بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
Lessons from Bayyinah’s Production (LBP) Hari ke-44
Topik: Pearls of al-Baqarah
Selasa, 04 Agustus 2020
Materi LBP Hari ke-44 Pagi | Al-Muttaqin’ Selalu Berhati-hati
Ditulis oleh: Heru Wibowo
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 02. Al-Baqarah (Ayah 3-4) – A Deeper Look (00:00 – 04:10)
Hari ini, kita move on dari apa yang kita pelajari minggu lalu. Yaitu tentang hudan lil muttaqiin.
Ada beberapa komen tambahan tentang hal ini.
Dikatakan bahwa Buku ini, Al-Qur’an, adalah sebuah guidance, bahkan sebuah guidance yang ‘hidup’, untuk mereka yang berupaya melindungi diri mereka sendiri, dan ingin berhati-hati.
Kata al-muttaqiin adalah sebuah kata benda dalam bahasa Arab.
Disebutnya ism fa’il dalam bahasa Arab.
Tapi saat diterjemahkan dalam bahasa Inggris, harus digunakan kata kerja. Bukan kata benda.
Apa terjemahannya dalam bahasa Inggris?
Those who protect themselves. Mereka yang melindungi diri mereka sendiri.
Kata ‘melindungi’ adalah kata kerja.
Dalam bahasa Indonesia juga begitu. Kata al-muttaqiin berarti ‘mereka yang bertakwa’.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘bertakwa’ adalah kata kerja. Artinya adalah ‘menjalankan takwa’.
Jadi ada kata al-muttaqiin dalam bahasa Arab sebagai kata benda.
Yang saat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia harus menggunakan kata kerja.
Masalahnya adalah, ada perbedaan yang mendasar antara kata kerja (verb) dan kata benda (noun).
Kata kerja bersifat sementara (temporary).
Misalnya: dia sedang makan (he is eating). Saat ini, dia makan, tapi tidak berarti dia selalu dalam keadaan makan.
Kata kerja bisa dalam bentuk lampau, sekarang, maupun yang akan datang.
Kata ‘makan’ bisa berbentuk lampau (ate), sekarang (is eating), maupun yang akan datang (will eat).
Kata kerja bersifat tidak abadi.
Kata ’ate’ tidak berlaku untuk masa sekarang maupun yang akan datang.
Kata ’is eating’ tidak berlaku untuk masa lalu maupun masa yang akan datang.
Kata ’will eat’ tidak berlaku untuk masa lalu dan masa sekarang.
Jadi kata kerja itu tidak abadi. Tidak timeless.
Beda dengan kata benda (noun). Misalnya: pohon (tree). Atau, mobil (car). Atau, kebenaran (truth).
Kata-kata pohon, mobil, dan kebenaran, adalah kata-kata benda (nouns).
Kata benda (noun) tidak punya tense, artinya, tidak mengenal masa.
Kata benda tidak punya bentuk masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan datang. Pohon saat ini, adalah pohon yang kemarin, dan pohon esok hari.
Saat menggunakan kata benda, kita merujuk ke sesuatu yang permanen (permanent) atau abadi (timeless).
It isn’t caged by time. Kata benda tidak ‘dikurung’ oleh waktu.
Mengapa pemahaman ini penting?
Karena dalam bahasa Arab, ada kata benda, yang sangat sulit diterjemahkan sebagai kata benda. Sehingga akhirnya kita harus menerjemahkannya dengan menggunakan kata kerja.
Dan saat kita menerjemahkannya seperti itu, ada maksud atau tujuan serta kekuatan awal dari kata itu yang hilang.
Maka kita harus mengadakan upaya ekstra untuk menjelaskan bahwa ‘kata ini adalah kata benda’, yang berarti sifatnya permanen.
Seperti kata yang ada di hudan lil muttaqiin ini.
Ketika Allah mengatakan al-muttaqiin, orang yang melindungi dirinya, orang yang berhati-hati, orang yang waspada, orang yang mengambil tindakan pencegahan, Allah merujuk ke orang-orang yang selalu begitu.
Jadi al-muttaqiin itu bukan orang yang dulu berhati-hati, sekarang tidak lagi.
Kata al-muttaqiin itu berarti orangnya selalu berhati-hati: dulu, sekarang, dan nanti, akan selalu berhati-hati.
Dan al-muttaqiin ini adalah sebuah pergeseran yang besar (a big shift) dari orang-orang yang baik (the good people) yang Allah bicarakan sebelum al-muttaqiin. Yaitu good people di Al-Fatihah.
Good people di Al-Fatihah itu di ayat yang mana?
Shiraathalladziina an’amta ‘alayhim. The path of those who You have showered favor upon. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.
Kalimat ini menggunakan kata kerja bentuk lampau (past tense).
Jadi, dalam Al-Fatihah, kita diberitahu bahwa kita seharusnya melihat role model yaitu good people from the past.
Orang-orang yang telah Allah beri nikmat di masa lalu. Mereka adalah para pahlawan agama yang hidup di masa lalu.
Siapa saja mereka?
An-nabiyyiin, ash-shiddiiqiin, asy-syuhadaa’, ash-shaalihiin.
Para nabi, orang-orang meyakini ajaran para nabi seperti para sahabat Rasulullah SAW, radhiyallaahu ‘anhu ajma’iin, serta orang-orang hebat seperti para ulama dan orang-orang saleh.
Orang-orang hebat ini bukan nabi. Al-Qur’an juga berisi kisah tentang orang-orang ini. Mereka bukan sahabat nabi. Contohnya adalah People of the Cave atau Ash-haabul Kahfi,
Untuk apa kita memahami bahwa tokoh panutan (role model) yang dimaksudkan di Al-Fatihah adalah tokoh panutan dari masa lalu (role model from the past)?
Bersambung in syaa Allaah ba’da Zhuhur
Materi LBP Hari ke-44 Siang | Al-Muttaqiin Menghancurkan Pesimisme ‘Kekinian’
Ditulis oleh: Heru Wibowo
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 02. Al-Baqarah (Ayah 3-4) – A Deeper Look (04:10 – 07:00)
Untuk apa kita memahami bahwa tokoh panutan (role model) yang dimaksudkan di Al-Fatihah adalah tokoh panutan dari masa lalu (role model from the past)?
Karena kita bisa punya role model di masa kini. Kita bisa mengidolakan seseorang yang hidup di masa kini.
Tapi orang yang berasal dari masa kini itu akan selalu punya keterbatasan.
Mengapa?
Karena orang itu masih hidup. Yang berarti orang itu masih terbuka untuk waswasa setan. Yang berarti orang itu masih bisa tergelincir keluar dari jalan yang lurus sebelum dia meninggal.
Tapi para panutan dari masa lalu, yang telah wafat, yang telah Allah berikan ‘sertifikat kelulusan’, yang telah sukses hidup bersama guidance, dan Allah telah ridha terhadap mereka, status mereka telah tetap.
Mereka sudah guaranteed sebagai panutan (role model).
Konsep ini dapat dijelaskan dengan analogi anak kuliahan.
Seorang mahasiswa akuntansi tahun ketiga, tidak akan mengidolakan teman satu angkatannya, meskipun nilai-nilainya A semuanya.
Yang dijadikan panutan adalah mahasiswa yang sudah lulus dan sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus.
Mengapa demikian?
Karena sang alumnus sudah melewati jalannya.
Jalan yang berliku sampai dia lulus dan diwisuda.
Jalan yang berliku berikutnya sampai dia diterima bekerja.
Tidak mungkin yang dijadikan panutan adalah teman seangkatan sendiri yang sama-sama belum lulus.
Sang alumnus memiliki posisi yang jauh lebih baik untuk memberikan nasihat. Dibandingkan dengan teman seangkatan yang masih sama-sama berjuang. Masih sama-sama dalam kepayahan.
Poinnya adalah, di Al-Fatihah, kita melihat panutannya di mana?
Alladziina an’amta ‘alayhim, ‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya’ itu, ada di mana? Mereka ada di masa lalu.
Tapi, by the way, hal ini juga bisa bikin kita depresi. Karena kita berpikir bahwa good people itu sudah ‘lewat’ semua.
Yang tersisa adalah kita. Manusia-manusia ‘sisa’ (leftovers). Sehingga tidak ada lagi harapan buat kita. Karena yang Allah ridhai sudah wafat semua.
Benarkah demikian?
Bagian awal Al-Baqarah menjawab pertanyaan ini. Dengan kata al-muttaqiin. Sebuah ism fa’il. Sebuah kata benda. Sebuah noun.
Yang menegaskan bahwa al-muttaqiin, atau people of taqwa, pintu guidance terus terbuka bagi mereka.
Kata benda itu tidak dibatasi waktu. Berarti, orang-orang yang bertakwa itu bisa ditemui di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Alladziina an’amta ‘alayhim memang ada di masa lalu. Tapi al-muttaqiin ada di kurun waktu manapun. Al-muttaqiin hadir di berbagai masa yang berbeda.
Tidak peduli di masa pandemi atau bukan. Tidak peduli ekonomi sedang meroket atau sedang jatuh bebas. Tidak peduli di pedesaan atau di perkotaan yang modern. Al-muttaqiin akan selalu ada.
Umat Islam tidak boleh membangun mentalitas ‘penyesalan tanpa kehadiran nabi’.
“Sayang seribu kali sayang, kita tidak hidup di zaman Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Para sahabat di zaman old itu enak ya, bisa bersama Nabi. Orang-orang yang saleh, ya mereka itu. Kalau kita mah, manusia-manusia sisa.”
Mungkin banyak saudara-saudari kita sesama muslim yang punya persepsi bahwa diri mereka bukanlah good people.
“Enggak mungkinlah. Enggak mungkin aku masuk golongan al-muttaqiin. Karena aku hidup di masa kini.”
This is absolutely absurd. Benar-benar tidak masuk akal.
Pesimisme ‘kekinian’ itu sudah langsung ditolak mentah-mentah di awal Al-Baqarah.
Cukup dengan sebuah kata: al-muttaqiin. Sebuah kata benda yang bersifat abadi.
Sebelum kita maju ke pembahasan lebih jauh, kita perlu memahami sebuah konsep yang sangat ‘halus’ (a very delicate concept).
Di Al-Qur’an, ada orang-orang yang ketakwaannya dilukiskan setelah mereka menjadi muslim.
Jadi ada orang yang masuk Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu mereka memiliki ketakwaan karena mereka menjadi lebih ekstra hati-hati.
Contohnya: mereka lebih berhati-hati supaya tidak meninggalkan salat.
Mereka lebih berhati-hati supaya tidak mendapatkan penghasilan yang haram.
Mereka lebih berhati-hati supaya tidak melangkahkan kaki ke tempat yang tidak baik.
Mereka berhati-hati terhadap semua hal itu sehingga mereka menunjukkan ketakwaan.
Orang-orang berpikir, “Setelah masuk Islam, hidupnya berubah. Dia menjadi orang yang bertakwa.”
Tapi sebenarnya, ada sejenis ‘takwa’ yang bisa saja terjadi sebelum iman. Sebelum masuk Islam.
Ada orang-orang yang berhati-hati supaya tidak berkata bohong. Berhati-hati supaya tidak berbuat curang. Berhati-hati supaya tidak menyakiti orang lain.
Seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallaahu ta’aalaa ‘anhu.
Ada apa dengan Sayyidina Abu Bakar?
Bersambung in syaa Allaah ba’da ‘Ashar
Materi LBP Hari ke-44 Sore | Pintu Al-Muttaqiin Bahkan Terbuka untuk Non Muslim yang Saleh
Ditulis oleh: Heru Wibowo
Sumber: Bayyinah TV > Surahs > Deeper Look > 02. Al-Baqarah (Ayah 3-4) – A Deeper Look (07:00 – 10:00)
Ada apa dengan Sayyidina Abu Bakar?
Saat itu beliau radhiyallaahu ta’aalaa ‘anhu belum beriman. Tapi beliau sudah punya ‘takwa’. Beliau orangnya sangat berhati-hati. Terhadap segala hal.
Sehingga, di ayat ini, Allah ’azza wa jall, dengan menggunakan al-muttaqiin, telah membuka pintu untuk semua muslim dan bahkan semua non muslim yang saleh.
Di seluruh muka bumi, di belahan bumi yang padat penduduknya, sampai di ujung dunia yang sepi, siapapun yang mendatangi Al-Qur’an untuk mendapatkan guidance, jika mereka punya kualitas untuk melindungi dan menjaga keselamatan diri dari kejahatan, jika mereka ingin terhindar dari kegagalan, dan mereka mendatangi Al-Qur’an, tidak peduli apakah mereka Kristen, Yahudi, ateis, apapun itu, mereka akan menemukan guidance di Al-Qur’an.
Pintu untuk mereka, undangan untuk mereka semua, benar-benar terbuka.
Ada prasyarat tertentu tapi ya, yang harus mereka penuhi. Itulah yang akan dibahas di ayat berikutnya.
Orang yang berhati-hati yang seperti apa, yang akan mendapatkan manfaat berupa guidance dari Al-Qur’an?
Poinnya adalah, Allah telah membuka pintu lebar-lebar untuk seluruh komunitas Madinah saat itu, yang juga berarti, terbuka untuk seluruh komunitas apapun di seluruh dunia.
Karena komunitas Madinah saat itu bukan hanya muslim saja isinya. Ada Yahudi dan Kristen. Mereka juga mendapat ‘undangan’. Untuk meraih petunjuk. Hudan lil muttaqiin.
Di surah Ali ‘Imran, sebagian ahli kitab, baik Yahudi maupun Kristen, dilukiskan sebagai orang-orang yang saleh.
يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang saleh. (QS Ali ‘Imran, 3:114)
Wa ulaa-ika minashshaalihiin. They’re also from good people. Al-Qur’an melukiskan kualitas-kualitas yang baik dari sebagian mereka.
Ini adalah bagian dari ‘kasih sayang’ Al-Qur’an. Ada undangan yang ‘terbuka untuk umum’ dari Al-Qur’an.
Kadang-kadang kita berpikir bahwa Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah fokusnya adalah dakwah untuk orang-orang musyrik.
Dan Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah fokusnya adalah untuk orang-orang muslim. Terbukti, banyak menggunakan kata-kata yaa ayyuhalladziina aamanuu.
Pemikiran itu tidak sepenuhnya benar. Karena ‘undangan’ untuk ahli kitab dan juga seluruh umat manusia tetap berlaku. Terus berlanjut. Meskipun ayat-ayat-Nya itu turun di Madinah.
Tidak semua ayat-ayat Madaniyyah fokusnya hanya untuk muslim semata. Itulah bukti dari bagian awal Al-Baqarah, yang membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada orang-orang saleh untuk masuk ‘klub’ al-muttaqiin.
Sekarang kita melangkah ke alladziina yu’minuuna bil ghayb.
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib. (QS Al-Baqarah, 2:3)
Mungkin, buat kita yang hidup di zaman now, frasa ini menjadi ‘lebih hidup’ dibandingkan dengan mereka yang hidup di zaman sebelumnya. “Mereka yang beriman dengan yang tak terlihat.” Atau, “Mereka yang beriman dengan yang tak dapat dilihat.” Al-ghayb.
Mengapa ‘lebih hidup’?
Karena gerakan akademis dan filosofis (academic and philosophical movement) telah menguasai dunia.
Contohnya adalah saintisme. Penggunaan metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan.
Di mana data harus terukur. Harus ditemukan bukti secara fisik. Baru hal itu bisa kita anggap ada dan bisa kita diskusikan.
Kalau tidak ada bukti fisiknya, atau tidak bisa dibuktikan melalui alat atau perangkat tertentu, maka tidak perlu dibahas.
Suhu bisa diukur dengan termometer, maka suhu itu ada. Gaya gravitasi (gravitational force) bisa diukur, maka gaya gravitasi itu ada.
Tapi, Tuhan? Surga? Neraka? Malaikat?
Adakah perangkat ilmiah (scientific device) untuk mengukurnya?
Insyaallah bersambung pekan depan.
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Lessons from Bayyinah’s Production