بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّـهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّـهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.
Kata yang kita bahas sebelumnya adalah “فَاحِشَ” yang berarti sesuatu yang tidak patut, senonoh, tidak pantas, kemudian “ظُلْمٌ نَفْس” yang berarti perbuatan merugikan diri sendiri. Selanjutnya coba kita bahas akar kata plural “ذُنُوْبِهِمْ” yang berarti dosa-dosa mereka yaitu “ذَنْب” .”ذَنْب” berasal dari “ذَنَبْ” yang berarti ekor dari hewan. Biasanya kebanggaan hewan tidak ditemui pada ekornya. Seperti pada suku kuno, mereka biasa mengasosiasikan kekuatan dan kehormatan, kebesaran dengan hewan tertentu seperti singa atau elang contohnya, hewan yang terlihat gagah. Suku arab pada zaman Rasulullah ﷺ pun sama. Mereka mengasosiasikan kebesaran suku dengan bagian hewan unta atau kuda yang sering mereka temui. Sedangkan ekor cenderung dekat sebagai simbol yang memalukan.
“ذُنُوبْ” atau “ذَنْب” juga berarti bagian dari diri kita yang menempel, tidak mudah lepas dan kita malu karenanya. Seringkali jati diri kita ditentukan oleh dosa-dosa di masa lalu karena dosa biasanya menjadi memori kegelapan yang tidak mudah hilang dan kerap memalukan. Dosa juga menjadi salah satu pintu masuk syaitan, biasanya lewat kata-kata yang sering kita dengar, “Memang seperti itulah dirimu. Liat dosamu, kamu pikir kamu bisa jadi lebih baik?”. Tetapi hal ini tidak akan terjadi pada orang bertakwa. Mereka mengingat Allah sebagai Tuhan yang memberikan kehidupan baru setiap harinya. Setiap kita bangun dan berdoa, ahyana ba’da ma amatana, “yang menghidupkan aku kembali setelah mematikan aku”. Maka hakikatnya kemarin adalah kehidupan yang berbeda dan hari ini adalah kehidupan yang baru.
Setelah ini kita akan fokus membahas frasa “wa may yagfiruż-żunụba illallāh” secara khusus karena frasa ini sangat-sangat powerful. Kita mulai…
Ada 2 cara berbicara menurut sudut pandang linguistik atau retorik, sederhananya ada cara bicara yang informatif (kalam khabari) dan ada cara bicara yang mengkomunikasikan emosi (kalam insya’i). Informatif contohnya saat kita mendengar “Pesawat tiba pukul 08.00″. Sedangkan saat kita berkata “Syukurlah, pesawatnya tepat waktu” disertai ekspresi, maka ini adalah emosi. Ahli bahasa arab menjelaskan saat kita mengekspresikan rasa atau emosi, maka kita tidak bisa menyelipkan nilai kebenaran (True/False) seperti saat kita menjawab soal. Sedangkan pernyataan informatif mungkin membawa nilai kebenaran. Sepanjang ayat ini dibahas, Allah selalu berbicara dengan cara informatif. Tetapi kemudian Allah meletakkan sebuah pernyataan kalam insya’i di tengah ayat yaitu “wa may yagfiruż-żunụba illallāh”. Ini dalam kaidah bahasa arab disebut juga jumlah i’tiradhiyah yaitu kalimat yang diletakkan di tengah kalimat. Contohnya “Mustofa, I love you, berhenti makan itu!”. I love you hadir untuk menunjukkan ekspresi perasaan di tengah kalimat.
Allah berfirman mereka melakukan sesuatu yang فَاحِش, kemudian mereka melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri, lalu sebelum kalimat-Nya selesai, Ia berfirman wa may yagfiruż-żunụba illallāh “..dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah!?”. Allah letakkan ini di tengah bukan menjadi informasi, namun sebagai ekspresi emosi. Saat kita hanya mengenal Allah dari satu sudut saja misalnya Allah Maha Menghukum atau Allah Maha Mengadili, maka terkadang konsep tentang Allah menjadi buram oleh persepsi kita atau karena hal yang kita dengar dari orang lain seperti “Allah tidak akan pernah memaafkanmu, aku akan minta Allah untuk menghukummu di Hari Kiamat”. Orang di dekat kita bisa dengan mudah berucap seperti seakan Allah ada di pihaknya dan kita yang menjadi target. Imam Al-Alusi berkata bahwa Allah meletakkan frasa tersebut untuk menunjukkan betapa pentingnya kembali kepada Allah dan mencari ampunan Allah. Ketika seseorang benar-benar mengenal Allah, mendapat gambaran yang berimbang tentang Allah, maka ia akan tahu bahwa Allah tidak akan meninggalkan orang yang meminta ampun kepada-Nya.
Kebanyakan orang menjauh dari Allah ketika berbuat salah karena alasan yang wajar pada mulanya. Jika kita telat masuk kantor atau masuk ke dalam kelas, tentu kita akan sungkan untuk melihat wajah guru atau atasan kita. Insting natural kita adalah menghindari orang yang kita sakiti, maka dalam hal ini dosa bisa membuat kita menghindar dari Allah. Di kehidupan nyata, berbicara pada seseorang yang sudah kita sakiti bisa membuat suasana canggung. Di sini terdapat paradoks yang menarik. Di satu sisi kita berkata “bagaimana mungkin aku bisa menghadap pada Allah dengan dosa sebanyak ini?” kemudian di sisi yang lain “Lalu ke mana lagi kita menghadap jika bukan kepada Allah!?”. Syaitan ingin kita menghindar sedangkan Allah berharap kita mencari-Nya dan meminta hanya kepada-Nya untuk menutupi kesalahan kita
Kemudian di kehidupan nyata biasanya seseorang tidak menurut pada sosok tertentu seperti orang tua atau istri tidak menurut pada suami karena perlakuan buruk yang ia terima, sehingga wajar jika ia tidak menurut. Sedangkan dengan Allah, kita tidak bisa memikirkan sesuatu yang bisa kita salahkan pada Allah jika kita benar-benar mengenal-Nya. Pada saat itu kita tidak hanya akan berpikir Allah sebagai maha Menghukum tetapi juga Allah sebagai Ar-Rahman yang sudah menyayangi dan mengurus kita selama ini, yang sudah peduli dan menjaga kita, Dia hanya meminta dari kita sesuatu yang sedikit dan itu pun untuk kebaikan kita di hari akhir.
Imam Al-Alusi lebih lanjut berkomentar agar kita tidak pernah lupa bahwa ketika ada istighfar, maka ampunan Allah tidak pernah datang terlambat. Ampunan datang bersamaan dengan istighfar. Contoh yang paling terlihat dalam Al-Quran yaitu saat nabi Musa ‘alayhis salam memukul tentara firaun dan tidak sengaja membunuhnya, lalu meminta ampunan pada Allah, rabbi innī ẓalamtu nafsī fagfir lī, seketika itu juga Allah memberi ampunan pada nabi Musa, fa gafara lah. Contoh lainnya yaitu ketika nabi Adam ‘alayhis salam meminta ampun dengan doa yang mahsyur, rabbanā ẓalamnā anfusana wa il lam tagfir lanā wa tar-ḥamnā lanakụnanna minal-khāsirīn. Banyak orang tidak tahu bahwa doa itu diucapkan ketika nabi Adam masih di surga dan seketika itu juga Allah turunkan ampunan. Artinya Adam dan Hawa tidak diturunkan ke dunia murni sebagai hukuman.
Kembali pada kata plural ذُّنُوْبَ yang berarti dosa-dosa. Di kehidupan nyata saat kita melakukan kesalahan satu kali, itu bisa saja merusak hubungan yang sudah terbangun selama ini. Saat kita berusaha memperbaikinya, maka kita akan diingatkan pada satu-satunya kesalahan yang dianggap fatal tersebut. Sekarang bayangkan dengan Allah, kita menyakiti-Nya satu kali, lalu sekali lagi, lalu diulang kembali, bahkan kita menyakiti-Nya dengan dosa yang beragam variasinya baik lewat mulut ataupun perbuatan. Apakah mungkin manusia mampu melupakan itu semua dan menutupnya. Ya’kub ‘alayhis salam bahkan butuh waktu saat berusaha memaafkan anak-anaknya yang sudah berlaku jahat pada nabi Yusuf ‘alayhis salam. Beliau berkata saufa astagfiru lakum rabbī, “aku akan memohonkan ampunan untukmu nanti”, karena sangat menyakitkan, terlalu menyakitkan.
Sedangkan dengan Allah, kita ucapkan istighfar sekali, maka Allah menutup banyak sekali dari dosa-dosa kita baik besar maupun kecil, dosa yang lalu maupun yang baru kita lakukan. Imam Al-Alusi berkata Allah menggunakan kata dzunuub untuk memberi kesan bahwa saat Allah mengampuni semua dosa seakan hamba-Nya tidak pernah melakukan semua dosa itu termasuk dosa yang sudah ia lupakan. Lebih lanjut imam AL-Alusi berkomentar kata اِلَّا (kecuali) memberi kesan bahwa tidak ada tempat untuk mencari perlindungan dari dosa kecuali melalui rahmat dan kebaikan Allah. Allah ingin memberi hamba-Nya harapan, kabar baik, agar tidak berputus asa. Saat seorang hamba melihat besarnya naungan Allah, kepedulian yang besar, bahkan dengan seketika membalas istighfar kita, maka hamba akan termotivasi untuk aktif mencari ampunan Allah, seakan ia berkata “Aku jelas akan kembali pada-Mu, kenapa tidak setelah banyaknya kebaikan-Mu?”
ال dalam adz dzunuub adalah lam istighraq yang berarti mencakup semua dosa tanpa kecuali. Saat Allah mengampuni dosa, Ia tidak menghitung atau meneliti satu per satu, Allah hanya langsung membersihkan semuanya layaknya banjir tsunami yang menghanyutkan semua yang dilaluinya. Seberapa pun besarnya dosa, ampunan Allah tetap jauh lebih besar. Penggunaan ال disini ingin menunjukkan Allah mencabut keputusasaan dari hamba-Nya.
Dunia ini mungkin punya tradisi ungkapan “maafkanlah dirimu sendiri”. Al-Qur’an ingin kita fokus mencari ampunan Allah, kemudian kita dengan mudah akan memaafkan diri sendiri. Sangat tipis namun cukup mendalam perbedaannya. Di dalam islam, saat kita mencari ampunan Allah, kita juga berhenti melukai diri kita sendiri. Pada saat tertentu, mungkin orang lain membuat kita putus asa, tetapi sebenarnya seringkali kita kejam pada diri sendiri karena sibuk memikirkan perkataan orang lain. Saat kita tulus meminta ampun pada Allah, semua perasaan itu seharusnya lenyap. Mungkin ada orang di sekitar kita yang tidak suka dengan kita, mungkin nanti ia berkata “bagaimana bisa kamu dapat ampunan, aku harap aku tidak melihat dia di surga, kalau bisa beda level surganya ya Allah… ini akan merusak surgaku” He he he. Ini tidak akan terjadi karena di surga Allah sudah menghilangkan perasaan sakit di hati kita, wa naza’nā mā fī ṣudụrihim min gillin ikhwānan…
Selain itu Allah juga ingin sampaikan “siapa lagi yang punya hak untuk menghakimi, kekuasaan untuk bisa mengampuni selain Aku. saat Aku mengampuni, Aku tahu yang Aku lakukan”. Kita tidak berhak mempertanyakan itu dan kita tidak lebih berkuasa dari Allah.
Kemudian setelah ekspresi dari Allah yang sedemikian rupa, ayat Ali Imran 135 kembali pada kita sebagai hamba, wa lam yuṣirrụ ‘alā mā fa’alụ.
Allah ingin berbicara tentang orang bertakwa yang serius menuju surga dan ia dengan tulus kembali pada Allah, tetapi tidak ingin dosa yang lalu menghantui mereka tidak hanya di akhirat, tapi juga di dunia. Maka langkah selanjutnya adalah kita tidak main-main dengan ampunan Allah. Kita tidak boleh berkata “jika Allah sangat pemaaf, mungkin minggu depan aku bisa melakukan dosa lagi. Aku bahkan belum melakukan dosa sebanyak itu, jadi mungkin tidak apa jika sedikit”. Orang bertakwa tidak bersandar pada janji ampunan yang luar biasa dari Allah dan mencoba mengambil keuntungan dari janji dan kemuliaan Allah. yā ayyuhal-insānu mā garraka birabbikal-karīm. “Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Mulia”.
Kita tidak bisa berbuat salah selama 11 bulan, lalu kita bersihkan di bulan ramadhan atau seseorang berbuat banyak dosa dan berharap bersih dengan haji. bukan begini caranya. Salah satu pesan hikmah dari Ibnu Abbas “Setiap dosa yang kerap dilakukan seorang hamba adalah dosa besar, namun tidak ada dosa besar jika seorang hamba meminta ampun atas dosa itu”. Jika seseorang tetap melakukan suatu dosa dan berpikir bisa lolos, bahkan dilakukan dengan sengaja dan terencana, maka itu lah dosa besar. Tapi disaat yang sama dosa yang paling besar, jika ia tulus meminta ampun, bisa menjadi kecil dihadapan Allah.
Ada hadits dalam musnad ahmad dan bukhari dari Abdullah ibn Amr, Rasulullah ﷺ bersabda:
ارْحَمُوا تُرْحَمُوا وَاغْفِرُوا يَغْفِرْ اللَّهُ لَكُمْ وَيْلٌ لِأَقْمَاعِ الْقَوْلِ وَيْلٌ لِلْمُصِرِّينَ
“Irhamu Turhamu“, tunjukkan perhatian dan cinta, maka kamu akan ditunjukkan perhatian dan cinta pula. “ighfiru yaghfirlakum”, maafkan orang lain dan kamu akan dimaafkan. Celaka bagi mereka yang memiliki telinga seperti corong, mereka mendengar perkataan yang haq dari lubang yang satu kemudian keluar lewat lubang yang lain. Celaka bagi mereka yang tetap bersikeras melakukan keburukan
Kesimpulan akhi dari ayat Ali Imran 135 yaitu wa hum ya’lamụn.
Pertanyaannya adalah mereka mengetahui apa? Interpretasi pertama adalah mereka tidak menumpang pada janji ampunan Allah, maksudnya bisa saja mereka berbuat salah lagi tetapi itu tidak disengaja. Interpretasi kedua yaitu sekarang mereka sudah mengenal Allah seutuhnya, maka mereka tahu sebenar-benarnya Allah yang Maha Pengampun. Interpretasi ketiga yaitu mereka tahu bahwa bersikeras dalam dosa itu sangat jelek dampaknya bagi mereka di dunia dan akhirat. Interpretasi lainnya lagi bahwa mereka tidak bersikeras dengan dosa mereka karena mereka mengetahui apa yang sudah Allah sisipkan bersama ampunan-Nya, yaitu kedamaian di hatinya
Jika kita berbicara dengan seseorang yang datang pada islam melalui hidup yang penuh dosa, maka akan kental sekali nuansanya dengan penjelasan tentang ketenangan yang mereka rasakan, kelapangan di hati mereka, dan kenyamanan dalam hidup mereka. Perasaan yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan dalam hidup. Dan tidak ada dosa, godaan, ketamakan, atau kesenangan yang bisa mengisi hati sebagaimana yang mereka rasakan saat kembali pada Allah. Saat Allah menutupi dosa mereka, cahaya seakan masuk dalam hati mereka. mereka tahu jeleknya dosa dan menyadari sepenuhnya rasanya berada dalam ampunan Allah, sehingga mereka tidak akan rela meninggalkan perasaan itu. Mereka tidak punya cinta yang tersisa untuk momen kehidupan dalam dosa. Ini adalah sesuatu yang luar biasa jika kita bisa mendapatkannya. Merekalah termasuk para penghuni surga.