لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS 3 Ali Imran:164)

Ayat 164 pada Surat Ali Imran menjadi ayat favorit saya kali ini karena kandungannya yang luar biasa. Mulai dari keindahan struktur tata bahasanya yang menegaskan bahwa Rasulullah Muhammad ﷺ adalah Rasul terakhir, sampai adanya jaminan langsung dari Allah ﷻ bahwa sampai sekarang Rasulullah ﷺ masih ‘membacakan ayat dan mengajar’, sebagai karunia yang sangat besar dari Allah ﷻ bagi umat Islam.
Hal pertama yang berkesan adalah mengetahui dengan yakin bahwa Rasulullah Muhammad ﷺ adalah Rasul terakhir. Lho? Bukankah semua muslim sudah tahu? Saya memiliki pengalaman tersendiri mengenai hal ini yang cukup unik. Ada sekelompok orang yang mengaku sebagai rasul. Mereka mengartikan rasul sebagaimana dalam bahasa Arab yang artinya utusan atau penyampai pesan. Dasar pandangan yang mereka adalah Surat Al Ahzab (33): 40 bahwa “Muhammad adalah Rasulullah dan penutup Nabi”. Jadi mereka beranggapan bahwa ‘kenabian’ sudah tertutup, namun ‘kerasulan’ belum ditutup.
Menurut pandangan mereka, siapapun yang berda’wah adalah rasul. Mereka pun mengajarkan ketaatan kepada pemimpin organisasi setara dengan ketaatan kepada ‘rasul’. Mereka mencampuradukkan makna ‘rasul’ menurut bahasa dan menurut syariat. Ayat Al-Qur’an begitu sangat jelas, namun tafsir yang diberikan yang menyesatkan. Saya pun terjebak bertahun-tahun di dalamnya.
Pemahaman saya berubah seketika setelah saya memahami sharaf atau morfologi kata dalam Bahasa Arab. Pada ayat ini, ‘Rasul’ untuk seluruh orang mu’min memakai kata رَسُوْلً, yang merupakan isim mufrod, yaitu berjumlah tunggal. Hanya satu. Jadi, رَسُوْلً itu artinya ‘satu orang rasul’. Sedangkan bentuk jamak dari rasul adalah رسل, artinya rasul-rasul atau beberapa Rasul. Sehingga, ‘satu orang rasul’ di sini tidak lain tidak bukan adalah Nabi Muhammad saw. Tidak ada yang kedua, tidak ada lagi rasul setelahnya.
Selain itu, fi’il (kata kerja) بَعَثَ dalam Surat Ali Imran di atas adalah fi’il madhi, yaitu kata kerja yang digunakan untuk menyatakan pekerjaan yang telah selesai. Jadi, pengutusan atau pengangkatan rasul telah terjadi dan telah selesai. Sehingga, jika dikaji dengan menggunakan tata bahasa Arab, saat Al Qur’an diturunkan, jumlah rasul yang telah diutus hanya satu, tidak ada rasul lagi setelah Nabi Muhammad ﷺ dan proses pengutusan tersebut telah selesai terjadi. Ini meyakinkan saya bahwa kelompok yang tadi saya ceritakan memiliki pemahaman menyimpang.
Hal kedua yang berkesan adalah penggunaan tenses yang berbeda pada frasa selanjutnya yang menggunakan fi’il mudhori, yaitu: يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ, membacakan ayat-ayat Allah; وَيُزَكِّيْهِ, mensucikan jiwa mereka; dan يُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ, mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah. Padahal, fi’il mudhori itu adalah kata kerja yang digunakan untuk menerangkan bahwa kegiatan itu masih berlangsung sampai sekarang. Jadi, pembacaan ayat-ayat Allah, pensucian jiwa dan pengajaran Al Qur’an dan As Sunnah masih berlangsung! Allah telah mengatur mekanisme yang sangat kompleks dan berkelanjutan agar pembacaan ayat-ayat Allah, penyucian jiwa dan pengajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai kepada kita saat ini.
Coba bayangkan kita sedang benar-benar bersama dengan Rasulullah ﷺ dan kita dapat menanyakan apapun yang kita mau. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Bertanyalah kalian! Tidaklah kalian pada hari ini bertanya suatu hal, kecuali saya akan menjelaskannya.” [1]. Masyaallah, ketika kita merasa bahwa Rasulullah ﷺ sedang langsung menjawab dan menjelaskan ayat-ayat Allah, maka tentu gerimislah hati dan tumpahlah air mata kita karena merasakan karunia yang luar biasa dari ketinggian akhlak dan luasnya ilmu Rasulullah ﷺ.
Ustadz Nouman Ali Khan juga menekankan bahwa bahasa Arab dari kata ‘karunia’ di sini adalah ‘manna’, yang artinya mengungkit-ungkit kebaikan. Jadi, dalam ayat ini Allah ﷻ mengungkit-ungkit kebaikanNya dalam mengutus Rasulullah ﷺ dan menjamin keberlanjutan pengajaran ayat-ayat Allah agar sampai kepada kita saat ini. Selain itu, kata manna juga bisa berarti sangat besar, sangat berat (huge weight). Allah ﷻ ingin menekankan bahwa, betapa besar kebaikan Allah ﷻ dalam mengajarkan ayat-ayat-Nya kepada kita kaum mukminin melalui Rasul-Nya.
Implementasi yang bisa dilakukan di kehidupan sehari-hari dari ayat ini adalah merasakan atau membayangkan sedang bersama dengan Rasulullah ﷺ saat membaca atau mengkaji Al Qur’an. Mengkaji Al-Qur’an dengan membayangkan bahwa ada sosok manusia, to whom we can relate a lot, yang juga mulia dan sangat baik perangainya yang masih mengajarkan dan membacakan Al Qur’an sampai saat ini, adalah pengalaman luar biasa yang membuat kita lebih menghargai momen-momen kita dengan Al Qur’an. Sungguh, karunia yang besar dari Allah ﷻ, walaupun Rasulullah ﷺ telah tiada, namun pengajaran dan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an masih terus berlangsung sampai sekarang.
Wallahu a’lam.
__
Keterangan:
[1] Suatu hari para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan mereka saat itu begitu serius menanyakan pertanyaan tersebut. Hari selanjutnya, Rasulullah ﷺ naik mimbar dan bersabda: “Bertanyalah kalian! Tidaklah kalian pada hari ini bertanya suatu hal, kecuali saya akan menjelaskannya.” Hadits shahih riwayat Muslim no. 4354 atau no. 2359 versi Syarh Shaih Muslim, diakses dari Ensiklopedi Hadits.
Video referensi: Bayyinah TV – Surah – A Concise Commentary – Ali Imran (Ayah 160-166)
Ditulis oleh: Quranbotic (@quranbotic | @quranboticid)