Oleh: Heru Wibowo
Story Resume of Perpecahan Umat.
Tekstur dagingnya sangat lembut. Hingga ke tulang dan durinya. Ah, yang ini memang bikin penggemar merasa sangat nyaman: tidak perlu repot memilah duri. Makanan olahan bandeng ini enak disantap. Dan kita bisa melahapnya sampai habis. Benar-benar habis. Sampai tak bersisa sama sekali.
Bandeng presto memang enak. Dan lunak. Di semua bagiannya. Seperti halnya Rasulullah kepada para sahabat. Beliau lunak dan lemah lembut kepada para sahabat. Tidak bersikap keras. Tidak berhati kasar. Mudah memaafkan dan bahkan memohonkan ampunan. Dan ketika para sahabat merasa bersalah dan merasa pantas untuk dicuekin, Rasulullah malah meminta input, meminta sumbang saran, meminta ide dari mereka. Yang dirasakan para sahabat bukan tusukan duri, tapi perasaan dihormati dan dihargai. Sikap lunak Rasulullah kepada para sahabat adalah refleksi Al-Qur’an surah Ali Imran 3:159.
Sesama orang beriman seharusnya begitu. Sama-sama lunak dan lemah lembut. Saling menghormati dan menghargai. Jauh dari caci maki dan tusukan duri.
Sudah ach. Bicara tentang sahabat serasa melayang ke alam mimpi. Penuh keindahan dan bikin ngiri. Sementara kita hidup di masa kini. Dengan berbagai keanehan yang bikin geleng-geleng sendiri.
Termasuk keanehan yang ini: ada orang-orang yang sama-sama beriman, tapi tak berhenti saling adu argumentasi, kadang pake bumbu caci maki.
Ternyata keanehan itu sudah lama dibahas di Qur’an. Di surah Asy-Syuro 42:14. Perpecahan itu justru terjadi setelah mereka berilmu. Setelah mereka menjadi ulama. Yang seharusnya menjadi pemersatu umat. Tapi memang ada orang-orang berilmu yang justru menjadi pemecah-belah umat.
Apa root cause-nya? Ayat ke-14 itu menjelaskan: baghyan. Dorongan untuk mendominasi. Bagaikan seorang raja yang suka melakukan invasi demi mendapatkan tanah jajahan yang baru. Benar atau salah, tak penting lagi. Ini adalah masalah ego. Ini adalah persoalan harga diri.
Maka hasrat mendominasi itu tercermin dari cara mereka mengoreksi.
Bukan mengoreksi supaya yang dikoreksi mendapatkan manfaat.
Bukan mengoreksi dengan kerendahan hati.
Bukan mengoreksi dengan penuh cinta kasih.
Tapi mengoreksi dengan memperlakukan yang dikoreksi, seperti musuh.
Melayang lagi ach, ke alam mimpi. Ke zaman para sahabat. Menikmati indahnya kebiasaan para sahabat kalo sedang saling mengoreksi. Pertama, sebelum mengoreksi, mendoakan lebih dulu. Kedua, ketidaksetujuan itu disampaikan dengan penuh rasa hormat dan menghargai. Ketiga, ditegaskan bahwa ketidaksetujuan itu hanya pada satu hal itu saja. Artinya, masih ada berjuta hal yang lain yang disepakati tanpa perbedaan pendapat.
Berarti, makin berilmu, makin besar potensi perpecahan? Ya, jika yang berilmu punya hasrat untuk mendominasi.
Semua Ulama yang ada di negeri ini adalah bagian dari rahmat dan kasih sayang Allah ‘azza wa jalla. Kita panjatkan doa, semoga Allah cabut hasrat untuk mendominasi, dari diri kita, dan dari para ulama.
Dan jika kita harus mengoreksi seseorang, semoga kita bisa mencontoh Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam. Mengoreksi dengan penuh cinta. Mengoreksi dengan penuh kelembutan. Dan bahasa yang lunak. Selunak bandeng presto.
Ditulis oleh Heru Wibowo