بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
Lessons from Bayyinah’s Production (LBP) Hari ke-51
Topik: Pearls from Al-Baqarah
Selasa, 11 Agustus 2020
Materi LBP Hari ke-51 Pagi | Terbukti Secara Ilmiah
Ditulis oleh: Rizka Nurbaiti
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 02. Al-Baqarah (Ayah 3-4) – A Deeper Look (10:00 -11:35)
Minggu lalu kita telah sampai pada pembahasan QS Al-Baqarah, 2:3
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib.
Menurut Ustaz Nouman frasa pada ayat ini menjadi ‘lebih hidup’ di zaman sekarang, dibandingkan di zaman dahulu. Mengapa?
Karena di zaman sekarang gerakan akademis dan filosofis telah menguasai dunia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan filosofi semakin berkembang.
Contohnya adalah ‘paham saintisme’. Paham saintisme meyakini penggunaan metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan.
Jadi suatu hal dianggap ‘ada’ dan dapat ‘dibahas’ jika memiliki data yang terukur. Dan ditemukan bukti secara fisik.
Seperti suhu dan gravitasi yang diyakini ada karena dapat diukur.
Lalu bagaimana dengan Tuhan? Surga? Neraka? Malaikat?
Bisakah hal tersebut dibuktikan secara ilmiah?
Adakah perangkat ilmiah untuk mengukurnya?
Jawabannya adalah tidak ada.
Tidak ada perangkat ilmiah yang dapat menjelaskan keberadaan Tuhan, surga, neraka, ataupun malaikat.
So, jika kita melihat dari sudut pandang saintisme. Jadi Tuhan, surga, neraka, ataupun malaikat tidak ada gunanya untuk didiskusikan. Karena semua itu tidak dapat diukur secara ilmiah sehingga dianggap tidak relevan.
Dan menurut mereka satu-satunya hal penting yang dapat memajukan umat manusia adalah diskusi yang didasarkan pada sains.
Paham ini adalah mentalitas (cara berpikir) baru yang telah membentuk pemikiran banyak anak muda. Dan telah menghabiskan banyak dana.
Apakah paham ini bisa diterima oleh kita, sebagai umat muslim?
Tentu tidak bisa kita terima. Dan bahkan bukan hanya kita sebagai muslim saja yang membantah paham saintisme ini.
Umat Kristen, Yahudi, dan bahkan filsuf, akademisi, matematikawan, sosiolog, dan antropolog juga telah membantah konsep ini.
Mereka telah menunjukkan bahwa gagasan ‘segala sesuatu yang benar hanya dapat berasal dari sains’. Itu tidak sesuai.
Contoh mudahnya yang dapat membuktikan bahwa paham ini tidak sesuai adalah dengan membahas sastra.
Jika menggunakan konsep saintisme, bagaimana kita bisa menjelaskan sebuah sastra seperti puisi?
Saat kamu mendengarkan seseorang membaca puisi yang indah. Pernah tidak kamu mengatakan, “Wow! Bagus banget puisinya!”
Dapatkah kita secara ilmiah membuktikan bahwa puisi itu indah?
Adakah perangkat ilmiah untuk mengukur kadar keindahan puisi?
Tidak ada, kan?
Padahal semua orang merasakan keindahan puisi itu. Tapi keindahan itu tidak terukur secara ilmiah, tidak ada bukti secara ilmiah.
Contoh lainnya adalah karya sastra berupa lagu. Beberapa anak muda yang mendengarkan lagu, mereka menggerakkan kepalanya mengikuti irama lagu.
Dan bergumam, “Wah lagu ini keren banget, liriknya dalam banget’’.
Apakah ada buktinya bahwa lagu itu keren?
Jawaban tentu tidak ada. Tidak ada bukti ilmiah bahwa lagu itu keren.
Tidak ada parameter ilmiah yang bisa menilai keindahan dari sebuah lagu. Penilaiannya hanya bersifat subjektif.
Lagu hanyalah sekumpulan gelombang suara yang merambat di udara. Secara ilmiah, sebuah lagu tidak memiliki nilai kualitatif. So, lagu enggak bisa diukur kualitasnya secara ilmiah.
Walaupun tidak ada data ilmiah yang dapat menunjukkan lagu tersebut itu indah. Namun pemuda itu tetap yakin untuk mendownload lagu tersebut ke ponselnya.
Dia rela membuang waktu berjam-jam terhipnosis dengan lirik dan melodi pada lagu itu. Karena dia kagum banget dengan lagu itu.
Kedua contoh tersebut, membuktikan bahwa ada tingkah laku manusia yang tidak berdasarkan pada bukti ilmiah.
So, paham saintisme runtuh dengan sendirinya. Paham ini tidak berlaku. Karena telah terbukti bahwa ada elemen kehidupan manusia yang tidak terlihat (unseen) dan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Hal ini juga berlaku saat kamu mengatakan kepada ibumu, “Ibu, aku menyayangi ibu”.
Dapatkah kamu membuktikan ‘rasa cinta’ itu secara ilmiah?
Bersambung in syaa Allaah ba’da Zhuhur
Materi LBP Hari ke-51 Siang | Everlasting Iman
Ditulis oleh: Rizka Nurbaiti
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 02. Al-Baqarah (Ayah 3-4) – A Deeper Look (11:35 – 14:24)
Dapatkah kamu membuktikan ‘rasa cinta’ kepada ibumu secara ilmiah?
Cinta adalah suatu perasaan yang hidup. Perasaan atau emosi adalah sesuatu yang tidak terlihat.
Sehingga ‘rasa cinta’ kita kepada seseorang, tidak bisa kita buktikan secara ilmiah.
Membahas tentang cinta, ada begitu banyak keputusan yang kita ambil berdasarkan cinta atau perasaan suka.
Contohnya dalam memutuskan barang yang akan kita beli.
Memilih lingkungan tempat tinggal.
Mobil apa yang ingin kita beli?
Juga dengan siapa kita ingin menikah?
Jadi ada banyak keputusan dalam hidup yang didasarkan pada ‘rasa suka/cinta’. Dan ‘cinta’ sama sekali tidak ilmiah (unscientific).
Kita tidak bisa menjelaskannya data ilmiahnya. Pokoknya menurut kita itu bagus saja.
So, ini menandakan ada hal yang misterius di dalam diri kita. Yang tidak dapat kita bahas secara ilmiah. Kita harus menggunakan ‘iman bil ghaib’.
Menurut Ustaz Nouman, kita harus memahami adanya realitas yang tidak dapat kita lihat secara fisik.
Ketika kita sudah dapat menerima realitas tersebut, maka kita siap untuk beriman.
Tidak ada Nama Allah pada QS Al-Baqarah, 2:3
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(Orang-orang yang bertakwa itu adalah) orang-orang yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka (QS Al-Baqarah, 2:3)
Dalam ayat tersebut, Allah ﷻ tidak mention, nama-Nya. Tidak ada nama “Allah ﷻ” pada ayat tersebut.
Allahﷻ tidak mengatakan “orang-orang yang beriman kepada Allah”.
Melainkan, Allah ﷻ mengatakan “orang-orang yang beriman kepada yang gaib”.
Dengan kata lain, Allah ﷻ meminta kita untuk percaya pada perkara yang gaib.
Kita harus memahami realitas di luar dari apa yang bisa terlihat oleh mata kita.
Di luar dari apa yang bisa kita sentuh. Dan yang tidak bisa kita cium baunya.
Jadi tidak ada tuh ucapan, “I believe it, when I see it”.
Ucapan sama sekali tidak benar. Karena orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang beriman kepada yang gaib (unseen reality).
*Penggunaan present tense pada kata ‘iman’*
Allah ﷻ menggunakan fi’l mudhori atau present tense pada kata ‘iman’.
Present tense adalah kata kerja yang sedang berlangsung saat ini.
So, mengapa Allah ﷻ menggunakan present tense pada kata ‘iman’?
Padahal pada ayat lain dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ menggunakan fi’l madhi (past tense/ kata kerja bentuk lampau) untuk kata ‘iman’.
Contohnya pada QS Al-Baqarah, 2:62
إِنَّ *ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟* وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَـٰرَىٰ وَٱلصَّـٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ وَعَمِلَ صَـٰلِحًۭا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah ﷻ, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Fi’l mudhori atau present tense menunjukkan kontinuitas/ keberlanjutan. Dan juga menunjukkan perjuangan, sesuatu yang belum selesai.
Sudah sedikit bingung yah dengan penjelasan yang di atas?
Tapi tenang ustaz memberikan penjelasan versi simple-nya. Berikut penjelasan ustaz yang versi simple-nya.
Jika kita mengatakan ‘I ate lunch’ (past tense). Saya telah makan siang. Itu berarti saya sudah selesai makan.
Ketika saya mengatakan ‘I am eating lunch’. Apakah itu berarti saya sudah selesai makan? Tidak, kan?
So, present tense menandakan bahwa kegiatan masih berlangsung. Belum selesai
Jadi maksud dari penggunaan present tense pada kata ‘iman’ adalah untuk ditujukan kepada orang-orang yang beriman, yang tetap berusaha untuk terus beriman.
Mereka terus berusaha karena mereka tidak merasa puas akan iman yang telah mereka miliki.
Dan mereka sadar iman mereka dapat turun dan naik.
Tapi hebatnya saat mereka merasa iman mereka turun, mereka tidak menyerah.
Ketika suatu hari iman mereka sedang menurun, itu bukanlah akhir bagi mereka.
Mereka akan berusaha bangun dan mencoba mengambilnya kembali. They get up and they try to pick it back up again.
Sa’atan fa sa’a. Seperti yang dikatakan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, iman adalah sesuatu yang dapat naik dan turun. Iman meningkat dan menurun dari waktu ke waktu.
Sometimes you feel a high of it . Sometimes you don’t.
Terkadang saat kita berdiri dalam shalat, kita merasakan getaran di hati kita. Seakan kita mengalami momen yang terbaik dalam hidup kita.
Air mata yang mengalir dan jatuh di sajadah terasa begitu indah.
Tapi di lain waktu saat kita berdiri dalam shalat. Dengan membaca ayat yang sama.
Kejadian itu tidak terjadi. Kita tidak merasakan getaran di hati kita.
Kita hanya membacanya dan lanjut rukuk. Seakan tidak terjadi apa-apa. Ayat yang sama tapi feel-nya berbeda.
Itulah iman, ia bisa naik turun. Dan Allah ﷻ mengatakan, bahwa orang-orang yang konstan bertaqwa, akan tetap mengalami naik dan turunnya iman.
Jadi, meskipun seseorang memiliki taqwa, tidak berarti mereka sempurna. Iman mereka pun berfluktuasi. It’s going to go up and down.
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita orang yang dapat bangkit kembali di saat iman kita menurun.
Bersambung in syaa Allaah ba’da ‘Ashar
Materi LBP Hari ke-51 Sore | Beriman Kepada Hal yang Gaib
Ditulis oleh: Rizka Nurbaiti
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 02. Al-Baqarah (Ayah 3-4) – A Deeper Look (14:24 – 16:35)
Selanjutnya Ustaz Nouman memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengenai ‘makna beriman kepada hal yang gaib’, Dengan memberikan sebuah contoh yang dapat menggambarkan tentang hal ini.
Kita bisa dengan mudah mengatakan, bahwa percaya pada yang gaib berarti percaya kepada Allah yang tidak bisa kita lihat.
Percaya kepada malaikat, hari kiamat, api neraka, surga yang tidak dapat kita lihat.
Faktanya, semua hal tersebut adalah hal gaib untuk kita. Bahkan Rasulullah ﷺ
dan wahyu yang datang kepadanya pun tidak pernah kita lihat secara langsung.
Sehingga, makna “beriman kepada yang gaib”, juga termasuk percaya pada mukjizat yang belum pernah kita lihat. Seperti lautan yang terbelah dengan mukjizat Allah kepada Nabi Musa AS.
Ini adalah contoh mudah dari ‘beriman kepada hal yang gaib’.
Orang-orang yang beriman kepada yang gaib akan melihat realitas lain di sekitar mereka yang tidak dapat dilihat oleh orang lainnya.
Padahal mereka hidup di era, abad yang sama, dan tahun yang sama, serta berada di dalam masyarakat yang sama.
So, sebenarnya mereka mengalami hal yang sama dengan orang lainnya. Tapi cara mereka melihat yang berbeda.
Mereka tidak hanya melihat ‘hal yang dapat terlihat (visible)‘ oleh mata mereka. Melainkan juga melihat hal yang invisibe (hal yang tidak terlihat).
Seperti firman Allah pada QS An-Nisa, 4:108
يَسْتَخْفُونَ مِنَ ٱلنَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ ٱللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَىٰ مِنَ ٱلْقَوْلِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا
Mereka (dapat) bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak (dapat) bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak _ridhai._ Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.
Selanjutnya Ustaz Nouman memberikan contoh agar kita dapat memahami arti dari ‘beriman kepada hal yang gaib’.
Contohnya di dalam sebuah acara pesta. Ada sekumpulan ibu-ibu sedang berbincang-bincang.
Salah seorang dari mereka kemudian membicarakan temannya yang tidak datang di acara tersebut. Dia memfitnah temannya tersebut.
Mereka ber-ghibah dan mengolok-oloknya. Selain itu, mereka juga membicarakan kekurangan dan mengatakan hal-hal yang buruk tentang orang tersebut.
Saat mereka sedang melakukannya, mereka tidak menyadari bahwa perbuatan mereka itu salah. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah kejahatan .
Karena saat mereka sedang ber-ghibah mereka tidak secara langsung mendapat teguran. Misalnya tersedak atau batuk-batuk. Dan semakin buruk perkataan mereka maka semakin sakit tenggorokan mereka.
Atau semakin pedas ucapan mereka, semakin gatal kulit mereka. Hal itu tidak terjadi. Tidak ada hal yang secara nyata mereka rasakan.
Mereka tidak langsung merasakan sakit saat mereka sedang asyik ber-ghibah.
Berbeda dengan saat kita berolahraga. Saat kita berolahraga maka ada keringat yang keluar di tubuh kita.
Dan semakin keras kita berolahraga maka keringat yang keluar akan semakin banyak.
Jadi ketika mereka ber-ghibah tidak ada konsekuensi secara fisik yang dapat dirasakan.
Jadi untuk orang yang tidak beriman kepada hal yang gaib, maka mereka tidak akan menyadari perbuatan mereka itu salah.
Dan tidak ada tanda bahwa mereka telah melakukan hal yang salah. So, mereka merasa hal tersebut masih oke-oke saja selama orang yang mereka ghibah-in tidak tahu.
Berbeda dari mereka, untuk orang yang memiliki iman terhadap hal yang gaib, mereka akan merasa terganggu dengan perbuatan buruk tersebut.
Dan dia tidak ingin terlibat obrolan yang dipenuhi dengan ghibah dan fitnah tersebut.
Mengapa mereka bisa memiliki sikap demikian?
Karena mereka benar-benar beriman kepada hal yang gaib. Dan mereka mempraktekkannya dalam kehidupan keseharian mereka.
Ketika ada orang yang ber-ghibah mereka akan mengatakan pada diri mereka sendiri,
“Aku tidak bisa melakukan ini karena aku malu dengan Allah, karena Ia akan melihat apa yang aku lakukan”.
Jadi mereka benar-benar sadar akan realitas yang tidak terlihat. Bukan hanya teori tapi juga praktek.
Mereka melihat apa yang orang lain tidak lihat. Sehingga mereka aware (menyadari) sesuatu yang mungkin kebanyakan orang lain tidak pedulikan.
Mereka memikirkan masalah yang mungkin kebanyakan orang menganggap itu fine-fine saja.
Hal yang buruk yang sudah dianggap wajar oleh kebanyakan orang, akan tetap mengganggu mereka.
Karena mereka benar-benar beriman kepada hal-hal yang tidak terlihat oleh mereka. Mereka beriman akan adanya Allah di setiap perbuatan yang mereka lakukan.
So, itulah contoh dari ‘percaya kepada hal yang gaib’, yang mungkin banyak terjadi pada kaum wanita.
Selanjutnya ustaz memberikan contoh yang mungkin banyak dialami oleh kaum pria.
Yaitu tentang menjaga pandangan.
Bagaimanakah sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim yang beriman dengan hal gaib dalam menjaga pandangannya?
Bersambung in syaa Allah pekan depan
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Lessons from Bayyinah’s Production