Sebagian besar orang memiliki pandangan yang sama dalam menilai kesuksesan atau kegagalan. Rumah yang mewah, pendidikan yang tinggi, rumah tangga yang harmonis, atau anak-anak yang sehat dan lucu, dianggap melambangkan kesuksesan. Sebaliknya, tinggal di jalanan karena tidak punya rumah, tidak berpendidikan, berpakaian lusuh dan sederhana, belum memiliki pasangan, belum memiliki anak atau tidak memiliki penghasilan yang tetap, dianggap melambangkan kegagalan.
Seorang muslim yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, memiliki sudut pandang yang berbeda. Jika mata kita lemah, maka kita memerlukan kacamata untuk memperjelas penglihatan kita. Begitulah Al-Qur’an, ia ibarat kacamata yang akan memperjelas penglihatan kita dalam melihat realitas kehidupan yang ada di sekeliling kita.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa kesuksesan tidak ada hubungannya dengan kekayaan dan kegagalan tidak ada hubungannya dengan kemiskinan. Fir’aun memiliki kekayaan dan kekuasaan, namun apakah ia dianggap orang yang sukses? Nabi Muhammad saw. yang dalam hidupnya pernah tidak memiliki makanan sehingga akhirnya harus berpuasa, apakah beliau dianggap orang yang gagal? Dengan kacamata iman dan cara pandang Al-Qur’an, kita akan memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat kesuksesan dan kegagalan.
Kisah di balik turunnya surat Al-Fath ayat 1 juga memberikan insight kepada kita bahwa bisa saja sesuatu hal dalam pandangan kita (manusia) merupakan sesuatu yang baik, namun dalam pandangan Allah swt. merupakan hal yang tidak baik. Ayat ini adalah salah satu ayat favorit saya yang memberikan insight dan cara pandang berbeda dalam melihat realitas kehidupan.
Pada tahun 6 Hijriyah, Rasulullah saw. berangkat ke Mekah untuk melaksanakan umrah bersama rombongan kaum Muslimin yang jumlahnya hampir 1.500 orang. Berita mengenai keberangkatan Rasulullah saw. bersama rombongan terdengar oleh kaum Quraisy. Pihak Quraisy berniat menghalangi Rasulullah saw. Rasulullah saw. kemudian mengutus Utsman bin Affan sebagai delegasi untuk menemui kaum Quraisy guna menyampaikan maksud kedatangan Rasulullah saw. dan kaum muslimin, yaitu untuk berkunjung ke Ka’bah dan melaksanakan umrah, bukan untuk berperang. Kaum Quraisy menahan Utsman bin Affan cukup lama, hingga tersebar isu bahwa Utsman bin Affan terbunuh, hingga akhirnya Rasulullah saw. mengambil janji setia kaum muslimin untuk tetap bersama beliau dan tidak melarikan diri. Singkat cerita, kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk bernegosiasi dengan Rasulullah saw. dengan membuat perjanjian damai, yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Beberapa butir isi perjanjian tersebut adalah kaum muslimin diizinkan untuk melaksanakan umrah berikutnya, sehingga mereka saat itu juga harus kembali ke Madinah. Siapapun dari kaum Quraisy yang datang kepada Rasulullah saw., ia harus dikembalikan ke kaum Quraisy, dan siapapun dari pengikut Rasulullah saw. yang datang kepada kaum Quraisy, maka kaum Quraisy tidak mengembalikannya kepada Rasulullah saw. Kaum muslimin merasa sedih dan kecewa karena butir-butir perjanjian tersebut dianggap merugikan kaum muslimin. Umar bin Khattab bahkan mempertanyakan apakah perjanjian itu sudah benar dan tidak merendahkan kaum muslimin. Pada saat itu turunlah surat Al-Fath. Umar kemudian bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, apakah (perjanjian tersebut) kemenangan?” Beliau menjawab, “Ya.”
إِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحࣰا مُّبِینࣰا
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (QS. Al Fath, 48:1)
Ustaz Nouman menjelaskan bahwa setiap orang akan menganggap Perjanjian Hudaibiyah adalah kekalahan bagi kaum muslimin karena beberapa butir isi perjanjian merugikan kaum muslimin. Tetapi Allah swt. justru mengatakan bahwa itu adalah kemenangan. Kemenangan yang besar. The ultimate victory.
Mengapa kemenangan yang besar? Karena umat Islam saat itu berada dalam kondisi emosi yang sangat tinggi (sedih, kecewa, dan marah) namun tetap taat dan patuh pada perintah Rasulullah saw. Bayangkan, kaum muslimin saat itu telah berjalan kaki atau berkendara unta ratusan km dari Madinah ke Mekah, lalu harus kembali ke Madinah tanpa mengunjungi ka’bah untuk melaksanakan umrah. Sangat manusiawi jika kaum muslimin kecewa dan sedih pada saat itu dan tersulut kemarahan kepada kaum Quraisy. Namun mereka tetap taat kepada Rasulullah saw. untuk kembali ke Madinah dan menepati isi perjanjian tersebut.
Ustaz NAK menambahkan bahwa kemenangan dalam perspektif Al-Qur’an bukanlah kemenangan karena menaklukkan suatu daerah/negeri. Tapi kemenangan yang hakiki adalah kemampuan menaklukkan hati kaum muslimin. Kemenangan kaum muslimin diperoleh bukan hasil dari peperangan tapi hasil dari strategi dan buah dari kesabaran dan disiplin. Kemenangan kaum muslimin bukan karena peperangan tapi karena mereka taat pada Rasulullah saw. tanpa syarat, tanpa keluhan.
Kisah itu memberikan insight bagi saya untuk memandang segala sesuatu dalam perspektif Al-Qur’an. Dahulu saya menganggap diri saya tidaklah sesukses seperti kebanyakan orang lainnya, karena mungkin saya tidak memiliki pencapaian seperti halnya teman-teman seusia/seangkatan saya. Mereka yang kini telah memiliki rumah sendiri, memiliki kendaraan sendiri, memiliki bisnis sendiri, mereka yang meraih prestasi akademik, mereka yang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus dan mahal, mereka yang sudah melanglang buana ke luar negeri, dan pencapaian-pencapaian lainnya.
Perjalanan interaksi saya dengan Al-Qur’an mengajarkan bahwa meskipun saya tidak memiliki semua yang dimiliki oleh orang lain, itu tidak berarti bahwa kehidupan saya gagal. Karena hakikat kehidupan tidak hanya di dunia. Kehidupan yang hakiki adalah di akhirat kelak. Maka jika dalam pandangan kebanyakan orang, saya adalah orang yang gagal karena tidak memiliki itu semua, jangan sampai saya termasuk orang yang gagal dalam pandangan Allah swt. dengan tidak membawa bekal amal shalih saat menghadap-Nya.
Akhirnya pandangan saya terhadap kesuksesan berubah drastis. Kesuksesan bagi saya adalah ketika saya mampu menyiapkan bekal amal shalih dan wafat dalam keadaan husnul khatimah. Inilah yang akan menjadi fokus hidup saya. Ini cukup membuat saya hidup tenang tanpa dihantui kegelisahan akan belum teraihnya “kesuksesan” dalam pandangan kebanyakan orang.
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa membimbing dan mengarahkan kita untuk selalu menggunakan perspektif Al Qur’an dalam menilai dan memutuskan segala sesuatu di kehidupan ini. Aamiin.
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=WwgtOWApFeg