Sudah beberapa minggu ini aku salat di rumah saja, bersama keluargaku. Oleh perusahaan, aku justru dilarang masuk kantor. Jika Walikota Jakarta Selatan melakukan sidak dan aku tertangkap basah sedang berada di kantor, maka perusahaanku bisa terkena risiko ditutup izin usahanya.
Tidak adakah masjid terdekat yang menyelenggarakan salat berjemaah? Di kompleks perumahan tempatku tinggal, ada tiga masjid yang semuanya locked down. Kami berada di zona merah Covid-19. Dan semua pengurus dari ketiga masjid tersebut menaati himbauan pemerintah serta MUI.

Sebelum wabah Covid-19 menghampiri Indonesia, di setiap salat berjemaah di salah satu masjid kompleks, hampir selalu aku mendengar ayat ini dibaca.
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ
(QS Al-Hasyr, 59:19)
Sang imam masjid nampaknya menyukai ayat ini. Tidak hanya itu. Ayat ini juga sering aku dengar dibaca saat khotbah Jumat. Namun baru di era working from home inilah aku berkesempatan untuk mempelajari ayat ini lebih dalam. Bertepatan dengan berita meninggalnya Didi Kempot, penyanyi dan penulis lagu-lagu campursari itu.
Allah bilang di ayat ini, “Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang melupakan Allah.”
“Melupakan Allah” itu apa artinya? Di surah sebelumnya disebutkan astahwadza ‘alayhimusysyaithaanu fa ansaahum dzikrallaah (QS Al-Mujadilah, 58:19).
Setan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka tidak lagi memiliki cruise control. Seperti ada autopilot dalam hidup mereka.
Dengan kata lain, setan mengendalikan hidup mereka.
Sehingga membuat mereka tidak lagi mengingat Allah.
Lalu di ayat ini Allah tegaskan fa ansaahum anfusahum. Mereka melupakan Allah sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri.
“Lupa akan diri sendiri” itu apa maksudnya? Apakah mereka lupa akan nama mereka? Apakah mereka lupa untuk makan? Apakah mereka lupa akan alamat rumah mereka? Apakah mereka lupa akan identitas mereka?
Di dalam diri manusia terdapat unsur hewan dan unsur spiritual. Kita makan, tidur, minum; itu adalah unsur hewannya. Tapi ada sesuatu yang juga bersemayam di dalam diri kita. Sesuatu yang bukan jasad kita. Sesuatu itu adalah ruuh. Itulah Nouman yang sesungguhnya. Itulah Didi Kempot yang sesungguhnya. Semoga beliau husnul khatimah, dan Allah merahmati serta mengampuni dosa-dosa beliau.
Ustaz Nouman pernah ditanya oleh guru beliau, “Kamu di mana?” Ustaz Nouman menjawab, “Saya ada di sini, Ustaz.” Sang guru masih belum puas, “Mana?” Ustaz Nouman mengarahkan telunjuknya ke dada, ke kepala, bahkan ke seluruh tubuhnya sendiri. Guru beliau hanya menggeleng. Bukan itu yang dimaksud. Bukan jasad, sebagiannya atau keseluruhannya. Yang ditanyakan guru beliau adalah ruuh dari seorang Nouman Ali Khan.
Jadi, Didi Kempot sekarang ada di mana? Di Majasem, Kendal, Ngawi, tempat beliau dimakamkan? Itu adalah jasad beliau. Yang mati adalah jasad. Tapi ruuh akan terus hidup.

“Lupa akan diri sendiri” artinya lupa bahwa diri yang sesungguhnya adalah lebih dari sekadar fisik. Orang yang mengingat Allah, dia ingat bahwa ada diri yang sejati, yang berada di dalam jasad mereka. Orang yang melupakan Allah, dia lupa tentang kesejatian diri itu. Tak ada lagi jiwa. Tak ada lagi ruuh. Yang tersisa hanyalah jasad tubuhnya.
Makan. Tidur. Tampil menarik. Berdandan. Mencari kenyamanan. Menikmati kemewahan. Menghibur diri. Bersenang-senang. Semuanya itu adalah konsumsi tubuh. Apapun yang masuk, keluarnya menjadi sampah.
Beda dengan ruuh. Ketika ruuh mengonsumsi sesuatu yang baik, dihasilkan keluaran yang baik. Ruuh memproduksi kebaikan demi kebaikan yang terus mengalir deras keluar.
Saat Allah menciptakan tubuh manusia dari tanah, Allah tidak memerintahkan malaikat untuk bersujud. Fa idzaa sawwaytuhuu wa nafakhtu fiihi min ruuhii faqa’uu lahuu saajidiin (QS Al-Hijr, 15:29 dan QS Sad, 38:72). “Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan ruuh-Ku kepadanya, maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya.” Ruuh beda dengan jasad. Manusia dihormati karena ada ruuh di dalamnya.
Ulaa-ika humul faasiquun. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Yaitu, mereka yang lupa akan diri sendiri; mereka yang lupa akan ruuh yang pernah Allah tiupkan itu.
Dalam Bahasa Arab, kata fisq berarti melanggar. Bukannya menunjukkan ketundukan, tapi justru pembangkangan. Melanggar kesucian ruuh yang Allah tanamkan di dalam diri. Menyembunyikan ruuh di dalam hati, menutupinya dengan permukaan yang keras dan berbatu.
Permukaan yang keras dan berbatu itu melambangkan hasrat diri yang tanpa kendali. Melambangkan kecemburuan. Melambangkan keserakahan. Melambangkan egoisme yang tinggi. Melambangkan sikap keras kepala dan ingin menang sendiri. Lalu di manakah ruuh itu?
Mati lemas jauh di dalam hati, tertimbun batu-batu yang keras. Hati nurani mati suri.
Sekjen PMI Sudirman Said bilang bahwa Didi Kempot sudah 141 kali mendonorkan darahnya. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengapresiasi konser amal Didi Kempot bulan April lalu yang berhasil menghimpun dana lebih dari 5 milyar rupiah untuk membantu mengatasi pandemi Covid-19.
Dua contoh itu saja membuatku merasa amalku tak ada apa-apanya. Yang aku bisa lakukan adalah menolak lupa. Menolak lupa akan diri sendiri. Menolak lupa bahwa dalam diri ini ada ruuh yang suci. Yang insya Allah terus aku usahakan untuk menang dalam pertempuran melawan motif-motif duniawi yang mengotori kesuciannya.
___
Video Referensi: Bayyinah TV > Quran > Surahs > Concise Commentary > Surahs 41-60 > Al-Hashr > 03. Al-Hashr (Ayah 16-24) – A Concise Commentary
Ditulis oleh: Heru Wibowo