah rantai yang saling mengikat! Ada hubungan dari kedua ayat itu!”
Para sahabat dahulu, tidak membicarakan tentang keterhubungan itu.
Mengapa?
Jawabannya bisa sederhana, bisa rumit. Ustaz memilih jawaban yang sederhana saja.
Yaitu bahwa para sahabat tidak membicarakan tentang keterhubungan itu sebagaimana mereka tidak membicarakan persoalan tata bahasa. Sebagaimana mereka juga tidak membicarakan tentang mudhaf dan mudhaf ilayh. Sebagaimana mereka juga tidak membicarakan tentang konteks turunnya wahyu.
Kenapa?
Karena ayat-ayat itu datang ke mereka secara alami. Mereka tidak bicara tentang makna linguistik dari sebuah kata.
Kejar lagi ahh mengapa kok para sahabat tidak mempelajari kamus?
Karena merekalah kamusnya. Mereka tidak perlu kamus. Merekalah kamusnya.
Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu adalah kamusnya itu sendiri. Beliau tidak melakukan riset untuk mengetahui makna dari sebuah kata. Beliau mengalaminya sendiri. Kata-kata itu adalah bagian dari hidup beliau sendiri.
Buat mereka, para sahabat, ayat-ayat itu datang secara alami, karena mereka in tune dengan bahasa dan gaya bahasa Al-Qur’an. Terasa begitu dekat. Begitu selaras.
Dan mereka ‘terpapar’ dengan ayat-ayat itu begituuu banyaaak.
Mereka juga membaca ayat-ayat itu berulang-ulang.
Sehingga keseluruhan ayat itu menjadi bersifat intuitif buat mereka.
Dan untuk generasi kala itu, sangat tidak mungkin untuk mereka membayangkan, bahwa akan datang generasi berikutnya yang tidak ‘merasakan’ ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak bisa merasakan keindahannya. Tidak bisa merasakan keterkaitannya. Tidak bisa merasakan keterhubungannya.
Salah satu standar dari puisi zaman dahulu (ancient poetry) adalah seberapa baiknya puisi itu tersusun.
Dan Al-Qur’an datang memporak-porandakan puisi-puisi yang berstandar tinggi itu.
Fakta jatuhnya puisi-puisi itu membuktikan bahwa Al-Qur’an memiliki susunan yang jauh lebih unggul (infinitely superior).
Jadi para sahabat mengapresiasi hal-hal seperti ini. Tapi mereka tidak perlu membicarakannya. Karena Al-Qur’an memang mengagumkan. Al-Qur’an begitu nyata buat mereka.
Mirip-mirip dengan duduk di tepi pantai dan bicara tentang betapa cerahnya matahari bersinar.
Akan menjadi kesia-siaan jika kita membicarakan hal itu di bawah terik matahari yang panas menyengat. Terlalu jelas. Tidak perlu lagi dibicarakan.
Atau merasakan kebab yang paling maknyus di seantero negeri. Tidak perlu membahas komposisi kebabnya apa, meraciknya bagaimana. Lalu pertama kali nempel di lidah seperti apa.
Ngapain membahas hal-hal itu. Langsung bisa dinikmati kok. Kenikmatannya langsung terasa. Begitu maknyus. Begitu nyata.
Apa masalahnya dengan kita?
Ayat-ayat itu tidak terlalu jelas buat kita. Karena kita tidak hidup di konteks zaman itu. Kita tidak in tune dengan bahasa itu, seperti mereka.
Kita harus mempelajari bahasa itu secara artifisial. Tidak alami seperti mereka. Kita mempelajari Al-Qur’an setelah semua ayat-Nya turun.
Faktanya, apa yang kita pelajari bukanlah bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Tapi bahasa sejarah. Yaitu bahasa Arab yang pernah digunakan kala itu. Yang tidak digunakan lagi dalam percakapan sehari-hari, sekarang.
Jadi yang kita pelajari sebenarnya adalah studi kesejarahan.
Maka nazhm adalah sebuah studi yang sangat dahsyat. Nazhm menawarkan wawasan yang fantastis untuk memahami keindahan dan struktur dari sebuah surah.
Buat ustaz sendiri, secara pribadi, salah satu alasan mengapa nazhm adalah super dahsyat, adalah karena nazhm semakin membantu kita mengapresiasi keindahan Al-Qur’an. Lebih dari yang lainnya.
Keindahan firman Allah. Yang tidak boleh dilewatkan, apalagi diabaikan.
Ada satu hal lagi yang perlu kita ketahui terkait nazhm. Apakah itu?
Bersambung in syaa Allaah ba’da ‘Ashar
Materi VoB Hari ke-54 Sore | Memahami Konteksnya
Ditulis oleh: Heru Wibowo
Sumber: Bayyinah TV > Quran > Courses > Al-Kahf > 02. Methodology of Studying the Quran – Al-Kahf – A Deeper Look (13:00 – 16:18)
Upaya terbaik kita, untuk mencoba memahami struktur dari sebuah surah, pada akhirnya hanyalah sebuah usaha manusia semata.
Struktur surah Al-Qur’an sudah sempurna. Karena berasal dari Yang Maha Sempurna.
Tapi apresiasi terhadap struktur surah itu akan selalu tidak sempurna.
Gedungnya sempurna. Aku foto gedung itu. Hasil jepretannya, bagaimana? Tidak sempurna.
Mungkinkah ada orang lain yang bisa menghasilkan foto yang lebih bagus?
Sangat mungkin.
Mungkinkah ada orang lain yang bisa menghasilkan komentar yang lebih baik, apresiasi yang lebih baik, terhadap gedung yang sama?
Sangat mungkin juga.
Jadi yang sedang coba kita lakukan adalah mengapresiasi apa yang ada di depan kita, dengan kemampuan terbaik kita.
Mungkin akan ada orang lain yang datang dan bilang, “Itukah yang kau sebut apresiasi? Akan aku tunjukkan kepadamu apa arti apresiasi yang sesungguhnya, biar kamu tahu.”
Jadi upaya apresiasi yang kita lakukan ini adalah sebuah upaya yang akan berlanjut.
Masih ada langkah berikutnya, dan berikutnya lagi.
Sekarang, kita bahas satu tambahan manfaat lagi dari nazhm.
Yaitu, ketika Anda berbicara.
Jika Anda mengambil sebuah potongan pembicaraan seseorang dan Anda mengambil satu pernyataan yang di luar konteks.
Anda mengambil satu pernyataan saja, dan melupakan apa saja yang sudah dikatakan sebelumnya, dan Anda juga mengabaikan apa saja yang akan dikatakan kemudian.
Jadi, Anda hanya mengambil satu pernyataan saja. Yang ada di tengah-tengah pembicaraan.
Apakah hal ini adil terhadap orang yang berbicara tadi? Dan mungkinkah Anda mengambil kesimpulan yang salah gara-gara melakukan hal itu?
Ya. Mungkin.
Misalnya saya sedang bermain dengan anak saya, di rumah.
Dan saya berpura-pura menjadi sebuah monster.
Anak saya tahu kalau ayahnya sedang bercanda.
Lalu saya bilang ke anak saya, ”Kaaamuuu akan aku maaakaaannn.”
Seseorang memotong bagian itu.
“Kamu akan aku makan,” kata ayahnya. Mungkin ditambahi ‘bumbu’: ayahnya memang kelihatan sangat-sangat lapar. Dan kejam.
Bisakah seseorang menarik kesimpulan yang sangat berbeda gara-gara pemenggalan bagian percakapan seperti itu?
Yang memahami gambaran utuhnya berpendapat: ayahnya sangat sayang kepada anaknya. Pintar bercanda. Anaknya gembira, sampai tertawa terpingkal-pingkal.
Yang hanya mendapat sepenggal cerita saja, berpendapat: ayahnya benar-benar kejam terhadap anaknya sendiri. Teganya mau membunuh dan memakan anak sendiri!
Yang satu memahami keseluruhan latar belakangnya.
Yang satu hanya mengetahui satu kalimat saja, tapi tidak memahami konteksnya.
Oh ya, apakah bisa terjadi, seseorang itu berbicara dengan nada tinggi, karena marah?
Dan ketika dia bicara itu, dia mengeluarkan kata-kata yang kasar?
Ya, mungkin.
Di Al-Qur’an juga ada kata-kata seperti itu.
You will find sarkasm in the Quran. Anda akan menemukan kata-kata yang pedas di Al-Qur’an. Kata-kata itu sangat hidup.
Beneran nih? Di Qur’an?
Ya. Seperti misalnya pernyataan kepada orang yang dibakar di neraka.
”Taste it.”
“Rasakan itu.”
Fadzuuqul ‘adzaab.
Rasakan azabnya.
(QS Ali ‘Imran, 3:106)
Apa yang kita perlukan untuk memahaminya? Kita perlu tahu konteksnya. Dan nazhm jenis pertama adalah textual context. Konteks yang berkenaan dengan kata demi kata. Berkenaan dengan kalimat demi kalimat.
Artinya, kita memahami di bagian pembicaraan yang mana, ayat tersebut turun.
Contohnya adalah ayat berikut ini.
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ
Maka celakalah orang yang shalat. (QS Al-Ma’un, 107:4)
Ayat ke-4 ini adalah sebuah ayat yang berdiri sendiri. Tidak digabung dengan ayat berikutnya.
Padahal bisa saja Allah menggabungkan ayat ke-4 dan ayat ke-5 menjadi satu ayat.
Tapi kenapa Allah biarkan ayat ke-4 terpisah dan berdiri sendiri, sebagai satu ayat tersendiri, seperti itu?
bersambung in syaa Allaahu ta’aalaa pekan depan
***
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Voice of Bayyinah