Jika kita berangkat umroh demi jalan-jalan mengisi liburan, berarti umroh itu adalah untuk diri kita sendiri. Bukan untuk Allah.
Padahal Allah sudah membantu kita supaya lebih fokus ibadah.
Dari mana kita tahu?
Dari lokasi Ka’bah.
Lokasi Ka’bah itu luar biasa.
Allah menempatkan Ka’bah di suatu tempat yang membantu kita supaya kita bisa tulus.
Ka’bah tidak berada di kawasan pariwisata, dengan gunung atau pantai yang indah.
Cuaca di lokasi Ka’bah boleh dibilang yang terburuk di planet ini.
Iklimnya paling tidak ramah.
Orang-orangnya pun tidak ramah. 🙈🙈☺☺🙏🏻🙏🏻
Jadi kita ke sana memang bukan untuk wisata.
Kita ke sana adalah untuk Allah. Hanya untuk Allah.
Ke sana itu berarti ya, ‘ke sana’.
Maksudnya, kita sholat ya di dekat Ka’bah.
Bukan di dalam mal.
Bukan di dalam hotel.
Tapi kita sholat benar-benar di dalam Masjidil Haram.
Saat umroh, ada acara berdesak-desakannya.
Mendekati hajar aswad atau tidak, kita tetap berdesak-desakan.
Itu adalah bagian dari ketulusan melaksanakan umroh.
Kembali ke lima komponen ibadah.
Pertama, kepatuhan (obedience).
Kedua, cinta (love).
Ketiga, kebergantungan (reliance).
Keempat, ketulusan (sincerity), barusan selesai kita bahas.
Selanjutnya adalah ketentuan (terms).
Saya, kita semua adalah hamba-Nya.
Kita adalah ‘abdullah, hamba Allah.
Apa arti dari hamba Allah?
Apa definisi dari hamba Allah?
Syarat dan ketentuan apa yang berlaku untuk seseorang yang disebut ‘hamba Allah’?
Saya, kita, tidak punya wewenang untuk menentukan arti ‘hamba Allah’.
Allah lah yang menentukan.
Seperti saat Anda diterima bekerja.
Bukan Anda yang menentukan job description-nya.
Perusahaan yang menentukannya.
Bos Anda yang menentukannya.
Seperti juga saat Anda di sekolah.
Anda tidak menentukan apa persyaratannya untuk lulus ujian.
Guru Anda yang menentukannya.
Demikian juga saat Anda memasuki hubungan dengan Allah.
Bukan Anda yang menentukan apa persyaratannya untuk menjadi hamba Allah.
Allah lah yang menentukannya.
Dan persyaratan itu sudah ada.
Kita tinggal mempelajarinya.
Kita tinggal mengikutinya.
Dan tidak ada negosiasi.
“Ya Allah, yang ini aku oke. Ashiaaap.”
“Kalo yang itu, ya Allah, emmm, maaf, aku skip aja yach.”
Ga bisa gitu.
“Aku tuh orangnya religius. Spiritualitas bersemayam di hatiku. Sholat lima waktu? Kecil itu mah. Aku siap melakukannya. Bahkan kalo perlu 50 kali sehari. Pake isyarat kelopak mata aja tapi.”
Ga bisa gitu.
Sholat itu caranya bagaimana, bukan kita yang nentuin.
Bukan kita yang bikin terms.
“Syarat dan ketentuan berlaku”.
Bukan kita yang nentuin.
Allah yang bikin.
Kalo kita tidak mau menerima terms yang Allah bikin, berarti kita bukan ‘abdullah.
Berarti kita bukan hamba Allah.
Hamba Allah itu ga pake nego.
Mitra bisnis melakukan nego.
Teman kantor melakukan nego.
Teman sekolah melakukan nego.
Kita mungkin ‘berteman’ dengan Allah.
Tapi itu bukanlah hubungan utama.
Itu bukan primary relationship.
Hubungan yang utama antara kita dan Allah adalah, iyyaa ka na’budu.
Kita adalah hamba Allah.
Artinya, tidak ada nego.
Allah kasih terms.
Kita terima terms itu apa adanya.
Selesai.
Konsep penghambaan ini begitu kental, mulai ayat kedua.
Laa a’budu maa ta’buduun.
Saya tidak menyerahkan diri saya, untuk memasuki hubungan penghambaan diri saya kepada siapapun juga, sebagaimana kamu (hai orang-orang kafir) telah memasuki hubungan penghambaan dirimu dengan sesuatu.
Wa laa antum ‘aabiduuna maa a’bud.
Dan kamu (hai orang-orang kafir), jelas-jelas tidak akan menghambakan dirimu kepada siapa aku menghambakan diri.
Dalam bahasa Arab, ketika kita menggunakan kata kerja, maka anggapan yang berlaku adalah bahwa kata kerja itu bersifat temporer. Lebih lemah dibandingkan kata benda.
Huwa ya’budu tidak sekuat huwa ‘aabidu.
Worshipper berarti he is always worshipping.
A’budu berarti I worship atau ‘aku menyembah’.
‘Aabidun berarti a worshipper atau seorang penyembah.
Sebenarnya lebih tepatnya:
a’budu berarti ‘saya menghambakan diri’, dan
‘aabidun berarti ‘seorang hamba’.
Kata benda itu lebih kuat.
Lebih permanen.
Tapi itu berlaku untuk kalimat positif.
Jadi kata benda itu lebih kuat di kalimat positif.
Tapi tidak di kalimat negatif.
Di kalimat negatif, kata kerja justru yang lebih kuat.
Contoh 1: kalimat positif.
Saya perokok.
Saya pernah merokok.
“Saya perokok” lebih kuat dibandingkan “saya merokok”.
Kenapa?
Karena “saya perokok” berarti tiap hari, selalu, atau sangat sering, saya merokok.
Sementara, “saya pernah merokok” berarti saya tidak selalu merokok, mungkin sesekali saja.
Contoh 2: kalimat negatif.
Saya bukan perokok.
Saya tidak pernah merokok.
“Saya tidak pernah merokok” lebih kuat dibandingkan “saya bukan perokok”.
Kenapa?
Karena “saya tidak pernah merokok” berarti satu kali pun saya tidak pernah merokok. Sama sekali tidak.
Sementara itu “saya bukan perokok” masih membuka kemungkinan bahwa saya mungkin pernah satu atau dua kali atau sesekali merokok.
Jadi, ketika kalimatnya negatif, ketika ada kata laa seperti yang kita temukan di surah Al-Kafirun, mubalaghah is reversed. Penyangkalan itu lebih kuat dengan kata kerja. Negation is stronger with a verb.
Laa a’budu. I don’t worship at all. Tidak pernah sama sekali, saya menyembah apa yang kamu sembah.
Wa laa antum ‘aabiduun. And you people aren’t worshippers of what I’m worshipping. You’re not always worshipping what I’m worshipping.
Ada implikasinya di sini: kadang-kadang kamu, maksudnya orang-orang yang Nabi ajak bicara, menyembah Allah. Mungkin sesekali pernah.
Tapi Rasulullah tegas.
Bahwa tidak satu kali pun Rasulullah saw menyembah apa yang mereka sembah.
Wa laa anaa ‘aabidun maa ‘abadtum.
Nah, yang ini beda nih.
Sekarang ga pake fi’l.
Sekarang ism yang digunakan.
Apa maknanya?
Allah menegaskan bahwa Rasulullah tidak menyembah apa yang mereka sembah in every possible form.
Dalam bentuk kata kerja, Rasulullah tidak pernah menyembah apa yang mereka sembah.
Dalam bentuk kata benda, Rasulullah bukan penyembah apa yang mereka sembah.
Menyembah ‘tuhan’ mereka?
Rasulullah tidak pernah melakukannya satu kali pun. At any point.
Dari mana kita tahu?
Laa a’budu.
Menjadi penyembah ‘tuhan’ mereka?
Rasulullah tidak akan pernah punya label itu.
Dari mana kita tahu?
Laa anaa ‘aabid.
Dua-duanya disangkal.
Sementara itu, dari sisi kuffar, hanya ada satu versi.
Hanya ada laa antum ‘aabiduun.
Versi itu diulang dua kali.
Dan sama persis.
Apa maknanya?
Label mereka tidak sama dengan label Rasulullah saw.
Sesekali mungkin mereka sadar akan kebenaran yang dibawa Rasulullah.
Sesekali mungkin mereka tersungkur bersujud.
Itu terjadi.
Al-Qur’an dibacakan dan mereka tersungkur bersujud.
Mereka tidak menerima Islam, tapi mereka tersungkur dalam sujud.
Karena kekuatan Al-Qur’an.
Negasi Rasulullah saw komplit: fi’l dan ism.
Negasi mereka parsial: hanya ism.
Artinya, komitmen Rasulullah untuk tidak kafir jauh lebih kuat daripada komitmen mereka untuk tetap kafir.
Komitmen Rasulullah saw tercermin dalam ism maupun dalam fi’l. Komplit. Konsisten.
Surah Al-Kafirun juga menyimpan teka-teki tenses yang menarik untuk dicermati.
Laa a’budu maa ta’buduun adalah present tense. Dan di present tense ini future tense juga termasuk.
Artinya, saat Rasulullah saw bicara ke mereka saat itu, Rasulullah tidak sedang menyembah apa yang mereka sembah, dan Rasulullah, kapan pun juga di masa yang akan datang dari saat itu, tidak akan menyembah apa yang mereka sembah.
Itu tentang present tense dan future tense.
Bagaimana dengan past tense?
Wa laa ana ‘aabidun maa’abadtum.
“Aku tidak pernah bawa label ‘aabid atas apa yang selama ini kamu sembah.”
Artinya, Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam, sudah sejak dulu kala, bahkan sebelum menerima wahyu, tidak pernah satu kali pun Rasulullah menyembah apa yang biasa mereka sembah.
Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam berada dalam keadaan fitrah sejak awal.
Sejak awal sekali.
Bagaimana dengan mereka?
Wa laa antum ‘aabiduuna maa a’budu.
Mereka bukanlah penyembah apa yang Rasulullah sembah.
Ingat lagi, noun lebih kuat dari verb, dalam kalimat positif.
Sebaliknya, verb lebih kuat dari noun, dalam kalimat negatif.
Wa laa antum ‘aabiduuna maa a’budu adalah kalimat negatif.
Kata ‘aabiduuna atau worshippers adalah noun.
Kalimat ini melukiskan orang-orang kafir.
Dalam kalimat negatif, verb lebih kuat.
Atau, noun lebih lemah.
Apa artinya?
Artinya, ketetapan hati Rasulullah saw untuk menyembah Allah adalah lebih kuat daripada ketetapan hati mereka dalam mengingkari penyembahan Allah.
(bersambung)
Source:
Bayyinah BTV > A Deeper Look > Al-Kafirun
Resume oleh Heru Wibowo