بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Lessons from Bayyinah’s Production (LBP) Hari ke-23
Topik: Pearls of Al-Baqarah
Selasa, 14 Juli 2020
Materi LBP Hari ke-23 Pagi | Al-Kitab, Rayb, dan Al-Muttaqin
Diintisarikan oleh: Muchamad Musyafa
Sumber :
1. Bayyinah TV > Quran > Surahs > Deeper Look > Al-Baqarah
Minggu lalu telah disampaikan bahwa كتب memiliki makna menulis sesuatu dengan urutan yang tetap.
Ia tidak berubah-ubah. Seperti memahat tulisan di batu atau kayu. Jika sudah tertulis maka tidak bisa dihapus tanpa bekas. Koreksi yang dilakukan pada pahatan itu pasti akan membuat bekas yang bisa dilihat.
Begitu pun Al-Qur’an sebagai sebuah Kitab, Allah ﷻ telah menetapkan urutan-urutannya. Sejak Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali ‘Imran sampai berujung kepada surat An-Naas.
Jika pun ada yang mengubah urutan surat atau ayatnya, pasti akan ada orang yang bisa menunjukkan apa yang diubah itu.
📚📚📚
Lain dengan kata kitab yang berasal dari kataba ( كتب ), Qur’an berasal dari kata Qa-ra-a ( َقرأ). Qaf – Ra – Hamzah. Ia berarti membaca dengan keras. Sehingga orang lain bisa ikut mendengarnya. Bukan membaca pelan-pelan untuk diri sendiri. Atau membacanya dalam hati.
Itulah dua nama yang paling populer untuk menyebut kitabullah.
🌀 Al-Kitab sebuah buku yang tertulis,
🌀 atau Al-Qur’an sebuah bacaan yang diperdengarkan dengan keras.
Dan dua istilah ini memiliki beberapa perbedaan di dalamnya.
Mari kita bahas perbedaannya :
🌀 Ketika Allah ﷻ menyebut Al-Kitab, maka Allah ﷻ sedang mengacu kepada sesuatu yang tertulis. Tulisan yang disusun secara tetap urutannya.
🌀 Ketika Allah ﷻ menyebut Al-Qur’an, maka Allah ﷻ sedang mengacu kepada sesuatu yang dibaca. Sesuatu yang diperdengarkan dengan keras.
Lalu, coba kita pikirkan :
🌀 Kita tahu di mana tempat Al-Qur’an dibacakan?
Ya di dunia ini, di sekeliling kita. Hampir setiap hari kita mendengarkannya. Minimal lewat bacaan-bacaan shalat.
🌀 Namun dimanakah tempat Al-Qur’an dituliskan?
Bukan, bukan Al-Qur’an yang teman-teman pegang tiap harinya. Itu hanya “fotokopian” nya saja. Yang percetakan mana pun bisa mencetaknya.
Tapi ada sebuah cetakan orisinal dari Al-Qur’an. Cetakan paling awal tersebut kini berada di Lauh Mahfuz
بَلۡ هُوَ قُرۡءَانٞ مَّجِيدٞ . فِي لَوۡحٖ مَّحۡفُوظِۢ .
[85:21-22] Bahkan ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauh Mahfuz)
Al-Qur’an dituliskan di sisi Allah ﷻ. Di tempat tertinggi. Di tempat yang suci. Yang dikelilingi para malaikat yang mulia lagi berbakti.
فِي صُحُفٖ مُّكَرَّمَةٖ . مَّرۡفُوعَةٖ مُّطَهَّرَةِۢ . بِأَيۡدِي سَفَرَةٖ . كِرَامِۢ بَرَرَةٖ .
Begitulah gambaran makna tersirat dari penggunaan kata Kitab. Sesuatu yang tertulis di tempat yang paling tinggi, yang jauh dari kita.
🌀 Jadi, Al-Qur’an adalah sesuatu yang dekat dengan kita, yang bisa kita dengar.
🌀 Sedangkan Al-Kitab adalah sesuatu yang tertulis jauh dari kita, di tempat yang tinggi dan suci.
Selanjutnya, mari kita simak contoh berikut ini:
🌀 Ketika kita mengatakan “ini”, maka sesuatu itu berada sangat dekat dengan kita.
🌀 Tapi ketika kita mengatakan “itu”, maka sesuatu itu ada di tempat yang relatif jauh. Paling tidak sesuatu itu tidak terjangkau oleh tangan kita.
🌀 Begitu juga di Al-Baqarah 2:2, Allah ﷻ tidak berfirman هَذَا الكِتَابُ kitab ini namun difirmankan ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ (Itulah kitab)
Kenapa Allah ﷻ berfirman ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ ?
Karena Allah ﷻ ingin menunjukkan sesuatu yang jauh maka digunakanlah kata ذَٰلِكَ (itu).
Lalu apa pasangan kata yang tepat untuk ذَٰلِكَ (itu)?
Ia butuh dipasangkan dengan sesuatu yang terletak di jarak yang jauh.
Apa itu?
Al-Kitab. Al-Kitab terletak di tempat yang tinggi, untuk mengacu padanya kita butuh kata ذَٰلِكَ (itu)
🌀 Lalu lain juga di ayat Al-Isra 17:9, Allah ﷻ berfirman هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ (inilah Al-Qur’an)
Kenapa Allah ﷻ berfirman هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ ?
Karena Allah ﷻ ingin menunjukkan sesuatu yang dekat maka digunakanlah kata هَٰذَا (ini).
Lalu apa pasangan kata yang tepat untuk هَٰذَا (ini)?
Ia butuh dipasangkan dengan sesuatu yang terletak di jarak yang dekat. Terjangkau oleh diri kita.
Apa itu?
Al-Quran. Bacaan Al-Quran ada di dunia ini, di sekitar kita. Untuk mengacu kepada bacaan Al-Quran yang ada di sekitar kita, kita butuh kata هَٰذَا (ini).
💠 Subhanallah, begitu presisinya penggunaan “ini” dan “itu” di dalam Al-Qur’an.
Materi LBP Hari ke-23 Siang | Al-Kitab, Rayb, dan Al-Muttaqin (Part 2)
Diintisarikan oleh: Muchamad Musyafa
Sumber :
1. Bayyinah TV > Quran > Surahs > Deeper Look > Al-Baqarah
Setelah kata Al-Kitab di Al-Baqarah ayat 2, kita bertemu dengan “Rayb” رَيۡبَ. Rayb adalah salah satu kata di dalam bahasa Arab yang berarti “keraguan” (doubt). Selain رَيۡبَ ada juga شك yang juga memiliki arti keraguan.
Kenyataannya kata Rayb biasa digunakan ketika seseorang memiliki hal yang mengganggu di dalam dirinya, yang mengguncang pikirannya sebagai respons terhadap sesuatu yang belum ia percayai sepenuhnya.
Ada jenis keraguan seperti contoh berikut Ahmad sedang berjalan-jalan. Lalu di hadapannya melintas sebuah mobil. Ia melihatnya sekilas. Dalam benaknya ia bergumam : “Itu yang lewat tadi Mercedes ya? Ehhh, apa Hyundai ya? Desainnya mirip-mirip sih”. Ini bukanlah rayb. Keraguan ini langsung hilang begitu saja beberapa saat kemudian. Si Ahmad langsung melupakan pikirannya itu. Tak perlu baginya memikirkannya setiap hari sampai terbawa ke alam mimpinya.
Nah Rayb sendiri adalah rasa keraguan yang benar-benar mengganggu pikiran. Mau makan teringat. Mau minum teringat. Mau tidur teringat. Sampai-sampai tidak bisa tidur karena memikirkannya.
Beberapa orang Nasrani dan Yahudi pada zaman Rasulullah ﷺ merasakan hal itu, sekian lama mereka menantikan nabi terakhir yang dijanjikan. Mereka menunggu nabi itu, memikirkannya dari waktu ke waktu. Lalu ketika Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan wahyu pertama dan menyatakan kerasulannya, lantas mereka ragu-ragu akan apa yang dibawa Muhammad ﷺ. Mereka tahu bahwa Muhammad ﷺ adalah seseorang yang diakui kejujurannya, tapi mereka ragu dengan apa yang dibawanya. Mereka memikirkan hal itu berhari-hari hingga beberapa di antara mereka akhirnya memutuskan masuk Islam, dan beberapa yang lainnya tetap mengingkari kerasulan nabi Muhammad ﷺ. Keraguan yang ada di dalam dada mereka itulah Rayb.
Oleh karenanya di ayat ini Allah ﷻ ingin meyakinkan bahwa seharusnya kaum Nasrani dan kaum Yahudi saat itu tidak perlu ragu dengan apa yang disampaikan Muhammad ﷺ. Karena Muhammad ﷺ adalah nabi terakhir yang dijanjikan. Dan Al-Qur’an adalah firman Allah ﷺ yang turun untuk melengkapi dan membenarkan kitab-kitab sebelumnya.
🌀 Kata selanjutnya yang ingin dibahas adalah Al-Muttaqin.
Huda akan kita lewatkan karena sudah cukup jelas pengertiannya yaitu “petunjuk”. Al-Muttaqin berasal dari “Taqwa” , “Wiqaya”. Wiqaya memilik makna perlindungan – protection. Lebih dari itu, maknanya adalah perlindungan yang sangat amat intensif.
Untuk lebih mudah membayangkannya, coba kita bayangkan seekor kuda, seekor kuda memiliki kuku pada kakinya. Pada kukunya dipasanglah tapal kuda yang terbuat dari logam untuk melindungi kakinya. Lalu kuda ini kehilangan sepatunya, kehilangan tapal kudanya. Dengan itu, kuda akan menjadi ekstra sensitif, mereka akan menjadi ekstra hati-hati ketika berjalan di tanah yang tidak rata atau jalan yang berduri. Karena kuda ini menjadi sangat sensitif, sangat hati-hati maka kuda ini sedang dalam keadaan “bertakwa”.
Di masa sebelum lahirnya Islam, orang Arab menyebut kuda tersebut sedang menunjukkan “ketakwaannya”. Dengan sikap “ketakwaannya” maka kuda akan senantiasa memperhatikan langkahnya. Karena kuda harus memilih bagian jalan mana yang bisa melukai kakinya, bagian jalan mana yang aman baginya. SubhanAllah
Hal seperti itu berlaku juga bagi seorang manusia. Seorang manusia yang bertakwa adalah manusia yang bisa memposisikan dirinya seperti kuda yang berjalan tanpa tapal kuda di jalanan berbatu yang tidak rata. Dia akan yang selalu selektif terhadap jalan yang akan ditempuhnya. Dia akan selalu memperhatikan apa-apa yang dia perbuat. Keputusan yang dia ambil akan dia pastikan itu adalah keputusan yang terbaik. Keputusan yang bisa menghantarkan ke tujuan akhir yang baik pula. Dia tidak akan melakukan perbuatan atau mengambil keputusan yang bisa menyakiti dirinya di akhirat kelak.
Materi LBP Hari ke-23 Sore | Al-Kitab, Rayb, dan Al-Muttaqin (Part 3)
Diintisarikan oleh: Muchamad Musyafa
Sumber :
1. Bayyinah TV > Quran > Surahs > Deeper Look > Al-Baqarah
Ada 6 hal berbeda yang bisa kita dapatkan dari 2 ayat pertama dari surat Al-Baqarah ini.
1️⃣ Pertama,
الٓمٓ . ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
“Alif – laam – miim” adalah sebuah pengenalan, sebuah orientasi. Sebuah pembuka di awal surat Al-Baqarah. Mari kita bayangkan ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat ini “Alif – Laam – Miim”, Kitab itu. Jika kita rasakan maka kita akan paham bahwa ayat ini tidak berasal dari kata-kata Rasulullah ﷺ sendiri. Kata-kata ini berasal dari sesuatu yang tertulis. Dan letaknya tidak ada di dekat Rasulullah ﷺ saat itu. Tulisan dalam kitab itu unik, tidak ada yang bisa menyamainya. Itulah mengapa dituliskan Dzalikal kitabun.
Orang-orang Arab pada zaman itu belum pernah menemukan ataupun membaca sebuah kitab yang seunik Al-Qur’an yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Jadi apa yang didengar orang-orang Arab saat itu bukanlah kata-kata Rasulullah. Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ mengambilnya dari sebuah buku, sebuah kitab yang tertulis dari tempat yang jauh.
Kitab Al-Qur’an bukan berasal dari kata-kata Rasulullah ﷺ
2️⃣ Kedua,
الٓمٓ . ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
Beberapa ulama berpendapat “Alif-lam-miim” adalah apa yang diterangkan (Mubtada) sedangkan Dzalikal kitab adalah frasa yang menerangkan (Khabar) , memberikan keterangan tambahan. “Alif – Laam – Miim” adalah kitab itu sendiri. “Alif – Laam – Miim” adalah salah satu nama dari Al-Qur’an berdasarkan pendapat beberapa ‘ulama.
Secara dramatis, hal ini sangat indah karena salah satu nama lain dari Al-Qur’an adalah “Alif – Laam – Miim” yang misterius. Karena dengan nama ini, ia akan membuat manusia menjadi rendah hati atas ketidak-tahuannya. Tak peduli seberapa banyak kita belajar, pada akhirnya kita tetap tidak banyak tahu.
Satu hal dari kerendahan diri ini adalah karena lemahnya pengetahuan manusia. Ia serba terbatas dengan kemampuan indra yang dimilikinya. Dibandingkan pengetahuan yang Allah ﷻ miliki, sungguh sangat amat-amat sedikit pengetahuan yang bisa dicapai oleh manusia
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيْئاً . وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
[16:78] Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu, tidak mengetahui sesuatu pun. dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.
Memang sudah jelas bahwa sejak bayi, kita dilahirkan tanpa tahu apa pun, namun ayat di atas (menurut Ustaz NAK) juga bisa dimaknai “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu , (dan masih saja kamu) tidak mengetahui sesuatu pun”.
Jadi walaupun kita sudah dilahirkan, lalu kita hidup beberapa waktu di dunia ini, Allah ﷻ masih menganggap kita tidak tahu sesuatu pun walaupun kita sudah diberikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani.
Subhanallah, seakan Allah ﷻ ingin meletakkan sisi manusiawi dari manusia ketika Allah ﷻ berfirman di ayat ini.
Salah satu nama lain dari Al-Qur’an adalah “Alif – Laam – Miim” yang menjadikan manusia rendah hati
Ketiga,
الٓمٓ . ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
Kitab itu (Al-Qur’an) adalah buku tulisan yang ditunggu oleh manusia.
Dimana surat ini diturunkan? Di Madinah.
Madinah itu merupakan populasi dari kaum apa dan apa? Populasi dari kaum Nasrani dan kaum Yahudi.
Baik kaum Yahudi maupun kaum Nasrani saat itu sudah mengetahui tanda-tanda munculnya nabi terakhir. Mereka sudah mengetahui tanda-tanda ketika kitab terakhir akan diturunkan. Mereka menunggu, mereka menunggu.
Ketika mereka mendengar “Alif – Laam – Miim” dari mulut Rasulullah ﷻ . Pasti ada yang mengajari Rasulullah ﷻ yang merupakan seorang yang buta huruf untuk mengeja “Alif – Laam – Miim” ini. Saat itulah Allah ﷻ menjawab rasa penasaran kaum Nasrani dan kaum Yahudi. Itulah kitab yang mereka tunggu-tunggu. Itulah kitab yang mereka harapkan. Tanda-tanda itu telah datang dan kemenangan akan datang. Nabi terakhir yang dijanjikan telah hadir di antara mereka.
Dan kitab itu tidak ada keraguan di dalamnya. Kitab itulah yang benar-benar mereka nantikan sebelumnya. Kaum Yahudi pada awalnya sangat gelisah menanti kehadiran kitab terakhir dan nabi terakhir ini. Mereka sering membicarakannya tiap saat. Mereka merasa sering kali kaum Quraisy mengalahkan mereka di dalam peperangan. Selanjutnya nabi mereka akan segera datang untuk membawa kitab terakhir. Nabi itu akan membawa kemenangan bagi mereka, salah satunya tentu saja mereka mengharapkan kemenangan atas kaum Quraisy. Mereka ingin menunjukkan hal ini kepada kaum Quraisy.
Namun kenyataan tak seindah angan mereka, Nabi terakhir itu lahir dari kaum Quraisy, itulah salah satu yang membuat mereka tidak mengakui apa yang dibawa Rasulullah ﷺ . Mereka dibutakan dengan rasa nasionalisme mereka, mereka menganggap nabi terakhir haruslah dari kaum keturunan bani Israil. Mereka bermaksud menggunakan otoritas kenabian itu untuk mengungguli bangsa lain.
Al-Qur’an, adalah kitab yang ditunggu-tunggu oleh kaum Yahudi dan Nasrani saat itu.
Bersambung, insyaallah pekan depan.
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team
Lessons from Bayyinah’s Production
[…] 14 July 2020 https://nakindonesia.com/2020/07/22/lbp2020-al-kitab-rayb-dan-al-muttaqin/ […]
LikeLike