Kata ahad tidak pernah muncul dengan sendirinya di kalimat positif. Kecuali dalam qul huwallaahu ahad.
He is unique even in the way He describes His uniqueness.
He is One like no other, even in the way He uses the word One. Like no other.
Dalam bahasa Arab, kata yang paling dekat dengan kata ‘ahad’ adalah ‘wahd’. Ga pake ‘i’. Masih ingat Gus Dur kan? KH Abdurrahman Wahid? Seperti kata ‘wahid’, tapi huruf ‘h’-nya ga pake kasrah. Huruf ‘h’-nya pake sukun. Wahd.
Kata wahd digunakan untuk seseorang, yang kita tidak tahu asalnya dari mana. Keluarga siapa, suku apa, kita tidak tahu. Tidak terkoneksi dengan siapa-siapa. Hanya dia. Sendirian. Datangnya dari mana, juga unknown. “Siapa sih, orang ini?” Ga jelas asal muasalnya.
Allah tidak menggunakan kata wahd karena kata ini sudah digunakan untuk manusia. Tidak pernah, dalam bahasa Arab, kita menyebut seseorang dengan sebutan ahad. Demikian juga satu dolar atau satu dirham, sebutannya bukan ahad. Tapi: wahd.
Rajul, wahd.
Dirham, wahd.
Karena wahd sudah digunakan untuk selain Allah, dan ahad tidak pernah digunakan sama sekali kecuali dalam kalimat negatif, maka Allah adalah satu-satunya yang menggunakan ‘Ahad’ dalam kalimat positif. Subhanallah.
This is oneness that we cannot compare to any other oneness.
Even His uniqueness is unique.
Qulhu itu canggih luar biasa. Apapun yang kita pikirkan tentang Allah. Apapun yang kita pelajari tentang Allah. Kita harus lebih dulu memahami bahwa semua itu berada dalam bayang-bayang satu kata: ahad.
Maksudnya gimana?
Pake contoh aja ya, biar enak. Saya, maksudnya aku, seorang manusia, aku mendengar. Aku melihat. Aku berpengetahuan. I am Samii’. I am Bashiir. I am ‘Aliim.
Apakah Samii’, Bashiir, ‘Aaliim, apakah ketiganya juga nama-nama Allah?
Salah satu nama Allah adalah Rahiim.
Salah satu nama Allah adalah Ra-uuf.
Kedua nama ini juga digunakan untuk melukiskan Rasulullah.
Allah bilang, bil mu’miniina ra-uufurrahiim. (At-Tawbah 9:128)
Rasulullah adalah penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.
Di surah Al-Infithar 82:6 disebutkan maa ghorroka birobbikal kariim. Apa yang memperdaya manusia alias berbuat durhaka terhadap Tuhan Yang Maha Mulia.
Sementara itu wa jaa-ahum rasuulun kariim kita dapati juga di surah Ad-Dukhan 44:17.
Ada kariim untuk Allah, ada juga kariim untuk Musa ‘alayhis salam.
Ada rahiim untuk Allah, ada juga rahiim untuk Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Ada ra-uuf untuk Allah, ada juga ra-uuf untuk Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Memahaminya bagaimana ini?
Kembali ke pernyataan tadi: semua itu berada dalam bayang-bayang satu kata: ahad.
Allah mendengar. Tidak seperti mendengarnya siapapun yang lain.
Di Indonesia, kita sudah terbiasa membedakan ini. Di Indonesia kita sudah biasa menggunakan kata ‘Maha’. Sampai-sampai, di KBBI, diatur lebih rinci cara penggunaannya dalam bahasan ‘kata berimbuhan’. Kalo diikuti kata turunan, nulisnya dipisah. Seperti Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Kalo diikuti kata dasar, nulisnya digabung. Seperti Mahakuasa. Tapi ada perkecualiannya. Maha Esa tetap dipisah nulisnya.
Allah melihat. Tidak seperti melihatnya siapapun yang lain. Tidak bisa dibandingkan. Tidak ada duanya. Ahad.
Allah marah. Tidak seperti marahnya siapapun yang lain. Tidak bisa dibandingkan. Juga, tidak bisa diartikan, marahnya Allah lebih ‘parah’ dibandingkan siapapun yang pernah marah. Saya pernah marah. Ayah saya pernah marah. Anak-anak saya pernah marah. Bos kita di kantor pernah marah. Masih banyak manusia yang lainnya lagi yang belum disebut, yang pernah marah. Tapi jangan merancukan kemarahan manusia dengan kemarahan Allah.
Kadang-kadang emak-emak susah mengendalikan emosinya. Sehingga kata-kata yang terlontar menjadi tak terkendali juga. “Makan, Nak! Kalo kamu ga mau makan, Allah akan sangat marah sama kamu!” Ini merancukan kemarahan pribadi dengan kemarahan Allah. Dan kalo terlalu sering begini, ada dua hal sekaligus yang rancu. Pertama, hubungan antara manusia dengan manusia. Kedua, hubungan antara manusia dengan Allah.
Saat aku bikin kecewa orang tuaku, bikin kecewa anak-anakku, bikin kecewa kakakku, bikin kecewa temanku, mereka ga mau ngomong lagi sama aku. Kalo orang tuaku bilang aku bikin kecewa Allah, aku berpikir bahwa mekanismenya akan sama. Bahwa Allah berhenti peduli sama aku. Kan yang lain-lain polanya juga begitu.
Kita telah melepaskan bayang-bayang satu kata itu. Ahad.
Kita bikin kecewa siapapun, mereka mungkin ga peduli lagi sama kita.
Kita bikin kecewa Allah, apakah Allah ga peduli lagi sama kita?
T – i – d – a – k.
Allah siap menunggu. Menunggu kita untuk kembali kepada-Nya.
Mungkin aku berjarak miliaran kilometer dari Allah. Tapi aku mengambil satu langkah mendekati-Nya.
Bandingkan dengan yang lainnya. Mungkin aku mengambil 7,000 langkah untuk menjauhi saudara kandungku. Saking seringnya berantem. Aku ga pernah ngomong lagi sama dia. Dan sudah tujuh tahun seperti itu. Sama-sama saling membenci. Saling blokir nomor hape juga.
Dan sekarang, aku memutuskan untuk mengambil satu langkah kecil. Untuk mendekatinya. Mendekati saudara kandungku itu.
Apa yang aku harapkan? Apakah aku membayangkan, dia berlari gembira dengan kedua tangan terbuka?
Kayanya engga. Apalagi kalo tujuh tahun yang lalu itu aku yang salah. Aku yang mulai bikin keributan.
Saudara kandungku itu. Reaksi dia kira-kira gimana ya? Yang kebayang:
“Apaan nih??!!”
“Kamu pikir aku bisa lupain begitu aja??!!”
“Kamu masih ingat kan? Kamu bilang apa waktu itu??!!”
“Aku menolak lupa!! Aku masih ingat apa yang pernah kamu lakukan!!”
Orang-orang yang kita kecewakan, biasanya akan seperti itu. They can’t let go. They hold on.
Sayangnya, kita kembali melakukan kerancuan. Mungkin saking seringnya kita didiemin. Mungkin saking seringnya kita dicuekin. Mungkin saking seringnya kita dimarahin. Mungkin saking seringnya orang frustrasi sama kita. Lalu kita berasumsi Allah juga begitu. “Allah sudah cuekin aku. Mana mungkin aku mendekati Allah. Mana mungkin Allah dengerin aku.” So sad.
Apa poinnya?
Kalo kita memahami Ahad, maka segala bentuk hubungan kita dengan Allah adalah bersih dari persepsi, bersih dari pikiran, bersih dari asumsi, tentang segala bentuk hubungan kita dengan manusia yang lainnya.
Forgiveness, anger, mercy, love, care, justice, all of it, has changed. Because you believe in Allah is Ahad.
Ga pernah capek untuk bilang ini. Karena pesan agama adalah pesan tentang harapan. Bikin kita optimis. Saat ada orang yang berpikir bahwa Allah telah mengutuknya, bahwa Allah telah menghukumnya, bahwa Allah telah melupakannya, bahwa Allah marah sama dia. Saat ada orang yang berpikir kenapa musibah dan kemalangan datang silih berganti, dan kenapa yang kena aku lagi dan aku lagi.
Satu hal yang menarik untuk dicermati: segala kesakitan dan duka nestapa itu mungkin ga ada apa-apanya sama sekali dibandingkan dengan kembalinya orang itu ke Allah, dibandingkan dengan satu senti langkah kaki yang mendekat kepada-Nya.
Mungkin kesakitannya harusnya jauh lebih parah dari itu. Mungkin duka nestapanya harusnya ditanggung lebih lama. Tapi Allah ringankan. Sambil menunggu kita kembali ke jalan-Nya. Sungguh, itu adalah harta yang teramat berharga (treasure) buat kita. Bukan buat Allah. Jauh lebih bernilai buat kita dibanding harta-harta yang lain. Sebagaimana yang ditegaskan di Asy-Syu’ara 26:88. Tentang harta dan anak-anak yang tidak ada gunanya, illaa man atallaaha biqalbin saliim. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengah hati yang bersih (QS Asy-Syu’ara 26:89).
Orang-orang mungkin berhutang padamu. Mereka mengucapkan, “Thank you.” Dan ketika sekian ppm larutan arogansi mengalir dalam darahmu, mungkin kamu menjawab, “Yeah, I know.” Atau dengan kata lain, “Iya, emang. Aku memang pantas mendapatkan ucapan terima kasih kalian karena jasa-jasaku.”
Tapi kan memang nature manusia begitu. Kita membantu orang, setidaknya kita berharap orang itu bilang terimakasih.
Pada dasarnya, semua hubungan yang ada di dunia ini, mengandung harapan-harapan. Bahkan ketika kita berbuat baik pun, kita punya harapan. Contohnya: harapan bahwa orang yang kita bantu mengucapkan terimakasih. Kadang sampai ada orang yang menyisakan ruang di memorinya untuk mengingat-ingat yang seperti ini: “Dia berhutang terimakasih kepadaku.”
Allah tidak pernah dan selamanya tidak akan pernah berhutang apapun. Kepadaku maupun kepadamu. Sama sekali tidak.
Pernah denger pertanyaan ini, “Kenapa aku dilahirkan?”
Allah juga tidak berhutang penjelasan untuk pertanyaan tadi.
Jangan pernah berpikir tentang Allah seperti Allah berhutang sesuatu pada kita.
Karena segala sesuatu yang Allah berikan adalah hadiah.
Yang juga menarik adalah: ayat pertama surah Al-Ikhlas sebenarnya terdiri dari dua kalimat. Qul huwallaahu ahadun itu dua kalimat.
Loh, bukannya satu kalimat?
(bersambung)