Ramadan: Will be any different? — Ust. Mhd Fitrian Kadir | Peristiwa wabah ini bukan pertama kali terjadi di dunia. Tapi mungkin COVID-19 merupakan yang terbesar di 100 tahun terakhir.

Lalu bagaimana kita sebagai muslim menyikapi pandemi COVID-19 ini?
Mari kita merujuk pada sejarah, dari kitab klasik.
Fakta Pertama
Ibnu Hajar al-’Asqalani (10 H) menulis kitab Badzlu al Maun Fi Fadhli al Thaun (Mengerahkan Kekuatan untuk Menghadapi Keutamaan/Kebaikan dalam Wabah).
Beliau menulis bahwa setidaknya sejak zaman Rasulullah ﷺ sampai saat kitab itu ditulis, dalam kurun waktu 10 abad, telah ada 36 kejadian wabah. Yang terbesar adalah Tho’un ‘Amwas (18 H) saat Umar bin Khattab sebagai Amirul mukminin. Terjadi di Syam, 25.000-an sahabat meninggal. Bahkan Gubernur Syam saat itu, Abu Ubaidah al-Jarrah, juga meninggal karena wabah.
Kitab tersebut bukan kitab yang pertama membahas tentang wabah dalam literatur Islam. Ada Ibnu Abidun, sudah ada sejak abad ke-3 H/800an M. Saat itu Eropa masih Dark Ages.
Fakta Kedua
Masih di kitab yang sama. Penulisan kitab itu sempat terhenti, karena 3 putri dan 1 calon cucu Ibnu Hajar al-’Asqalani meninggal karena wabah Tha’un.
Bayangkan di saat orang-orang yang beliau cintai meninggal karena wabah, tapi ia tetap menuliskan kitab dengan judul yang luar biasa tadi! “Mengerahkan Kekuatan untuk Menghadapi Keutamaan/Kebaikan dalam Wabah”.
Sungguh pola pikir seorang muslim itu beda banget, apapun yang terjadi selalu percaya ada kebaikan dari Allah.
Bagi kita, umat Islam, harus yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi karena izin Allah.
Sekarang kita belajar dari hadits ya…
1. Hadits Muslim
Rasulullah ﷺ bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Bayangkan teman-teman, di hadits ini bahkan Rasulullah ﷺ sendiri yang takjub. Inilah mindset muslim yang sebenarnya dalam menghadapi segala sesuatu.
2. Hadits Bukhori
Di HR Bukhori ada yang membahas tentang pahala kesabaran bagi orang yang ditimpa wabah.
Dari Aisyah ra, ia berkata:
“Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang wabah penyakit. Rasulullah SAW memberitahukan kepadaku: ‘Wabah penyakit itu adalah azab yang diutus Allah kepada orang-orang yang Ia kehendaki. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Jika terjadi suatu wabah penyakit, ada orang yang menetap di negerinya, ia bersabar, hanya berharap balasan dari Allah. Ia yakin bahwa tidak ada peristiwa yang terjadi kecuali sudah ditetapkan Allah. Maka ia mendapat balasan seperti mati syahid”. (HR. Al — Bukhari).
Mindset kita harus seperti itu menganggap ini sebagai rahmat.
Bagian yang mind-blowing dari hadist ini adalah Allah mencatatkan pahala syahid. Bagi siapa? Bagi yang menetap di negerinya, bagi yang di rumah aja untuk menghindari penyebaran virus lebih masif.
Iya, Allah juga catatkan pahala syahid untuk yang masih hidup. Dan tentu saja bagi yang sudah meninggal. Masya Allah.
Jadi kita husnudzon bahwa Allah mengabulkan doa para sahabat yang menginginkan mati syahid tapi kemungkinan mati syahid karena peperangan kecil karena di zaman Umar bin Khattab semua peperangan dimenangkan oleh kaum muslimin.
Maka cara Allah untuk mensyahidkan mereka adalah dengan terkena wabah Tha’un Amwas. Masya Allah. Di sini wabah menjadi rahmat bagi mereka yang beriman.
Tapi tidak cukup dari cara kita memahami dan menerima dalam bentuk mindset saja.
Bagaimana cara kita mengomunikasikannya dalam menyikapi wabah COVID-19?
Fenomena zaman sekarang, kita terbiasa meng-judge orang yang kena musibah.
Eitss padahal…
Kita tidak berhak mengatakan bahwa itu adalah azab bagi orang lain. Itu bukan hak kita. Itu bisa jadi benar, bisa jadi salah juga.
Selanjutnya kita diajak melihat ke ayat-ayat yang membahas tentang musibah.
Di Al-Qur’an ada banyak yang membahas tentang musibah, tapi dari sekian banyak ayat itu tidak ada yang menjelaskan kalau itu untuk menyampaikan bahwa “Eh, kamu kena musibah karena itu ulahmu sendiri.”
Kecuali 1 kasus saat kalah perang Uhud di QS Ali-Imran: 165.
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Di ayat itu Rasulullah ﷺ yang dipersilakan oleh Allah untuk bilang seperti itu, ia punya privilege. Rasulullah ﷺ gak bilang langsung karena keinginannya, tapi karena diperintahkan Allah.
Jadi benar kita harus mengimani hadist di atas, tapi kita gak berhak untuk menghakimi orang lain.
Misal sekarang kan jumlah kasus yang paling tinggi di Amerika dan pertama kali muncul di Cina, terus kita bilang, “Oh itu mah karena mereka orang kafir.”
Eits, siapa yang menjamin semua yang kena hanya kafir? Siapa yang menjamin kalau muslim gak kena?
Kita haru berhati-hati dalam mengomunikasikan apa yang kita tahu. Tidak semua yang kita tahu itu dikomunikasikan.
Apa perbedaan penting antara iblis dengan muslim?
Kalau iblis mengajak ke jalannya yaitu menuju neraka. Kalau muslim mengajak ke jalan Allah yaitu menuju surga.
Iblis akan mengarahkan ke logika atau segala sesuatu yang akhirnya orang tertarik dan merasa benar masuk neraka. Tugas muslim adalah sebaliknya yaitu berdakwah untuk menjauhi itu.
Nah jadi kalau kita sebagai muslim kerjaannya bilang, “Itu mah karena mereka kafir”, maka hal itu akan membuat orang-orang yang tidak kenal dengan Islam jadi tertarik masuk Islam gak? #jleb
Jawabannya pasti gak mungkin kan…
Benar kata Khabib Nurmagomedov:
“The people who don’t believe in Islam cannot see Islam, but they can see you.”
“Orang-orang yang tidak percaya dengan Islam tidak bisa melihat Islam yang sesungguhnya seperti apa, tapi mereka bisa melihat itu dari kalian yang muslim.”
Jangan sampai hidayah terhalang ke mereka karena ucapan kita yang sembarangan. Nah, jangan-jangan tanpa kita sadari ucapan kita dan iblis sejalan untuk mengarahkan ke neraka.
Jadi apa saran yang lebih baik? Berbicaralah dengan hati-hati.
Bahkan seorang ulama besar, Imam Ahmad bin Hambal mencontohkan untuk diam dan berkata “Saya tidak tahu” ketika ditanya tentang wakaf uang. Bahkan ini ditulis dalam kitab.
Semoga Allah mudahkan kita untuk menjaga sikap dan memudahkan kita untuk selalu mengarahkan orang lain ke arah kebaikan. Aamiin yaa Rabb.
Bagaimana mengatur mindset kita dalam menghadapi Ramadan (yang berbeda) di tengah pandemi COVID-19 ini?
Sebenarnya cara pandang tetap sama dari dulu, tapi praktiknya bisa beda.
Dengan merujuk pasti harus ke sumber utama: Al-Qur’an. Ayat yang membahas tentang Ramadan adalah QS. Al-Baqarah: 183–187. Kali ini kita akan bahas ayat 185.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ — ١٨٥
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.“
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ
Di antara 12 bulan cuma 1 bulan yang di-mention di Al-Qur’an, berarti ini spesial banget!
Jika disebut kata “Al-Qur’an”, maka segala sesuatu yang bersentuhan dengan Al-Qur’an pasti yang terbaik dan yang paling mulia.
Jibril (malaikat pembawanya, ia adalah malaikat terbaik, penghulunya segala malaikat), lailatul Qadr (malam diturunkannya, ia adalah malam paling mulia), Rasulullah ﷺ (manusia yang menyebarkannya, manusia paling mulia di alam semesta), Ramadan (bulan diturunkannya, berarti bulan paling mulia).
Bahkan dari susunan bahasa ayat tersebut tampak bahwa Allah ingin meng-highlights Al-Qur’an.
Jadi fokus kita di bulan Ramadan adalah Al-Qur’an.
هُدًى لِّلنَّاسِ
Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia.
Al-Fatihah yang kita baca sehari-hari isi utamanya adalah doa.
Doa pertama yang kita minta dalam Al-Fatihah adalah tunjukilah kami ke jalan yang lurus “Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm”.
Jadi kalau mau cari hidayah yaa ke Al-Qur’an.
Handphone aja ada manual book-nya.
Apalagi kita, manusia butuh manual book dari Allah.
وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى
Al-Qur’an akan menjelaskan bahwa dirinya sendiri adalah petunjuk.
Sekarang banyak riset yang ingin membuktikan kebenaran Al-Qur’an, sesungguhnya Al-Qur’an tidak butuh itu. Ia sendiri akan menjelaskan dirinya sendiri.
Kitalah yang butuh. Tugas kita adalah untuk menggali lebih dalam, ambil hikmahnya.
وَالْفُرْقَانِۚ
Fungsi lain dari Al Qur’an sebagai pembeda, kalau gak ada Al Qur’an kita bakal buta hidup di dunia ini, mana yang baik/buruk, benar/salah.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
Ini adalah fikih dasar Ramadan.
Kita harus mengakui puasa Ramadan adalah hal yang berat. Banyak non-muslim gak percaya kita bisa puasa. Gak makan oke, tapi gak minum (?).
Tapi tenang… Allah beri keringanan, bagi yang sakit, dalam perjalanan, lansia.
Ini menegaskan bahwa setiap ada masalah, Allah juga titipkan solusi bersamanya.
Coba cek: QS. Al-Insyirah: 5–6. Allah tegaskan 2x! Bersama kesulitan ada kemudahan.
Kesulitan bentuk kata dalam Bahasa Arabnya identified (sudah diketahui).
Sedangkan kemudahan bentuk kata dalam Bahasa Arabnya unidentified (belum diketahui).
Jadi kata ulama minimal ada 2 kemudahan bersamaan dengan 1 kesulitan. Minimal loh. Masya Allah! Kita harus tahu dan meyakini itu.
Salah satu kebaikan puasa, kalau tidak mampu bisa diganti di hari yang lain jika kita sakit atau dalam perjalanan.
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ
Allah menginginkan kemudahan untuk kita, Allah tidak menghendaki kesulitan bagi kita.
Tapi kok beda ya dengan apa yang kita rasakan saat puasa, bagi kami puasa ini berat ya Allah…
Berarti ini harus kita sesuaikan, Al-Qur’an ke perasaan kita atau perasaan kita ke Al-Qur’an?
Jawabannya tentu: Kita yang harus menyesuaikan perasaan kita dengan Al-Qur’an.
Jadi standar mudah dan sulit, baik dan buruk, itu berasal dari Allah.
Jangan mengandalkan perasaan kita aja.
Banyak ayat yang membahas tentang ini. Salah satunya QS Al-Baqarah: 216.
Jadi kalau kita mau tahu suatu hal baik atau buruk, gampang atau berat, tanya ke Allah ya.
Mau bukti kemudahan yang Allah berikan untuk kita atas kewajiban berpuasa?
Coba cek ke PubMed (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/)
Lalu cari informasi tentang puasa “fasting” atau “intermittent fasting” atau “time restricted feeding” atau “alternate day fasting”.
Masya Allah tenyata banyaak banget kebaikan dalam puasa.
Itulah salah satu bukti kemudahan dari Allah.
Jadi hikmahnya, kalaupun gak Allah wajibkan puasa, suatu saat dokter akan memaksa kamu untuk puasa.
Karena badan gak bisa terus-terusan kerja berat. Harus istirahat sejenak.
Begitu juga dengan hikmah saat ini, apa yang terjadi pada bumi di saat pandemi COVID-19, bumi sedang istirahat memulihkan diri.
Salah satu efeknya adalah langit di Jakarta bersih, gak ada polusi, gunung jadi kelihatan saat di foto. Alhamdulillah.
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ
Hidayah dan mengagungkan Allah ini biasanya emang selalu beriringan.
Setiap kali kita mengagungkan Allah maka Dia akan menurunkan hidayah.
Mindset orang beriman dari ayat ini: setiap kita berhasil maka yang harus kita puji pertama kali adalah Allah.
Hidayah adalah kesuksesan yang paling tinggi.
Setiap kita mendapatkan kesuksesan maka kita harus mengagungkan Allah.
Saat kita mengalami kegagalan maka kita harus segera introspeksi diri.
Ust. Nouman pernah membahas tentang takbir, mengagungkan Allah, di salah satu videonya.
Arti Allahu Akbar bukan saja secara harfiah Allah Maha Besar.
Tapi Allahu Akbar artinya Allah yang lebih Besar, bukan Allah yang paling Besar (Allahu Al Akbar). Maknanya ketika disebutkan Allahu Akbar maka semuanya tidak ada yang seagung Allah. Jadi ketika kita lagi ngapain lalu terdengar “Allahu Akbar” maka kita harus berhenti.
Bahkan di Makkah saat tawaf yang kalau sudah mulai gak boleh berhenti jadi berhenti saat Imam mengucapkan “Allahu Akbar”. Ibadah aja berhenti apalagi yang bukan ibadah.
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Ramadan ini salah satu tujuannya adalah agar kita menjadi hamba yang bersyukur.
Jadi yuk maksimalkan rasa syukur kita di bulan mulia ini.
Kalau di bulan Ramadan aja kita gak latihan bersyukur apalagi di bulan lainnya, mau kapan lagi?
Jadi dari pembahasan QS Al-Baqarah: 185 ini mengingatkan kita bahwa mindset kita = Bulan Ramadan adalah Bulan Al-Qur’an. Ini yang lebih utama daripada sebutan lainnya, yaitu bulan Puasa. Puasa tetap luar biasa, tapi Al-Qur’an lebih luar biasa lagi.
Tips Praktis: Cara Meningkatkan Hubungan Kita dengan Al-Qur’an selama Bulan Ramadan, juga selama Masa Pandemi COVID-19
Tips Pertama
Kita belajar dari sejarah lagi dulu ya 🙂
Rasulullah ﷺ dan para sahabat juga pernah mengalami Ramadan dengan kondisi yang berbeda, yaitu saat perang. Perang Badr dan Fathu Makkah.
Saat itu sebagian sahabat masih berpuasa, di tengah perjalanan (Fathu Makkah) Rasul berhenti, setelah sholat Ashar Rasulullah ﷺ minum di hadapan para sahabat, maksudnya Rasulullah ﷺ mengajak para sahabat untuk berbuka. Kemudian Rasul berhenti lagi dan minum lagi dan memerintahkan semua juga melakukannya. Akhirnya seluruh sahabat berbuka. Rasulullah ﷺ memberikan rukhsah/keringanan untuk para sahabat.
Kemudian Rasulullah ﷺ menghimbau:
“Janganlah kalian menyerang orang yang terluka, janganlah kalian mengikuti orang yang melarikan diri, janganlah kalian membunuh tawanan, dan barangsiapa yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman.”
Maknanya meskipun Rasul dan para sahabat telah berbuka secara fisik tapi secara hati masih puasa. Mereka memang sudah makan dan minum, tapi kebaikan lainnya tetap mereka lakukan.
Dan satu kisah lagi yang menarik. Bahkan di saat sedang perang Badr, Zaid bin Haritsah masih mengejar bangun di malam-malam ganjil hari-hari terakhir Ramadan. Sehingga ketika keesokan paginya beliau tampak pucat. Masya Allah.
Dari kisah-kisah di atas kita bisa belajar bahwa Ramadan kali ini memang berbeda sehingga kita terbatas melakukan beberapa hal yang biasanya kita lakukan. Apa yang sudah dilarang oleh ulama dan pemerintah untuk ditinggalkan yasudah ditinggalkan dulu untuk kali ini.
Jangan fokus berdebat pada ibadah yang tidak bisa dilakukan, bersikap lembutlah di masa-masa sulit ini seperti yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat saat Ramadan di masa perang. Ada banyak pintu-pintu kebaikan lainnya yang terbuka besar yang bisa kita lakukan.
Tips Kedua
Put the first thing first. Ada 3 hal:
1. Dahulukan yang fardhu
Ibnu Hajar berkata, “Siapa yang tersibukkan dengan yang wajib dari yang sunnah dialah orang yang patut diberi udzur. Sedangkan siapa yang tersibukkan dengan yang sunnah sehingga melalaikan yang wajib, maka dialah orang yang benar-benar tertipu.”
2. Tinggalkan yang haram
“Menjauhkan yang haram itu lebih baik daripada melakukan yang baik.”
Fisik kita tidak diciptakan untuk idle/nganggur, kalau nganggur kecenderungan kita adalah berbuat buruk = mubazir, mubazir itu saudara setan. Awalnya mubah, lalu bisa jadi mubazir.
3. Lakukan hal-hal baik
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil”
Hal-hal prioritas dan baik seperti apa?
1. Al-Qur’an
Latih diri untuk membaca Al-Qur’an juga dengan artinya kemudian kalau bisa lanjutkan dengan baca tafsir dan lebih baik lagi juga sambil menghapal.
Ide dari Ust. Rian: Kenapa Al-Kahfi gak kita hapalin? Bukankah kita baca setiap Jum’at? Gimana kalau kita mulai mencoba menghapal di bulan Ramadan? Agar setelah Ramadan kita gak perlu baca mushaf lagi.
Mumpung saat ini waktu luang lebih banyak, yuk jadikan bulan Ramadan untuk reconnect with the Quran.
2. Sedekah
Kita bertemu keutamaan sedekah 2x, insya Allah pahalnya double. Pertama Rasulullah ﷺ menyuruh untuk banyak sedekah. Kedua hari ini kita memasuki zaman banyak orang kesulitan untuk makan, banyak yang di-PHK. Waktunya untuk menggencarkan sedekah.
Saat bulan biasa saja Rasulullah ﷺ sudah bersedekah dengan luar biasa, apalagi saat Ramadan sedekah beliau luar biasa banget. Dan Rasulullah ﷺ tidak pernah menolak orang yang minta sedekah padanya.
“Sedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR. Al-Tirmidzi)
Dimulai dari lingkungan terdekat aja dulu. Rumah-rumah di sekitar kita.
Lalu bagaimana dengan Tarawih?
Tetap bisa berjama’ah di rumah. Bahkan bisa didesain sesuai kemampuan, mau langsung habis Isya atau tidur dulu. Atau ada yang bisa latihan kultum.
Saat itu pula kita bisa berdo’a semoga Allah tetap catatkan pahala bagi kita seperti tarawih di masjid. Karena kita tidak bisa bukan karena keinginan kita sendiri.
Semoga pahala kita tidak terhalang, tetap berusaha maksimal ya teman-teman.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
Tulisan ini juga di-publish di https://medium.com/@bayyinahindonesia
Rekaman video Quran Talk ini bisa disaksikan di: