Pengantar
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Masih terlalu banyak hal yang bisa disyukuri di dunia ini. Termasuk yang sedang saya pikirkan saat ini. Yaitu bahwa banyak kanal YouTube yang menyiarkan dakwah Islam. Yang mengkomunikasikan pesan-pesan Al-Qur’an.
Salah satunya adalah Quran Weekly. Yang menampilkan pembicara-pembicara seperti Nouman Ali Khan, Mufti Hussain Kamani, Omar Suleiman, Abdul Nasir Jangda, dan yang lainnya.
Mirip dengan itu, komunitas Nouman Ali Khan Indonesia menginisiasi semacam Discussion Weekly, membahas ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an, yang semakin menambah banyak jumlah hal yang saya syukuri di dunia.
Dan saya bersyukur bisa ikut berbagi di forum ini. Forum, yang semoga bisa menjadi penambah berat timbangan amal kebaikan dari seluruh peserta diskusi maupun segenap panitia yang terlibat di dalamnya, saat amal-amal kita ditimbang di akhirat nanti.
Sesuai yang pernah saya janjikan, saya akan mengajak rekan-rekan untuk mencoba memahami surah Al-Ahzaab, surah ke-33, tepatnya ayat ke-21, tentang an excellent example. Sebuah contoh yang baik. Atau uswatun hasanah, lebih persisnya. Bahasan ini terdapat di bagian ke-3 dari tulisan ini.
Belajar tentang uswatun hasanah berarti kita melakukan tinjauan mikro terhadap surah ke-33 tersebut. Ibaratnya, surah ke-33 adalah sebuah kebun, lalu kita masuk dan berada di dalam kebun itu.
Namun tulisan ini juga menyajikan tinjauan makro. Artinya, kita menarik diri kita keluar dan menjauh dari kebun tadi, melihat kebun itu dari dalam sebuah kokpit helikopter. Tinjauan makro ini terdapat di bagian ke-2 dari tulisan ini.
Penulis menyempatkan diri untuk “mencicipi kelezatan” ayat berikutnya, yakni ayat ke-22 dari surah ke-33, dan mendapati dua hal. Pertama, tentu saja, ayat “tetangga” ini masih berkorelasi dengan ayat ke-21. Kedua, ayat ke-22 tersebut sangat menggugah motivasi penulis untuk mengisi sisa-sisa hidup penulis, dengan sesuatu yang lebih bermakna. Mengapa bisa begitu? Jawabannya ada di bagian ke-4 dari tulisan ini.
Tinjauan makro Suratul Ahzaab
Suratul Ahzaab diturunkan di Madinah dan merupakan surah yang sangat unik karena berisi pokok-pokok bahasan yang tidak ditemukan di tempat lain di Al-Qur’an.
Ada dua hal utama yang menjadi pokok bahasan dari surah ini. Yang pertama adalah Perang Ahzaab. Yang kedua adalah tentang specific incident dalam kehidupan Rasulullah SAW. Terkait pernikahan Beliau SAW dengan Zaynab radhiyallaahu ‘anhaa.
Perang Ahzaab terjadi pada bulan Syawwaal tahun ke-5 Hijriah. Mengapa dinamakan Perang Ahzaab? Karena Ahzaab artinya clans atau sekutu, dan dalam perang ini kaum Muslim seperti memegang buah hitam dalam permainan catur, dalam posisi bertahan dari serangan sekutu yang terdiri dari orang Yahudi yang terusir dari Madinah saat Perang Bani Nadhir, kaum Quraisy di Makkah, dan orang-orang Ghathafaan.
Perang Ahzaab juga dinamakan Perang Khandaq karena dalam perang tersebut pasukan Muslim membangun parit atau khandaq untuk menghadang serangan pasukan musyrik yang jumlahnya mencapai 10 ribu orang.
Surah Al-Ahzaab dalam hal style sangat mirip dengan suratunnuur (QS An-Nuur, surah ke-24). Bedanya, dalam suratunnuur, persoalan peperangan dan kemenangan luput dari perhatian. Jadi di sini, di surah Al-Ahzaab, kita bertemu dengan komentar Allah tentang peperangannya.
Di suratunnuur, kita bertemu dengan hukum-hukum sosial, etika saat berada di dalam rumah, bagaimana laki-laki harus dipisahkan dari wanita, meminta izin, adab duduk ketika mengundang orang atau ketika Anda pergi memenuhi undangan dan berada di rumah orang, dan hal-hal serupa itu. Jadi, harus ada pemisahan berdasarkan jenis kelamin, dan harus ada sikap saling menghargai antar gender.
Di surah Al-Ahzaab, yang dibahas bukan home situation seperti di suratunnuur, melainkan outside situation. Sama-sama membahas hukum-hukum sosial juga, dan interaksi sosial juga, tapi untuk situasi di luar rumah. Termasuk bagaimana wanita seharusnya berpakaian. Etika pergaulan di luar rumah juga dibicarakan di sini.
Jadi kedua surah ini, suratunnuur dan surah Al-Ahzaab, keduanya pada dasarnya sama-sama membentuk prinsip-prinsip hukum dari hayaa’ atau rasa malu. Bukan etika rasa malu karena etika dibahas dimana-mana, tapi tentang hukum-hukumnya, yang dibahas di kedua surah tersebut.
Ada juga hal lain yang menunjukkan pertalian antara kedua surah tersebut, yaitu kontroversi di seputar mothers of the believers atau ummul mukminiin. Ada kontroversi terkait ‘Aisyah radhiyallaahu ta’aalaa ‘anhaa. Dan di surah Al-Ahzaab terdapat kontroversi di seputar Rasulullah SAW sendiri, atau orang-orang munafik mencoba mengangkat hal itu sebagai sebuah kontroversi.
“Kontroversi” dalam surat Al Ahzaab
Nabi SAW memiliki seorang budak. Yang sudah hidup bersama keluarga Nabi SAW dan dibesarkan di rumah itu. Namanya Zaid radhiyallaahu ‘anhu. Zaid r.a. sangat dekat dan sangat disayang oleh Nabi SAW sehingga beliau SAW memanggilnya sebagai anak laki-laki. Karena begitu cintanya. Dan orang-orang pun akhirnya memanggilnya Zaid bin Muhammad. Padahal Zaid bukan anak kandung Muhammad SAW.
Zaid anaknya Muhammad, begitulah mereka biasa memanggilnya.
Kita harus memahami juga tentang meninggalnya anak kandung Rasulullah SAW sendiri. Dan Zaid adalah satu-satunya anak laki-laki yang dibesarkan di rumah Rasulullah sehingga memang ada hubungan yang spesial antara Rasulullah dan Zaid.
Jadi ketika kita berpikir tentang budak, kita berpikir tentang seseorang yang sehari-harinya hidup di belakang rumah, atau di tempat di mana orang biasa terkungkung atau terbelenggu. Semacam tempat pengasingan tapi di dalam rumah sendiri. Budak pasti diperlakukan secara tidak semestinya, dan tidak dianggap sebagai sesama manusia yang sama derajatnya.
Zaid radhiyallaahu ‘anhu tidak seperti itu. Zaid sungguh-sungguh diakui sebagai anggota keluarga Nabi SAW. Begitulah Zaid diperlakukan di lingkungan keluarga Rasulullah SAW. Maka Zaid r.a., meskipun dia begitu dekat dengan Nabi SAW, dia tetap lah budak, dan tidak akan pernah menjadi anak kandung Rasulullah SAW.
Dan saat Rasulullah SAW pindah ke Madinah, beliau SAW menyarankan Zainab radhiyallaahu ‘anhaa untuk menikah dengan Zaid. Keluarga Zainab dan Zainab sendiri tidak menyukai saran tersebut. Zainab sendiri radhiyallaahu ‘anhaa, dia adalah dari marga Hasyimi, sehingga di adalah wanita elit. Zainab dibesarkan di social setting yang berbeda. Jadi menurutnya, menikah dengan seorang budak adalah sebuah masalah sosial.
Mengapa Rasulullah SAW menyarankan pernikahan itu? Banyak hikmahnya sebenarnya, salah satunya adalah untuk tujuan dakwah, yaitu bahwa masyarakat muslim adalah masyarakat yang tidak mengenal perbedaan kelas atau status sosial. Bahwa Islam tidak melarang pernikahan antar mempelai yang berasal dari kelas sosial yang berbeda.
Meskipun awalnya ada keengganan (reluctance) dari Zainab dan keluarganya, tapi karena rekomendasi itu berasal Nabi SAW, pernikahan itu terjadi.
Bahwa Islam tidak melarang pernikahan seperti itu, tidak menghilangkan fakta bahwa, ketika dua sejoli berasal dari latar belakang yang sangat berbeda, dan memiliki gaya hidup yang sangat berbeda, mereka mungkin tidak cocok (compatible) satu sama lain. Jadi kita harus mempertimbangkan hal ini sebenarnya.
Dari sahabat generasi pertama, pernikahan merupakan sebuah realitas yang sangat umum, demikian juga dengan perceraian. Kadang suami-istri akhirnya menemukan bahwa mereka saling tidak ada kecocokan, dan perceraian bukan sebuah urusan yang besar.
Perceraian adalah sesuatu yang buruk, makruh, dan bukan hal yang mudah. Artinya, kita tidak begitu saja bilang atau bisa bercerai dengan seketika. Tapi saat perceraian itu terjadi, itu bukan akhir dunia atau akhir kehidupan juga.
Anda tidak lantas menjadi ostracized alias diboikot. Dikesampingkan atau dikucilkan dari masyarakat. Menjadi lumpur atau kotoran atau menjadi orang yang terkutuk. Memang, ada sesuatu yang salah dengan Anda atau pasangan Anda, atau dua-duanya.
Tapi perceraian adalah sebuah fakta kehidupan. Sebuah fakta kehidupan yang sulit. Tapi itu tetaplah fakta kehidupan dan para sahabat tetap moved on dan menikah lagi. Perceraian bukan sesuatu yang baik, tapi juga it’s not a big deal. Bukan akhir dunia.
Demikianlah, pernikahan Zaid-Zainab tidak berjalan mulus. Zainab radhiyallaahu ‘anhaa tidak bahagia dengan pernikahannya. Rasulullah SAW terus memantau Zaid dan Zaid bilang istrinya tidak bahagia. Zaid berniat untuk melepas atau menceraikan Zainab saja.
Rasulullah SAW sendiri ingin supaya pernikahan itu terselamatkan. Beliau SAW menyarankan supaya, sebisa mungkin, Zaid tetap mempertahankan pernikahan itu. Sampai akhirnya tidak ada lagi jalan keluar, selain perceraian.
Rasulullah SAW kini berada dalam posisi yang sulit karena beliau SAW adalah orangnya, yang nyata-nyata merekomendasikan pernikahan itu terjadi. Tapi akhirnya sekarang keduanya harus berpisah.
Zainab radhiyallaahu ‘anhaa dan keluarganya tentunya merasakan sakit yang tak tertahankan. Terutama Zainab radhiyallaahu ta’aalaa ‘anhaa.
Dan Rasulullah SAW menyadari bahwa begitu perceraian terjadi, satu-satunya cara untuk memperbaiki keadaan atau mengobati sakit hati itu adalah dengan cara: Rasulullah SAW harus menikahi Zainab. Itu akan meringankan perasaan sakit, dan juga akan menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dengan menikahi Zainab. Dan juga, tidak ada yang salah dengan Zainab.
Biasanya, dalam setiap perceraian, orang suka berpikir, siapa yang salah? Dan dalam perceraian Zaid-Zainab, siapa yang salah? Orang-orang tidak akan berpikir bahwa Zaid yang salah karena Zaid adalah keluarga Rasulullah SAW.
Jadi Rasulullah SAW ingin memastikan bahwa orang-orang tidak menyalahkan Zainab atau Zainab tidak mendapatkan label atau cap yang tidak diinginkan dari masyarakat. Sehingga Rasulullah SAW berusaha membantu menjaga nama baik Zainab dengan menikahinya, setelah bercerai dengan Zaid.
Tapi kemudian muncullah sebuah kontroversi. Karena ada tradisi orang Arab bahwa jika Anda punya anak laki-laki, dia menikah lalu dia meninggal atau menceraikan istrinya, maka Anda tidak boleh menikah dengan menantu perempuan Anda. Itu adalah sebuah kesalahan besar.
Maka kaum munaafiquun mencoba “menggoreng” atau mengangkat hal ini sebagai sebuah masalah. Padahal faktanya adalah, Zaid RA bukanlah anak laki-laki Rasulullah SAW. Zaid RA sungguh-sungguh bukanlah anak laki-laki Muhammad SAW. Memanggil seseorang “anakku” tidak membuat dia lantas menjadi anak Anda.
Benar juga. Di SD, SMP, SMA sampai kuliah, ada guru atau dosen, kepala sekolah atau rektor, yang suka memanggil kita dengan “anak-anakku” atau “anak-anakku sekalian” atau “anak-anakku yang tercinta”. Tidak berarti lantas kita sungguh-sungguh menjadi anak-anak dari para guru atau dosen itu. Termasuk juga, tidak lantas kita menjadi ahli waris mereka.
“Panggilan Sayang”, “Panggilan Benci”, dan Status Sah dalam Hukum Islam
Dalam tradisi Arab, memanggil seseorang dengan sebutan seperti keluarga sendiri, terjadi karena dua alasan. Pertama, karena saking cintanya. Kedua, karena saking bencinya. Contoh pertama yaitu “saking cintanya” adalah Rasulullah SAW yang memanggil Zaid “my son” atau “anak laki-lakiku.” Bukan “Zaid mirip anak laki-lakiku”, tapi “Zaid adalah anak laki-lakiku.”
Contoh kedua yaitu “saking bencinya” bisa terjadi antara suami dan istri yang sedang bertengkar. Sang suami berkata, “Mulai hari ini, kamu sama haramnya untukku seperti ibuku!” Kita menyebutnya zhihar. Penyerupaan istri dengan ibu.
Menjijikkan memang, tapi buat orang Arab, itu biasa. Maksud dari kata-kata itu adalah jelas, “We’re done!” Atau, “we’re finished!” Hubungan kita cukup sampai di sini. Atau, kita sudah bukan suami-istri lagi.
Dan Allah mengatur hal ini di Al-Qur’an. Karena para sahabat saling bertengkar. Suami-istri yang sama-sama sahabat saling bertengkar. Kadang sampai muncul ucapan, “Mulai hari ini, aku akan berpikir tentang kamu seperti aku berpikir tentang ibuku.” Atau, yang lebih terang-terangan, “Mulai hari ini, kamu adalah ibuku!”
Begitulah “sastra Arab”. Kaya perbendaharaan kata. Termasuk pengolahan kata yang “kreatif” sekaligus sinis.
Dengan mengucapkan kata-kata itu, sang suami bermaksud bahwa dia sudah putus hubungan dengan sang istri. Dan setiap wanita bisa merasakan hal itu. Maka si istri datang ke Rasulullah SAW, bertanya, “Sekarang, apa yang harus aku lakukan?”
Rasulullah SAW tidak mengatakan apapun sampai diturunkannya surah ini. Surah ini seperti menjelaskan kepada para suami, “Silakan panggil istrimu semaumu, dia tak akan pernah menjadi ibumu. Ibumu tetaplah ibumu.”
Jadi, saking bencinya, menyebut seseorang dengan sebuah nama, atau sebuah hubungan, tidak menjadikannya “sah” dalam Islam. Dan hal ini juga penting untuk dicatat karena sesama sahabat juga saling mencintai satu sama lain. Begitu cintanya sampai seperti melebihi saudara sendiri. Ikhwaanukum fiddiin. Mereka adalah “saudara” dalam Islam.
Melalui pencarian di Quran for Android, ketemu dua ayat yang mengandung fa ikhwaanukum fiddiin: QS At-Tawbah, 9:11 dan QS Al-Ahzaab, 33:5.
Kaum Muhaajiruun dan kaum Anshaar tali persaudaraannya luar biasa. Interaksi mereka, satu sama lain, sudah seperti saudara sendiri. Dan mereka mulai berpikir, saat ayat tentang warisan (inheritance) turun, bukankah “saudara” itu kecipratan warisan?
Kita semua tahu bahwa kaum Muhaajiriin adalah penduduk Makkah yang telah memeluk Islam dan hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke Madinah. KTP asalnya adalah Makkah.
Sedangkan kaum Anshaar adalah penduduk Islam Madinah yang memberi perlindungan kepada kaum Muhajirin di Madinah. Sudah pasti punya KTP Madinah.
Baik yang KTP asalnya Makkah maupun KTP Madinah sama-sama bertanya-tanya, Muhaajiriin itu dapat bagian warisan enggak ya?
Sehingga Allah menurunkan ayat ini: wa ulul arhaami ba’dhuhum awlaa biba’dhin fii kitaabillaah (QS Al-Anfaal, 8:75, dan QS Al-Ahzaab, 33:6).
Allah menegaskan, tidak ada hak waris itu. Ataupun bagian dari itu. Poinnya, urusan warisan, patokannya adalah the connection of the womb. Hubungan darah atau hubungan rahimnya ada atau tidak.
Hanya dengan memanggil seseorang “wahai saudaraku”, itu tidak membuatnya serta merta lantas menjadi ahli waris (heir).
Tapi jika Anda menjanjikan sesuatu kepada orang lain saat Anda masih hidup, sehingga Anda pun misalnya memberi nama salah satu toko, atau salah satu rumah, dengan nama teman atau tetangga, tidak masalah selama Anda masih hidup. Tapi setelah Anda meninggal, hanya anggota keluarga lah yang berhak, sesuai yang tertulis di Buku-Nya.
Jadi, beda antara persahabatan (camaraderie) dan persaudaraan (brotherhood).
Shadaqah, bentuk pemberian yang lain, saling berbagi, adalah dalam konteks persahabatan.
Dan itu harus dipisahkan dari urusan hukum warisan, yang diberikan hanya untuk anggota keluarga.
Begitu juga, Anda bisa membenci istri Anda (semoga tidak), dan memanggil istri Anda sebagai ibu Anda.
Istri Anda tidak akan pernah menjadi ibu Anda.
Terserah Anda mau memanggilnya gajah atau jerapah (Ustadz Nouman lagi bercanda nih menyebutkan dua hewan ini), dia masihlah tetap istri Anda.
Panggilan yang aneh-aneh terhadap istri Anda sendiri itu, tidak mengubah apapun. Termasuk statusnya sebagai istri Anda.
Begitu juga, tidak peduli betapa pun cintanya Rasulullah SAW kepada Zaid, memanggilnya anak laki-laki, bahkan orang-orang juga memanggilnya anak laki-laki Rasulullah SAW, Zaid tetaplah bukan anak laki-laki Rasulullah SAW.
Luar biasa ya, intro surah Al-Ahzab ini. Makan 10 menit dan 43 detik. Baru di titik ini lah Ustadz Nouman mulai membaca ayat pertama dari surah Al-Ahzab.
Amazing!
Ditulis oleh: Heru Wibowo
Sumber:
Bayyinah TV > Quran > Surahs > Concise Commentary > 2 Surahs 21-40 > 13 Al-Ahzab > 02. Al-Ahzab (Ayah 19-27) > Ayah 21
Bayyinah TV > Quran > Surahs > Concise Commentary > 01. Al-Ahzab (Ayah 1-18) – A Concise Commentary
Buku “The Great Story of Muhammad” karya DR. Ahmad Hatta, MA.
“Exploring the Islamic Principles on Leadership”, master thesis dari Mohammad Alabed, Chalmers University of Technology, Sweden