Sincerity Part 7


Ash-Shomad adalah Yang Bebas Melakukan Apapun Yang Dia Inginkan.
Dia berhak memutuskan apapun yang Dia Inginkan.
Bukan apa yang kita inginkan.
Bukan apa yang saya inginkan.
Bukan apa yang Anda inginkan.
Dia tidak berhutang penjelasan, mengapa Dia memutuskan itu.
Dan tidak ada satupun yang bisa membatalkan keputusan-Nya.
Tidak ada appeal.
Tidak ada permohonan banding.
Keputusan-Nya adalah keputusan-Nya.
Keputusan-Nya adalah final. 

Banyak orang yang berada di situasi yang sulit.
Yang bisa disederhanakan menjadi dua kategori.
Situasi yang skenarionya berasal dari manusia, dan situasi yang skenarionya berasal dari Allah.

Contoh: Anda sedang nyetir. Remnya blong. Nabrak pohon. Padahal mobilnya selalu diservis berkala. Di bengkel resmi. Skenarionya bukan berasal dari manusia. Allah sudah titahkan, Allah sudah tetapkan, itu akan terjadi. 

Atau suatu ketika tidak ada angin tidak ada hujan Anda terdiagnosis suatu penyakit.
Atau seseorang tersambar petir.
Atau seseorang digigit ular. Padahal orang itu, semut aja dia ga pernah ganggu, apalagi ular. Dan dia selalu menghindar kalo ada ular.
Semua itu di luar kendali kita.

Tapi ketika ada campur tangan manusia.
Ketika manusia melakukan kesalahan.
Ketika manusia berbuat jahat kepadamu.
Lalu kita pasrah begitu saja?
Lalu kita berharap Allah memperbaiki situasinya untuk kita?
Tanpa kita bergerak dan berbuat sesuatu?

Itu bukanlah yang diajarkan oleh agama kita.

Kita boleh pasrah, kalo skenarionya berasal dari Allah.
Karena kita tidak punya kendali atasnya.
Jika banjir bandang datang melanda, kita ga bisa ngapa-ngapain.
Kita pasrah. We let it go.
Itu dalam genggaman Allah.
Jika sekarang terjadi gempa bumi, ga ada yang bisa kita lakukan.
Itu dalam genggaman Allah.
Allah sudah putuskan, ga akan bisa kita ubah.
Ga ada yang bisa mengubahnya.

Tapi jika seseorang akan melakukan kejahatan.
Maka ga bisa kita bilang, Allah menghendaki itu akan terjadi. 
Kalo bisa kita cegah, kita berusaha mencegahnya.
Kalo sudah terjadi dan merugikan kita, ga bisa kita pasrah begitu saja.
Kita bisa menuntut keadilan.
Jangan menyerahkan (relegate) masalah itu kepada Allah.
Harus kita sendiri yang tangani.
Tentu saja dengan bekerjasama atau meminta bantuan pihak-pihak terkait.

Mungkin, bisa saja hal yang agak lucu terjadi. Para penjahat itu justru bilang, “Itu sudah kehendak Allah.” Para penjahat itu mungkin sudah sedikit belajar agama, untuk memanipulasi penganut agama.

Jangan sampai kita menginternalisasikan kata-kata penjahat itu.

Allah adalah Satu-Satunya.

Saat Dia membuat keputusan, tidak ada satupun yang bisa mengubahnya.

Dia bisa mengendalikan siapa saja yang Dia mau.
Kita tidak bisa mengendalikan siapa-siapa.
Kita tidak punya kendali atas siapa saja yang mencintai kita.
Kita tidak punya kendali atas siapa saja yang benci sama kita.
Kita tidak punya kendali atas siapa saja yang hormat sama kita.
Kita tidak punya kendali atas siapa saja yang baik hati sama kita.
Kita tidak punya kendali atas siapa saja yang jahat dan kasar sama kita.
Yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri.

Itu pun jika Allah mengizinkan hal itu terjadi.

Yang di luar diri kita, kita pasrah, we let go.

Kita berhenti mencoba untuk mengendalikan.
Kita berhenti mencoba untuk memanipulasi.
Kita berhenti mencoba untuk mengubah hasilnya.

Tapi memang ada orang-orang yang suka ‘main catur’.
Menggerakkan pion kemanapun dia mau.
Memindah kuda atau gajah ke petak yang dia inginkan.
Dia memperlakukan manusia seperti buah catur.

“Bagaimana caranya supaya orang ini mau melakukan apa yang aku ingin dia lakukan.”
Sesungguhnya, kita tidak punya kendali atas hal itu.
Allah lah yang Ash-Shomad.
Allah lah Maha Pemegang Kendali.

And your needs will not be met if they behave the way you want them to behave.

Or they say what you want them to say.

Or they do what you want them to do.

Your needs will only be met by Ash-Shomad.

Apa poinnya?

Ini mengajarkan kita untuk let go, untuk melepaskan ketergantungan kita kepada manusia.

Menginternalisasikan ‘AllahuSh-shomad’ membantu kita untuk sadar bahwa sesungguhnya kita tidak butuh lagi sama manusia.

Di banyak budaya, ada harga diri yang sangat-sangat rendah (very serious low self-esteem) dan masalah ketergantungan atau semacamnya (dependency kind of problem)

Yang dimaksud di sini bukan ketergantungan obat, tapi ketergantungan kepada manusia. 

Ketergantungan kepada manusia yang keterlaluan.

“Don’t do this. If you do this, I will die.”

“Don’t go to College. If you go to College, your father will kill himself.”

“If you go to that College, your father will have a heart-attack. Do you want your father to have a heart-attack?”

“If I go to engineering school, my Dad will die. Because if you don’t become a doctor then you’re ready for Jahannam.”

Ada semacam manipulasi. Salah kendali. Yang seharusnya dilepaskan. Let go off.

Punya anak laki-laki usia 25 atau 26. Mau menikah. Tapi ayahnya ga membolehkan. Dan ayahnya makin ketat mengawasi pergerakan anaknya itu. Kata ayahnya, itu dilakukan supaya anaknya bahagia. Kata anaknya, mana mungkin bahagia diawasi super-ketat seperti ini.

“I want you to be happy, in the way that I want you to be happy.” 🙈🙂

Falsafah orang tua yang salah kaprah. 🙈🙂

“I don’t really care what makes you happy. I’m gonna teach you that you’re gonna be happy the way that makes me happy and you better pretend this makes you happy while you do it.”

“Don’t you wanna go to Jannah? Or you wanna kill your mother?”

“Kenapa kamu ga dorong aku dari balkon sekarang juga?”

Ini adalah sebuah penyiksaan psikologis (psychological torture). Yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Bisa juga anaknya yang melakukan, dan orangtuanya yang tersiksa. Atau bisa juga terjadi antara suami-istri.

Penyiksaan psikologis ini terjadi ketika kebahagiaan seseorang begitu tergantung pada orang lain. 

Saya pernah mengenal dua orang ayah yang berbeda. Bukan ayah saya, tapi dua ayah dari dua teman saya.

Yang satu stres karena ada satu anaknya yang ga jadi insinyur atau dokter.

Yang satu tetap happy, sadar bahwa ada satu anaknya yang ga betah 30 detik pun di meja belajar, dan let go ketika anaknya itu menekuni profesi yang tidak membutuhkan ketekunan belajar di bangku kuliah.

Anak laki-laki kita. Anak perempuan kita. Mereka semua itu ciptaan Allah. Ada bakat yang Allah berikan kepada kita. Yang belum tentu diberikan kepada anak-anak kita. Terlalu mudah bagi Allah untuk mencabut bakat bawaan itu. Dalam sepersekian detik. Memindahkan bakat bawaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Terlalu mudah bagi-Nya.

Ketergantungan seperti ini adalah sebuah penyakit. Penyakit yang sangat berbahaya. Karena mengakibatkan penyiksaan psikologis kepada orang, biasanya kerabat dekat, yang menjadi tempat dia bergantung. Penyakit ini ada hubungannya dengan Qulhu. Kenapa? Karena penderita penyakit ini belum menginternalisasikan qulhuwAllaahu Ahad, AllaahuShshomad. Mungkin sang penderita sudah sering membaca Qulhu, tapi dia cuma komat-kamit. Dia tidak paham. Dia tidak bisa merasakannya. 

Kalo kita berhasil merasakannya, maka kita akan bicara seperti Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Beliau bilang ke putrinya: “Yaa Fatimah, putrinya Muhammad, kamu sebaiknya, dirimu sendiri, bertakwa kepada Allah, karena aku tidak punya kendali atas apa yang akan Allah lakukan terhadap dirimu. Kamu harus mengawasi dirimu sendiri.”

Blak-blakan. Rasulullah bicara tanpa tedeng aling-aling. Rasulullah bicara apa adanya.

Kalo Rasulullah wafat, yang diharapkan adalah maa ta’buduuna min ba’dii. Siapa yang disembah Fatimah setelah Rasulullah wafat.

Musa ‘alayhis salam lari dari Mesir. Akhirnya berada di gurun. Dan menikah. Apakah Musa kirim email ke ibundanya? 🙂🙂

Jika Anda adalah ibunda Musa 🙂 Musa tidak akan mencemaskan Fir’aun secemas Anda 🙂 saat Musa kembali ke Mesir 🙂.
Ini beneran ya, coba Anda bayangkan diri Anda berperan sebagai ibunda Musa, yang super panik dan cemas, saat Musa mau ketemu lagi dengan Fir’aun 🙂🙂.

Ada hal yang kita sungguh-sungguh berusaha keras untuk mengendalikannya. Padahal kita tidak bisa mengendalikannya. Padahal itu sebenarnya bukanlah masalah. Padahal itu sebenarnya tidak boleh terlalu mencengkeram pikiran kita.

Anak-anak kita akan menjadi dewasa. Dan saat mereka nanti dewasa, kita hanya bisa menasihati. Selebihnya, fashabrun jamiil. Seperti Ya’qub ‘alayhis salam. Wallahul musta’an. Hanya Allah lah tempat meminta pertolongan. 

Kita tidak lagi bisa mengendalikan. Kita tidak diciptakan untuk mengendalikan. Itu ga bisa terjadi. Itu tidak akan terjadi. Kita ga ada apa-apanya dibandingkan Nabi Nuh. Tapi beliau pun tidak bisa mengendalikan Kan’an. Putra beliau sendiri. 

Orang-orang terbaik yang pernah hidup, Nuh ‘alayhis salam, tidak bisa mengendalikan putranya. Ya’qub ‘alayhis salam tidak bisa mengendalikan putra-putranya. Pernahkah kita memikirkannya? 

Ada orang-orang yang jauh lebih hebat dari kita. Ayah yang lebih hebat. Ibu yang lebih hebat. Yang anak-anaknya lepas kendali. Anak-anak yang lepas kendali itu bukanlah sebuah hukuman. Itu adalah ujian.

Anak-anak kita kadang memberontak. Bahkan ada yang keluar dari Islam. Ada yang kena narkoba. Di rumah sendiri. Di depan ibundanya sendiri. Apa yang bisa dilakukan?

Situasi seperti itu memang terjadi. Beneran terjadi. Kabar baiknya, surah Al-Ikhlas hadir dan menjadi nyata. Orang tua yang anaknya bermasalah itu, orang tua yang sedang diuji itu, apa yang mereka butuhkan akan dipenuhi oleh Allah. 
AllahuShshomad.

(bersambung)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s