[LBP2020] Biarkan Sang Ayah Menempati Singgasananya


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Lessons From Bayyinah Production (LBP)
Hari Ke-48
Topik: Parenting
Sabtu, 08 Agustus 2020

Materi LBP Hari Ke-48 Pagi | Biarkan Sang Ayah Menempati Singgasananya

Oleh: Heru Wibowo

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Minggu lalu kita telah membahas willingness to sacrifice for the sake of Allah. Kesediaan berkorban demi Allah.

Cinta Nabi Ibrahim AS begitu besar kepada putranya, Ismail AS.

Tapi cinta beliau kepada Allah SWT jauh lebih besar, sehingga Nabi Ibrahim AS bersedia mengorbankan putra yang dicintainya.

Ada yang menarik dari cara Allah memberikan penghormatan, yang ada di kalam-Nya. Memberikan penghormatan, kemuliaan, atau pujian. Seperti yang ada di ayat berikut.

وَوَالِدٍ وَّمَا وَلَدَۙ

“Dan demi (pertalian) bapak dan anaknya.”
(QS Al-Balad, 90:3)

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍۗ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan susah payah.”
(QS Al-Balad, 90:4)

I swear by the father. And I swear by whoever he gave birth to. Allah bersumpah demi ayah dan Allah juga bersumpah demi siapapun yang dia terlahir dari keturunannya. Sang ayah dan sang anak. Allah bersumpah demi mereka.

Di sini, penghormatannya bukan hanya untuk para orang tua tapi keduanya, secara spesifik, pertaliannya. Pertalian antara ayah dan anaknya. Ada yang spesial dari hubungan ayah dan anaknya. Kalau ibu dan anaknya, gimana?

Sudah jelas. Ada yang spesial dari hubungan antara ibu dan anaknya. Makanya disebut ’wattaqul arhaam’ di Al-Qur’an.

Memang ada ya, wattaqul arhaam? Di surah berapa, ayat berapa?

وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ

“Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (bertakwalah kepada) hubungan kekeluargaan.” (QS An-Nisa’, 4:1)

Hubungan yang spesial antara ibu dan anaknya, yang dikandungnya dalam rahimnya, tidak diragukan lagi. Tapi Allah bahkan menyoroti hubungan yang spesial antara ayah dan anaknya. Saat Allah bilang wawaalidin wa maa walad.

Ada ulama yang berpendapat bahwa ayat ini adalah tentang Nabi Ibrahim AS dan anak-anak keturunannya yang luar biasa, serta anak-anak selanjutnya yang ada di garis keturunannya. Ulama yang lain berpendapat bahwa ayat ini adalah tentang semua ayah. Semua umat manusia. Mulai Adam AS sampai semua anak cucunya atau semua generasi berikutnya.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍۗ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan susah payah.”
(QS Al-Balad, 90:4)

Salah satu bentuk kesusahpayahan itu adalah usaha seorang ayah membesarkan anaknya. Bagaimana seorang ayah mewariskan nilai-nilai keagamaan kepada anaknya.

Tentu saja, dalam arti tertentu, keseluruhan perjuangan Rasulullah SAW ‘ditangkap’ dalam wa waalidin wa maa walad.

Karena sang waalid adalah Ibrahim AS dan sang walad adalah Rasulullah SAW, karena Rasulullah adalah anak keturunan Ibrahim AS. Rasulullah Muhammad SAW diantara anak keturunan Ibrahim AS yang ada di jazirah Arab, tugas beliau shallallaahu ‘alayhi wasallam adalah untuk menghidupkan kembali warisan nabiyullaah Ibrahim. Membersihkan rumah Allah dari kesyirikan yang telah dibangun oleh ‘ayahanda’ beliau. Supaya Allah dan hanya Allah yang disembah. Membersihkan ritual haji. Sehingga bisa dilakukan dengan cara yang benar, seperti yang dilakukan oleh sang ‘ayahanda’. Jadi ibadah haji pun mengandung unsur parental relationship. Hubungan antara orang tua dan anaknya.

Oleh karena itu, bahkan kita sebagai sebuah umat, agama yang menyatukan kita, Allah menyebutnya millata abiikum Ibraahiim. Agama warisan dari ayahanda Ibrahim.

Jadi status sebagai ayahanda menjadi pusat perhatian yang penting. Beberapa ayat Al-Qur’an yang dibahas tadi dipilih untuk menggambarkan betapa Allah memberi penghormatan terhadap parenting.

Khususnya adalah fatherhood. Hal ihwal menjadi seorang ayah. That is a noble position to have. Menjadi seorang ayah berarti memiliki sebuah posisi yang mulia.

Para ibu harus menanamkan kepada anak-anaknya, dan memastikan supaya mereka menghormati ayah mereka.

Banyak sekali kasus broken home dan twisted home (keretakan rumah tangga, ketidakutuhan keluarga) terjadi karena sang ibu melakukan bad mouthing (mengucapkan kata-kata yang buruk) tentang sang ayah, kepada anak-anaknya. Terlepas dari apakah statusnya masih menikah atau sudah bercerai.

Para ibu, please ya, jangan mengucapkan kata-kata yang buruk tentang sang ayah kepada anak-anaknya. You instill a sense of dignity and respect for the father. Para ibu berkewajiban untuk menanamkan rasa hormat dan martabat kepada sang ayah. Itu adalah bagian yang penting dan tak terpisahkan dari proses pengasuhan anak.

Kerajaan itu bernama keluarga. Rajanya adalah sang ayah. Sang ibu harus terampil untuk menempatkan sang ayah tepat di singgasananya, menanamkan hal itu kepada anak-anaknya. Pun sang ibu harus melakukan itu terlepas apakah pernikahannya masih utuh atau tidak.

Sang ibu mungkin tidak suka lagi dengan sang ayah sebagai suaminya, tapi sang ayah tetaplah ayah bagi anak-anaknya. Tidak mudah untuk menjaga ‘garis batas’ itu. Jauh lebih mudah untuk melanggarnya. Banyak ibu yang tidak bisa menahan diri sehingga tidak bisa menahan lagi.

Remnya blong.

Mengata-katai suaminya bahkan di depan anak-anaknya sendiri. Menanam benih yang salah. Bukannya benih rasa hormat dan martabat kepada sang ayah. Tapi malah benih kebencian dan dendam. Anak-anaknya diprovokasi untuk merasakan kebencian dan dendam yang sama.

Ada kasus di mana sepasang suami istri bercerai dan anak-anak hidup bersama ayahandanya. Saat anak-anak liburan, dan menginap di rumah ibundanya selama dua minggu, sang ibu mencekoki anak-anaknya dengan berbagai jenis racun. Supaya anak-anaknya membenci ayahnya. Atau sebaliknya. Justru ayahnya yang menebar racun di pikiran anak-anaknya. Supaya membenci ibundanya.

Tapi apa sih sebenarnya yang ingin disoroti dari ayat ini?


Materi LBP Hari Ke-48 Siang | Orang Tua Muslim vs Orang Tua Non Muslim

Oleh: Heru Wibowo

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Secara khusus, yang ingin ditekankan dalam kaitannya dengan ayat wawaalidin wa maa walad adalah penghormatan kepada seorang ayah yang seharusnya ada di setiap keluarga. Sekarang kita akan bicarakan sebuah hadiah yang telah Allah berikan kepada kaum muslim yang tidak Allah berikan kepada kaum kafir.

Ini juga merupakan alasan yang lain kenapa anak-anak kita adalah sebuah karunia. Bahwa Allah telah memperkenalkan kita kepada mereka, anak-anak kita, di dunia ini. Kita jatuh cinta kepada mereka di dunia ini dan hati kita begitu terikat kepada mereka. Kita selalu berpikir tentang mereka di dunia ini.

Mereka menjadi ‘hidup’ kita di dunia ini. Mereka ‘mengambil alih’ hidup kita.

Untuk sebagian kita, bahkan, hanya itu yang kita pikirkan. Hanya itu yang ada di benak kita. Hanya anak-anak kita. Kemudian mereka akan meninggalkan kita atau kita yang akan meninggalkan mereka.

Tergantung jadwal yang menjadi rahasia Allah. Siapa yang duluan dipanggil. Tapi hakikatnya sama saja: kita berpisah dengan mereka.

Perbedaannya adalah: Allah will reunite us with them in Jannah. Allah akan menyatukan kita dengan mereka kembali, di jannah.

And Allah will not allow the kuffar to be reunited with their loved ones, their children. Dan Allah tidak mengizinkan orang kafir untuk reunian dengan anak-anak yang mereka cintai.

Jadi ini adalah salah satu hadiah Allah yang diberikan kepada kaum muslim.

Salah satu kegembiraan dalam Islam. Yaitu kita bersatu kembali dengan anak-anak kita. Bahwa kita hanya dipisahkan sementara oleh kematian.

Allah SWT berfirman:

وَتَرٰىهُمْ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا خٰشِعِيْنَ مِنَ الذُّلِّ

“Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tertunduk karena (merasa) hina.”
(QS Asy-Syura, 42:45)

Ayat ini melukiskan orang-orang kafir. Anda akan melihat mereka dihadapkan ke api neraka. Mereka akan terperangah. Karena penghinaan yang mereka derita.

يَنْظُرُوْنَ مِنْ طَرْفٍ خَفِيٍّۗ

“Mereka melihat dengan pandangan yang lesu.”
(QS Asy-Syura, 42:45)

Mereka akan melihat neraka dari arah samping. Seakan-akan mereka takut untuk melihatnya secara langsung.

وَقَالَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ الْخٰسِرِيْنَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ وَاَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ

“Dan orang-orang yang beriman berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.” (QS Asy-Syura, 42:45)

Orang-orang yang rugi itu adalah the ultimate loosers. Para pecundang terakhir. Di Hari Penghakiman. Kerugian mereka dobel. Diri mereka sendiri dan keluarga mereka.

اَلَآ اِنَّ الظّٰلِمِيْنَ فِيْ عَذَابٍ مُّقِيْمٍ

“Ingatlah, sesungguhnya orang-orang zalim itu berada dalam azab yang kekal.”
(QS Asy-Syura, 42:45)

They are in permanent punishment. Mereka dihukum selamanya. Apa hukumannya? Tidak hanya kehilangan diri, mereka juga kehilangan keluarga. Mereka tidak bisa bersama keluarga mereka. Sedangkan kaum Muslim bisa bersama keluarga mereka. Allah memberikan peringatan ini kepada orang-orang munafik. Semoga Allah tidak menjadikan kita bagian dari mereka.

Allah berfirman:

اِتَّخَذُوْٓا اَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

“Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah; maka bagi mereka azab yang menghinakan.”
(QS Al-Mujadilah, 58:16)

لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ مِّنَ اللّٰهِ شَيْـًٔاۗ

“Harta benda dan anak-anak mereka tidak berguna sedikit pun (untuk menolong) mereka dari azab Allah.”
(QS Al-Mujadilah, 58:17)

Allah berfirman tentang tempat yang satu ini, bagi orang-orang munafik. Allah juga mengatakannya di tempat lain, bagi orang-orang kafir.

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ مِّنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا ۗ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, bagi mereka tidak akan berguna sedikit pun harta benda dan anak-anak mereka terhadap (azab) Allah.”
(QS Ali ‘Imran, 3:10)

Apa itu artinya?

Artinya adalah bahwa orang-orang kafir, uangnya dan anak-anaknya tidak akan mampu membawa manfaat buat mereka untuk menghadap Allah.

Saat Allah mengambilnya, uangnya tidak akan berguna, anak-anaknya tidak akan berguna, untuk menyelamatkannya. Allah mengatakan hal yang sama tentang orang-orang munafik. Semoga Allah tidak menjadikan kita bagian dari mereka.

Tapi kepada siapa Allah tidak mengatakan tentang hal ini?

Believers. Orang-orang yang beriman.

Karena, untuk orang-orang yang beriman, uang mereka, yang mereka belanjakan di jalan Allah, akan menjadi saksi buat mereka. Uang mereka, yang mereka peroleh dengan cara-cara yang halal, akan menjadi saksi buat mereka, akan bermanfaat buat mereka. Kemudian anak-anak mereka, yang mereka besarkan dengan benar, akan menjadi saksi buat mereka, akan menjadi testimoni buat mereka.

Hal ini membawa kita kepada sebuah hal yang sangat penting untuk disadari oleh umat muslim pada umumnya. Seharusnya ustaz menyebutkan hal ini di bagian pendahuluan. Tapi enggak masalah juga ustaz menyampaikannya sekarang.

Ustaz mendedikasikan seri parenting ini, bukan untuk religious muslim parents. Bukan untuk para orang tua muslim yang ‘religius’. Ustaz mendedikasikan seri parenting ini untuk para orang tua muslim. Maksudnya orang tua ‘muslim’ pada umumnya.

Hmmm… Apa bedanya?


Materi LBP Hari Ke-48 Sore | Anak yang Saleh vs Garansi Masa Depan Akhirat Orang Tuanya

Oleh: Heru Wibowo

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Orang tua yang muslim itu beda-beda levelnya. Tapi perbedaan itu tidak penting, dalam konteks, siapa yang diajak bicara oleh serial parenting ini.

Artinya, materi parenting ini ditujukan untuk orang tua yang muslim, tidak peduli apakah punya jenggot atau tidak, mengenakan hijab atau tidak, solat wajibnya rutin atau tidak, yang penting, muslim. Selama Anda adalah orang tua yang muslim, materi parenting ini mencoba bicara kepada Anda. Jika Anda peduli dengan anak-anak Anda, materi parenting ini mencoba bicara kepada Anda.

Ustaz bukan hakim dan tidak dalam posisi untuk menghakimi siapapun. Allah SWT lah yang berhak untuk menghakimi kita semua. Tapi semua orang tua perlu memiliki kejelasan tentang apa yang Allah katakan terkait parenting. Kita semua, tanpa kecuali.

Ketika berbicara tentang sikap kita terhadap Islam, kita perlu memiliki pemahaman yang sama. We need to be on the same page.

Mungkin secara praktik, tiap keluarga memiliki cara melaksanakan ajaran Islam yang berbeda-beda. Komitmen masing-masing orang tua dalam mengamalkan Islam juga bisa berbeda.

Bahkan tingkat pemahaman terhadap ajaran Islam pun bisa berbeda. Tapi ada sesuatu, yang, kita harus memiliki pemahaman yang sama. Ada hal-hal tertentu dalam Islam, yang pemahaman kita harus sama tentangnya. Salah satunya adalah parenting. Ya, parenting. Kita seharusnya memiliki pemikiran yang sama tentang parenting.

Mazhab, etnik, latar belakang, tidak relevan. Parenting adalah sebuah hal yang universal. Dan ada satu masalah khusus yang perlu kita perhatikan bersama. Hasil dari pengamatan di banyak keluarga pada umumnya.

Mereka, para orang tua di keluarga-keluarga ini, berpikir bahwa jika anak mereka melakukan sesuatu yang baik untuk Islam, maka mereka merasa bahwa apa yang anak itu lakukan sudah cukup buat mereka.

Jadi, misalnya, jika saya adalah orang tua yang menjalankan bisnis yang haram, jika saya menjual minuman keras, jika saya tenggelam dalam riba, atau hal-hal serupa itu, saya cukup memastikan bahwa anak saya adalah seorang hafizh.

Jika anak saya hafal Al-Qur’an 30 juz, maka saya berhak untuk mendapatkan mahkota di kepala. Kan, ada hadisnya.

Saya sebagai orang tua akan dihormati nantinya. Orang tua dari penghafal Al-Qur’an berhak mendapatkan penghormatan itu. Hadisnya sudah ada, sudah aman. Orang tua bisa berbuat sesukanya, yang penting anaknya berbuat baik dan melangkah di jalan-Nya.

Hmmm.

Bahkan di sebagian negara-negara muslim ada orang tua yang mendedikasikan satu dari anak-anaknya untuk agama, yaitu anak yang kurang bagus prestasi akademiknya, dia ‘dipersiapkan’ untuk menjadi orang alim atau hafizh atau qari’ atau yang serupa itu.

Dan anak-anak yang lain diarahkan menjadi insinyur atau dokter atau profesi lainnya.

Anak yang satu tadi, tidak diarahkan untuk dunia, karena dijadikan ‘tiket’ keluarga ke jannah. Anak-anak yang lain, adalah ‘tiket’ ke dunia. Jadi orang tuanya merasa ‘nyaman’ karena sudah punya dua ‘tiket’ sekaligus: dunia dan akhirat. Keduanya sudah tercakup.

Orang tuanya menganggap bahwa keluarganya luar biasa. Lalu orang tuanya bisa berbuat semuanya.

Hmmm lagi.

Allah menegaskan bahwa jika di dalam diri kita ada kemunafikan, dan contoh barusan adalah sebentuk kemunafikan, maka uang kita dan anak-anak kita tidak akan membawa manfaat buat kita.

Karena kita telah menerapkan double standard. Standar ganda. Maka uang kita dan anak-anak kita tidak akan bermanfaat sebagai bekal menghadap-Nya.

Kita telah menipu diri sendiri.

Jangan berpikir bahwa ketika kita punya anak yang saleh, itu sudah cukup. Kita merasa bahwa kita tidak perlu untuk memperbaiki diri.

Tidak perlu untuk mencari guidance.
Tidak perlu untuk menjalin kedekatan dengan Al-Qur’an.

Anak-anak kita hanya akan menaikkan derajat kita, jika kita sudah menjadi orang yang beriman. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bilang ke anak perempuannya, Fatimah. Anak yang sangat beliau cintai.

Apa yang beliau shallallaahu ‘alayhi wasallam katakan kepada putrinya itu?

(Insya Allah bersambung minggu depan)


Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.

Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.

Jazakumullahu khairan

Salam,

The Miracle Team

Lessons from Bayyinah’s Production

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s