Bismillahirrahmanirrahim…
Alhamdulillah tadi malam (Selasa, 7 April 2020, 19.30–21.30) Yayasan Bayyinah Quran Indonesia (YBQI) telah mengadakan Kulwap “Cemas karena Coronavirus? Yuk, pelajari cara mengatasinya” bersama Kak Dina.
Hal yang menarik adalah peserta yang mengikuti kulwap ini sangat beragam dari berbagai daerah dan pulau, seperti: Palembang, Lampung, Pekanbaru, Kediri, Solo, Jogja, Pontianak, Sintang, Lombok, Denpasar, Kupang, Kulisusu, Kendari, Mamuju, dan Jakarta. Masya Allah!
Mereka hadir virtual dengan berbagai alasan, beberapa di antaranya: ingin mengelola rasa cemas diri sendiri, self healing, ingin menyikapi situasi wabah ini dengan tepat, ingin mengurangi rasa helpless, ingin lebih tenang dalam menghadapi pasien (ternyata ada nakes juga yang bergabung di sini).
Masya Allah, ternyata kulwap ini benar-benar dibutuhkan oleh banyak orang ya.
Sebelum masuk ke resume kulwap, kita kenalan dulu yuk sama kakak narasumber kita.
Sekilas Tentang Narasumber
Arrundina Puspita Dewi atau yang biasa dipanggil Kak Dina adalah seorang psikolog yang hobi membaca dan menonton. Aktivitasnya sekarang membuka praktik di Biro Psikologi Recoverme, Medan. Latar belakang pendidikannya adalah S2 Magister Profesi Psikologi, Psikologi Klinis Dewasa UNPAD.
Materi dari Kak Dina
Sebelum sesi diskusi, kami diberi bekal materi sebagai berikut:

Sebelum masuk sesi diskusi, Kak Dina memberi penjalasan singkat dan menjawab pertanyaan yang ada di konten publikasi kulwap ini.
Ngobrolin tentang kecemasan, pertama kita perlu tahu terlebih dahulu nih kalau cemas itu emosi yang dialami semua orang. Cemas merupakan salah satu jenis emosi negatif. Rasa cemas sendiri, mempunyai kegunaan sebagai bentuk “alarm” akan adanya ancaman dan bahaya.
Tanpa adanya cemas, saat berhadapan dengan situasi yang berbahaya, kita jadi tidak tanggap dengan situasi dan tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi tersebut. Jadi cemas sebenarnya merupakan emosi yang dirancang sebagai bentuk pertahanan diri.
Ketika kita mampu memanfaatkan rasa cemas untuk mempertahankan diri, kecemasan ini pun menjadi emosi negatif yang bermuatan positif (karena berdampak positif untuk diri kita).
Sementara sebaliknya, ketika kecemasan kita berlebihan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, kecemasan ini menjadi emosi negatif yang juga bermuatan negatif (karena berdampak merusak diri).
Jadi teman-teman semua perlu tahu bahwa emosi negatif tidak selalu berdampak negatif pada diri kita. Kembali lagi, bagaimana kita memanfaatkan emosi negatif tersebut untuk bertahan, atau justru merusak diri. Emosi negatif yang berdampak positif bisanya disebut dengan healthy negative emotion, dan yang berdampak negatif disebutnya unhealthy negative emotion. Jadi emosi negatif tidak selalu “tidak sehat” ya teman-teman
Bagaimana cara mengatasi kecemasan diri dan orang di sekitar kita?
Kenali dulu diri sendiri. Memang memiliki kepribadian pencemas kah? (cemas setiap saat) atau memang hanya cemas di situasi tertentu yang dianggap mengancam? (situasinya tiap orang berbeda-beda).
Sebagian besar orang memiliki kecemasan situasional. Jadi cemasnya ketika berhadapan dengan situasi tertentu saja, dan situasi yang dianggap seseorang mengancam belum tentu juga mengancam bagi orang lain. Kok bisa? Karena adanya perbedaan persepsi.
Nah kalau begini, coba pahami situasi tersebut wajarkah dirasa mengancam? Mengapa? Contoh situasi Corona saat ini ya, wajar kah untuk mengalami cemas? Ya wajar. Karena situasi yang mengancam kesehatan tubuh, kita tidak dapat melihat virus yang menyebar, tidak tahu siapa saja yang membawa virus, dll. Jadi cemas muncul karena situasinya mengancam nyawa dan tidak bisa dikendalikan.
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kecemasan?
Karena rasa cemasnya muncul akibat situasi yang tidak bisa dikendalikan, mulai lah mengatasi kecemasan dengan mengendalikan hal-hal yang bisa dilakukan diri sendiri untuk melindungi diri dari virus ini.
Bisa dengan membuat checklist untuk menjaga kesehatan misalnya.
- Rajin cuci tangan per 20 menit sekali,
- konsumsi buah-buahan, makanan bergizi,
- istirahat yang cukup, dll.
(sesuaikan dengan diri sendiri, karena setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda). Tulis di sebuah buku yang memang dikhususkan untuk mencatat hal-hal yang dilakukan untuk menjaga kesehatan.
Anggaplah buku ini seperti raport, tapi isinya daftar kegiatan yang dilakukan setiap hari untuk menjaga kesehatan. Dengan tercatat seperti ini, kita pun akan berpikir menjadi lebih positif karena perilaku yang dilakukan untuk menjaga kesehatan menjadi lebih terukur dan lebih objektif.
Bagaimana cara menyikapi pandemi ini dengan lebih bijak?
Situasi pandemi ini memang tidak nyaman dan membuat kita mau tidak mau harus beradaptasi dengan berbagai perubahan dan mengelola keadaan emosi dengan lebih baik.
Saya sendiri juga sempat merasa cemas berlebih karena situasi ini, stress karena harus bawa kerjaan pulang ke rumah, dll. Sampai saat ini juga masih beradaptasi dengan perubahan situasi yang tidak normal ini.
Nah, untuk mengatasinya, tips yang ada di infografik bisa diterapkan untuk menyikapi situasi ini dengan lebih baik. Mulai dengan perbanyak melakukan aktivitas positif, seperti:
- membiasakan diri untuk melakukan meditasi setiap harinya, paling tidak selama 5–10 menit,
- perbanyak menuliskan emosi apapun yang dirasa selama situasi ini,
- mendengarkan musik yang menenangkan,
- mengaji atau mendengarkan kajian agama, atau
- melakukan hobi yang memang sudah lama tidak dilakukan karena kesibukan selama ini.
Selain itu, kurangi pula membaca berita yang berkaitan dengan situasi saat ini. Terutama berita-berita negatif, yang dari membaca judulnya saja sudah membuat kita resah. Berita dengan judul seperti ini biasanya adalah berita hoax.
Ingat kembali bahwa situasi yang dihadapi saat ini belum dapat dikendalikan, sehingga daripada menambah kecemasan, kendalikan lah apa yang diri kita sendiri bisa kendalikan. Salah satunya dengan membatasi berita yang dibaca.
Jika memang membutuhkan informasi megenai data atau informasi terkini, silakan akses di situs resmi pemerintah atau WHO yang memang dikhususkan untuk pandemi ini.
Itulah materi dan penjelasan singkat dari Kak Dina, Alhamdulillah merasa mulai tercerahkan dan mendapat energi positif ya. Sekarang kita lanjut ke sesi tanya-jawab.
Q&A — 1
Q: Kak, salah satu cara untuk mengurangi kecemasan kan mengurangi nonton berita negatif. Tapi saya malah makin cemas kalau ga ada berita. Jadi semacam vicious cycle gitu. Nonton cemas, ga nonton cemas juga. Bagaimana ya kak?
A: Kalau begini, pilah pilih berita yang dilihat. Kalau dari judulnya sudah membuat resah, deg-degan, rasa tidak enak di hati, lebih baik tidak usah diteruskan. Karena malah akan memperparah rasa tidak nyaman dan menambah kecemasan juga. Mulai kendalikan diri untuk melihat update-an, jadi pilih berita dari situs resmi tentang penanganan COVID-19 saja ya.
Q&A —2
Q: Menghadapi pandemi kebanyakkan orang menanggapi sampai pada ia juga merasa sakit seperti halnya gejala COVID-19. Bagaimana menanggapi itu? Lalu apa solusinya? Mungkin itu yang dinamakan psikosomatis ya, kak. Normalkah? Karena saya merasakan itu di awal pandemi.
A: Iya benar. Saya sendiri juga mengalaminya kok. Rasa-rasanya seperti punya gejala sakitnya. Ini dinamakan psikosomatis. Sakit fisik akibat keadaan psikis yang sedang terganggu.
Terkait situasi saat ini, “sakit fisik”nya karena cemas yang berlebih, jadi rasa-rasanya badan juga sakit seperti gejala sakit Corona. Badan sebenarnya memberi alarm kan dari rasa cemas tadi supaya kita aware dengan keadaan pandemi ini.
Untuk tahu benarkan terjangkit? Coba amati, gejala sakitnya muncul setiap waktu kah? Atau hanya ketika sedang memikirkan Corona?
Kalau munculnya pada saat sedang memikirkan, ini yang disebut psikosomatis. Tapi bila memang benar-benar ragu dan ingin memeriksakan diri untuk memastikan, silakan memeriksakan diri ke dokter untuk memastikan benar kah ada sakit fisik atau tidak yaa.
Q&A — 3
Q: Kalau dalam pandemi ini, jika seseorang malah tetap merasa tenang, apakah itu hal yang normal kak? Karena saya sudah sering menyimak Ustadz Nouman Ali Khan di Bayyinah Institute. Jadi dia merasa tenang aja dengan sikon yang ada ini.
A: Ketika seseorang merasa tenang, sebenarnya bisa jadi dia memang sudah mampu mengelola kecemasan atau emosi negatif lainnya yang muncul karena situasi pandemi ini, atau memang dia tidak memaknakan situasi ini sebagai sesuatu yang mengancam jadi tenang-tenang saja. Balik lagi ke perbedaan persepsi itu tadi Mba. Bisa saja di antara kedua hal tersebut yaa. Untuk tahu yang mana pastinya, memang kita harus menanyakan langsung ke orang ybs. Hehe.
Q&A —4
Q: Bagaimana jika kita sudah menjadi ODP (Orang Dengan Pemantauan) yang diharuskan isolasi mandiri. Apa yang sebaiknya dilakukan ditambah lagi dengan stigma masyarakat?
A: Jika sudah jadi ODP, pastikan patuhi aturan untuk isolasi diri yaa. Tunjukkan kesungguh-sungguhan untuk tidak menyebarkan virus ini ke orang-orang di lingkungan sekitar. Tanamkan di dalam diri, apa yang saya lakukan ini adalah bentuk kontribusi saya untuk menyelamatkan orang lain dan saya mempunyai peranan untuk menghentikan pandemi ini.
Adanya stigma dari orang lain memang tidak menyenangkan, tapi apa yang bisa kita lakukan?
Kita tidak dapat mengendalikan pandangan orang lain terhadap diri kita. Yang bisa kita lakukan, tunjukkan kesungguhan bahwa kita patuh sampai akhirnya terbebas dari status ODP tadi. Dengan patuh, orang lain pun dapat melihat perilaku kita yang positif sehingga dapat mereka jadikan contoh.
Q&A —5
Q: Bagaimana menerapkan ini ke orang yang lebih tua dari kita. Terkadang cara kita menyerap berita/info apapun itu berbeda dengan mereka, yang jujur saja kadang saat menerima BroadCast di WA pun sudah percaya itu benar 100%. Belum mencari tahu itu benar/tidak.
Malah yang membuat kita cemas bukan situasi Corona itu sendiri, melainkan orang di sekitar kita yang membuat kita lebih cemas. Karena mudah percaya dengan info-info tersebut dan malah membantu menyebarkan kecemasan tersebut yang blm tentu 100% benar adanya.
Menurut saya kita perlu memberi tahu ke mereka tapi dengan cara yang seperti apa? Karena jika tidak diselesaikan maka hanya akan menambah angka kecemasan. Contohnya: panic buying.
A: Coba sebisa mungkin cari info yang dapat membantah info hoax tersebut. Bisa dengan bertanya ke ahli atau profesional yang memang lebih memahami topik yang dibahas.
Terkait dengan cara memberitahu ke orang yang lebih tua, atau orangtua sendiri, sebelum memberitahu mereka, diri kita sendiri juga perlu lebih tenang dalam menghadapi situasi ini. Waspada boleh, tetapi tunjukkan juga bahwa kita mampu mengendalikan situasi ini dengan perilaku yang kita lakukan.
Energi positif yang kita bawa, akan dirasakan dan diserap oleh orang lain di sekitar kita, salah satunya orangtua. Dengan melihat kita mampu mengendalikan diri, orangtua akan lebih percaya dan akan mengikuti rutinitas kegiatan yang sudah kita lakukan sendiri untuk membuat diri kita lebih tenang.
Memberitahu atau mengajak orang lain untuk berperilaku seperti yang kita inginkan memang susah-susah gampang. Jadi sebelum mengajak mereka, alangkah lebih baik mengubah diri kita sendiri terlebih dahulu.
Dampak positif yang terjadi pada diri kita dan kita rasakan, dapat mereka lihat sebagai bukti bahwa yang dilakukan ternyata bermanfaat, sehingga mereka pun dapat lebih yakin untuk mengikuti perubahan seperti yang sudah kita lakukan.
Q&A — 6
Q: Bagaimana dengan orang yang seakan dia menutup kemungkinan yang bisa saja terjadi, seperti tertular virus. Dan hal tersebut berakibat kepada sikap yang bisa dibilang santuy. Bagaimana menurut mba? Adakah cara mengatasinya dan bagaimana menghadapi orang yang seperti itu, terlebih orang itu adalah orang yang dekat dengan kita/keluarga kita?
A: Geregetan ya memang berhadapan dengan orang yang seperti ini. Terlihat santai dan seperti menganggap remeh situasi saat ini. Nah, untuk orang-orang seperti ini, berarti sistem alarm-nya tadi sedang tidak jalan di tubuhnya. Karena dia mempersepsikan situasi saat ini tidak mengancam.
Kalau begini, cara menghadapinya bisa dengan memberitahukan informasi terkini mengenai pandemi dan informasi terkait bagaimana penanganan di RS saat ini dimana para tenaga medis sudah kewalahan menerima pasien, bagaimana tidak enaknya jika sakit, dan bagaimana menyedihkannya prosesi pemakaman bagi mereka yang terkena penyakit.
Jika informasi seperti ini terus menerus muncul di kesehariannya, lambat laun alarm-nya tadi bisa jalan. Jika memang tidak juga, coba diingat-ingat, selama ini memang si orang tersebut terlalu cuek kah dengan keadaan sekitar dan memang tipe orang yang suka menyepelekan hal-hal di sekitarnya? Jika iya, ya kita tidak dapat berbuat apa-apa hingga dia sendiri mengalami kejadian tidak menyenangkan terkait situasi saat ini.
Q&A — 7
Q: Apakah wajar seorang nakes seperti saya, memiliki ketakutan akan pandemi COVID-19 sampai memutuskan untuk tidak bekerja di RS sampai batas waktu yang tidak ditentukan?
A: Wajar banget merasakan ketakutan, cemas berlebih, dll, terutama karena Mba bekerja di RS dan merupakan garda terdepan yang berjuang menghadapi pandemi ini. Untuk sementara waktu, memutuskan tidak bekerja dulu, tidak apa-apa Mba untuk menenangkan diri.
Jika memang membutuhkan penanganan psikologis lebih lanjut, Ikatan Psikolog Klinis Wilayah DKI Jakarta membuka konsultasi gratis untuk para nakes yang mengalami stress dan emosi negatif lainnya terkait situasi saat ini. Silakan cari informasinya lebih lanjut di instagram @ipk.jakarta ya Mba.
Q&A —8
Q: Kondisi saya sekarang berjauhan dengan suami, suami kemungkinan tidak bisa pulang sampe pandemi ini berakhir, sebagai istri tentu saya cemas, dan akibatnya saya terkadang kurang sabar dengan anak-anak saya. Sehabis marah-marah saya suka nangis sendiri karena menyesal.
Gimana ya supaya saya bisa tenang? Anak anak gak jadi pelampiasan emosi saya, saya bisa at least merasa happy sedikit, jadi anak anak juga dapet energi positifnya dari saya. Saya gak pengen kenangan anak anak saat Corona ini yang diinget mamanya marah marah terus.
A: Mba, pertama terima dulu ya keadaan bahwa situasi saat ini memang stressful. Saya paham, suami tidak bisa pulang karena situasi sekarang ini juga menambah stress-nya Mba.
Selama ini untuk mengatasi emosi negatif yang ada di dalam apa yang dilakukan? Adakah hal lain selain marah-marah ke anak?
Saran saya, coba mulai menulis untuk mengeluarkan semua emosi yang dirasakan. Ini namanya expressive writing, dipakai sebagai media untuk menyalurkan emosi.
Karena emosi, jika dipendam terus malah jadi tidak sehat. Emosi negatif yang berumpun-tumpuk, lambat laun akan membuat frustrasi, sehingga akhirnya jadi memarahi orang lain di sekitar.
Dengan menulis, harapannya apa yang dirasakan bisa tertuang semua, dan coba mulai dipraktikkan juga saran saya untuk membuat daftar kegiatan yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dan keluarga. Tulis di buku khusus, dan setiap hari diisi dan diberi checklist.
Dengan begitu, Mba bisa merasa lebih tenang. Ajak suami untuk menuliskan hal yang sama juga, jadi setiap malam, saat sedang bertelepon, bisa saling menceritakan dan saling mendukung satu sama lain untuk tetap kuat dan bertahan di situasi yang sedang dihadapi ini. Semangat terus ya Mba!
Q: Biasanya aku beres beres, tapi karena anak yang paling kecil masih toddler jadi dibrantakin lagi hehe. Baik mbak, Insya Allah saya mulai menulis perasaan saya besok. Mudah mudahan dengan ini saya sudah gak marah-marah lagi. Terima kasih banyak ya mbak.
A: Oiya bisa perbanyak aktivitas main bersama anak-anak juga Mba. Ajak anak-anak untuk tulis surat cinta, atau gambar (atau buat yang masih toddler untuk coret-coret pake warna yang dia suka untuk menggambarkan rasa sayangnya) untuk ekspresiin rasa sayang mereka ke ayah, ibu dan siblings-nya. Mba juga bisa ikutan buat, dan nanti dijelasin satu-satu ke masing-masing anak.
Q: Mau tanya expressive writing itu apa aja yang ditulis ya? Maaf mbak kalo mau mulai expressive writing apa aja point-point yang harus ada ya?
A: Terkait expressive writing, apa aja yang ditulis? Apapun, terserah. Tidak ada benar salah. Jadikan buku itu tempat kita mencurahkan segalanya. Tidak perlu takut, karena tidak ada yang salah.
Simpan bukunya sebaik mungkin, atau ya beritahu saja orang-orang terdekat kalau ini buku sifatnya privacy, agar mereka juga paham dan tidak membuka-buka buku. Atau bahkan ajak mereka untuk melakukan hal yang sama?
Expressive writing ini sebenarnya juga merupakan salah satu metode terapeutik untuk membantu klien-klien yang datang berkonsultasi ke saya agar merasa lebih nyaman dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Q&A — 9
Q: Saya ketika cemas sering merasakan sakit perut. Nah, saya sudah mencoba menghilangkan pikiran yang membuat saya cemas namun sakit perutnya itu masih sering terjadi, bagaimana solusinya ya?
Kemudian saya juga sering lihat artikel yang membuat saya cemas. Tapi kalau saya tidak buka saya malah merasa ada rasa bersalah karena tidak peduli dengan situasi dan kebenaran yang ada. Bagaimana ya?
A: Nah kalau begini, berarti sumber cemasnya bisa jadi bukan pikirannya itu. Coba cari tahu lebih dalam lagi, apa sih makna dari hal/situasi yang menyebabkan cemas itu.
Contoh, cemas ketika mau ujian, udah coba tidak dipikirkan ujiannya, tapi deg-degannya masih, perasaan tidak nyamannya masih ada. Berarti cemasnya belum teratasi. Cemasnya karena apa? Bisa jadi karena takut gagal, kalau gagal nanti dianggap bodoh, kalau bodoh menjadi tidak berharga. Berarti cemas karena ujian mengancam rasa keberhargaan diri.
Coba cari tahu deeper meaning dari situasi/hal yang membuat cemas yaa. Untuk rasa bersalahnya, kalau begitu jangan langsung stop sama sekali tidak acuh dengan yang membuat cemas. Karena sebenarnya cemas kan juga baik untuk kita. Sebagai peringatan. Makanya jadi ada rasa bersalah karena jadi tidak aware.
Kurangi saja intensitas melihat artikelnya. Satu-dua artikel untuk dibaca kan gapapa. Tapi ingat, buat batasan hanya sampai 2 artikel saja. Karena lebih dari itu, efeknya akan membuat kecemasan berlebih. Semangat!
Q&A — 10
Q: Bagaimana menurut kak Dina dalam situasi seperti ini, jika di suatu kampung malah merahasiakan idntitas dari mereka yang sudah menjadi ODP dan yang positif COVID-19? Mohon sugesti positif juga untuk saya ya kak, karena besok harus bertugas ambil sample PDP.
A: Nah ini, ketidakpastian data, simpang siurnya berita, juga membuat kita pun menjadi resah ya. Kalau begini yang bisa dilakukan apa? Kendalikan perilaku untuk tetap di rumah saja sebisa mungkin. Untuk mencegah penularan dan menjaga diri sendiri juga. Ajak orang-orang di rumah untuk melakukan hal yang sama, karena kita tidak tahu siapa yang sudah terkena virus ini, dan siapa yang carrier.
Untuk terus semangat meskipun was-was selama melakukan tugas, ayooo sering-sering ngomong positif sama diri sendiri (di dalam hati aja)😊 Tiap kali berhasil mengambil sampel, katakan ke diri sendiri bahwa saya hebat, saya berani, saya berkontribusi untuk menyembuhkan negeri ini menghadapi penyakit. Setiap malam sebelum tidur, bisa juga tuliskan apa yang membuat kamu bangga seharian tadi selama bertugas, dan hal-hal baik apa saja yang kamu alami. Semangat yaa! Kamu keren banget udah berani untuk melakukan tugas ini.
Q&A —11
Q: Mamah saya sempat mengalami kecemasan ketika mendapat informasi tentang COVID-19 hingga ga bisa tidur selama 5 hari akibat kepikiran terus. Nah, bagaimana ya kak penanganannya?
A: Halo kak, Mamanya panik nih. Makanya sampai sulit tidur selama itu. Panik muncul karena rasa cemas yang bertumpuk, kehilangan kendali diri, sehingga merasa diri tidak berdaya untuk menghadapi situasi yang mengancam.
Jika mengalami serangan panik atau berhadapan dengan orang yang mengalami serangan panik, coba cara ini ya:
- duduk bersandar dengan menselonjorkan kaki,
- atur nafas (tarik nafas 4 ketuk, tahan 5 ketuk, buang 6 ketuk) dan
- ulangi selama 5–10 menit.
Selama mengatur nafas, bisa juga dilakukan sambil menepuk-nepuk bagian tubuh sesuai dengan ketukan tadi (atau kamu tepuk-tepuk mama). Ini juga bisa berfungsi untuk menenangkan diri.
Jika sudah lebih tenang, silakan minum air putih dan sampaikan apa yang membuat panik.
Q&A — 12
Q: Dalam situasi saat ini pro kontra di antara takmir masjid antara menutup atau membuka masjid sangat besar. Ada yang menyikapinya sebagai ikhtilaf yang harus saling menghormati. Tetapi sebagian berpikir ini tidak waktunya ikhtilaf. Harus kompak.
Bagaimana meyakinkan orang lain tanpa tersedot emosi kita secara negatif menghadapi mereka yang ngeyel tanpa ilmu. Karena yang pro kontra ini juga mereka yang paham agama tapi kadang kurang memahami realitas virus COVID-19.
A: Pak, saya yakin selama ini sudah banyak hal yang bapak lakukan untuk mencoba meyakinkan orang lain agar lebih patuh aturan untuk menjaga jarak. Tapi memang kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk berperilaku seperti kemauan kita.
Saran saya, daripada bapak banyak menghabiskan energi untuk berurusan dengan lingkungan yang tidak mau mendengarkan, lebih baik bapak melakukan edukasi ke orang-orang lain.
Sayang soalnya energi bapak dihabiskan ke beberapa orang itu, sementara masih ada orang lain di luar sana yang perlu mendapatkan edukasi lebih. Pengetahuan yang bapak punya bisa dipakai untuk menjelaskan ke orang lain yang lebih mau mendengarkan.
Kesal memang apalagi kalau ini ada di lingkungan kita, tapi memang lebih baik menghindari dulu situasi yang semakin memperburuk keadaan, dan balik fokus ke hal-hal yang lebih dapat bapak kendalikan.
Dengan begtu, energi bapak juga jadi lebih positif daripada terus menerus berhadapan dengan orang-orang yang ngeyel.
Semoga semua jawaban bisa membantu teman-teman semua untuk bisa lebih positif dan bertahan menghadapi situasi saat ini yaa.
Tips juga buat teman-teman semua supaya bisa lebih rileks, perbanyak meditasi dan tumbuhkan keyakinan dari dalam diri bahwa yang sudah dilakukan untuk menjaga kesehatan mampu melindungi diri dari ancaman virus Corona.
Lakukan hal-hal yang memang dianjurkan oleh WHO untuk mencegah terjangkitnya penyakit dengan rajin mencuci tangan, menggunakan masker, melakukan physical distancing dengan mengurangi aktivitas bersama orang lain, dll. Dengan berpikiran positif mengenai diri kita, yakin dengan kemampuan yang dimiliki, imun tubuh pun akan menjadi lebih terjaga 😊
Closing Statement dari Kak Dina
Tumbuhkan keyakinan dari dalam diri bahwa yang sudah dilakukan untuk menjaga kesehatan mampu melindungi diri dari ancaman virus Corona. Sering berbicara dengan diri sendiri selama situasi ini, tidak apa-apa kok (di dalam hati saja kalau malu) apalagi karena harus menjaga jarak dengan orang lain dan di rumah terus.
Mulai latihan untuk mengatur pola pikir agar menjadi lebih positif, fokus kepada diri sendiri terlebih dahulu, dan yakin dengan kemampuan yang dimiliki untuk melawan segala ancaman yang ada di luar sana. Dengan begini, imun tubuh pun akan menjadi lebih terjaga.
Jazakumullah khairan semua❤️
Untuk Kak Dina atas sharing ilmunya, jawaban dengan solusinya yang mencerahkan dan bikin tenang, serta kesediaan mendengarkan curhat kami.
Dan juga buat teman-teman yang sudah bergabung di sini, semoga mendapatkan manfaatnya, semoga kita semua bisa melaluinya yaa dengan tetap berpikir positif, bener kata kak Dina kita harus yakin dengan kemampuan yang dimiliki untuk melawan segala ancaman yang ada di luar sana.
Semoga Allah kuatkan kita, semoga kita semua lulus ujian-Nya🤲. Aamiin yaa Rabb.
Note: Resume ini boleh dibagikan ke keluarga dan teman-teman yang lain, semoga semakin banyak yang teredukasi dan mengambil manfaat dari kulwap ini. Insya Allah.