Mereka tidak mengingkari Allah.
Tapi cara mereka mengekspresikan ‘ketidak-ingkaran’ mereka, cara mereka berperilaku di seputaran rumah mereka, sesungguhnya mencerminkan bentuk pengingkaran kepada Allah.
Ini adalah masalah perspektif.
Sepertinya tidak ingkar, padahal sungguh-sungguh ingkar.
Ada orang yang menganggap dirinya orang yang beriman.
Apakah dia sungguh-sungguh beriman?
Wallahu ta’ala a’lam.
Allah yang lebih tahu.
Allah punya hak prerogatif untuk memberi label bahwa orang itu mungkin justru sungguh-sungguh kafir.
“Tapi saya merasa, saya ini beriman loh.”
“Perasaanmu tidak masuk hitungan,” Allah bisa tegas seperti ini. Label ‘beriman’ maupun ‘kafir’ ada dalam genggaman-Nya.
(لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِینَ قَالُوۤا۟ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَـٰثَةࣲۘ وَمَا مِنۡ إِلَـٰهٍ إِلَّاۤ إِلَـٰهࣱ وَ ٰحِدࣱۚ وَإِن لَّمۡ یَنتَهُوا۟ عَمَّا یَقُولُونَ لَیَمَسَّنَّ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِیمٌ)
[Surat Al-Ma’idah 5:73]
Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih.
Orang-orang yang terlalu berani untuk bilang bahwa Allah adalah satu dari yang tiga, mereka itu kufr.
Mereka boleh saja bilang bahwa mereka punya iman.
Tapi Allah mendeklarasikan bahwa yang seperti itu adalah kuffar.
Kembali ke qul yaa ayyuhal kaafiruun.
Mengapa mereka disebut ‘kafir’?
Mereka mengingkari apa?
Mereka mengingkari Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Mereka belum pernah melihat Allah.
Mereka mengingkari Rasulullah saw yang ada di hadapan mereka.
Mereka mengingkari hadiah yang luar biasa besar, bertemu dengan rasul terakhir shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Mereka mengingkari fakta bahwa Allah telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim ‘alayhis salam.
Mereka mengingkari bahwa Allah telah menganugerahi zamzam dan mereka bisa membangun kehidupan di tanah yang gersang itu, dan mereka juga bisa bepergian pada musim dingin dan musim panas.
(إِۦلَـٰفِهِمۡ رِحۡلَةَ ٱلشِّتَاۤءِ وَٱلصَّیۡفِ)
[Surat Quraysh 106:2]
Mereka mengingkari bahwa mereka dilindungi dari pasukan bergajah.
Tidak semuanya itu pengingkaran sebenarnya, tapi sebuah bentuk rasa tidak tahu berterimakasih (ingratitude).
Qul yaa ayyuhal kaafiruun itu bukan saja bermakna, “Katakan kepada mereka, hai orang-orang kafir”, tapi juga punya makna, “Katakan kepada mereka, hai orang-orang yang benar-benar tidak tahu berterimakasih.”
Setelah semua yang Allah berikan kepada mereka, bisa-bisanya mereka menyembah kepada yang selain Allah.
(فَلۡیَعۡبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلۡبَیۡتِ)
[Surat Quraysh 106:3]
Maka hendaklah mereka menyembah Rabb (pemilik) rumah ini (Ka‘bah).
Ini adalah kelanjutan yang seharusnya menjadi konsekuensi logis dari begitu baiknya Allah sama mereka.
(لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِینَ إِذۡ بَعَثَ فِیهِمۡ رَسُولࣰا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ یَتۡلُوا۟ عَلَیۡهِمۡ ءَایَـٰتِهِۦ وَیُزَكِّیهِمۡ وَیُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبۡلُ لَفِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینٍ)
[Surat Ali Imran 3:164]
Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Rasul ada di tengah-tengah mereka dan dari kalangan mereka sendiri.
Ini adalah karunia Allah kepada orang-orang yang beriman.
Tapi siapa dulunya orang-orang yang beriman itu?
Mereka adalah orang-orang yang tersesat.
Yang belum mendapat siraman petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Alhamdulillah.
Kita ikut happy menyaksikan orang-orang yang berubah.
Dari kesesatan menuju keimanan.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sedang kita bahas ini: al-kaafiruun?
Mereka telah mendapatkan kebaikan yang bertubi-tubi dari Allah.
Telah berkesempatan bertemu langsung dengan Rasulullah saw yang mulia.
Maka pantaslah, setelah kebaikan Allah yang melimpah, mereka tidak mau dan tidak tahu berterimakasih sama Allah, maka mereka harus mendengar kata-kata itu. Mereka harus menerima bahasa yang merendahkan (condescending language).
Genderang perang sudah ditabuh.
Dari titik ini, segalanya berubah, menjadi makin ofensif.
Laa a’budu maa ta’buduun mengandung dua makna sekaligus: I don’t dan I won’t.
Saya tidak menyembah apa yang kamu sembah.
Dan saya tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Yang digunakan di sini adalah fi’l mudhari’ yang berarti: berlaku untuk saat ini dan untuk masa yang akan datang. For present and future.
I don’t worship whatever you do.
And I won’t worship whatever you do.
Tidak untuk saat ini. Tidak untuk saat nanti.
Whatever they worship includes idols, because they offer the other gods.
Yang mereka sembah tidak cuma berhala yang berupa patung.
Di belakang idols itu ada juga the real idols: money, power, women, pleasures.
Uang, kekuasaan, wanita, kesenangan duniawi adalah ‘berhala-berhala’ mereka yang sesungguhnya.
(أَرَءَیۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَیۡهِ وَكِیلًا)
[Surat Al-Furqan 25:43]
Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?
Rasulullah pernah berdoa, orang-orang yang menghambakan diri kepada dinar dan dirham, semoga mereka dibinasakan, na’uudzubillaahi min dzaalik.
Itu adalah berhala-berhala yang tak terlihat (the invisible idols).
Berhala-berhala itu tidak ada di kuil. Tapi ada di hati seseorang.
Berhala-berhala itu menjelma menjadi berbagai bentuk. Ada yang menuhankan penampilan (the idol of appearance). Ada yang menuhankan popularitas (the idol of popularity). Ada yang menuhankan pujian (the idol of praise). Ada yang menuhankan kekayaan (the idol of wealth).
Jadi kita sekarang bisa ngaca.
Apakah jenis-jenis idol itu bersemayam di dalam diri?
Menyembah (worship) itu artinya apa?
Ibnu Taimiyah menjelaskan lima komponen ibadah.
Pertama adalah obedience. Kepatuhan. Ketundukan.
Tanyakan pada diri sendiri.
Seharian, diri ini tunduk sama siapa?
Apakah tunduk kepada godaan (temptation)? Apakah tunduk kepada keinginan (desire)?
Apakah tunduk kepada the next like? Apakah tunduk kepada the next thumbs up?
Artinya kita tunduk sama siapa kalo seperti itu?
Apakah kita yang pegang kendali atas smartphone kita?
Atau smartphone yang mengendalikan kita?
Kepada siapa kita tunjukkan kesetiaan kita?
Kepada Allah?
Kepada hape?
Yang kedua adalah cinta (love).
Ibadah juga mencakup cinta.
Cinta yang seperti apa?
Cinta, yang mendefinisikan semua cinta yang lain.
Jika ada sebentuk cinta yang berada dalam ketidaktaatan kepada-Nya, maka cinta seperti itu harus dikorbankan.
Itu lah artinya cinta sama Allah.
Yang ketiga adalah kebergantungan (reliance).
Kita tidak bergantung pada manusia.
Kita tidak bergantung pada uang.
Kita tidak bergantung pada surat kepercayaan.
Kita tidak bergantung pada sebuah dokumen (paperwork).
Kita tidak bergantung pada pengalaman kita.
Kita tidak bergantung pada kesehatan kita.
Kita tidak bergantung pada kekuatan fisik (physical strength).
Kita tidak bergantung pada apapun juga.
Kita hanya bergantung kepada-Nya.
Kita sadar bahwa kita benar-benar tak berdaya.
Dan satu-satunya tempat kita bergantung dan bersandar hanyalah Allah.
(وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡیَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ)
[Surat Ali Imran 3:122]
Kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.
Bukan yang lain.
Kita sungguh-sungguh membangun kebersandaran kepada Allah saja.
Kadang Allah menguji orang dengan kesulitan.
Kadang Allah menguji orang, ujian yang lebih sulit lagi, yaitu dengan kemudahan.
Karena ketika segala sesuatunya jadi mudah, kita mulai bersandar pada seseorang. Atau sesuatu. Yang jelas bukan bersandar kepada Allah.
Kita mulai main terima aja (take it for granted).
Dan kita tidak melihat perlunya meminta kepada Allah atas apa yang kita butuhkan dalam hidup kita.
Kebergantungan sama Allah menghilang pergi.
Lenyap ditelan kemudahan.
Mobil ga pernah ada masalah.
AC di rumah selalu berfungsi normal.
Ada makanan di kulkas.
Ada duit di Bank.
Ada loh, orang Islam yang serba berkecukupan.
Dan bilang, “Aku tidak begitu religius. Karena aku tidak begitu yakin kenapa aku harus butuh Tuhan”
“Aku punya segalanya. Buat apa aku harus minta sama Allah?”
Benar kan?
Ini ujian yang lebih sulit.
Punya segalanya itu lebih sulit daripada tidak punya segalanya.
Tapi tidak punya segalanya juga bisa menjadi ujian yang sulit.
“Ya Allah, Engkau kan Maha Pemberi Rizqi. Mana buktinya?”
“Apa yang membuatku harus menanggung kesulitan dan kemiskinan ini?”
Sebaliknya, ada yang punya segalanya.
Yang membuat dia tak punya lagi tawakkal kepada-Nya.
Kembali ke lima komponen ibadah.
Tiga sudah kita bahas: obedience, love, dan reliance.
Yang keempat adalah ketulusan (sincerity).
Ada genuine motives to do things for His sake.
Ada dorongan yang tulus untuk melakukan kebaikan untuk Allah.
Tapi juga ada tindakan atau perbuatan, yang kita lakukan untuk seseorang. Atau untuk komunitas. Perbuatan baik seperti itu masih oke.
Contohnya, melakukan kebaikan untuk orang tua.
Mijitin kaki ibunda.
Itu bagus.
Kita tidak bilang, “Ya Allah, sebenarnya aku mijitin kaki ibuku ini, sesungguhnya untuk-Mu, ya Allah.”
Kita mijitin kaki itu untuk ibunda. Itu tulus. Itu gapapa.
Kita tidak perlu ‘memurnikan tauhid’ dengan bergumam secara berulang-ulang, “Ini bukan untuk ibu, ini untuk Allah.”
Atau kadang kita tidak tega melihat seseorang, atau keluarga, atau anak kecil, yang kekurangan. Yang meminta-minta di pinggir jalan.
Perbuatan baik kita itu bukan ‘untuk Allah’. Tapi untuk dia. Untuk mereka.
Itu tidak masalah. Ketulusan itu lahir karena Allah melunakkan hati kita untuk mereka.
Allah made our heart soft for other people.
That’s sincerity towards people.
Tapi ada juga perbuatan yang secara eksklusif hanya untuk Allah.
Datang ke masjid itu hanya untuk Allah.
Mempelajari agama ini, itu hanya untuk Allah.
Mengajarkan agama ini, itu hanya untuk Allah.
Shalat, haji, umroh, zakat, itu hanya untuk Allah.
Motivasinya adalah dari dalam diri sendiri, untuk Allah.
Tidak dibagi.
Tidak bisa, dia ke masjid, maka aku juga ke masjid, tidak bisa begitu.
Dia ke masjid atau tidak, aku tetap ke masjid karena aku termotivasi untuk menemui-Nya.
Itu artinya tulus sama Allah.
Dan sebagai murid, atau sebagai guru, mungkin kita bisa berpikir, “Kok yang datang cuma lima ya? Aku inginnya yang datang tiga ribu orang.”
Apakah berpikir seperti itu, tulus?
Apa niat sang guru melakukannya?
“Maksudku, aku ingin lebih banyak lagi yang merasakan manfaatnya.”
Oh ya?
Yang memutuskan manfaat itu bukan sang guru.
Allah lah yang memutuskan.
Ini adalah ujian ketulusan.
Boleh-boleh saja memikirkan tentang manfaat.
Tapi motif diri harus jelas.
Untuk apa belajar agama?
Untuk apa mengajarkan agama?
Untuk apa sholat?
Untuk apa berangkat umroh?
(bersambung)
Source:
Bayyinah BTV > A Deeper Look > Al-Kafirun
Resume oleh Heru Wibowo