Ustadz Nouman orangnya perhatian. Sekaligus kocak. Itu beliau perlihatkan saat memulai sesi kedua. Setelah break pertama.

Audiens ditanya sama Ustadz. Apakah sejauh ini oke, “You guys here are doing okay so far?”. Terdengar jawaban, “Okay”. Banyak yang menjawab, “Yes!” Intinya, ya, oke juga. Itu sisi perhatiannya.
Yang ini sisi kocaknya. “I mean, if you’re not, I’m still going to tell you the story.”
Mau audiens oke atau tidak oke, Ustadz ga peduli.
Ustadz tetap akan lanjutkan ceritanya.
Kembali ke percakapan Allah dan iblis.
Ke scene saat iblis tidak mau melakukan sajdah.
Karena iblis merasa lebih hebat dibanding manusia.
Sehingga iblis berpikir dia lah yang seharusnya dipilih jadi khalifah.
Iblis menjelaskan kenapa dia bersikap seperti itu.
Kholaqtanii min naarin wa kholaqtahuu min thiin. (QS Al-A’raf 7:12)
“Engkau bikin aku dari api (fire). Engkau bikin dia dari tanah (mud).”
Ustadz Nouman sebelumnya sudah bilang.
Iblis aslinya tahu kalo manusia itu komponennya bukan tanah saja.
Tapi Iblis ingin mereduksi fakta itu.
Manusia diciptakan dari mud, lalu Allah kasih balance dan diperlengkapi juga dengan ruuh.
Tapi iblis membangun realitanya sendiri, bahwa manusia tidak lebih dari mud yang nista.
Ini sekaligus adalah juga sebuah pelajaran penting buat kita.
Bahaya banget kalo kita mikir terlalu lama.
Kelamaan menyimpan pikiran negatif di kepala itu bahaya. Karena jika Anda melakukan itu, you build your own reality.
Kelamaan menyimpan pikiran negatif itu membuat kita memilih fakta-fakta tertentu.
Lalu menghapus fakta-fakta tertentu yang lain.
Dan meskipun kita punya bukti-bukti yang lain yang jelas, bukti yang nyata, bukti yang kuat, yang disajikan di atas nampan, dihadirkan di atas baki, persis di depan kita.
Kita tetap saja menolaknya mentah-mentah. Karena bukti-bukti baru tersebut bertentangan dengan fakta-fakta tertentu yang pernah kita yakini.
Bersikukuh pada sebagian fakta, sambil menolak fakta yang lain, membuat kita menjadi orang yang hidup dalam dunia penuh khayalan (delusional).
Membangun realitanya sendiri berarti you choose certain fact(s) and erase other facts.
Dalam hal ini iblis memilih satu fakta yaitu manusia diciptakan dari mud.
Dan menghapus dua fakta yaitu pada diri manusia ada balance dan ruuh.
Ustadz Nouman mencontohkan percakapan seseorang dengan pamannya.
Fakta-fakta baru berdatangan tapi pamannya tak bergeming. Bersikeras mempertahankan fakta lama yang sudah dimilikinya.
“Oom, dia omongannya bener loh. Fakta-faktanya kuat. Dia punya semua buktinya. Bahkan Oom juga pernah menulis tentang hal itu.”
“Hehhh!!!” Pamannya mengelak.
Saking kencengnya Ustadz Nouman mengekspresikan penolakan ini sampai peserta Story Night di sebelah kiri saya tersentak kaget.
“Ga bisa, ga bisa! Ga bener itu!!!” Pamannya masih mengelak.
“Tapi itu kan Oom sendiri loh yang bilang gitu,” keponakannya masih bertanya-tanya.
“Hmmm!!! Hrrrggghhh!!!” Pamannya makin ga jelas.
Once you build your own idea inside your head, you have your own universe inside it.
Satu lagi pelajaran yang bisa kita petik dari pernyataan iblis ‘Engkau ciptakan aku dari api, Engkau ciptakan dia dari tanah’ adalah bahwa iblis cenderung menyalahkan Allah.
Kira-kira begini pikiran iblis, “Salah sendiri Engkau ciptakan aku dari api. Kan aku ga pernah minta diciptakan seperti ini.”
You made me from fire so I got fired up.
Engkau ciptakan aku dari api sih. Makanya aku jadi berapi-api begini!
Ya. Iblis begitu berapi-api untuk mem-‘bully’ spirtualitas manusia.
Modus ‘menyalahkan Allah’ ini juga bisa kita jumpai di keluarga. Atau di masyarakat.
Ada orang yang bilang, “Itu bukan salahku!!! Allah yang bikin aku ngomong begitu! Allah yang bikin aku ngelakuin itu!”
Ada orang yang bilang, “Aku memang biasa marah-marah begini. Allah memang menciptakan aku seperti ini. Aku bisa apa???!!! Terimalah aku, ciptaan Allah ini, okay???!!!!!!!”
Hmmm. Ga gitu juga sih sebenernya.
Itu adalah alasan (excuse) dia saja.
Dia mencari pembenaran atas ledakan emosinya (outburst) dengan menyalahkan Allah.
Itu semua hanya dalih dia untuk membenarkan perbuatannya.
Sementara tidak ada kemauan dari dirinya untuk berubah. Padahal dia diciptakan dari cool mud. Tanah liat yang dingin. Yang justru bisa memadamkan api.
Kholaqtanii min naar. Wa kholaqtahu min thiin.
Allah merespon iblis, “Fahbith minha (QS Al-A’raf 7:13). Get down from it. You! Come down from this place.”
Artinya, derajat (darojaat) yang tinggi, high rank, yang dimiliki iblis (masih ingat Ustadz beberapa menit yang lalu cerita tentang ‘prestasi’ iblis yang dapat promosi berkali-kali dari Allah), sampai di sini Ustadz nahan dulu. Belum dilanjutkan. Kadang-kadang Ustadz memang suka begitu. Tiba-tiba pause dulu. Karena ada hal penting yang melintas yang Ustadz ingat dan perlu dijelaskan.
Saat pertama kali iblis berpikir negatif tentang Adam as, apakah Allah tahu? Ya. Pasti. Allah Maha Tahu. Dan Allah tahu apa yang nampak dan yang tersembunyi.
Saat malaikat mengajukan pertanyaan, mengkritisi penciptaan Adam as, dan iblis suka sekali dengan pertanyaan malaikat itu, apakah Allah tahu? Ya. Pasti. Allah juga tahu.
Jadi vonis Allah buat iblis itu, vonis untuk menurunkan derajat iblis yang tinggi itu, bukan vonis dadakan. Ada kelakuan iblis yang ga bisa ditolerir, mengumpulkan pikiran negatif, menyalahkan Allah, sehingga pada akhirnya iblis memang pantas mendapatkan vonis itu: Allah turunkan high rank iblis. Iblis turun pangkat.
Fa maa yakuunu laka an tatakabbara fiihaa. (QS Al-A’raf 7:13)
Allah menegur iblis. Teguran yang sangat keras. “Kamu tidak punya hak untuk tetap tinggal di sini.” Arogansi iblis menuai hasilnya. Tidak sepatutnya iblis menyombongkan diri di tempat yang mulia ini. Sombong karena menganggap dirinya lebih baik dari manusia (human being).
Sekarang, apa implikasinya buat kita?
Apa rencana iblis ke kita?
Apa yang iblis inginkan terjadi pada diri kita?
Iblis berusaha meyakinkan kita, bahwa kita lebih baik dari orang lain.
You are better than someone else.
Iblis berusaha meyakinkan kita, bahwa kita lebih layak dari orang lain.
You are more deserving than someone else.
Arogansi itu banyak bentuknya.
Aneh kan ya, kalo kita tiba-tiba mendekati seseorang lalu bilang, “Heh, aku tuh lebih baik dari kamu, tahu ga sih!”
Arogansi bisa menjelma dalam bentuk kecemburuan (jealousy): kenapa dia dapat itu, kenapa aku tidak, apa hebatnya dia dibanding aku.
Kenapa dia yang dapat promosi, kenapa bukan aku yang di-promosi, apa hebatnya dia.
Kenapa dia followers-nya banyak, padahal posting-an dia cuma gitu-gitu aja.
Ada hal yang gila yang diamati Ustadz Nouman.
Beliau sudah sekitar 20 tahun berkecimpung di ‘dunia Islam’.
Dan hal yang mengerikan adalah, perasaan-perasaan jealous seperti itu justru munculnya justru seringnya di panggung dunia Islam.
“Kenapa banyak orang yang ikut halaqah dia, sedikit sekali yang ikut halaqah saya.”
Wooowww!
Kebalik ga sih.
Bukannya panggung dakwah Islam itu harusnya adalah the last place untuk kita ketemu iblis yach?
Tapi malah jadi the first place.
Kenapa bisa begitu?
Pertanyaan semacam ini justru ‘aneh’ setelah kita mendapat penjelasan Ustadz Nouman.
Dunia dakwah itu justru jadi the first place karena mereka itu kan menyeru ke Allah.
Biar umat lebih dekat ke Allah.
Logis kalo iblis menyerang mereka duluan.
Iblis ingin, mereka yang mendekat ke Allah itu turun pangkat.
Seperti turun pangkatnya iblis karena jealous sama Adam as saat itu.
Makanya iblis menyerang mereka duluan.
Mereka semua, yang mendekat ke jalan-Nya.
Mereka jadi target prioritas serangan iblis.
Kecemburuan (jealousy), kebencian (hatred), kesombongan (arrogance), lagi-lagi Ustadz Nouman pause dulu. Kepikiran sesuatu yang perlu disampaikan. Sebuah contoh bagaimana serangan iblis bisa masuk ke dunia asatidz.
Seseorang sedang berbicara dengan seorang dai. “Ustadz, kenal kan yach ama Ustadz Fulan? Ustadz Fulan itu ceramahnya lebih bagus loh dari Ustadz.”
Lalu ustadz ini merespon, mungkin agak sedikit teraduk-aduk emosinya, bicara tentang beberapa kelemahan Ustadz Fulan.
Ngeri yach serangan iblis itu.
Arogansi berarti, kita tidak bisa bicara tentang kebaikan seseorang seratus persen. Ada sekian persen kita juga bicara tentang kejelekan dia. Sekecil apapun persentase itu.
Ustadz Nouman pernah memberikan ucapan selamat kepada seseorang yang baru saja diwisuda. Lulus dari sebuah program magister. Ustadz bilang ke ibunda dari wisudawati ini, seharusnya sang ibu bangga sama dia, masya Allah. Tapi ibundanya justru menunjukkan sikap seperti tidak terima. Ibundanya malah merespon, “Iya, tapi dia itu punya masalah, ga bisa ngendaliin amarah.”
Saat yang tepat buat kita melakukan introspeksi. Diri kita, mungkin seperti itu. Tidak bisa seratus persen kasih pujian. Harus ada sekian persen untuk kritik yang destruktif.
Halus banget kadang iblis itu masuknya. Lihai menyembunyikan topeng kejahatannya di balik kata-kata yang terkesan biasa. “Apa pendapat kamu tentang dia?” Sebuah pertanyaan yang terdengar netral.
Kenapa si penanya ini ingin tahu pendapat kita? Karena si penanya ingin kita mengikuti pola iblis. Mengatakan sesuatu yang mereduksi kualitas kemanusiaan orang lain. Mengatakan bahwa orang itu memang mud. Bahwa orang itu ga punya balance. Bahwa orang itu ga punya nuur.
Keren yach cara iblis bermain.
“Ustadz, mau tanya. Menurut Ustadz A, beliau berpandangan bahwa masalah ini bukan haram. Tapi makruh aja. Bagaimana menurut Ustadz?”
Ustadz Nouman cenderung tidak ingin menjawab pertanyaan seperti ini. Apalagi kalo beliau punya pandangan yang berbeda. Sengaja beliau ambil sikap seperti itu untuk menghindari perilaku “aku adalah api dan dia hanyalah tanah.”
Jangan biarkan siapapun, membuatmu mengatakan sesuatu yang mengarah ke _comparison_.
“Dengar kan Ustadz Fulan bilang begitu? Bagaimana menurutmu?”
Untuk apa pendapatku diperlukan, tentang apa yang beliau katakan? Kenapa tidak langsung ditanyakan aja kepada beliau, apa pendapat beliau tentang apa yang beliau katakan?
Dan kalo aku punya pendapat tentang apa yang beliau katakan, aku lebih memilih untuk bilang aja langsung ke beliau. Kenapa aku harus bilangnya sama kamu? Atau, yang lebih parah, kenapa aku harus bilangnya di medsos?
Di medsos itu, di bagian komen, begitu banyak iblis ada di situ.
Anehnya, kadang ada kuliah di YouTube, orang-orang ga dengerin kajiannya. Mereka langsung lihat di bagian komen. Baca semua komennya. Malah ga dengerin kuliahnya.
Kita begitu terobsesi dengan komen orang. Kita begitu terobsesi dengan pendapat orang. Kita malah melewatkan apa yang sesungguhnya disampaikan. Kita melewatkan inti pesannya.
Kembali ke kritik iblis. Yang membuat iblis turun pangkat. Dan harus terusir.
Apa hikmah yang bisa kita petik?
Kritikmu tidak menjatuhkan orang lain. Kritikmu justru akan menjatuhkan dirimu sendiri.
(bersambung)