Jam 4 pagi. Beberapa orang melangkahkan kaki menuju Masjid Istiqlal. Sebentar kemudian azan subuh berkumandang.
Dua jam setelahnya. Tak jauh dari Istiqlal, beberapa orang melangkahkan kaki menuju Gereja Katedral Jakarta. Jam 6 adalah jadwal misa harian pagi itu.
Mereka yang pergi ke Istiqlal, agamanya sama.
Mereka yang pergi ke Katedral, agamanya sama.
Kedua pernyataan di atas bisa dianggap benar.
Sekarang, bagaimana dengan pernyataan ini:
Mereka yang pergi ke Ka’bah, agamanya sama.
Bisa dianggap benar juga, sekarang.
Ya, sekarang, hari ini.
Tapi kalo dulu, saat masih banyak berhala di sekitar Ka’bah, ya nggak.
Rasulullah saw memang sholatnya menghadap Ka’bah.
Tapi orang-orang kafir pun demikian.
Apakah berarti agamanya sama?
Beda.
Sembahyangnya, agamanya, tidak sama.
Laa a’budu maa ta’buduun. Wa laa antum ‘aabiduuna maa a’bud.
Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.
Kamu tidak menyembah apa yang aku sembah.
Dua ayat di Al-Kafirun ini menegaskan perbedaan yang sangat penting.
Di surah sebelumnya, Al-Kawtsar, disebutkan: fa sholli.
Kamu, sholat!
Nah, mereka juga ‘sholat’.
Di surah sebelumnya lagi, Al-Ma’un, disebutkan: alladziina hum yuroo-uun.
Sholat mereka adalah untuk pamer.
Bukan Allah, rabb mereka, tapi popularitas.
Atau pencitraan. Atau yang serupa itu.
Begitu juga dengan yang sembahyang di Ka’bah.
Kala itu.
Tempat sembahyangnya sama.
Tapi yang disembah, beda.
Kata yang sama digunakan untuk Nabi SAW.
Di Al-Ma’un (QS 107): sholaatihim, kata yang dipakai adalah sholat, digunakan untuk mereka yang lalai.
Di Al-Kawtsar (QS 108): fa sholli, kata yang dipakai adalah sholat, digunakan untuk Nabi SAW.
Di Al-Kafirun (QS 109): ditegaskan perbedaannya, sembahyang mereka dan sembahyangnya Rasulullah saw, beda!
Beautiful.
Sama-sama ada di lokasi Ka’bah.
Tapi yang disembah beda.
Ini adalah poin yang pertama.
Yang menggambarkan kontinuitas surah Al-Kafirun dan surah-surah sebelumnya.
Kontinuitas dengan tema yang kontras.
Kontras karena beribadah menuju tempat yang sama, atau di tempat yang sama, tapi yang disembah berbeda.
Oh ya, by the way, saat menulis ini, saya sempat bertanya-tanya sendiri, tentang kata contrast yang digunakan oleh Ustadz Nouman. Sudah benarkah saya memperlakukan kata ‘kontras’ sebagai kata sifat? Sebenarnya contrast itu kata benda, kata kerja, atau kata sifat?
Di dictionary, di kamus bahasa Inggris, contrast bisa kata benda, bisa kata kerja.
Di kamus bahasa Indonesia, kata ‘kontras’ adalah kata sifat.
Sebuah penemuan yang lumayan menarik.
Kembali ke tadabbur surah Al-Kafirun.
Sekarang kita bahas poin yang kedua.
Masih tentang tema yang kontras.
Perbedaannya kali ini adalah dalam cara Rasulullah saw diminta untuk menyikapi kaum yang didakwahinya.
Allah sudah bilang di surah sebelumnya (Al-Kawtsar), musuh kamu akan dihentikan (discontinued).
Allah minta Rasulullah supaya mengabaikan saja dia.
Biarkan dia ngoceh.
Ga usah urusi dia. Allah yang akan mengurusnya.
Di Al-Kafirun, ada eskalasi di mana Rasulullah perlu untuk berurusan dengan orang kafir.
Bukan mengabaikan mereka.
Kali ini Rasulullah saw harus bicara dengan mereka.
Ada tuntutan untuk menjadi agresif.
Dan agresivitas itu bukanlah sesuatu yang umum buat seorang Nabi.
Agresif dalam melakukannya.
Agresif dalam mengatakannya.
Agresivitas bukanlah bawaan bayi dari seorang Nabi.
Cara berbicara di Al-Kafirun ini sangat berbeda.
Qul yaa ayyuhal kaafiruun.
Membuat surah ini unik.
Kata-kata ayyuhal kaafiruun tidak ditemukan di bagian lain di Alquran.
Bener ga sih?
Bisa kok, kita cek sendiri.
Pake aplikasi Quran for Android.
Kata-kata ayyuhal kaafiruun terdiri dari huruf-huruf alif, ya, ha (ha seperti pada kata ‘Allah’, bukan ha seperti pada kata alhamdu), alif, spasi, alif, lam, kaf, alif, fa, ro, wawu, nun.
Bahkan lima huruf terakhir ga usah dimasukkan.
Cukup sampai kaf. Cukup yang ini: ايها الك.
Maka Quran for Android sudah langsung mengarahkan ke satu ayat saja: Al-Kafirun ayat 1.
Ya.
Penggunaan kata-kata ayyuhal kaafiruun memang unik.
Menjadi penanda kebencian yang sudah memuncak.
Sudah sampai di titik di mana tidak ada jalan kembali.
Kenapa?
Karena, ketika kita pelajari cara berbicara utusan Allah di Alquran, mereka biasanya bilang yaa qowmi. Atau yaa ayyuhannaas. My people. Atau, my nation.
Atau, people aja, secara umum.
Tapi di sini bicaranya pake label: yaa ayyuhal kaafiruun.
Sebuah cara yang strong untuk menyatakan, “Aku tidak peduli lagi sama kamu.”
“Dan kamu pun tidak perlu peduli sama aku. Kita berpisah jalan.”
Udah gitu masih di-gas pol, ga dikasih kendor: makin tegas dan makin terbukti di akhir surah: lakum diinukum wa liyadiin.
Ini jelas bukan cara seorang Rasul bicara kepada kaumnya.
Di luar kebiasaan.
Yang perlu kita pahami adalah, Rasul tidak sedang bicara dengan semua non muslim.
Surah ini tidak tepat diterapkan untuk sebarang non muslim.
Tidak setiap non muslim adalah al-kaafiruun.
Kenapa tidak tepat?
Detailnya akan dibahas nanti.
Saat ini, kita perlu memahami sosiologi Arab dulu.
Bahwa, identitas orang Arab ditentukan oleh, dari suku mana dia berasal.
Bukan hanya berafiliasi dengan suku dari mana dia berasal, tapi juga perlindungan terhadap diri orang Arab, berasal dari sana.
Jika dia diserang, maka sukunya akan melindunginya.
Seorang Arab berasosiasi dengan sukunya.
Suku dari mana dia berasal menjadi lambang (emblem) buat dia.
Nah.
Dengan Rasulullah bilang you’re no longer my people, atau you’re al-kafirun, Rasul menegaskan diri keluar dari kesukuan itu.
Itu sama saja dengan mengatakan, “Aku ga butuh lagi perlindungan kalian.”
Artinya, Rasulullah saw secara politis, secara fisik, secara sosial, kini dalam keadaan tak terlindungi (exposed).
Rasulullah tidak lagi ada di bawah perlindungan orang-orang Mekah.
Kini orang-orang Mekah bisa berbuat sekehendak hati mereka kepada Rasulullah.
Yang jelas, mereka juga membiarkan Rasulullah berlepas diri dari pelindungan mereka.
Kini perang sudah dideklarasikan. Bukan secara fisik, tapi secara sosial.
Apa yang menginspirasi turunnya surah ini adalah upaya Quraisy untuk mencari sebuah celah.
Selama ini ejekan mereka, cemoohan mereka, olok-olok mereka, tidak membuahkan hasil.
Ucapan kasar yang mengatakan Rasulullah gila, edan, tidak waras, juga tidak berhasil.
Usaha untuk menyakiti Rasulullah secara fisik pun tidak berhasil.
Maka mereka berupaya mencari celah.
Mereka mencoba pendekatan yang lebih lunak.
Alquran melukiskannya waddu law tud-hinu fayud-hinuun (QS 68:9).
Mereka sangat berharap supaya bisa ada sedikit kompromi.
Inginnya, mereka kompromi sedikit, maka Rasulullah akan kompromi sedikit.
Itu harapan mereka.
Mencoba mengambil jalan tengah (middle ground).
“Bukankah Ka’bah juga dipakenya barengan?” pikir mereka.
Maka berlangsunglah negosiasi.
Dalam negosiasi itu, beberapa pemimpin Quraisy angkat bicara.
Mereka bukan cuma bermain power, karena kekuasaan yang mereka pegang saat itu.
Mereka juga bermain number, karena jumlah mereka yang banyak.
Ada juga intimidation, untuk menakut-nakuti Rasulullah saw.
“Oke Muhammad, kita akan menyembah apa yang kamu sembah. Kita siap sholat sebagaimana kamu sholat. Kita akan mengikuti agamamu. Tapi, kamu juga dong. Kamu juga sesekali ikut menyembah apa yang kami sembah. Adil, kan?”
Ini merupakan indikasi yang nyata dari alladziinahum yuroo-uun. Sholat mereka bukan untuk menyembah Allah. Sholat mereka hanya untuk show. Hanya untuk nunjukin bahwa mereka seolah-olah mengikuti sholat Rasulullah. Padahal aslinya mereka sedang mencoba menumbangkan Rasulullah melalui sebuah percobaan pendekatan yang halus.
“Ga bagus loh Muhammad, bertengkar sesama Quraisy. Ayolah, kita bekerja sama aja. Kan bagus kalo kita damai. Kami akan belajar sholat seperti kamu. Sesekali kamu sembahyang seperti kami.”
“Ayo jadikan keluarga besar Quraisy sebagai happy family. Saling bertukar hal-hal yang baik. Termasuk inter-faith exchange. Bertukar keyakinan. Oke?”
“Kita perlu saling belajar. Aku tertarik dengan cara peribadatan kamu. Aku juga bisa kasih tahu kamu cara peribadatan kami. Ayolah dicoba. Ntar habis sembahyang kita ngopi bareng. Dan makan kue sama-sama.”
Sepertinya indah. Ada getaran halus yang seakan menyuarakan indahnya toleransi. Indahnya agama-agama kalo saling gaul.
“Semua keputusan yang akan diambil, terkait masalah-masalah politik, terkait masalah-masalah sosial, kami akan masukkan kamu menjadi anggota dewan pertimbangan.”
“Kami memang para pemimpin. Tapi ada dewan pertimbangan yang mengawasi dan mengurusi kota ini. Kami minta kamu masuk jadi anggota dewan itu.”
“Kalo memang agamamu lebih baik, oke, kami akan ikut berpartisipasi mendukung agamamu bahkan posisimu lebih menguntungkan sebagai anggota dewan.”
“Apapun yang bagus dari agamamu, kami akan mengambilnya. Kami akan melaksanakannya.”
“Kamu juga bisa ambil yang bagus dari agamaku. Mungkin ada kualitas-kualitas tertentu yang tidak ada di agamamu, silakan saja, kamu boleh ambil.”
Percakapan Rasulullah saw dengan kafir Quraisy ini membuat Ustadz Nouman teringat percakapannya dengan seseorang, tentang Buddhism.
Orang Islam itu kenapa ya, kok susah konsentrasi saat sholat.
Padahal orang Buddha itu terlihat super khusyu’ duduk berjam-jam lamanya, penuh konsentrasi.
Sepertinya orang Buddha itu penuh kedamaian di dalam dirinya.
Gimana ya, supaya bisa seperti orang Buddha itu?
Kita aja kalo sholat, masih di fatihah, belum nyampe surat pendek sudah mikir ntar makan apa. Ada kentang goreng gak.
Atau mikir yang lain. Mikir yang duniawi lah, pokoknya.
Kenapa bisa begitu?
Sepertinya kita perlu belajar dari orang Buddha. Belajar tentang konsentrasi. Belajar tentang menciptakan suasana damai dalam diri. Sepertinya.
Respon Ustadz Nouman saat itu: ya pantas lah kalo orang Buddha ga diganggu. Setan membiarkannya sendirian. Karena mereka melakukan itu.
Beda dengan orang yang ingin mendekat ke Allah. Ingin mengejar khusyu’. Godaannya bukan main.
(bersambung in sya Allah)
Source:
Bayyinah BTV > A Deeper Look > Al-Kafirun
Resume oleh Heru Wibowo
Terimaksih atas tulisannya
LikeLike