Sophy Ron mengisi hari-hari masa kecilnya sebagai pemulung. Di sebuah tempat pembuangan sampah di Phnom Penh. Tidak pernah sekolah. Hingga usianya 11 tahun. Jalan hidupnya berubah setelah Cambodian Children’s Fund membantunya. Ketekunannya belajar berbuah beasiswa kuliah di Universitas Melbourne.
Hengky Kurniawan juga pernah jadi pemulung saat SMP. Memungut sampah di gedung serbaguna depan rumahnya. Hengky mengumpulkan kardus, gelas air mineral, dan lain-lainnya yang masih punya nilai ekonomis. Lalu menjualnya. Kini, Hengky menjalani kehidupan yang berbeda. Dilantik jadi Wakil Bupati Bandung Barat setahun yang lalu.
Tugas pemulung cuma satu. Mencari barang-barang di antara tumpukan sampah. Lalu menjualnya. Untuk membantu ekonomi keluarga. Untuk bertahan hidup.
Saat ini, kita hidup di era informasi. Banjir berita membuat kita kewalahan. Banyak sampah bertebaran di medsos dan internet. Dan kita harus menjadi pemulung. Hanya mengais informasi yang bermanfaat.
Termasuk informasi tentang Islam. Yang tersedia dimana-mana. Membuat orang yang awam bertanya, “Apakah aku sedang mengikuti Islam yang benar?”
Beda sekali dengan zaman dulu. Zaman dimana akses terhadap informasi sangat dibatasi. Contohnya, di gereja-gereja Katolik. Ada limitasi untuk mengakses Bible.
Sekarang, kita hidup dalam situasi yang sama sekali berbeda. Kita dibombardir dengan begitu banyak informasi. Saking banyaknya sampai-sampai kita akhirnya tidak tahu apa-apa. Membuat situasi saat ini berujung sama dengan situasi jaman dulu.
Orang-orang akhirnya ragu. Di stadium awal, mereka ragu, Islam yang mana yang benar. Di stadium kedua, mereka ragu apakah Islam agama yang benar. Di stadium ketiga, mereka malah ragu apakah agama itu masih diperlukan.
Selama kita masih mencari kebenaran, Allah akan membuka pintu. Sebagaimana pintu yang dibuka untuk anak-anak muda yang biasa. Yang bukan ulama. Yang tidak berpengetahuan. Yang tidak hidup di masa kenabian. Yang tidak punya syeikh. Yang tidak punya guru. Yang tidak punya podcast. Yang tidak mengakses channel keislaman di YouTube.
Tapi anak-anak muda itu yakin Allah itu Satu. Mereka ingin mengabdi untuk-Nya. Mereka ingin melayani agama-Nya. Dan itu cukup buat Allah untuk membuka pintu. Memberikan petunjuk-Nya.
Bahkan anak-anak muda itu jadi pahlawan. Yang disegani dan dihormati oleh para pecinta Alquran. Ulama yang pengetahuannya luas, harus belajar dari kisah hidup mereka, anak-anak muda penghuni gua yang nyaris tak berilmu.
Sebuah perspektif yang membuka mata hati.
Apa yang kita pelajari di sini?
Kita belajar tentang nilai dari sebuah doa yang tulus (sincere prayer). Yang membuka pintu langit.
Di atas segalanya!
Anak-anak muda itu kembali kepada Allah dan mempersembahkan pengorbanan yang tulus.
Kita boleh jadi berpikir bahwa mereka bisa saja jatuh dalam kesesatan (fall into misguidance). Karena mereka tidak punya podcast, YouTube, guru, imam, buku, artikel, pamflet dari masjid, dan sebangsanya. Kita berpikir bahwa mereka tidak punya apa-apa.
Sebuah pemikiran yang kurang tepat. Karena mereka justru punya segalanya. Allah adalah segalanya. Allah-lah yang langsung memberi petunjuk kepada mereka.
Di atas segalanya!
Jika kita mengandalkan diri sendiri untuk mencari kebenaran. Jika kita mengandalkan orang lain atau satu kelompok tertentu untuk mencari kebenaran. Hidup kita bisa berakhir menyedihkan.
Kita memang boleh mengandalkan orang lain sebatas bantuan atau dukungan. Tapi mengais petunjuk-Nya? Petunjuk itu datangnya hanya dari Allah, Rabb seluruh manusia.
Itulah kenapa kisah al-Kahfi begitu penting. Anak-anak muda itu mungkin tidak lagi mengenal Injil. Allah tidak menyebut apapun tentang Injil. Satu-satunya catatan yang ada bersama mereka adalah ar-raqim. Tapi mereka menjadi tokoh yang dikaji oleh para ulama tafsir. Mereka adalah pahlawan bagi para sahabat. Yang pengetahuannya jauh lebih banyak dari mereka.
Kita belajar dari ayat ini tentang jantungnya petunjuk Allah. Kita belajar untuk tidak mengagung-agungkan cara atau jalan untuk meraih petunjuk-Nya. Cara atau jalan itu, tidak lebih hebat dibandingkan dengan petunjuk itu sendiri.
Pengetahuan bisa menjadi jalan untuk meraih petunjuk-Nya. Tapi mengagung-agungkan pengetahuan secara berlebihan bisa membuat kita lupa akan petunjuk itu sendiri. Itu seperti mengagung-agungkan wudhu’ tapi tidak peduli dan tidak memperhatikan shalat itu sendiri.
Kita tidak belajar Alquran untuk mengejar pengetahuan darinya. Kita belajar Alquran untuk meraih petunjuk-Nya. Kita belajar Alquran supaya kita makin dekat dengan-Nya.
Ada orang-orang yang pengetahuannya luas. Lincah menukil ayat ini dan hadits itu. Bicaranya super impresif. Tapi kehidupan pribadinya kacau-balau. Jauh dari petunjuk-Nya.
Jika para pemuda Kahfi bisa kita bangunkan hari ini. Lalu kita tanya tentang apa saja yang mereka tahu. Mereka akan bilang bahwa yang mereka tahu adalah doa itu. Yang secara tulus mereka panjatkan. Dan keyakinan bahwa Allah akan mengurus mereka.
Mungkin kita yang bertanya jadi penasaran. Kenapa sih mereka tidak tahu banyak. Sampai-sampai kita gemas dan meminta mereka tidur lagi aja ☺️☺️
Yang pantas ditanya sebenarnya justru kita. Apa yang sedang terjadi? Ada apa dengan diri kita? Agama ini begitu sederhana. Kita saja yang suka menjadikannya rumit (complicated). Karena kita mengagung-agungkan pengetahuan. Sebuah tindakan yang tak bisa dibenarkan (unjustified glorification of knowledge).
Jadi kita tidak usah peduli dengan pengetahuan, gitu yach?
Bukan begitu maksudnya.
Pengetahuan itu penting. Tapi petunjuk itu beda dengan pengetahuan. Petani yang buta huruf (illiterate) tidak bisa baca tulis tapi dia tetap bisa mendapatkan petunjuk.
Ini juga kenapa Allah memilih Muhammad SAW yang tidak bisa membaca. Pasti ada alasannya. Karena kualifikasi yang lebih penting bukan di kemampuan membaca. Bukan di penguasaan berjilid-jilid buku.
Allah memberikan petunjuk-Nya kepada Rasulullah SAW sebagaimana juga kepada para sahabat Kahfi. Yang hidup di jaman sebelum Nabi. Yang berdoa penuh ketulusan hati.
Doa anak-anak muda itu menunjukkan kejeniusan mereka. Pertama, mereka meminta rahmah. Kedua, mereka meminta petunjuk. Wa hayyi’lanaa min amrinaa rasyadaa.
Tujuan utama dari surah ini adalah untuk memerangi materialisme. Para sahabat Kahfi pasrah seratus persen. Apakah Allah akan memberikan rahmah di dunia atau di akhirat, no problem. Mereka juga minta fasilitas dari Allah. Berupa petunjuk yang lurus untuk urusan mereka.
Apa yang kita pikirkan jika kita mendengar ada seorang pejabat negara yang minta fasilitas?
Para sahabat Kahfi juga minta fasilitas. Bedanya, mereka minta sama Allah. Bedanya lagi, yang mereka minta adalah petunjuk yang lurus (rasyadaa). Bukan sebuah permintaan yang materialistis.
Allah adalah GPS mereka. Pasrah mereka total. Mereka berserah diri. Membiarkan Allah mendikte langkah mereka.
Membuat saya bertanya-tanya. Seberapa islamkah saya dibanding mereka? Seberapa besarkah kepasrahan saya untuk membiarkan Allah mengatur hidup saya? Setelah semua materi keislaman yang saya pelajari. Dan setelah menyadari bahwa para sahabat Kahfi itu tidak punya akses untuk mempelajari Islam.
Yang membuat saya makin kagum adalah yang ini. Para sahabat Kahfi itu tidak merasa canggung (socially awkward) memohon kepada Allah secara berjamaah.
Itu sesuatu banget. Sesuatu banget!
Kita hidup di jaman dimana sangat mudah buat kita untuk meninggalkan ketuhanan dalam konteks komunikasi sosial. Kita dengar orang bilang, “Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam diskusi ini.” Hmmm.
Kita biasa ngobrol soal sport. Soal teknologi. Soal mobil atau motor. Selama berjam-jam. Tapi pernahkan kita, dalam sebuah obrolan dengan konteks komunikasi sosial, secara bersama-sama, memanjatkan doa?
Robbana aatinaa min ladunka rahmah. Wa hayyi’lanaa min amrinaa rasyadaa. Yang mengucapkan doa ini, salah satu dari mereka, atau semuanya?
Semuanya. Mereka semua.
Sesuatu banget!
Mereka melangkah ke arah gua. Mereka memanjatkan doa bersama-sama. Keren!
Sekumpulan anak muda, yang ketika berkumpul bersama, lebih nyadar tentang Allah dibandingkan ketika sedang sendiri-sendiri. Yang terjadi biasanya adalah kebalikannya. Jadi, para sahabat Kahfi ini super keren abis.
Dalam keadaan sendirian, kita suka berdzikir. Bercakap-cakap sama Allah. Tapi kalo lagi hang out, dzikir itu terlupakan. Hilang ditelan obrolan yang materialistis. Obrolan tentang dunia, dunia, dan dunia. Gila emang. Kita semua tuh, kayak gitu.
Kita belajar sesuatu dari surah ini. Allah membalik sentimen itu. Perasaan yang sensitif tentang keberadaan Allah. Bahkan tentang kepasrahan kita sama Allah. Terutama dalam konteks komunikasi sosial. Melupakan Allah saat sedang berada di tengah-tengah sekumpulan manusia. Dibalik 180 derajat setelah mempelajari surah ini.
Kita berhutang hikmah dari para sahabat Kahfi.
Ada dorongan yang kuat dari hati ini untuk berikrar, “We’ve got to emulate something that has been immortalized in the Qur’an.” Karena memang itu lah yang saat ini menjadi suara hati. Untuk menirukan apa yang telah diabadikan di Alquran. Untuk mencontoh keteladanan para sahabat Kahfi.
Lalu muncul pertanyaan ini. Kita punya teman-teman yang seperti apa? Apakah yang membuat kita hanyut dan lupa sama Allah? Ataukah yang membuat kita meneteskan air mata berjamaah saat memanjatkan doa bersama-sama?
Lalu muncul juga pertanyaan untuk diri sendiri. Diri kita itu seperti apa? Apakah kita merasa canggung berbicara sama Allah saat berada di dalam mobil? Jangan-jangan ada orang yang mendengarkan. Jangan-jangan ada yang ngetawain. Jika ada rasa canggung seperti itu, berarti sebentuk kufr secara psikologis sedang bercokol di dalam diri kita.
Rasa canggung untuk connect dengan Allah itu tidak perlu ada. Sebagaimana ketiadaan rasa canggung para pemulung yang sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Kita adalah para pemulung itu. Yang belajar Alquran bukan untuk merasa lebih pintar. Yang belajar Alquran bukan supaya disebut orang terpelajar. Yang belajar Alquran bukan untuk mendapat pengakuan atas ketinggian ilmu dari siapapun.
Kita adalah para pemulung itu. Yang belajar Alquran supaya terus dekat dengan-Nya. Yang terus belajar Alquran untuk mengais petunjuk-Nya.
Ya Allah. Bukalah untuk kami, apa yang telah Engkau buka untuk para sahabat Kahfi.
Robbanaa aatinaa min ladunka rahmah. Wa hayyi’lanaa min amrinaa rasyadaa.
(Tadabbur Al-Kahfi 10b)
Sumber: https://bayyinahtv.com/video/3929
Resume oleh Heru Wibowo
[…] https://nakindonesia.wordpress.com/2019/07/16/para-pemulung-tadabbur-al-kahfi-10/ […]
LikeLike