Lessons from Bayyinah’s Production (LBP) Hari ke-5
Topik: Pearls of Al-Kahf
Jumat, 26 Juni 2020
Materi LBP Hari ke-5 Pagi | How to Approach The Qur’an (Part 1)
Oleh : Rizka Nurbaiti
Sebelum mulai mempelajari dan mendapatkan mutiara dari Surah Al-Kahfi, Ustadz Nouman Ali Khan terlebih dahulu memberikan kepada kita tinjauan secara komprehensif dari melakukan pendekatan kepada Al-Qur’an dan prasyarat yang kita butuhkan dalam mempelajari Al-Qur’an.
Ustadz Nouman Ali Khan mengatakan bahwa materi yang ia sampaikan merupakan ilmu yang ia kumpulkan selama sekitar 10 – 15 tahun dan berasal dari berbagai sumber.
Bagian pertama yang akan dijelaskan oleh Ustadz Nouman adalah “Bagaimana melakukan pendekatan terhadap Al-Qur’an”.
Dalam melakukan pendekatan kepada Al-Qur’an terdapat prasyarat atau kualifikasi yang harus kita miliki. Persyarat tersebut terbagi menjadi dua jenis yaitu:
1) Prasyarat psikologis
2) Prasyarat akademik
Dalam belajar Bahasa Arab kita hanya membutuhkan prasyarat akademik, begitu juga ketika kita belajar Matematika, Kimia, atau Biologi, itu semua pelajaran yang hanya membutuhkan prasyarat akademik, kita tidak membutuhkan prasyarat psikologis.
Al-Qur’an merupakan the Book of Allah yang berbeda dengan buku lainnya karena dalam belajar Al-Qur’an, kita tidak hanya membutuhkan prasyarat akademik saja melainkan juga kita membutuhkan prasyarat psikologis. Bahkan kebutuhan akan prasyarat psikologis ini lebih penting daripada kebutuhan prasyarat akademik.
Pada kajian ini materi pertama yang akan dijelaskan oleh Ustadz Nouman yaitu Prasyarat Psikologis.
Ustadz Nouman memulai dengan memberikan pertanyaan kepada kita yaitu “Mengapa kita mempelajari Al-Qur’an?
Mungkin kebanyakan dari kita akan menjawabnya adalah untuk mendapatkan petunjuk (guidance).
Hal tersebut benar karena memang Al-Qur’an adalah Petunjuk. Seperti yang terdapat dalam Surah Al-Fatihah bahwa kita meminta petunjuk kepada Allah, dalam Surah Al-Baqarah dimulai dengan “Hudan lil muttaqiin“.
Kata Al-Qur’an dan Petunjuk seperti suatu kata yang saling menggantikan, kita tidak berpikir hal lain mengenai Al-Qur’an selain Petunjuk dan begitupun sebaliknya
Saat kita mencari guidance dari Al-Qur’an, seringnya, kita hanya berimajinasi. Ustadz bilang, “Anda harus mencari guidance dari Al-Qur’an.” Usai kajian, kita masing-masing keluar dari masjid dengan pikirannya sendiri-sendiri. Ada yang mungkin sudah melupakan kata-kata itu. Ada yang memikirkannya, bahkan sangat bersemangat untuk mencari petunjuk dari Al-Qur’an, tapi masing-masing melakukan itu dengan idenya sendiri-sendiri.
Jadi apa sebenarnya makna “mencari guidance dari Al-Qur’an”?
dan attitude seperti apa yang seharusnya kita miliki agar kita bisa mendapatkan manfaat dari petunjuk Qur’ani tersebut?
Materi LBP Hari ke-5 Siang | How to Approach The Qur’an (Part 2)
Oleh : Rizka Nurbaiti
Prasyarat pertama untuk menerima petunjuk dari Al-Qur’an adalah pedoman moral kita masih utuh. Apa maksud dari “pedoman moral yang utuh”?
Sederhananya, setiap manusia telah diberikan Allah kalkulator moral di dalam dirinya, sehingga setiap manusia pada dasarnya bermoral. Allah memberikan Ruh pada setiap diri manusia. Ruh tersebut berada dalam pengawasan Allah dan telah diberikan pengetahuan dasar mengenai nilai benar dan salah (pedoman moral yang fitrah), serta pengetahuan tentang Allah.
Seperti yang dijelaskan dalam surah Al-‘Araf bahwa semua manusia, tidak peduli apakah ia lahir dalam keluarga Budha, atau dalam keluarga Atheis-Agnostik, keluarga Kristiani, atau keluarga Muslim, semua manusia diberi perasaan akan nilai kepatutan tertentu yang sama yang disebut sebagai “fitrah”.
Rasulullah saw berkata:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Setiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah (HR. Ahmad 7387)
Contohnya seorang lelaki yang bukan muslim ketika dia melihat ada orang yang dipukuli di jalan maka ia akan menganggap perbuatan sang pemukul tersebut adalah perbuatan yang salah. Sama halnya setiap orang juga akan menganggap bahwa mencuri hak orang lain adalah salah, menghina orang lain adalah salah.
Setiap manusia memiliki rasa keadilan di dalam hatinya, rasa itu tidak datang dari budaya, agama, dan bukan dari pengasuhan, karena setiap orang memiliki rasa keadilan/kepatutan dasar yang sama, walaupun mereka berbeda budaya dan agama.
Setiap orang juga tidak menyukai kebohongan. Walaupun dia juga pernah berbohong, jika kita menanyakan kepadanya, “Apakah berbohong itu adalah perbuatan yang salah?” Kemungkinan terbesar mereka akan menjawab, “Ya, berbohong adalah perbuatan yang salah”. Nah, jawaban tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai kepatutan tersebut masih ada pada dirinya. Artinya ia masih memiliki pedoman moral yang fitrah, atau masih ada sebagian dari fitrah yang masih hidup di dalam hatinya.
Jadi dengan mengetahui ini selayaknya kita bisa terus bersemangat dan tidak berputus asa dalam menyebarkan agama Allah dan menyebarkan kebaikan karena pada dasarnya setiap manusia memiliki nilai-nilai kebenaran yang berasal dari Allah dan telah diberikan pengenalan akan Allah Swt.
Back to the topic, prasyarat untuk menerima petunjuk dari Al-Qur’an.
Ustadz Nouman Ali Khan menuliskan pada handout materi “approach of the Qur’an” (yang ia berikan), poin pertama yang ia tulis adalah prasyarat untuk menerima petunjuk Qur’ani untuk orang yang beriman.
Hal ini menimbulkan pertanyaan menarik, mengapa dituliskan “untuk orang yang beriman?”, apakah mungkin seorang yang beriman memiliki pedoman moral yang tidak utuh?”
Jawabannya adalah, hal tersebut mungkin terjadi, seorang muslim atau bahkan mereka yang memiliki banyak ilmu agama, mungkin saja kehilangan pedoman moralnya, mungkin saja kehilangan hati nuraninya. Bahkan Allah mengatakan masalah tersebut di dalam Al-Qur’an (jadi ini adalah kemungkinan yang nyata).
Jadi bagaimana kita bisa tahu bahwa fitrah kita tersebut masih utuh atau tidak?.
Diskusi dan Tanggapan LBP Hari ke-5 Siang | How to Approach The Qur’an (Part 2)
Wening:
Menanti lanjutan dari pertanyaan:
Bagaimana kita tahu apakah fitrah seseorang masih utuh atau tidak?
Eny:
Maap bila salah
Setahu saya fitrah itu akan selalu ada utuh.. tidak bisa terpisahkan dari ruh. Yang bisa itu mungkin fitrahnya tertutup/cover/kafir.
Mahatir:
Mencoba diskusi dan berbagi.
Apa yang Ustadz Nouman paparkan, senada dengan apa yang dipaparkan oleh Sheikh Dr. Ratib An-Nabulsi, tentang fitrah.
Menurut beliau, fitrah adalah ‘zat’ yang ditanamkan oleh Allah kepada setiap manusia yang terlahir, yang menunjukkan kebenaran meski tanpa kitab suci.
Pada dasarnya, setiap orang suka kasih sayang, setiap orang suka kebenaran, setiap orang nggak suka dibohongi, setiap orang suka keindahan. Inilah fitrah, sama setiap orang, siapapun ia, terlahir dari orang tua beragama apapun ia.
Nah, salah satu fitrah terpenting dan paling mendasar adalah tauhid, mengesakan Allah (al a’raaf 172) yang diperkuat oleh hadits kullu mauludin, dst.
Di sini, Sheikh Ratib membedakan antara fitrah dan perilaku.
Suka kasih sayang adalah fitrah, mampu menyayangi pasangan dan orang lemah adalah perilaku. Tidak suka dibohongi adalah fitrah, tapi berbohong adalah perilaku, dan seterusnya. Sehingga, orang akan merasa tenang dan bahagia yang hakiki adalah jika perilakunya menempati fitrahnya.
Jika ia berlaku jujur, maka perilakunya menempati fitrahnya (suka kejujuran); sehingga tenanglah dia. Jika ia berperilaku syirik, dan fitrahnya adalah tauhid, maka pasti ada sisi tak tenang dalam hidupnya. Allaahu a’lam. Sila dikoreksi 🙏🙏🙂
Heru:
Jazaakallaah khayran Bung Mahatir atas tambahan pencerahannya 👍👍
Materi LBP Hari ke-5 Siang | How to Approach The Qur’an (Part 3)
Oleh : Rizka Nurbaiti
Jadi bagaimana kita bisa tahu bahwa fitrah kita tersebut masih utuh atau tidak?
Kita dapat mengetahuinya di dalam Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan kualitas tertentu yang harus dimiliki manusia. Semua kualitas yang disebutkan tersebut bermuara kepada fitrah.
1️⃣ Pertama adalah Rasa terima kasih
Rasa terima kasih adalah salah satu kualitas yang harus dimiliki seseorang yang masih utuh fitrahnya. Contohnya jika kamu di bandara dan menjatuhkan tasmu lalu seseorang mengambilkannya untukmu. Setidaknya sebagai manusia yang memiliki moral, maka apa yang akan kamu lakukan?
Mengucapkan terima kasih.
Apakah kita harus muslim untuk bisa melakukannya? Tidak, kan?
Jadi rasa terima kasih merupakan salah satu dari dari fondasi fitrah
2️⃣ Kedua adalah Berpikir
Bisa berpikir dan memproses sebuah pemikiran adalah pemberian dari Allah (fitrah) untuk manusia.
Berpikir adalah jalan menuju keimanan, seperti yang ada pada QS. 3:191, bahwa seorang ulil albab adalah orang yang sering memikirkan penciptaan langit dan bumi.
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan *mereka memikirkan* tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Dan pemikiran inilah yang memberi jalan kepada keimanan di ayat 193-nya.
رَبَّنَآ اِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُّنَادِيْ لِلْاِيْمَانِ اَنْ اٰمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَاٰمَنَّا
Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman.”
3️⃣ Ketiga adalah rendah hati
Rendah hati adalah suatu sikap yang memiliki tingkatan-tingkatan. Tingkatan yang pertama adalah mampu mengakui kesalahan atau kekeliruan, serta mampu mengakui bahwa orang lain melakukan pekerjaan yang lebih baik dari kita.
Begitu juga dengan kesabaran, kebaikan hati, semua itu adalah kualitas moral yang Allah tekankan di dalam Al-Qur’an dan yang Allah inginkan kita memilikinya.
Contohnya di dalam Al-Qur’an, Allah mengatakan bahwa Dia mencintai orang yang bersyukur, Orang yang sabar, dan di dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat yang menyatakan Allah menginginkan kita untuk berpikir.
Ada kisah yang menarik yang berasal dari Nabi Musa dan Nabi Khidir tentang kesabaran di Surah An-Nahl ayat 66-82, di mana kesabaran adalah prasyarat untuk mendapatkan hakikat ilmu.
Sehingga, sebenarnya kualifikasi yang Allah inginkan untuk bisa membuat kita termasuk ke dalam golongan hamba yang Ia cintai, adalah sesuatu yang sudah Ia berikan kepada kita sebagai bagian dari fitrah.
Sebaliknya jika seseorang bermasalah besar dengan kesabaran, memiliki kesulitan untuk berterima kasih, sangat sulit untuk bersikap rendah hati, hal-hal tersebut menunjukan fitrahnya sudah tidak utuh.
Ustadz Nouman mengatakan bahwa jika fitrah kita sudah tidak utuh, maka kita akan punya kesulitan dengan Al-Qur’an. Karena fitrah tersebut adalah prasyarat psikologis yang harus kita penuhi untuk dapat mendekat kepada Al-Qur’an.
Jadi walaupun kita sudah belajar banyak tentang Al-Qur’an, belajar tata bahasa Arab, belajar tafsir, dengan kata lain kita telah memenuhi prasyarat akademik.
Hal tersebut tetap tidak menutup kemungkinan bahwa kita tidak memperoleh petunjuk dari Al-Qur’an, Kenapa?
Karena masih ada prasyarat psikologis yang harus kita penuhi. Prasyarat psikologis ini adalah hal yang sangat internal tidak ada orang dapat menilai kadarnya, hanya Allah yang Maha mengetahui yang dapat menilainya.
Dalam kajian lainnya, prasyarat psikologis ini dapat disebut dengan ‘adab’, oleh karena itulah Imam Malik mengatakan, “pelajarilah adab sebelum ilmu”. Dengan memiliki adab, atau prasyarat psikologis ini, kita akan lebih mudah mempelajari ilmu Al-Qur’an.
Allah yang Maha membolak-balikkan hati manusia, jadi yuk kita berdoa kepada Allah untuk diberikan keteguhan hati untuk taat kepadaNya dan untuk mendekat kepada Al-Qur’an. 🤲🏽
Bersambung in syaa Allaah minggu depan.
Semoga Allah terangi, lembutkan, dan kuatkan hati kita dengan cahayaNya.🤲
Mohon doakan kami agar bisa istiqomah berbagi mutiara-mutiaraNya.🙏
Jazakumullahu khairan😊
Salam,
The Miracle Team – Lessons from Bayyinah’s Production
[…] 26 June 2020 https://nakindonesia.com/2020/07/01/lbp2020-melakukan-pendekatan-kepada-al-quran/ […]
LikeLike