Sincerity Part 4


Kata ‘cinta’ dalam Bahasa Arab punya 10 tahapan (stages). Ada beberapa versi juga yang menyebutkan 11 bahkan sampai 14.

Kata ilaah adalah tahapan ke-9 dari 10 tahapan cinta. Tahapan yang ke-10 adalah tahapan dimana cinta membunuhmu. Tahapan yang self-annihilating alias memusnahkan diri sendiri. 

Di tahapan yang disebut walah, cinta membuat sakit tak lagi terasa. 

Cinta yang mengimbangi apapun yang tak dimiliki. Itulah walaah. Dari kata ini, kita mendapatkan kata ilaah. Maknanya? Tidak ada cinta yang lebih memuaskan daripada cinta kepada Allah. 

Salah satu implikasinya adalah kalimat laa-illaaha-illallaah

Ada juga yang berpendapat bahwa ilaah berasal dari laaha yaluuhu. Artinya, sesuatu yang sangat tinggi. Tidak ada lagi yang lebih tinggi. Hanya Allah yang paling tinggi. Juga bermakna, tersembunyi. Jauh dari pandangan mata secara fisik. Tidak ada yang lebih tinggi, lebih agung, lebih mulia, lebih tersembunyi. Kecuali Allah. 

Itu tadi makna kata ilaah. Sekarang kita kembali ke qul huwallaahu ahad. 

Kata qul punya setidaknya dua implikasi. Pertama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam harus membacakannya. Kedua, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam harus mendeklarasikannya. 

Masih perlu ya? Bukannya orang-orang musyrik sudah mengklaim bahwa mereka percaya saya Allah? Wa la-in sa-altahum man kholaqossamaawaati wal ardho wa sakhkhorosysyamsa wal qomaro layaquulunnallaah (QS Al-’Ankabuut 29:61). Orang-orang musyrik itu jika ditanya, siapa yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan, pasti mereka menjawab, “Allah.”

Tapi lantas ada yang bertanya. Kasih tahu dong nisbahnya. Ada ga sih, keluarganya? Jangan ga jelas gitu dong. Kasih penjelasan dong. Gambarannya seperti apa biar kita ga bertanya-tanya. 

Merespon itu semua, turunlah surah ini. Salah satu alasan kenapa kata qul ada di situ adalah untuk merespon pertanyaan-pertanyaan tadi. 

Dari sudut pandang yang lebih luas, dan juga lebih bijaksana, kata qul juga sesuatu banget. Meski sudah banyak yang yakin sama Allah, bahkan dengan keyakinan yang teramat dalam, surah ini mengajarkan bahwa mereka dan juga kita, tetap perlu menyatakannya. Pernyataan keyakinan tentang Allah. Tidak sekedar menyimpannya sebagai sesuatu yang bersifat pribadi, di dalam hati. Tapi mengucapkannya, dengan kata-kata. Mengatakannya, supaya juga didengar oleh manusia-manusia yang lainnya. 

Ini menjadi sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Beliau diinstruksikan untuk mengucapkannya. Dan sekarang, kita, pengikut beliau, diinstruksikan untuk juga mengucapkannya di hadapan manusia. 

Ada bedanya ga, qul di surah Al-Ikhlas ini, dengan qul di surah Al-Kafirun?

Ada, dong. Di surah Al-Kafirun, sudah ada target audience-nya: Al-Kafirun. Tidak bisa kita melihat kerumunan orang, entah di pasar atau di masjid, lalu kita mendekati mereka, mengucapkan salam, basa-basi sebentar lalu bilang ‘yaa ayyuhal kaafiruun.’ Ga bisa seperti itu. Mereka yang berkumpul di serambi masjid bukan target audience yang tepat. Mereka bukan al-kafirun.

Nah, di surah Al-Ikhlas, target audience-nya tidak disebutkan. Jadi kita bisa share, kita bisa mengatakan ‘huwallaahu ahad’ tanpa batas demografis. Bisa kepada siapa saja. Mengucapkan ‘huwallaahu ahad’ itu bisa di depan siapa saja.

Kita tinggal ngomong aja. Kalo pun sepertinya ga ada yang dengerin, para malaikat pasti dengerin. Dan tentu saja, Allah. Yang Maha Mendengarkan. Dan kata-kata ‘huwallaahu ahad’ pasti disukai oleh Allah dan para malaikat-Nya.

Ada sahabat yang baca Qulhu. Sepertinya tidak ada yang dengerin. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam pas lewat. Rasulullah mendengarkan bacaannya, dan bilang, “Surga dijamin untukmu.” Sahabat ini tidak tahu kalo Rasulullah bakalan lewat. Sahabat ini juga tidak punya gadget atau teknologi yang bisa mendeteksi lokasi Rasulullah. Biar baca Qulhu-nya kalo ntar sudah dekat sama Rasulullah saja. Sahabat ini jauh dari trik-trik pencitraan seperti itu. Yang dibaca, surah Al-Ikhlas. Membacanya juga harus ikhlas. Sehingga Rasulullah pun ikhlas mengabarkan bahwa Allah ridha surga untuknya.

Membaca surah Al-Ikhlas itu manfaatnya luar biasa. Kekuatannya luar biasa. Apalagi juga, menggali pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya. Apalagi juga, menjelajah ayat demi ayat sampai menemukan mutiaranya. Apalagi juga, berbagi pelajaran dan mutiara tadi kepada sesama.

Kata pertama Al-Ikhlas setelah qul adalah huwa. Dia adalah Allah. Bayangkan jika kata huwa tidak ada di situ. Sehingga bukan qul huwallaahu ahad. Tapi qulillaahu ahad. Atau, qul Allaahu ahad. “Katakanlah, Allah itu Satu.” Masuk akal? Ya, masuk akal. Tapi ayat-Nya bukan begitu. Ayat-Nya bilang qul huwallaahu ahad. “Katakanlah, Dia adalah Allah, Allah Yang Satu.”

Kenapa harus ada huwa di situ? Kenapa harus ada kata “Dia” di situ? 

Kata “Dia” termasuk pronoun. Kata ganti. Contohnya, dalam bahasa Inggris: he, she, they, dan it. Kata ganti digunakan belakangan. Setelah ada nama, atau sesuatu yang lebih jelas, yang lebih dulu disebut. Jadi normalnya, sebuah kalimat, atau sebuah cerita, tidak diawali dengan kata ganti. “Dahulu kala, dia lapar.” Aneh. Siapa itu dia? Akan lebih tepat begini, “Dahulu kala, ada seorang anak laki-laki yang lapar.” Setelah itu baru, “Dia berjalan keliling kota untuk mendapatkan sedikit makanan.” Nah, ini baru mantul. Kata “dia” sebagai kata ganti atau pronoun muncul belakangan. 

Tapi surah Al-Ikhlas ini unik. Tahu-tahu muncul huwa. Dia. Di ayat pertama. Sebagai kata pertama, setelah qul. Jadi belum ada penjelasan tentang siapa itu “Dia”, di kata atau ayat sebelumnya. 

Berawal dengan huwa. Ini, secara tata bahasa,‘bermasalah’. Karena pronoun itu merujuk kepada sesuatu yang disebutkan sebelumnya. Letak keindahannya adalah: kata ganti “Dia” merujuk pada sesuatu yang sudah ada dalam alam pikiran dan di hati manusia. Siapa “Dia” itu sebenarnya, nama itu sudah ada, sudah terpatri di dalam dirimu. Letak keindahannya adalah: kita sudah tahu siapa “Dia”. Ayat ini dahsyat luar biasa. 

Qul huwallaah. “Katakan, Dia adalah Allah.” Sampai di sini, tidak ada penjelasan lanjutannya. Sampai di sini, kalimat tadi sudah merupakan sebuah kalimat yang utuh. Kalimat ini adalah kalimat yang lebih dahsyat dari apa yang orang-orang Quraisy katakan tentang berhala-berhala mereka.

Orang-orang Quraisy itu, ada yang bicara tentang anak-anak perempuan Allah. Ada yang bilang bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Mereka sudah menggunakan kata “Allah.” Begitu juga dengan Bible. Yang sejak jaman sebelum Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, sudah menggunakan kata “Allah” untuk Tuhan mereka. Jadi bukan cuma muslim yang menggunakannya. Orang-orang Kristen juga menggunakannya. Orang-orang Kristen Arab di Najran, juga menggunakan kata “Allah” untuk Tuhan mereka. Musyrikun juga menggunakan kata “Allah” untuk Tuhan mereka. 

Tapi sekarang surah Al-Ikhlas menegaskan, “Dia adalah Allah.” Dengan kata lain, surah Al-Ikhlas bilang, “Terserah mereka mau panggil nama dengan sebutan ‘Allah’, tapi mereka tidak punya gambaran yang tepat tentang yang mereka sebut ‘Allah’ itu.” 

They have misidentified Him. 

They have mischaracterized Him. 

He is, in fact, Allah. 

And the first thing you need to know about Him is that, He is Ahad.

Qul huwallaahu ahad.

Dalam bahasa Arab, jika yang kita maksud adalah ‘satu’, maka kita bilang wahid, bukan ahad. Kata ahad digunakan dalam kalimat negatif. Contoh: “Tidak ada orang di masjid itu.” Nobody is in the masjid. Bahasa Arabnya: Laysa ahad fil masjid. Bukan laysa wahid fil masjid. Tidak ada satu orang pun yang ada di masjid itu. 

Kalo: Laysa wahid fil masjid. Atau laysa wahidun fil masjid. Apa artinya? Yang ada di masjid itu bukan satu orang. Bisa empat, bisa lima, bisa sepuluh. 

Jadi, ahad digunakan untuk menyatakan nobody. 

Qul huwallaahu ahad itu kalimat positif. Beda dengan ayat terakhir: wa lam yakun lahu kufuwan ahad. Kalo di ayat terakhir, ahad digunakan untuk ‘selain Allah’. Di ayat terakhir, kalimatnya negatif. Lam yakun ahadun kufuwan lahu. Itu susunan kalimat bukan versi Al-Qur’an, tapi versi bahasa Arab normal, versi untuk memudahkan pembelajar bahasa Arab memahaminya. Tidak ada ahadun (satu pun selain Allah) yang se-’kufu’ atau setara atau equivalent dengan Dia (= Allah). 

Menarik. Penggunaan kata ahad di Qulhu ini ‘melanggar’ semua contoh penggunaan kata ahad dalam bahasa Arab. Dalam kalimat positif, kata ahad adalah idhoofah bersama kata yang lain. Contoh: ahada ‘asyara kawkaban dalam surah Yusuf 12:4. Atau aw jaa-a ahadun minkum dalam surah An-Nisa’ 4:43, juga dalam surah Al-Ma’idah 5:6. 

Kata ahad tidak pernah muncul sendirian, dalam kalimat positif. Kecuali dalam Qulhu.

(bersambung)


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s